Anda di halaman 1dari 10

TAX PLANNING PPH PASAL 22, PASAL23/26 DAN PPH FINAL

Nama Kelompok :

1. Komang Ira Meindrawati (1533121234)


2. Fransisca Ayu Eka Sukmariani (1533121302)
3. Ni Putu Kiki Migantari (1533121350)

UNIVERSITAS WARMADEWA

FAKULTAS EKONOMI

2018

1. Pendahuluan
Cara mudah yang dilakukan oleh pemerintah (Ditjen Pajak) untuk
memungut pajak adalah dengan cara mewajibkan wajib pajak melakukan
pemungutan dan pemotongan atas pajaknya, dari pihak lain (pihak ketiga), sesuai
dengan kewajiban wajib pajak untuk melakukan pemotongan atau pemungutan
pajak, dan selanjutnya menyetorkan dana melaporkan nya ke kantor pajak setiap
bulan berdasarkan ketentuan perpajakan.
Cara seperti ini di kenal dengan nama sistem withholding tax. Tugas
pemerintah cukup mengawasi saja, dan bila ada wajib pajak yang tidak
menjalankan withholding tax dengan benar, Ditjen Pajak tinggal menerapkan
sanksi administrasi, yang akan menambah pemasukan atau penerimaan negara.
Berbeda dengan self assesment, yang memberi kepercayaan penuh kepada wajib
pajak untuk menghitung, membayar, dan melaporkan kewajiban perpajakannya
sendiri, dengan sistem withholding tax, wajib pajak di wajibkan untuk memotong,
menyetorkan, dan mengadministrasikan pajak pihak lain (pihak ketiga).
Dalam praktiknya, masih saja kiota temukan banyak wajib pajak yang
tidak memiliki informasi lengkap mengenai pajak apa saja yang harus dipotong
dan dipungut. Sehingga ketika wajib pajak melaksanakan transaksi pembayaran
dan tidak melakukan pemotongan atau pemungutan PPh, maka konsekuensinya
harus dihadapinya adalah, wajib pajak tersebut akan dikenai tagihan atas pajak
yang tidak/kurang dipungut/dipotong, ditambah dengan sanksi administrasi.

2. Pajak Penghasilan Pasal 22


 Tax Management Pemotongan dan Pemungutan
Pajak penghasilan Pasal 22 di atur dalam KMK-254/KMK.03/2001
sebagaimana telah diubah terakhir dengan PMK No. 08/PMK.03/2008, pajak
ini menyangkut PPh Pasal 22 impor, PPh Pasal 22 Bendaharawan dan
BUMN/BUMD atas pembayarn untuk pembelian dan penyerahan barang yang
dibebankan ke APBN/APBD, PPh Pasal 22 atas kegiatan usaha lain ( hasil
penjualan: produksi Pertamina , produksi rokok, semen, otomotif, baja, kertas,
dan lain-lain), PPh pasal 22 atas penjualan barang yang tergolong sangat
mewah (PMK No. 253/PMK.03/2008). Sebetulnya bidang PPh Pasal 22 impor
ini menyangkut pemungutan pajak di sektor impor, yang berhubungan dengan
penyerahan dan pembayarn barang, serta pemasukan barang dari luar daerah
pabean ke dalam daerah pabean. Kalau perusahaan mengimpor barang, harus
membayar PPh Pasal 22 impor pada saat pembayaran bea masuk, dan yang
memungut adalah Ditjen Bea Cukai atau bank devisa. PPh Pasal 22 impor
merupakan kredit pajak yang dapat dikurangkan dari PPh yang terutang di
akhir tahun pajak.
Dalam hal impor, tarif PPh Pasal 22 ini bervariasi, tergantung apakaj
perusahaan p[unya angka pengenal impor (API) atau tidak, dan kalau tidak
dikuasai artinya barang tak bertuan. Kalau ada API tarifnya 2,5% dari nilai
impor, kalau non API 7,5%, dan untuk barang tidak dikuasai juga dikenai
7,5% dari harga jual lelang. Persentase tersebut dihitung dari harga barang
atau nilai CIF+BM ( Cost Insurance & Freight + Bea Masuk + Bea Masuk
Tambahan, Jika Ada)

 Pengecualian-Pengecualian (Tax Exemption) PPh Pasal 2


Dikecualikan dari Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 , yaitu :
a. Impor barang dan ayau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan;
b. Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan atau Pajak
Pertambahan Nilai.
Sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan No.
254/kmk.03/2001 yang telah diubah dengan KMK No.392/KMK.03/2001 dan
236/KMK.02/2003 dan 154/PMK.02/2007 dan terakhir diubah dengan PMK
No.08/PMK.03/2008.

 Pengajuan SKB PPh Pasal 22


Sesuai dengan Keputusan Ditjen Pajak No.192/PJ/2002, wajib pajak dapat
mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan atau pemungutan
PPh Pasal 22 oleh pihak lain kepada Ditjen Jendral Pajak karena:
a. Wajib pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat5 menunjukkan tidak
akan terutang Pajak Penghasilan karena mengalami kerugian fiskal.
b. Wajib pajak berhak melakukan kompensasi kerugian fiskal sepanjang
kerugian tersebut jumlahnya lebih besar dari perkiraan penghasilan neto
tahun pajak yang bersangkutan.
c. Pajak penghasilan yang telah dibayar lebih besar dari Pajak Penghasilan
yang akan terutang.
Secara garis besar pengenaan PPh Psal 22 terdapat 3 kelompok, yaitu:
1) PPh Pasal 22 Impor
Besarnya PPh Pasal 22 impor adalah :
a. Yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API)
 Atas impor kedelai, gandum, dan tepoung terigu oleh impotir,
dikenai tarif sebesar 0,5% dari nilai impor.
 Selain impor gandum dan tepung terigu oleh importir yang
memiliki API tetap dikenai 2,5% dari nilai impor.
b. Yang tidak menggunakan API sebesar 7,5% dari nilai impor
c. Yang tidak dikuasai sebesar 7,5% dari harga jual lelang.
2) PPh Pasal 22 Bendaharawan dan BUMN/BUMD
Atas pembayaran untuk pembelian atau penyerahan barang yang
dibebankan ke APBN/D, besarnya PPh Pasal 22 yang hartus di pungut
adalah sebesar 1,5 % dari harga beli yang di pungut pada saat pembayaran.
3) PPh Pasal 22 atas kegiatan usaha lain,
4) PPh Pasal 22 atas Penjualan Barang yang Tergolong sangat Mewah.

3. Pajak Penghasilan Pasal 23


Pajak adalah pungutan. Undang-undang ini tujuannya untuk memberi
kesan bahwa pungutan itu tidak sama dengan perampasan. Kalau ada pemotongan
dan pungutan, masyarakat cenderung berusaha untuk shifting dari objek-objek
yang kena pemotongan atau pemungutan, melakukan shifting hingga menjadi
tidak kena pajak atau shifting dari tarif yang besar ke tarif yang kecil.tidak jarang
terjadi dispute dalam bisnis tentang kewajiban memungut PPh Pasal 23, dimana
perusahaan pemilik proyek atau penerima jasa mengharuskan adanya pemungutan
atau pemotongan PPh Pasal 23 dari pihak ketiga, sedangkan pihak pemberi jasa
(kontraktor) tidak bersedia dipotong pojok pajaknya karena tidak ada pasal
pemotongannya dalam kontrak perjanjian.
Apabila perusahaan pemilik proyek tidak memotong PPh Pasal 23, dan
transaksi ini ditemukan oleh fiskus pada saat dilakukan pemeriksaan pajak, maka
perusahaan pemilik proyek akan dikenai kewajiban untuk membayar PPh Pasal 23
(withholding) yang terutang ditambah denda keterlambatan penyetoran sebesar 2%
sebulan dari pokok pajak.

 Pengenaan Pajak Atas Deviden


UU PPh No. 10 Tahun 1994 mnyebutkan, bahwa dividen yang diterima
oleh perseroan dal;am negeri (selain bank atau lembaga keuangan lainnya)
tidak termasuk objek pajak PPh Badan dengan syarat bahwa:
1. Deviden berasal dari laba yang ditahan,
2. Kepemilikan saham perseroan yang menerima dividen tersebut paling
sedikit memiliki 25% dari nilai saham yang disetor dari badan yang
membayar deviden (operating company).
Pada tahun 1994, para pemegang saham orang pribadi cepat-cepat
membuat perseroan terbatas (PT) dengan mereka sebagai pemegang sahamnya.
Di PT yang tidak mempunyai kegiatan apa-apa ini mereka hanya bertindak
sebagai pemegang saham. Di lain pihak ada operating company yang
membayar deviden ke PT Tanpa dikenai pajak. Bagi orang pribadi, ini adalah
cara mereka untuk “lari” dari pengenaan PPh Pasal 23 atas dividen, sebab
sebagai penerima deviden mereka akan dikenai PPh Pasal 23, sedangkan
perusahaan tidak dipotong. Punya usaha dapat untung, tapi tidak mau kena
pajak. Mereka mengubah portofolio investasi menjadi investasi atas nama
perusahaan dengan kepemilikan saham minimal 25% dari jumlah modal yang
disetor.

 Perubahan Tarif PPh Pasal 23


UU PPh yang baru No.36 Tahun 2008 telah menurunkan Tarif PPh Pasal
23 yang semula 15% menjadi:
1. 15% dari peredaran bruto atas dividen , bunga, royalti, dan hadiah,
penghargaan, bonus, dan sejenisnya.
2. 2% dari peredaran bruto atas jasa-jasa seperti sewa, jasa manajemen, jasa
kontruksi, jasa konsultan, dan jasa lainnya.

5. Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) Final


Bursa pasar modal berusaha agar obligasi diperlakukan sam dengan saham,
supaya pasar obligasi bergairah. Dengan demikian bunga obligasi dan Surat
Utang Negara dikenai PPh Final tetapi tarif pajak bunganya tetap sebesar 15 %
bagi wajib pajak dalam negeri dan BUT dan tariff 15 % diberlakukan bagi
bunga/diskonto obligasi dengan kupon dan diskonto obligasi tanpa bunga.

 Pokok Perubahan UU PPh No. 36 tahun 2008 atas objek Pajak Pasal 4
ayat (2).
Menegaskan objek PPh Pasal 4 ayat (2) yang baru, yang selama ini tidak
secara eksplisit diatur dalam ketentuan, seperti bunga obligasi dan Surat
Utang Negara. Berbeda dengan reksadana yang terdaftar pada Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, sehingga Pasar Obligasi
reksadana bergairah, bunga dan atau diskonto dari obligasi yang diterima atau
diperoleh wajib pajak secara gradual dikenai PPh Pasal 4 ayat (2) final
sebagai berikut:
a. 0% untuk tahun 2009 sampai dengan tahum 2010
b. 5% untuk tahun 2011 sampai dengan tahun 2013
c. 15% untuk tahun 2014 dan seterusnya.

 Objek PPh Final Pasal 4 ayat (2):


a. Diskonto atau bung obligasi yang diperdagangkan dan atau dilaporkan
perdagangannya di Bursa Efek (PP No. 6 tahun 2002)
b. Penghasilan ari transaksi penjualan saham di Bursa Efek (PP 41/1994 jo.
PP 14/1997)
c. Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI (PP 131/2000)
d. Penghasilam berupa hadiah atas undiaan (PP 132/2000)
e. Penghasilam atau sewa tanah dan atau bangunan (PP 25/1996 jo PP
5/2002)
f. Penghasila dari Usaha Jasa Konstruksi
g. Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan atau Bangunan (PP
48/1994 jo PP 71/2008)
- Objek PPh Pengalihan Hak atas Tanah dan atau Bangunan (PPh
PHTB)
- Tariff
- Sifat
- Pengecualian Objek PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas
tanah dan atau bangunan
h. Deviden yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dslsm
negeri
i. Bunga dan atau diskonto dan surat berharga negara (SBN); (PP No. 16
tahun 2009 Jo. PMK No. 85/PMK.03/2009)
besarnya pajak penghasilan adalah:
-bunga dari obliges dengan kupon sebesar:
1) 15% bagi wajib pajak dalam nenegeri dan bentuk usaha tetap.
2) 20% atau sesuai dengan tariff berdasarkan persetujuan
penghindaran pajak berganda bagi wajib pajak luar negeri selain
bentuk usaha tetap, dari jumlah bruto bunga sesuai dengan masa
kepemilikan obligasi.
-diskonto dari obligasi dengan kupon sebesar:
1) 15% bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap.
2) 20% atau sesuai dengan tariff berdasarka persetujuan
penghindaran pajak berganda bagi wajib ajak luar negeri selain
bentuk usaha tetap, dari selisih lenih harga jual atau nilai nominal
di atas harga perolehan obligasi, tidak termasuk bunga berjalan.
-diskonto dari obligasi tanpa bunga sebesar:
1) 15% bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap.
2) 20% atau sesuai dengan tarif berdasarkan persetujuan
penghindaran pajak berganda bagi wajib ajak luar negeri selain
bentuk usaha tetap.
-bunga diskonto dari obligasi yang diterima dan atau diperoleh wajib
pajak eksadana yang terdaftar pada Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan sebesar:
1) 0% untuk tahun 2009 sampai degan tahun 2010
2) 5% untuk tahun 2011 sampai dengan tahun 2013
3) 15% untuk tahun 2014 dan seterusnya
j. Bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi
orang pribadi (PMK No. 85/PMK.03/2008)
k. Penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak badan
atau WPOP yang memiliki Peredaran Bruto tertentu (PP46/2013)

 Analisis Ekualisasi Objek PPh Pasal 4 Ayat 2 (Final) pada SPT Tahunan
PPh Badan dengan SPT masa PPh Pasal 4 ayat 2 (final).
Dalam banyak kasus terjadi pengenaan kurang bayar atas pemotongan PPh
Pasal 4 ayat 2 (Final) yang ditemukan oleh pemeriksa (fiskus) sehingga
menyebabkan terbitnya SKP Kurang Bayar dari hasil pemeriksaa tersebut. Hal
ini disebebkan karena:
a. Ditemukannya biaya-biaya yang menjadi objek PPh pasal 4 ayat 2 (final)
yang belum dilakukan pemotonga oleh wajib pajak pemberi kerja.
b. Jumlah PPh Pasal 4 ayat 2 (final) yang disetorkan ke as negara tidak cocok
atau lebih rendah dari jumlah yang dipotong oleh wajib pajak.
c. Julah PPh pasal 4 ayat 2 (final) yang dibukukan di buku besar atau ledger
pembukuan tidak cocok dengan SPT PPh Masa Pasal 4 ayat 2 final).

6. PPh Pasal 15
Merupakan PPh yang dikenaka berdasarkan Norma Perhtungan Khusus
(NPK) atau deen profit yang meliputi:
a. PPh atas sewa pesawat udara dalam negeri, tarif pajaknya 1,8% dari peredaran
bruto dan bersifst tidak final.
b. PPh Final perusahaa Pelayanan Dalam Negeri , tariff pajaknya 1,2% dari
peredaran bruto bersifat final.
c. PPh final perusahaan Pelayarn/penerbangan luar negeri, tariff pajaknya 2,64%
dari peredaran bruto bersifat final.
d. PPh final atas wajib pajak luar negeri yang mempuyai kantor perwakilan
dagang di Indonesia, tariff pjaknya 0,44% dari nilai ekspor bruto bersifat final.
e. Penghasila neo wajib pajak BUT dari kegiatan usaha pengebors minyak dan
gas bumi, tarifnya 15% dari peredaran bruto, bersifat tidak final.

7. Tax Planning PPh Pasal 22/23//26 dan PPh Final


Beberapa hal krusia; dalam penanganan PPh Pasal 22/23/26 dan PPh Fina:
a. Masalah pembuatan kontrak
Pada transaksi yang merupakan objek PPh Pasal 23/26/Final, hal [okok yang
harus diperhatikam adalah masalah pembuatan kontrak. Jika kontrak tidak
ada, dapat digantikan dengan oleh SPK (Surat Perintah Kerja) atau PO
(Purchase Order). Disamping itu juga harus terdapat kejelasan atas hak dan
kewajiban masing-masing pihak agar daam implementasinya tidak
menimbulkan masalah perbedaan penafsiran.
b. Konflik dalam withholding tax
Kewajiban pemotong, penyetorsn, dsn pelaporan ada pada pemberi
penghasilan maka konflik dapat diatasi dengan cara negosiasi ulang dengan
pihak pemberi jasa.
c. Rekonsiliasi objek withholding tax dengan laporan keuangan
d. Klausula kontrak dengan WPLN
8. Tax Planning Pajak Penghasilan Pasal 25 Orang Pribadi
Sesuai Per-Menkeu No. 255/PMK.03/2008, besarnya angsuran paja
penghasilan pasal 25 untuk wajib pajak orang pribadi pengusaha tertentu,
diterapkan sebesar 0,75% dari jumlah peredaran bruto setiap bulan dari masing-
masing tempat usaha tersebut. Hanya karena kealpaan tax planner yang tidak
menghitung atau merencanakan angsuran PPh Pasal 25 dengan benar, khususnya
untuk wajib pajak orang pribdi pengusaha tertentu yang mestinya didasarkan pada
laporan keuangan berkala, akan bisa berimplikasi pada timbulnya lebih bayar
pajak pada SPT tahunan PPh Badan yang ujung-ujungnya akan mengakibatkan
perusahaan menghadapi pemeriksaan ajak oleh fiskus.

Anda mungkin juga menyukai