Anda di halaman 1dari 12

Nama : Haidar Arif Rabbani

NIM : 215030400111016

Resume RPS 10 : Tax Planning Transaksi-Transaksi Khusus 2

Tax Planning untuk Transaksi Hospitality Industry

a. Pemajakan Industri Golf

Dasar Hukum Perpajakan Industri Golf

Dalam Penjelasan UU No. 42 tahun 2009 Perubahan ketiga atas Undang-Undang No. 8 tahun
1983 tentang PPN barang dan jasa dan Pajak Penjualan atas barang mewah ini bertujuan:
"Meningkatkan kepastian hukum dan keadilan bagi pengenaan Pajak Pertambahan Nilai".

Pemajakan Industri Golf di Indonesia

Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi
Daerah industri golf termasuk dalam pajak daerah yang dikenakan pajak hiburan. Padahal
sebelum undang-undang tersebut diterbitkan, lapangan golf merupakan objek Pajak Pertambahan
Nilai (Pajak Pusat), dimana PPN masukan dapat dikreditkan dengan PPN keluaran pada masa
pajak yang sama. Konsekuensi dari pemberlakuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
adalah pada perlakuan perpajakannya, dimana PPN masukan lapangan golf menjadi pungutan
pajak yang tidak dapat dikreditkan oleh perusahaan lapangan golf dan harus dibiayakan,
sehingga menambah beban industri ini.

Dalam Pasal 42 Ayat 2 huruf G dan H Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, antara lain dinyatakan bahwa permainan bilyar, golf, dan boling
serta pacuan kuda di golongkan ke dalam pajak hiburan. Selanjutnya dalam Ayat 3
dinyatakan”Penyelenggaraan hiburan sebagaimana dimaksud pada Ayat 2 dapat dikecualikan
dengan peraturan daerah namun di sisi lain, bilyar, golf dan boling, berkuda dan lomba motor
yang oleh komite olahraga nasional dan komite olimpiade indonesia telah diterapkan sebagai
cabang olahraga prestasi dan telah dipertandingkan dalam kejuaraan tingkat nasional dan
internasional.

Perlakuan pajak atas pendapatan golf di indonesia dengan negara negara lain, baik di Eropa,
Amerika Serikat, dan Negara Asia lain yang mendefinisikan pendapatan golf sebagai objek Pajak
Pertambahan Nilai mendapatkan perbedaan, pendapatan golf di indonesia sangat unik karena
tampil berbeda. Dipicu oleh otonomi daerah yang lebih mengedepankan pembagian jatah yang
lebih besar untuk kepentingan daerah, para fungsionaris legislatif dan eksekutif tidak lagi
berpikir kaidah normatif dari perlakuan pajak pendapatan atau melihat kajian historisnya. Bagi
mereka selama masih ada titik persinggungan dengan kegiatan wisata atau hiburan, maka golf
dikenakan pajak daerah/hiburan, tanpa memperduli pandangan orang atau negara lain.

Dampak Positif Pemajakan Industri Golf di Indonesia

Upaya yang terus ditempuh untuk menuju terciptanya kondisi teknis dalam pemajakan atas
pendapatan industri golf adalah:

 Lebih Terciptanya iklim perpajakan yang lebih mendorong tumbuh dan berkembangnya
industri golf serta pembinaan/pengembangan olah raga di Indonesia
 Terciptanya moral perpajakan yang lebih baik. Untuk membidik pendapatan daerah yang
lebih tinggi, tidak perlu dilakukan dengan "mendegradasi" klasifikasi pajak yang
mestinya pajak pusat menjadi pajak daerah
 Merapatkan mata rantai pemajakan PPN untuk mencegah distorsi agar hak pengkreditan
pajak masukan tidak terganggu.
 Meningkatkan kepastian hukum tentang PPN atas pendapatan golf
 Prinsip keadilan dalam proses pemajakan dikedepankan. Menghilangkan pemajakan
ganda yang merugikan pengusaha golf akibat high cost economy

Dasar Pengenaan Pajak Industri Golf

Ada dua variabel yaitu DPP PPN dan PPh pasal 23 yang keduanya saling terkait pada saat
pembuatan billing atau invoice dan pelunasan serta pembayaran pajaknya.
 Versi pertama dimana PPN dan PPh pasal 23 dihitung dari total penerimaan atau billing
sebelum pengenaan PPN
 Versi kedua dimana PPh 23 dihitung dari total management fee

b. Pemajakan Industri Perhotelan

Aspek Perpajakan

Aspek Pajak Pertambahan Nilai

Setiap pembelian barang konsumsi dan barang modal terkena PPN, sedangkan pendapatan hotel
(sewa kamar dan restoran) bukan merupakan objek PPN. Akibatnya terjadi penumpukan PPN
masukan, sedangkan PPN keluaran praktis nihil atau jumlah nya tidak signifikan. Bila hal ini
dibiarkan tanpa adanya plan of action yang jelas, ketidakseimbangan cash flow bisa terjadi dan
mengganggu daya dukung cash management Perusahaan terhadap jaminan kelancaran kegiatan
operasional Perusahaan.

Beberapa tax planning untuk mengurangi dampak penumpukan dari PPN masukan dapat
dilakukan sebagai berikut:

1. hotel harus bernaung di bawah satu badan hukum perseroan, dan teregistrasi sejak awal
menjadi pengusaha kena pajak.
2. melunakkan dampak pengenaan PPN dengan cara menyebarkan pembelian dari pemasok
barang-barang F&B ke pengusaha kecil yang tidak mengenakan PPN
3. PPN masukan dari pembelian barang modal yang sangat material jumlahnya sebaiknya
dikapitalisasi sebagai alternatif accounting policy, sehingga dapat diamortisasi sepanjang
masa penyusutan atau amortisasi aset tersebut
4. Penyelenggaraan administrasi pajak yang akurat dan up to date

Aspek Pajak Penghasilan

1) Tax shifting

Selain biaya Food & Beverage (F&B) restoran, pengeluaran biaya yang paling besar di sektor
usaha hotel adalah biaya tenaga kerja (SDM), mengingat hotel adalah bidang usaha yang
menyerap banyak tenaga kerja manusia.dalam tahap awal rekrutmen perusahaan sudah harus
mengantisipasi kemungkinan terjadinya pergeseran beban pajak penghasilan karyawan agar tidak
menjadi beban perusahaan di kemudian hari. Kebijakan ini bertujuan untuk menghemat beban
pajak sejak perusahaan mulai didirikan, karena begitu strategi mulai diimplementasikan kepada
semua tingkatan karyawan, semua biaya akan ikutan.

2) Memberdayakan tenaga outsourcing

Tujuan perusahaan melakukan outsourcing adalah selain untuk menghemat SDM juga dapat
menghemat beban pajak. Jasa penyedia tenaga kerja (outsourcing services) diatur dalam
peraturan Menkeu No. 244/PMK.03/2008 tentang jenis jasa lain sebagaimana dimaksud dalam
pasal 23 ayat (1) huruf C angka 2 UU No. 7 Tahun 1983 tentang PPh sebagaimana telah
beberapa kali diubah, terakhir dengan UU No. 36 tahun 2008, dimana jenis jasa lain tersebut
dipotong pajak penghasilan 2% dari jumlah bruto tidak termasuk pajak pertambahan nilai

Jenis jasa yang tidak dikenai pajak pertambahan nilai

 Jasa penyewaan kamar, termasuk tambahannya di hotel, rumah, penginapan, motel,


losmen, hostel, serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan untuk tamu yang
menginap
 Jasa penyewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah
penginapan, motel, losmen, dan hostel

Pemajakan Yayasan Pendidikan dan Tax Planningnya

Pasal 4 ayat (3) huruf m UU yang berlaku sejak 1 januari 2009 lalu ini, ada fasilitas pengecualian
pengenaan pajak atas sisa lebih yang diterima Lembaga Pendidikan nirlaba. Untuk bisa
menikmati fasilitas tersebut ada beberapa persyaratan yang sebelumnya harus dipenuhi

 Bukan aturan baru Dalam aturan pelaksanaanya dapat disimpulkan sisa lebih nirlaba akan
dikecualikan dari objek PPh jika sisa lebih digunakan sebagai sarana dan prasarana
kegiatan Pendidikan dana atau penelitian dan pengembangan, yang diselenggarakan
secara terbuka kepada pihak manapun dalam jangka waktu 4 tahun sejak diperolehnya
sisa lebih tersebut
 Kontradiktif aturan Pasal 4 ayat (3) huruf m memang bertolak belakang dengan pasal 6
ayat 1 huruf f. Jadi ketentuan tentang Pendidikan seharusnya tidak dicampuradukkan
dengan bidang litbang, kedalam satu ayat. Karena perbedaan dimensi tempat terjadinya
objek PPh akan menafsirkan perbedaan dalam perlakuan perpajakannya.
 Hanya empat tahun Menurut peraturan Menteri keuangan No.80/PMK.03/2009 sebagai
peraturan pelaksanaan dari pasal 4 ayat 3 huruf m, menyebutkan bahwa apabila setelah
jangka 4 tahun, terdapat sisa lebih yang tidak digunakan maka sisa lebih tersebut diakui
sebagai penghasilan. Atas penghasilan tersebut akan dikenai PPh pada tahun pajak
berikutnya ditambah dengan sanksi sesuai ketentuannya.
 Masih ada tax planning Walaupun hanya 4 tahun, Lembaga Pendidikan harus
memikirkan langkah apa yang dapat diambil untuk memanfaatkan fasilitas sebaik –
baiknya untuk mencapai tujuan yang diinginkan, maka dari itu diperlukannya tax
planning sehingga paja yang terutang menjadi seminimal mungkin.
 Tax planning PPN: Manfaatkan tarif efektif 4% Yayasan yang sudah memenuhi syarat
untuk kegiatan membangun sendiri dengan tarif PPN sebesar 10% x 40% = 4% jumlah
yang dikeluarkan dan atau dibayarkan setiap bulannya, dengan demikian menghemat 6%

Pemajakan Jasa Pelatihan atau Jasa Event Organizer, Aspek Perpajakan, dan Tax
Planning-nya

a. Jasa Pelatihan dan Pendidikan

Karyawan yang terampil dan ahli merupakan modal yang sangat penting dalam persaingan usaha
jasa, mereka merupakan aset yang sangat bernilai bagi perusahaan dan menjadi key success
factor terpenting. Contoh tempat pelatihan karyawan bertaraf internasional adalah, fasilitas
pelatihan Arthur Anderson di kota St Charles, Illinois; dan Universitas McDonald Hamburger di
Oak Brook, Illinois, dekat Chicago.

Pengertian teoritis tentang jasa pelatihan atau pendidikan ada dalam berbagai literatur tentang
pengembangan sumber daya manusia, namun ada baiknya kita juga melihatnya dari perspektif
perpajakan. Menurut UU Pajak Pertambahan Nilai, batasan jasa pendidikan, meliputi:

1. Jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa penyelenggaraan pendidikan


umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan
keagamaan, pendidikan akademik dan pendidikan profesional.
2. Jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah.

Batasan tersebut secara eksplisit ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2022.

b. Jasa Event Organizer

Merebaknya kegiatan jasa pelatihan EO, yang meningkat statusnya menjadi pengelola event
berskala nasional bahkan internasional, seperti seminar, workshop, in house training, merupakan
fenomena baru bagi pelaku usaha dalam men-setting bisnisnya dan mendudukkan perlakuan
perpajakannya. Penyelenggara acara (event organizer atau EO) adalah istilah yang diberikan
untuk penyedia jasa penyelenggara acara profesional. Modal utama EO adalah kreatifitas.

Dalam Peraturan Menteri Keuangan, disebutkan bahwa; jasa penyelenggara kegiatan atau event
organizer adalah kegiatan usaha yang dilakukan oleh pengusaha jasa penyelenggara kegiatan
yang meliputi, antara lain, penyelenggaraan pameran, konvensi, pagelaran musik, pesta, seminar,
peluncuran produk, konferensi pers, dan kegiatan lain yang memanfaatkan jasa penyelenggara
kegiatan (PMK No. 244/PMK.03/2008).

Dilihat dari jenis acara yang diadakan, EO dapat dikategorikan menjadi One Stop Service
Agency bila mampu menyelenggarakan berbagai jenis acara, nilai yang bersifat lokal hingga
yang skala internasional untuk berbagai acara seperti konvensi, ekshibisi, meeting atau
pertemuan pelatihan, hiburan, musik, dan lain-lain. EO pada dasarnya berjualan kreativitas.
Kreativitas inilah yang bernilai tinggi di mata klien (partisipan dan sponsor). Sebagai EO kita
harus kreatif dalam mengemas sebuah konsep menjadi sebuah acara yang menarik sehingga
tujuan yang diinginkan klien tercapai. Untuk itu kita harus berani mengajukan ide yang berbeda.

Dilema Event Organizer

Dalam konteks penyelenggaraan Jasa Pelatihan Publik, jika karakteristiknya sudah solid seperti
tema acara pelatihan yang sudah menjadi trade mark, memiliki program reguler atau berupa
paket in house training, service blueprint yang standar, dengan target audience yang jelas dan
calon sponsor potensialnya yang mendukung, kenapa tidak meningkatkan statusnya dari
penyelenggaraan kegiatan EO menjadi penyelenggaraan jasa pelatihan dari sebuah institusi
pendidikan (education and training institution). Perubahan ini membawa konsekuensi, terjadinya
metamorfosis/restrukturisasi internal dalam bisnis EO tersebut, kalau tadinya merupakan profesi
penyelenggara kegiatan, sekarang berubah bentuknya menjadi Pusat Jasa Pelatihan/Pendidikan
Tenaga Kerja atau Sumber Daya Manusia.

Untuk menjamin kepastian hukum dalam bidang perizinan usaha serta perlakuan perpajakannya,
restrukturisasi bisnis saja tidak cukup, dan bisa dipersoalkan oleh instansi terkait, misalnya
dalam perlakuan perpajakannya, dan lain-lain. Oleh sebab itu, Izin Penyelenggaraan Pelatihan
Tenaga Kerja yang dikeluarkan oleh Kepala Dinas Tenaga Kerja Departemen Tenaga Kerja
(Depnaker) mutlak diperlukan. Manajemen harus memutuskan mana dari kedua opsi itu yang
akan dipilih, karena ini akan berdampak pada core business dan strategi pengembangan
perusahaan di masa mendatang.

Aspek Perpajakan Jasa Pelatihan atau Jasa Event Organizer

Untuk membedakan jasa pelatihan/pendidikan dengan jasa event organizer dalam perlakuan
perpajakannya, dalam tabel berikut ini kita memetakan kajian kita dari dua aspek pajaknya,
yakni Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

a. Jasa Event Organizer Meski menyelenggarakan jasa, event organizer juga mengurus hal-hal
lain seperti penyewaan gedung acara, pembelian dekorasi, dan sebagainya yang berkaitan dengan
kegiatan tersebut. Karena itu, usaha jasa ini dikenakan berbagai jenis pajak. Berikut ini jenis
pajak event organizer beserta penjelasannya:

1) PPh Pasal 23

Jika event organizer berbentuk badan usaha atau perusahaan, jasanya dikenakan PPh Pasal 23
yang wajib dipungut oleh penerima jasanya yang juga berbentuk badan usaha. Tarif
pemotongannya sebesar 2%, untuk objek pajak imbalan jasa. Di sisi lain, jasa penyelenggara
kegiatan ini juga wajib memungut dan melaporkan PPh Pasal 23 jika menggunakan jasa lainnya,
seperti jasa dekorasi, jasa fotografer, dan sebagainya.

2) PPh Pasal 21
Jika event organizer merupakan jasa perorangan alias bukan berbentuk badan usaha, jasa usaha
ini dikenakan PPh Pasal 21 dan harus dipungut oleh penerima jasa. PPh Pasal 21 ini turut
dikenakan jika event organizer merupakan badan usaha dan memiliki karyawan yang bekerja di
dalamnya. Maka, pengusaha jasa wajib memotong PPh Pasal 21 atas penghasilan karyawannya.

3) PPh Pasal 4 ayat 2

Jasa event organizer wajib membayar dan melaporkan PPh Pasal 4 ayat 2 jika menyewa tanah
atau gedung untuk menyelenggarakan acara.

4) PPh Final 0,5%

Pelaku usaha event organizer wajib memungut dan melaporkan PPh Final 0,5% dari penghasilan
bruto jika omzet tahunannya kurang dari Rp4,8 milyar.

5) PPN

Jika event organizer sudah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan omzet tahunannya sudah
mencapai atau melebihi dari Rp4,8 milyar, wajib memungut dan melaporkan PPN sebesar 11%
atas jasa kena pajak.

b. Jasa Pendidikan/Pelatihan Publik

Pasal 4A ayat (3) Undang Undang Nomor 8 Tahun 1983 menjelaskan terkait jasa yang tidak
dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yakni jasa tertentu dalam kelompok jasa yang
meliputi beberapa hal. Huruf g Pasal 4A ayat (3) undang-undang tersebut menyatakan bahwa
jasa pendidikan masuk ke dalam jasa yang tidak dikenakan pajak (Non-JKP). Tetapi menurut
Pasal 4A ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021, huruf g tersebut dihapus. Dampak dari
dihapuskannya pasal tersebut adalah bahwa jasa pendidikan masuk ke dalam jenis jasa yang
dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Pasal 16B ayat (1a) huruf j poin 6 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi
Peraturan Perpajakan mengamanatkan bahwa jasa pendidikan mendapatkan pembebasan atau
pajak terutang tidak dipungut. Latar belakang diberlakukannya kedua kondisi tersebut adalah
untuk mendukung tersedianya barang dan jasa tertentu yang bersifat strategis dalam rangka
pembangunan nasional. Apabila status jasa pendidikan tersebut dikenakan pembebasan, maka
sejatinya memang tidak dikenakan pajak atasnya atau memang tidak ada tarif pajak yang
didapatkan. Sedangkan jika jasa pendidikan termasuk pajak terutang tidak dipungut, maka
atasnya dapat digunakan tarif 0% (nol persen). Dalam artian sebenarnya tetap dikenakan pajak
atasnya, hanya saja diberikan fasilitas tarif pajak sebesar 0% (nol persen).

Tax Planning Jasa Pelatihan atau Jasa Event Organizer

a) Semua billing kepada klien harus dibuat sebagai "Pelatihan Jasa Publik". Surat pengantar
faktur penjualan atau invoice wajib dilampirkan pada setiap faktur yang diserahkan kepada klien,
menyebutkan klien untuk memotong pajak pemotongan dengan mengacu pada pasal undang-
undang pajak yang bersangkutan tidak diperlukan.

b) Agar diakui secara hukum oleh pemerintah sebagai institusi pendidikan atau lembaga
pelatihan atau sebagai perusahaan jasa penyelenggara pelatihan publik/program kursus, menjadi
prioritas utama dan pertama untuk mendapatkan Sertifikat Izin Usaha dari Departemen Tenaga
Kerja untuk diakut.

c) Sebagai "Jasa Pelatihan Publik", atas Faktur Penjualan tidak dikenakan PPN keluaran, maupun
pemotongan pajak (PPh 23) oleh klien, secara hukum.

d) Bila sudah ditetapkan sebagai institusi pendidikan/lembaga pelatihan sebagai core business
perusahaan, jangan pernah ada pengakuan penghasilan (dalam buku besar maupun invoice) yang
didapatkan dari kegiatan perusahaan sebagai Event Organizer. Sebagai penggantinya adalah
penghasilan dari Jasa Pelatihan, karena untuk layanan sebagai EO dikenakan PPN keluaran 11%
dari harga jual, dan pemotongan pajak (PPh 23) oleh klien.

e) Jika terdapat kegiatan "Jasa Pelatihan" yang memenuhi persyaratan pada hal-hal teknis
khusus, sebagaimana yang diminta oleh klien, maka pengecualian untuk PPN dan Pemotongan
Pajak tidak berlaku dan akan diperlakukan atau diklasifikasikan sebagai bagian pelayanan teknis
(Jasa Teknik) dan bukan lagi Jasa Pelatihan atau pendidikan.

Pemajakan Usaha Jasa Konstruksi


Tarik ulur pemajakan usaha jasa konstruksi bermula dari pemberlakuan PPh Pasal 4 ayat (2)
yang mulai marak sejak tahun 1995, menyusul diberlakukannya UU PPh No. 7 Tahun 1983 di
mana pemerintah diberi wewenang yang sangat luas, bahkan ada yang menyebut wewenang itu
sebagai cek atau mandat kosong, untuk mengenakan pajak final atas berbagai macam jenis
penghasilan, hingga diredam dengan diberlakukannya UU PPh No. 36 tahun 2008, namun
ambivalensi dalam pemajakan usaha jasa konstruksi masih saja terjadi.

Usulan PPh final untuk jasa konstruksi mengemuka saat asosiasi Gapeksi (Gabungan Pelaksana
Konstruksi seluruh Indonesia) mengadakan kongres di Surabaya dan kemudian disetujui oleh
pemerintah. Pada era Fuad Bawazier menjabat sebagai dirjen pajak (sering dijuluki sebagai
"Bapak PPh final"), para pengusaha jasa konstruksi bisa bernafas lega. mereka kembali
menikmati tarif pajak penghasilan final. Perlakuan PPh final ini dimaksudkan untuk memberi
kemudahan dan kesederhanaan dalam menghitung pengenaan Pajak Penghasilan, sehingga tidak
menambah beban administrasi wajib pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak, serta memberi
kepastian hukum bagi wajib pajak yang bergerak dibidang usaha jasa konstruksi dalam
memenuhi kewajiban perpajakannya. Gayung pun bersambut, pada akhir Desember 1996 terbit
Peraturan Pemerintah No. 73/1996 tentang PPh atas penghasilan usaha jasa konstruksi dan jasa
konsultan untuk seluruh level usaha, yang menetapkan:

 Atas imbalan jasa pelaksana konstruksi dikenakan PPh final 2% dari nilai bruto.
 Sedangkan atas jasa perencanaan, pengawasan konstruksi, dan konsultan dikenakan 4%.

Keuntungan dan Kelemahan PPh Final

Keuntungan :

 Bagi wajib pajak, tarif PPh final sangat menguntungkan jika grafik pertumbuhan
ekonomi naik saat bisnis jasa konstruksi sedang booming. Dalam situasi ini, pelaku bisnis
mampu meraup keuntungan yang besar. Pengenaan PPh final yang flat terhadap
penghasilan bruto jauh lebih menguntungkan dibandingkan dengan tarif progresif 5%,
15%, 25%, 30%, dan 35% sebagaimana diatur dalam UU HPP, bahkan untuk Jasa-Jasa
Kena Pajak tertentu misalnya Usaha Jasa Konstruksi, dengan tarif yang berlaku di UU
PPh juga masih menguntungkan
 Pembenaran dalam penerapan sistem PPh final adalah jaminan bahwa penerimaan pajak
dari sektor ini akan meningkat dibandingkan dengan saat dikenakan tarif umum.
 Pajak final dikenakan atas basis nilai transaksi, tanpa memandang asal-usul penghasilan
tersebut.

Kelemahan

 Sebaliknya bagi wajib pajak, tarif PPh final menjadi bumerang pada saat grafik
pertumbuhan ekonomi trennya menurun atau pada saat mereka menderita rugi, sebab
pengenaan PPh final dikenakan terhadap penghasilan bruto, bukan penghasilan neto.
Ibaratnya "maju kena mundur kena", PPh final tidak mengenal rugi usaha.
 Lebih parah lagi, wajib pajak juga kehilangan hak kompensasi rugi fiskal untuk
mengkompensasi kerugian yang diderita.
 Kemudahan dan kesederhanaan serta kepastian hukum dalam menghitung pengenaan
Pajak Penghasilan agar tidak menambah beban administrasi Wajib Pajak maupun
Direktorat Jenderal Pajak mengalahkan aspek pentingnya keadilan dalam pemajakan jasa
konstruksi.

Bagi pemilik proyek, perlu mewaspadai "siasat" perusahaan jasa konstruksi dalam
memperlakukan pemajakan PPh yang naturalnya, menurut undang-undang, adalah pajak
langsung yang dimanipulasi seolah-olah menjadi pajak tidak langsung. Caranya adalah dengan
mengalihkan beban PPh final kepada konsumen, dengan memasukkan komponen pajak tersebut
ke dalam nilai borongan proyek.

Aspek Perpajakan Jasa Usaha Konstruksi

Pemerintah menerbitkan aturan baru untuk pajak penghasilan (PPh) usaha jasa konstruksi, yaitu
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan
Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa
Konstruksi.

Klasifikasi dan cakupan jasa konstruksi berubah, demikian pula besaran tarif PPh final yang
dikenakan. Batasan waktu untuk pengenaan PPh final jasa konstruksi pun dibatasi hanya menjadi
tiga tahun. Diundangkan pada 21 Februari 2022, PP Nomor 9 Tahun 2022 mengubah ketentuan
PP Nomor 51 Tahun 2008 dan perubahan pertamanya di PP Nomor 40 Tahun 2009.

Anda mungkin juga menyukai