Anda di halaman 1dari 3

1.

Tujuan dari perubahan Undang-undang pajak adalah untuk memudahkan dan memberikan


keadilan kepada wajib pajak, jelaskanlah secara rinci maksud dari hal tersebut ! 
2. Silahkan sebutkan dasar hukum dari Insentif Pajak yang berlaku saat ini dan sebutkanlah pajak
yang mana mendapatkan insentif pajak!
3. Sebutkanlah perbedaan yang mendasar dari PPh pasal 21 dan PPh pasal 23 yang saudara ketahui
!
Jelaskan dengan bahasa anda sendiri, serta tuliskan sumber anda menjawab diskusi. Kemiripan
jawaban anda dengan rekan anda akan mempengaruhi penilaian
Selamat berdiskusi...!
Izin Menjawab
1. Seperti yang kita tahu, bahwa salah satu tujuan dalam reformasi perpajakan atau perubahan undang-
undang perpajakan, yaitu untuk menciptakan rasa keadilan dan kemudahan bagi wajib pajak.
Keadilan pajak (tax equity) berarti bahwa wajib pajak menyumbang fair share (bagian yang wajar)
atas cost of government (biaya pemerintah). Keadilan dalam perubahan undang-undang pajak
mencakup dua hal yaitu keadilan vertical (vertical equity) dan keadilan horizontal (horizontal equity).
Keadilan vertical sering dijelaskan dengan kalimat “seseorang yang penghasilannya lebih besar akan
membayar pajak lebih besar”. Sementara itu, keadilan horizontal dijelaskan dengan kalimat “dua
orang yang mempunyai penghasilan yang sama sehingga akan membayar pajak dalam jumlah sama”.
Terdapat 2 pendekatan yang dapat digunakan untuk mengukur keadilan pajak yang dibebankan
kepada masyarakat yaitu yang disebut degan prinsip manfaat (benefit principle) dan kemampuan
membayar (ability to pay principle). Dalam Negara demokrasi, rakyat sebagai pembayar pajak juga
sebagai pengawas langsung dari setiap peraturan perpajakan yang dikeluarkan pemerintah. Sehingga
apabila terdapat peraturan perpajakan yang dirasa tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat tentu
mereka tidak akan tinggal diam karena hal tersebut berdampak langsung terhadap kehidupan
individu dalam Negara.
Salah satu contoh dalam perubahan undang-undang pajak yang sudah diimplementasikan yaitu
pemerintah telah menerbitkan kebijakan penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Final menjadi 0,5%
bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Aturan tersebut dituangkan dalam Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Dari Usaha yang
Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu sebagai pengganti atas
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013, yang diberlakukan secara efektif per 1 Juli 2018. PP 23
Tahun 2018 pada dasarnya mengatur pengenaan PPh Final Pasal 4 Ayat (2) bagi wajib pajak yang
memiliki peredaran bruto (omzet) sampai dengan 4,8 Miliar Rupiah dalam satu tahun pajak.

2. Dasar hukum insentif pajak yang berlaku saat ini adalah:


 Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-9/PMK.03/2021 tentang Insentif Pajak untuk Wajib
Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019.
 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor PMK-82/PMK.03/2021 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-9/PMK.03/2021 Tentang Insentif Pajak
Untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019.
 Peraturan ini telah berlaku per 1 Juli 2021 ini mengatur ada enam insentif pajak yang bisa
dimanfaatkan oleh masyarakat hingga akhir tahun ini.
a. Pertama, penerima fasilitas Insentif PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah adalah karyawan
yang bekerja pada perusahaan yang bergerak di salah satu dari 1189 bidang industry tertentu,
perusahan yang mendapat fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE), dan perusahaan
di kawasan berikat. Fasilitas ini juga diberikan kepada karyawan yang mempunyai NPWP dan
penghasilan bruto yang bersifat tetap dan teratur yang disetahunkan tidak lebih dari dua ratus
juta rupiah pada sektor-sektor yang terlah ditentukan.
b. Kedua, penerima fasilitas Insentif PPh Final Jasa Konstruksi yang ditanggung oleh pemerintah
adalah wajib pajak yang mendapatkan penghasilan dari usaha jasa konstruksi dalam Program
Percepatan Peningkatan Tata Guna Air Irigasi (P3-TGAI). Pemberian insentif tersebut
bertujuan untuk mendukung peningkatan penyediaan air atau irigasi sebagai proyek padat
karya yang merupakan kebutuhan utama bagi sektor pertanian.
c. Ketiga, penerima fasilitas Insentif PPh Pasal 22 Impor adalah wajib pajak yang bergerak pada
salah satu dari 730 bidang usaha tertentu perusahaan KITE dan perusahaan di kawasan
berikat. Wajib pajak tersebut memperoleh insentif berupa pembebasan dari pemungutan PPh
Pasal 22 Impor. Jumlah bidang usaha tertentu tersebut bertambah dari yang sebelumnya
sebanyak 721 bidang industri dan perusahaan KITE.
d. Berikutnya keempat, penerima fasilitas Insentif PPh Pasal 25 berupa pengurangan angsuran
PPh Pasal 25 sebesar 50% dari angsuran yang seharusnya terutang adalah wajib pajak yang
bergerak pada salah satu dari 1018 bidang usaha tertentu, perusahaan KITE, atau perusahaan
di kawasan berikat.
e. Kemudian kelima, penerima fasilitas Insentif Pajak UMKM adalah Wajib Pajak UMKM, yaitu
berupa Insentif PPh Final tarif 0,5% sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun
2018 yang ditanggung pemerintah.
f. Terakhir keenam, penerima fasilitas Insentif PPN ini adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP)
berisiko rendah pada salah satu dari 725 bidang usaha tertentu, perusahaan KITE, dan
perusahaan di kawasan berikat. Insentif pajak tersebut berupa restitusi dipercepat hingga
jumlah lebih bayar paling banyak sebesar lima milyar rupiah. Insentif ini sebelumnya hanya
diterima oleh 716 bidang usaha dan perusahaan KITE.

3. Perbedaan PPh pasal 21 dan PPh Pasal 23 menurut saya dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Berdasarkan subjek
 PPh pasal 21 merupakan pajak atas penghasilan, dapat berupa gaji, upah, honorarium,
tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun yang berhubungan
dengan pekerjaan, jabatan, jasa, maupun kegitan yang dilakukan oleh orang pribadi dalam
negeri.
 Sedangkan PPh pasal 23 ditujukan untuk penghasilan atas modal, penyerahan jasa, atau
hadiah, dan penghargaan.
b. Berdasarkan konsep
 PPh Pasal 21 yaitu transaksi jasa yang dibayarkan kepada wajib pajak pribadi dalam negeri.
 PPh Pasal 23 yaitu transaksi jasa dibayarkan kepada wajib pajak badan dalam negeri.
c. Berdasarkan tarif
 PPh Pasal 21 menggunakan tarif progresif, yaitu wajib pajak yang penghasilan sampai Rp. 50
juta per tahun, maka penghasilannya akan dipotong sebesar 5%, penghasilan Rp. 50-250 juta
per tahun akan dikenakan pajak sebesar 15%, penghasilan Rp.250-500 juta per tahun akan
dikenakan pajak 25%, dan penghasilan di atas Rp500 juta per tahun akan dikenakan pajak
30%.
 PPh Pasal 23 diberlakukan atas nilai DPP (Dasar Pengenaan Pajak) atau jumlah bruto
penghasilan. Contoh tarif PPh Pasal 23 yaitu, (a) Tarif 15% dari jumlah bruto atas dividen
(pembagian dividen orang pribadi dikenakan pajak final yaitu 1%), dan hadiah dan
penghargaan, selain yang dipotong PPh 21. (b) Tarif 2% dari jumlah bruto atas sewa dan
penghasilan lain yang berkaitan dengan penggunaan harta (kecuali sewa tanah atau
bangunan). (c) Tarif 2% dari jumlah bruto atas imbalan jasa teknik, jasa manajemen, jasa
konstruksi, dan jasa konsultan. (d) Tarif 2% dari jumlah bruto atas imbalan jasa lainnya yang
diuraikan dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 141/PMK.03/2015.
d. Berdasarkan pelaporan pajak
 PPh Pasal 21 dilaporkan setiap tahunnya, dengan batas pelaporan maksimal akhir bulan
Maret untuk (WP orang pribadi) dan April (WP badan) setiap tahun.
 PPh Pasal 23 harus dilaporkan tiap bulannya oleh pihak pemotong dengan cara mengisi SPT
Masa PPh Pasal 23, dan paling lambat dilaporkan setiap Tanggal 20 bulan berikutnya.

Sumber:
 BMP ADBI4330 (Buku Administrasi Perpajakan; Univesitas Terbuka; Tiesnawati Wahyuningsih, dkk).
 Liberty Pandiangan. 2008. Modernisasi dan Reformasi Pelayanan Perpajakan bedasarkan UU
Terbaru: Gramedia. Jakarta
 Pendapat Pribadi

Anda mungkin juga menyukai