Anda di halaman 1dari 6

Nama : Rophinta Violyta

NIM : 1932039
Mata Kuliah : Hukum Pajak
Section : A

Mengupas Aturan Terbaru Pajak UMKM

https://www.liputan6.com/bisnis/read/3583969/opini-mengupas-aturan-terbaru-pajak-umkm

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah telah menerbitkan ketentuan baru Pajak Penghasilan atas
Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23
Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib
Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu yang berlaku sejak 1 Juli 2018.

PP tersebut mencabut PP Nomor 46 Tahun 2013 yang telah berlaku efektif selama lima tahun
sejak pemberlakuannya 1 Juli 2013. Peraturan baru ini dipandang sangat penting sehingga
Presiden RI Joko Widodo berkenan meluncurkan pertama kali di JX International (Jatim
Expo) Surabaya pada 22 Juni 2018.

Latar belakang terbitnya PP 23/2018 sebagaimana tercantum dalam konsiderans menimbang


dan penjelasan umumnya adalah untuk mendorong masyarakat berperan serta dalam
kegiatan ekonomi formal, dengan memberikan kemudahan dan lebih berkeadilan kepada
Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu untuk jangka waktu tertentu.

Beberapa pokok perubahan penting dalam peraturan baru ini adalah sebagai berikut:

1. Pengenaan PPh Final hanya berlaku dalam jangka waktu tertentu, yaitu paling lama:
a. 7 Tahun Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi
b. 4 Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer,
atau firma; dan
c. 3 Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk perseroan terbatas (sebelumya jangka
waktu tidak dibatasi).
2. Tarif PPh Final 0,5 persen (sebelumnya 1 persen).
3. Wajib Pajak dapat memilih untuk tidak dikenai PPh Final tetapi dikenai Pajak Penghasilan
dengan tarif umum dalam UU PPh (sebelumnya tidak ada pilihan).
4. Wajib Pajak badan berbentuk persekutuan komanditer atau firma yang dibentuk oleh
beberapa Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki keahlian khusus menyerahkan jasa sejenis
dengan jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas tidak dapat menggunakan ketentuan baru ini
(sebelumnya tidak diatur).
5. Mekanisme pelunasan PPh Final dilakukan dengan:
a. Disetor sendiri oleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu; atau
b. Dipotong atau dipungut oleh Pemotong atau Pemungut Pajak dalam hal Wajib Pajak
bersangkutan melakukan transaksi dengan pihak yang ditunjuk sebagai Pemotong atau
Pemungut Pajak (sebelumnya mekanisme pelunasan hanya disetor sendiri oleh Wajib Pajak)

Tidak terdapat perubahan dalam batas jumlah peredaran bruto yang dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final dalam PP 23/2018 ini yaitu tidak melebihi Rp 4.800.000.000
dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
Sementara itu, Peraturan Menteri Keuangan yang akan mengatur lebih lanjut mengenai tata
cara penyetoran dan pemotongan atau pemungutannya belum terbit hingga saat penulisan
artikel ini.

Lebih Mencerminkan Keadilan

Perbesar
Ilustrasi Pajak (iStockphoto)

Telah diterima secara universal pemajakan yang adil haruslah berdasarkan asas ability to pay
(daya pikul). Jadi pembayaran pajak didasarkan pada kemampuan Wajib Pajak dalam
memikul beban pajak (Steven Utz, 2002).

Ukuran paling ideal untuk mengukur kemampuan membayar pajak adalah penghasilan neto,
bukan penghasilan bruto. Pengertian penghasilan neto dalam hal ini adalah penghasilan kena
pajak yaitu penghasilan bruto setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan dalam
rangka memperoleh penghasilan tersebut sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku.

Untuk orang pribadi diberikan tambahan pengurang berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP). Dengan asas ability to pay, setiap Wajib Pajak yang memperoleh penghasilan kena
pajak yang sama akan membayar Pajak Penghasilan dalam jumlah sama (keadilan horizontal)
sementara semakin besar penghasilan Wajib Pajak semakin besar pula pajak yang harus
dibayar (keadilan vertikal).

PP 23/2018 ini lebih mencerminkan keadilan dibandingkan PP 46/2013 sebelumnya karena


pengenaan Pajak Penghasilan terhadap UMKM pada akhirnya akan berbasis penghasilan neto
dan dikenakan dengan tarif umum berdasarkan UU PPh. Pengenaan PPh bersifat final hanya
bersifat sementara.

Untuk dapat mengenakan pajak berdasarkan penghasilan neto maka diperlukan informasi
yang benar dan lengkap tentang penghasilan Wajib Pajak. Informasi tersebut idealnya dapat
diperoleh dari penyelenggaraan pembukuan.

Namun, realitanya belum semua Wajib Pajak mampu membuat pembukuan yang
menghasilkan laporan keuangan berupa neraca dan laba rugi.

Oleh karena itu, kebijakan pemerintah untuk membatasi jangka waktu pemberlakuan PPh
Final dengan tarif 0,5 persen sudah tepat sehingga cukup waktu bagi Wajib Pajak UMKM
untuk belajar hingga mampu menyelenggarakan pembukuan.

Terkait dengan kewajiban pembukuan ini pemerintah perlu memikirkan standar pembukuan
khusus untuk UMKM yang lebih sederhana dari standar akuntansi keuangan perusahaan pada
umumnya agar Wajib Pajak UMKM tidak kesulitan dalam melaksanakan kewajiban dalam
menyelenggarakan pembukuan dimaksud.

Dari sisi besaran tarif,penurunan dari 1 persen menjadi 0,5 persen tentu disambut gembira
oleh sejumlah Wajib Pajak UMKM meskipun bagi sejumlah pengusaha UMKM lainnya
masih belum dianggap adil.

Betapa tidak, dengan penurunantarif PPh Final menjadi 0,5  persen, maka penghasilan kena
pajak UMKM misalnya yangberbentuk badan dianggap sebesar 4 persen dari peredaran
bruto.

Tarif 0,5 persen PPh Final dari peredaran bruto sama dengan penerapan tarif Pasal 31E UU
PPh yaitu 12,5 persen dikalikan dengan penghasilan kena pajak sebesar 4 persen dari
peredaran bruto.
Tarif PPh Final sebesar 0,5 persen dirasakan masih tinggi oleh Wajib Pajak UMKM badan
yang rata-rata hanya mampu memperoleh penghasilan kena pajak di bawah 4 persen dari
peredaran bruto.

Namun, demikian PP 23/2018 cukup  adil dengan memberikan pilihan bagi Wajib Pajak
UMKM jika menghendaki penghasilannya tidak dikenai PPh Final 0,5 persen dari peredaran
bruto tetapi dengan tarif umum PPh yang dikenakan dari penghasilan neto.

Ini asalkan mampu menyelenggarakan pembukuan sehingga besar kecilnya PPh yang akan
dibayar oleh Wajib Pajak UMKM akan sangat tergantung dari besarnya penghasilan neto.

Dalam hal penghasilan neto menunjukkan angka negatif atau merugi, pengusaha UMKM
tidak perlu membayar pajak dan bahkan kerugiannya dapat dikompensasikan dengan
penghasilan kena pajak dalam 5 (lima) tahun pajak berikutnya.

Masih Terdapat Ketidakpastian

Perbesar

Ilustrasi Foto Pajak (iStockphoto)

Dari tiga hal yang menjadi tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum
yang paling substantif adalah keadilan (Gustav Radbruch).

Namun, demikian ketentuan yang mengandung unsur ketidakpastian dapat mengakibatkan


ketidakadilan. Oleh karena itu norma hukum termasuk ketentuan perpajakan haruslah jelas,
pasti serta tidak menimbulkan multitafsir.

Menurut penulis, PP 23/2018 masih mengandung unsur ketidakpastian berikut ini:


1. Pekerja Bebas Yang Mempekerjakan Orang Lain

Pasal 2 ayat (4) dari PP 23/2018 mencantumkan beberapa jenis profesi pekerjaan bebas yang
penghasilannya tidak termasuk yang dikenai PPh Final.

Dalam penjelasan pasal tersebut diberikan contoh bahwa apabila seorang ahli pemain piano
memperoleh penghasilan dari mengajar piano tanpa terikat oleh suatu hubungan kerjamaka
atas penghasilan tersebut tidak akan dikenai PPh yang bersifat final karena dianggap
menyerahkan jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas.

Namun jika ia memiliki usaha kursus piano dan mempekerjakan orang lain maka penghasilan
tersebut bukan merupakan penghasilan jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sehingga
penghasilan dimaksud akan dikenai PPh Final berdasarkan PP 23/2018.

Tidak dijelaskan dalam contoh apakah orang yang dipekerjakan di tempat kursus tersebut
juga mengajar piano sehingga dapat juga ditafsirkan hanya pekerja biasa misalnya petugas
keamanan, petugas kebersihan kantor atau petugas administrasi kursus yang tidak mengajar
piano.

Contoh dalam penjelasan Pasal 2 ayat (4) tersebut tidak jelas serta dapat menimbulkan
multitafsir yang berakibat ketidakpastian apakah setiap orang pribadi yang menjalankan
profesi pekerjaan bebas sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 ayat (4) PP 23/2018 ketika
menjalankan usaha melalui pendirian kantor dengan mempekerjakan orang lain, terlepas dari
apakah pekerja dimaksud juga melakukan pekerjaan yang sama dengan yang dilakukan
profesional tersebut atau tidak lalu kemudian menjadi dapat dikenai PPh yang bersifat final.

Misalnya apakah seorang advokat yang mendirikan kantor konsultan hukum pribadi (bukan
firma) mempekerjakan beberapa staf sarjana hukum yang bukan advokat dapat dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final atau tidak.

OPINI

1. Persepsi wajib pajak tentang kebijakan pajak penghasilan final terhadap UMKM ditinjau
dari kesederhanaan dalam pemungutannya atau asas convenience dinyatakan pada interval
sebesar 3,75 kategori setuju Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2013 memenuhi asas
tersebut.
2. Persepsi wajib pajak tentang kebijakan pajak penghasilan final terhadap UMKM ditinjau
dari berkurangnya beban administrasi atau asas efficiency dinyatakan pada interval sebesar
3,98 kategori setuju Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2013 memenuhi asas tersebut.
3. Persepsi wajib pajak tentang kebijakan pajak penghasilan final terhadap UMKM ditinjau
dari asas certainty dinyatakan pada interval sebesar 2,44 kategori tidak setuju Peraturan
Pemerintah No. 46 Tahun 2013 memenuhi asas tersebut.
4. Persepsi wajib pajak tentang kebijakan pajak penghasilan final terhadap UMKM ditinjau
asas equality dinyatakan pada interval sebesar 2,28 kategori tidak setuju Peraturan
Pemerintah No. 46 Tahun 2013 memenuhi asas tersebut.

Anda mungkin juga menyukai