Anda di halaman 1dari 2

Sejarah Pajak di Dunia

Selain di Mesopotamia, bentuk awal dari pemungutan pajak juga dapat ditemukan di Mesir Kuno.
Bangsa Mesir Kuno telah mengenal sistem pemungutan pajak sejak 3000 SM. Pada saat itu, sistem
pembayaran dengan mata uang belum dikembangkan sehingga pembayaran pajak dilakukan dalam
bentuk barang (paid in kind). Oleh karenanya, sama halnya dengan Mesopotamia, pemungutan pajak
di Mesir Kuno juga dilakukan dalam bentuk bagi hasil barang produksi dan pertanian serta pemberian
pelayanan atau tenaga kerja (Smith, 2015).
Bagi pemerintah Mesir Kuno, pemungutan pajak menjadi kegiatan utama dalam pemerintahan
sehingga tidaklah mengherankan apabila Mesir Kuno berusaha untuk mengembangkan sistem pajak
yang maju. Selain membentuk birokrasi tersendiri untuk menilai dan mengawasi pemungutan pajak,
sistem pemungutan pajak yang diterapkan oleh Mesir Kuno juga telah menentukan apa saja objek
yang dikenakan pajak, yaitu gandum, minyak goreng, peternakan, bir, hasil pertanian lainnya,
penggunaan sungai Nil untuk pengangkutan barang, serta perdagangan dengan pihak asing (Blankson,
2017).
Pemungutan pajak dalam bentuk yang lebih modern mulai dipraktikkan oleh bangsa Yunani Kuno dan
Romawi Kuno. Meskipun sebagian besar pemungutan pajak masih di lakukan dalam bentuk barang,
untuk beberapa transaksi tertentu seperti transaksi impor barang atau penjualan tanah, pemungutan
pajak sudah dilakukan dalam bentuk uang tunai (cash).
Menjelang akhir abad ke-1 SM, Kaisar Romawi Augustus menerapkan perombakan radikal terhadap
sistem pemungutan pajak yang berlaku pada saat itu, yaitu dengan mengganti pemungutan pajak yang
ada dengan pemungutan tetap terhadap harta kekayaan serta pemberlakuan pajak perseorangan (poll
tax). Perbaikan dalam bidang administrasi pajak juga dilakukan, yaitu dengan melaksanakan sensus
serta pendataan terhadap kekayaan yang dimiliki oleh rakyat. Hal ini membuat sistem pemungutan
pajak yang diterapkan oleh Romawi Kuno pada saat itu dianggap berhasil mempercepat periode
pertumbuhan dan kemakmuran bangsa Romawi Kuno (Smith, 2015).
Seiring dengan berakhirnya masa Kekaisaran Romawi, terjadi pula perubahan-perubahan terhadap
sistem pemungutan pajak di belahan dunia lainnya. Misalnya, yang terjadi di Eropa Barat. Pada masa
sebelumnya, Eropa Barat telah berhasil menghilangkan sistem pemungutan pajak tanah dengan
menerapkan sistem feodal berupa sewa tanah.
Akan tetapi, situasi ini berubah ketika hanya dalam kurun dua abad, sebuah struktur politik dan
ekonomi yang berbeda telah berkembang dan mengarah pada terciptanya kemakmuran bangsa Eropa
Barat. Semakin meningkatnya kemakmuran di Eropa Barat menyebabkan sistem feodal tidak lagi
dapat diterapkan sehingga sistem pemungutan pajak sekali lagi digunakan sebagai alat pembiayaan
(Grapperhaus, 2009).
Di abad-abad akhir pemerintahan Kekaisaran Romawi, jenis pajak yang stabil dan dipungut secara
teratur berdasarkan transaksi dan harta kekayaan (property) mulai bermunculan (Smith, 2015).
Misalnya, yang diterapkan di United Kingdom (UK) pada masa itu, yaitu pajak yang dikenakan atas
tanah dan harta kekayaan atau yang dikenal dengan istilah Danegeld. Sampai 978 M, Danegeld
dipungut secara teratur dengan tarif yang ditetapkan sebesar 2 shilling untuk setiap 100-120 hektar
tanah (Blankson, 2007).
Meskipun demikian, pada masa ini kerajaan juga masih sering memberlakukan pemungutan pajak
secara paksa terhadap rakyat, terutama ketika kerajaan membutuhkan dana untuk membiayai
peperangan atau kepentingan lainnya (Smith, 2015). Tentu saja hal ini membuat rakyat tidak senang
dan menganggap pemungutan yang dilakukan kerajaan merupakan bentuk kesewenang-wenangan dan
ketidakadilan.
Pada periode modern awal di Eropa, perubahan sosial dan ekonomi mulai menghasilkan tekanan
untuk mengakhiri praktik pemungutan pajak yang sewenang-sewenang dan tidak adil, yang pada
akhirnya memicu terjadinya pemberontakan di sejumlah negara di Eropa. Selain bertujuan untuk
membatasi kewenangan penguasa dalam mengenakan pajak, pemberontakan ini juga dianggap
sebagai upaya dalam membentuk legitimasi demokrasi dalam kebijakan perpajakan (Smith, 2015).

Pajak dan Pemberontakan

Dalam sejarahnya, penerapan pajak di dunia tidak pernah dapat lepas dari terjadinya pemberontakan.
Bahkan Jane Frecknell-Hughes dalam bukunya yang berjudul The Theory, Principles, and
Management of Taxation menyebutkan bahwa salah satu tema yang paling dominan dalam sejarah
pajak dunia adalah pemberontakan dan protes terhadap pajak yang dianggap sewenang-wenang dan
tidak adil, baik yang disebabkan karena cara pemungutannya, pihak yang dipungut, maupun karena
tarif yang diterapkan (Frecknall-Hughes, 2015). Sebut saja peristiwa besar seperti Magna Carta,
Revolusi Amerika, dan Revolusi Prancis tahun 1789. Ketiganya dapat dikatakan sebagai representasi
dari peristiwa pemberontakan yang dipicu oleh pemungutan pajak yang dilakukan penguasa.
Magna Carta, atau yang dalam bahasa Latin disebut Magna Charta Libertatum, adalah piagam yang
dipaksakan oleh para baron (para pemilik tanah) terhadap Raja John dari Inggris. Pemaksaan ini
merupakan ‘buntut’ dari pergolakan yang besar ketika para baron dari bagian utara negeri itu tidak
mau lagi membayar pajak kepada sang raja. Salah satu pernyataan yang penting dalam piagam
tersebut yang berhubungan dengan masalah pajak adalah: “…No scutage nor aid should be levied
without the consent of the common counsel of the realm…” yang artinya penguasa tidak dapat
memungut pajak tanpa persetujuan dari penasihat umum kerajaan (Arlidge dan Judge, 2014).

Sementara itu, dalam Revolusi Prancis, pajak menjadi salah satu penyebab meletusnya peristiwa ini,
yaitu dengan adanya kesewenangan dan ketidakadilan Raja Louis XIV dalam memungut pajak. Pada
masa itu, raja membuat rakyat biasa harus membayar pajak yang lebih tinggi dibandingkan kaum
bangsawan dan pendeta demi memenuhi kehidupan raja dan para bangsawan istana serta permaisuri
Louis XVI yang penuh kemewahan dan kemegahan.
Pemberontakan yang disebabkan oleh pajak juga mewarnai sejarah pemungutan pajak di Amerika
Serikat. Sejarah mencatat terdapat banyak pemberontakan yang terjadi akibat adanya kebencian
koloni Amerika terhadap pemberlakuan Undang-Undang Parlemen yang disahkan oleh Kerajaan
Britania Raya untuk mengenakan pajak terhadap koloni Amerika, seperti Molasses Act, Sugar Act,
Stamp Act, Townshed Act, serta Tea Act. Pemberontakan tersebut meliputi pembantaian Boston,
Boston Tea Party, dan Revolusi Amerika pada tahun 1775. Ketiga peristiwa tersebut saling
berhubungan dan yang disebut terakhir merupakan peristiwa yang menjadi puncak pemberontakan
sekaligus penanda terjadinya revolusi sistem pemungutan pajak di Amerika Serikat (Frecknel-Hughes,
2015).

Sumber :
https://news.ddtc.co.id/sejarah-pajak-awal-kehadiran-pajak-10547

Anda mungkin juga menyukai