Anda di halaman 1dari 9

Nama : Alya Tri Wulandari

NIM : 11000121120029
Mata Kuliah : Hukum Pajak
Kelas :G
Pajak dari Perspektif Historis
Sejarah Yunani Kuno mengenal istilah “Mitologi Minerva”, yaitu sosok wanita, ksatria,
tanda keberadaan dan simbolisasinya ialah seekor burung. Mitologi Yunani Kuno dapat menjadi
refleksi dalam mempelajari sejarah manusia karena sejarah atau cerita terkait Minerva
menggambarkan keadilan serta kejujuran yang melukiskan karakteristik dewi Athena. Seorang
filsuf Jerman, GWF Hegel (1821) menyatakan bahwa kebenaran seperti Minerva dalam bukunya
Philosophy of Right. Sejarah sering menjadi legacy pemenang, sehingga kebenaran murni akan
datang terlambat seiring dengan bertambahnya masa. Demikian juga dengan pajak, ketika
sebagian besar orang tidak suka maka disembunyikanlah di bawah palung kesadaran. Sejarah
mencatat pajak bukanlah sekadar administrasi dan teknik pemungutan semata, melainkan juga
sebuah kisah tentang peradaban manusia bahkan seorang Joseph Schumpeter berani untuk
menyatakan bahwa Guntur suatu peradaban dapat ditelaah dari aspek historis perpajakan
peradaban tersebut.
Sejarah perpajakan dimulai dari masa Babilonia-Romawi.
1. Babilonia
Dalam buku yang berjudul “Fight Flight Fraud: The Story of Taxtation” oleh Charles
Adam menyatakan bahwa sejarah dapat diketahui atau dicatat setidaknya sejak 6000 SM.
Urukagina, ia seorang raja yang berkuasa di Babilonia yang pada saat itu terkenal sebagai
kota yang tata kotanya baik pada tahunnya, selain itu juga dikenal dengan taman alamnya
yang disebut taman bergantung (tercatat pada bangsa Israel dan kitab-kitab Kristen di zaman
kuno). Selain taman kotanya yang terkenal, Babilonia juga dikenal dengan slogan “Kamu
boleh punya tuhan, kamu boleh punya raja, tapi ingat…manusia takut pada pajak”.
Pernyataan tersebut mungkin masih dirasakan di zaman sekarang ini karena tidak peduli
apakah orang-orang civil, orang yang memiliki bisnis kecil hingga menengah, bahkan orang-
orang yang telah memiliki perusahaan di era sekarang ini sudah pasti mereka berhubungan
dengan pajak, begitu juga dengan orang-orang di zaman keagungan Babilonia.
Urukagina dalam catatan sejarah, terkenal sebagai raja yang baik, bijaksana, dan disegani
oleh masyarakatnya karena dialah satu-satunya raja yang meniadakan pemungutan pajak di
Babilonia. Jadi, pada kepemimpinan Urukagina di Babilonia bahwa pemungutan yang
memberatkan masyarakat itu tidak ada, dengan harapan Urukagina bisa dicintai oleh
masyarakat Babilonia saat itu. Namun, yang selanjutnya terjadi tidak sesuai dengan
ekspektasi darinya karena dengan ditiadakan pemungutan pajak tersebut, pendapatan
kerajaan Babilonia semakin merosot dan kegiatan ekonomi masyarakatnya terpuruk sampai
pada at the end of the day, kerajaan Babilonia akhirnya runtuh. Pajaklah yang menjadi salah
satu penyebab mengapa Babilonia runtuh karena sumber pendapatan negara Babilonia
berkurang paling tidak untuk membayar para penjaga istana, tentara, dan semacamnya,
bahkan petugas negara yang mempunyai fungsi sebagai bonum commune dan bonum
publicum juga tidak mampu dibayar oleh pemerintahan Babilonia pada masa itu.
2. Mesir Kuno
Dari beberapa prasasti yang ditemukan, ada beberapa bukti tentang keagungan,
hubungan, hingga pemerintahan pada masa itu termasuk juga pencatatan administrasi pajak
yang rapih, boleh jadi merupakan bayang-bayang bagi administrasi pajak modern. Mereka
telah mengenal pencatatan, petugas pemungut pajak, serta penetapan berapa tiap warganya
mendapatkan pajak dengan dasar pertimbangan dan kewajiban lebih komplek terdapat
lembaga yang mengurusi masyarakat yang keberatan dengan ditetapkannya pajak oleh
Pemerintah Mesir saat itu karena dianggap kurang adil bagi Certain Society of Ancient-Egypt
masa itu. Dalam Rosetta Stone, tercatat bahwa dapat ditemukan jawaban atas pertanyaan
tentang bagaimana cara penetapan, pemungutan, pendistribusian, bahkan bagaimana petugas
pajak mempunyai posisi atau kedudukan yang memiliki wewenang untuk menarik pajak dari
masyarakat dan apa yang menjadi objek pajak.
Secara historis, Mesir Kuno merupakan satu-satunya peradaban pertama yang
merumuskan amnesti pajak. Rostovtzeff, seorang ahli sejarah dari Mesir menilai bahwa
kemunduran Mesir Kuno karena adanya perilaku birokrasi pajak yang menyimpang,
misalnya pemungutan pajak yang terlalu tinggi hingga korupsi yang berlebihan sehingga
dapat memicu penghindaran pajak. Dengan adanya perilaku tersebut, maka semakin lama
keadaan pemerintah Mesir saat itu semakin terpuruk. Pernyataan tersebut menunjukkan
adanya perilaku menyimpang dari petugas pajak yang diberi mandat untuk mengurus pajak.
Hal tersebut dapat didukung dengan fakta bahwa petugas pajak Mesir Kuno sangat kaya jika
dilihat dari bukti sejarah saat ini bahwasanya makam para pemungut pajak hampir setara
megah dan mewahnya dengan makan Fir’aun.
3. Bangsa Israel
Sejarah Israel Kuno mencatat tentang kisah agung, premis “tithe” dan didapuk sebagai
asal-usul peristilahan tax yang saat ini dikenal muncul untuk pertama kalinya. Tithe adalah
pajak bagi imam di rumah ibadah serta kaum golongan bawah. Dalam tithe terdapat dimensi
yang vertical-horizontal, hablumminallah-hablumminannas, sakral-profaan untuk
memperoleh makna yang hakiki untuk pertama kalinya. Secara historis, Israel juga pernah
menyelebrasi pesta keagamaan yang dikenal dengan Hanukkah sebagai suatu pemberian
memorial untuk sejarah pemberontakan pajak terhadap penguasa Mesir saat itu.
4. Yunani Kuno
Dalam catatan sejarah, Yunani Kuno memiliki kecerdasan untuk membangun sistem
perpajakan modern. Para pemikir Yunani Kuno mencoba untuk keluar dari sistem tiran
penguasa dengan menciptakan sistem pajak yang berorientasi keadilan. Hal tersebut sudah
muncul tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan hukum dan keadilan untuk mengatur
segala hal yang berkaitan dengan pajak pada setiap individu. Gustav Gotz menyatakan bahwa
dasarnya terletak pada penghargaan hak milik pribadi sebagai elemen dasar kebebasan ialah
prestasi dan kepemilikan individu. Pajak tidak dikenakan secara langsung kepada individu,
melainkan pada transaksi perdagangan yaitu the possible new idea atau mazhab pajak tidak
langsung yang dikemudian hari akan dikembangkan oleh Jean-Baptiste Colbert pada
kekuasaan Raja Louis XIV di Perancis.
Yunani memungut pajak tanpa adanya birokrasi yang berbelit, melainkan melalui
mekanisme religious approach yang dikenal dengan liturgy. Terdapat kepercayaan dan
pelimpahan wewenang kepada institusi religious untuk mengelola perpajakan, demikian juga
untuk kebutuhan akan fasilitas publik dan hendaknya didiskusikan bersama dalam forum
publik sehingga masyarakat dapat menyampaikan gagasan, aspirasi, serta kebutuhan apa
yang harus diakomodasi untuk kepentingan individu maupun bersama. Orang yang tidak
jujur dalam membayar pajak dengan cara manipulatif maka dikenakan sanksi dengan
membayar pajak 10 kali lipat dari yang seharusnya ia keluarkan. Aristides, bapak keadilan
pajak meriwayatkan dalam bukunya Plutarchus dalam The Life of Aristides mengajak semua
pemangku kebijakan publik tidak saja menetapkan pajak dengan penuh integritas serta adil,
akan tetapi juga melalui cara yang membuat semua pihak puas akan kehadiran pajak. Sampai
akhirnya perang Peloponnesia menjadi tonggak akhir dalam menyudahi The Glorius of Taxes
System di Yunani. Keperluan dan kebutuhan uang dalam melaksanakan perang mendorong
pemungutan pajak yang besar. Publican yang merupakan istilah petugas pajak pada zaman
itu, tidak terhindarkan melakukan pemerasan terhadap warga.
5. Romawi Kuno
Romawi Kuno merupakan imperium yang ada pada tahun 753 SM. Fakta sejarah tersebut
menjadi awal kalender Romawi. Pada abad ke-3 SM, kebudayaannya dipengaruhi oleh
kebudayaan-kebudayaan filsafat Yunani khususnya pada paham stocisme. Sejarah
perpajakan Romawi Kuno merupakan babak akhir dari catatan perpajakan kuno di dunia.
Fase awal yang ditandai dengan adanya pemungutan cukai untuk membiayai perang.
Wilayah kekuasaan Romawi Kuno yang membentang dari Eropa Timur, Asia kecil, sampai
Mesir, di mana dengan banyaknya daerah kekuasaan tersebut maka kerajaan Romawi butuh
biaya ekstra untuk mempertahankan kekuasaannya. Dalam hal biaya tersebut, Romawi
membutuhkan pembiayaan yang bisa diperoleh dari penduduk dan wilayah-wilayah
jajahannya.
Terdapat hal menarik saat kekaisaran Romawi, bahwa dikenal dan ditemukan prasasti
yang menunjukkan klasifikasi tarif pajak yang terbagi menjadi tarif pajak progresif atau
dengan kata lain yaitu tarif pajak yang presentasinya meningkat sesuai dengan subjek dan
objek, tarif pajak proporsional atau tarif pajak yang sesuai dengan subjek dan objek yang
menjadi sasaran atau tujuan pengenaan dari pajak tersebut, dan juga tarif pajak regresif yaitu
pengenaan pajak kepada warga negara sesuai dengan kemampuan dan kondisi dari objek
yang dikenai wajib pajak. Salah satu pilar disebut publican yang secara khusus memiliki
kewenangan serta otoritas untuk mengelola administrasi dan wilayah negara yang menjadi
jajahan Romawi.
Secara administrasi, Romawi mempunyai kemampuan dalam mengolah pajak dari
internal ke eksternal yang baik sehingga menjadikan Romawi lebih kuat dalam
pengembangan negara serta pembiayaan untuk kepentingan dalam perang. Pada bulan
Agustus masa itu, merupakan ahli strategi pajak terbaik sepanjang masa. Akan tetapi dalam
perkembangan yang ada bahwa Romawi runtuh karena para penguasa masa itu telah
menyalahgunakan wewenang kekuasaannya untuk menaikkan pajak yang sangat besar serta
penghindaran pajak yang masif. Akhirnya kesalahan yang telah dilakukan oleh Mesir dan
Yunani di masa lampau terjadi kembali pada imperium Romawi. Jadi, sejak zaman Babilonia
sampai Romawi terkait kemajuan masyarakat, kesejahteraan masyarakat, kekuatan dari
kekuasaan imperium kekaisaran yang dicatat dalam sejarah ialah salah satu pilarnya berasal
dari pajak. Akan tetapi di sisi lain, pajak juga menjadi salah satu alasan beberapa imperium
besar di dunia itu runtuh apabila tidak dikelola dengan baik dan adil.
6. Masa Kekhalifahan Ummayah
Masa ini menjadi warna tersendiri bagi historisitas pajak di dunia. Hadirnya Islam
khususnya masa kekhalifahan ini merupakan bentuk pembebasan masyarakat dari kekuasaan-
kekuasaan dictator imperium barat. Satu hal yang menarik ialah pemimpin Islam cerdik
dalam menentukan jumlah pemungutan pajak dengan menarik hati masyarakat bahkan
membebaskan penduduk yang tidak mampu untuk membayar pajak. Hal tersebut menjadi
daya tarik bahwa kebijakan yang ditawarkan pada masa kekhalifahan ummayah yang
melakukan ekspansi ke daerah Eropa bisa diterima oleh masyarakat. Pencapaian luar biasa
yang lain dapat dilihat dari kekaisaran peralihan yang terdapat penggunaan pengambilan
pajak yang ditawarkan lebih adil untuk mendorong masyarakat dalam mengambil keputusan
secara merdeka untuk masuk agama Islam. Dengan adanya keberadaan pajak, hal tersebut
dapat mematahkan dugaan yang menuduh bahwa Islam menyebarkan agama dengan pedang
dan pertikaian karena pada masa ini dapat dilihat Islam dapat menghasilkan pendekatan
secara damai kepada masyarakat.
Sistem pajak Islam yang lebih adil mendorong masyarakat yang non-muslim untuk
berpindah memeluk Islam tanpa adanya paksaan. Hal tersebut sekaligus merehabilitasi
sekaligus membantah tuduhan bahwa Islam hanya melebarkan pengaruh dengan pedang serta
ancaman akan tetapi Islam juga bisa menyiarkan agamanya melalui cara yang damai. Kisah
dari Khalifah Ummayah ini menggambarkan betapa vitalnya pajak dalam sejarah peradaban.

Eksistensi pajak sebagai species dari genus pungutan sudah ada sejak zaman Romawi. Pada
awal Republik Roma (509-27 SM) telah dikenal beberapa jenis pungutan seperti censor, questor,
dan pungutan lain. Pelaksanaan pemungutannya diserahkan ke warga tertentu yang disebut
dengan publican. Tributum sebagai pajak langsung atau pajak atas kepala (head tax) dipungut di
zaman perang terhadap penduduk Roma sampai 167 SM. Setelah abad ke-2, penguasa Roma
mengandalkan pajak tidak langsung yang disebut dengan vegtigalia seperti portoria yaitu
pungutan atas penggunaan pelabuhan.
Pada zaman Julius Caesar dikenal centesima rerum venalium yaitu sejenis pajak penjualan
dengan tarif 1% dari omzet penjualan. Di Italia dikenal dengan decumae, yaitu pungutan sebesar
10% atau tithe dari petani dan penguasa tanah. Setiap penduduknya, termasuk juga penduduk
Roma sendiri dikenakan tributum yang tetap dan sering disebut dengan stipendium. Di Mesir,
pembuatan piramida yang tadinya merupakan pengabdian dan bersifat suka rela dari rakyat
Mesir pada akhirnya berubah menjadi paksaan dan bukan hanya dalam bentuk uang, harta
kekayaan, akan tetapi juga dalam bentuk kerja paksa.
Pada abad ke XIV di Spanyol dikenal alcabala, salah satu bentuk dari pajak penjualan. Di
Indonesia, berbagai pungutan baik itu dalam bentuk natura, kerja paksa maupun dengan uang
atau upeti telah dikenal lama. Pungutan dan beban rakyat Indonesia semakin berat terutama
sesudah berdirinya VOC pada tahun 1602, dilanjutkan dengan pemerintahan kolonial Belanda.
Pada zaman Raffles tahun 1813 dikenal dengan pajak bumi atau land rent dan pajak atas rumah.
Salah satu beban rakyat yang dianggap berat yaitu pungutan pada masa kultur stelsel (yang
dikemukakan oleh Tobias Soebekti “The European rulers were driven by their need for money to
impose heavy levies on the people. The climax was reached with the enforcement of the culture
system which was introduces by governor general Van Den Bosh in 1830 and which lasted until
the end of the nineteenth century).
Salah satu bukti tertulis mengenai adanya pajak di Indonesia jauh sebelum Adam Smith
menulis buku yang berjudul The Wealth of Nations pada tahun 1776 yang sekaligus
membuktikan bahwa “raja-raja Jawa” sudah mengenal serta memanfaatkan fungsi regulerend
pajak, di mana adanya pembebasan pajak (tax holiday), adalah penemuan prasasti di permulaan
tahun 1992 pada suatu desa di Bojonegoro, Jawa Timur. Temuannya berupa 17 lempengan
tembaga yang berukuran panjang 37,5 cm, lebar 12 cm, dan tebal 0,4 cm dan merupakan piagam
yang dikeluarkan oleh Raja Majapahit yang pertama yaitu Kertarajasa Jayawardhana pada tahun
1301 M. Piagam tersebut berisi pembebasan pajak dari sebuah desa yang bernama Adan-adan.
Desa tersebut ditetapkan sebagai desa perdikan yang bebas pajak dan diberikan ke Rajarsi, yaitu
pejabat yang telah berjasa kepada raja dan negara. Jelasnya, dalam prasasti tersebut tertulis
mengapa desa Adan-adan dibebaskan pajak negara. Alasan yang pertama, karena Rajarsi telah
berjasa kepada raja pada saat rajanya kesusahan. Kedua, Rajarsi beserta seluruh warga desa
Adan-adan memperlihatkan laku bakti dan susila ketika raja sedang meneriman penderitaan.
Ketiga, Rajarsi dan rakyatnya telah menjalankan ibadah agama mereka dengan baik.
Di benua Amerika khususnya setelah benua baru ditemukan Columbus pada tahun 1492, di
mana penduduk koloni tersebut memiliki kewajiban membayar berbagai pungutan kepada
pemerintah kolonial Inggris. Pungutan tersebut di kemudian hari menjadi salah satu penyebab
Revolusi Amerika yaitu setelah diundangkannya The Stamp Act tahun 1765 yang mewajibkan
setiap penduduk koloni membayar pajak atas pembelian Koran, kartu judi, dadu, bahkan akte
perkawinan. Selain itu juga terdapat The Townsend Act tahun 1767 yaitu pungutan terhadap teh,
kertas cat, dan kartu. Pemungut pajak awalnya ialah para kepercayaan raja, kemudian
mendelegasikan wewenang pemungutan kepada sejumlah orang tertentu. Misal, para pemungut
pajak di bidang pertanian di Italia pada zaman Julius Caesar yang disebut Publican.
Pendelegasian tersebut memiliki berbagai ekses yang semakin lama diketahui dan disadari para
raja, khususnya raja yang memperhatikan beban rakyatnya.
Jauh sebelum Revolusi Prancis dan Perang Kemerdekaan Amerika, seorang raja yang
memerintah Roma, Diocletian sudah mulai menghilangkan peranan sebagai lapisan perantara
pemungut pajak seperti Publican, kemudian memerintahkan agar setiap pemungutan pajak secara
langsung harus disetorkan ke kas negara, disebut dengan Aerarium Saturni. Pajak awalnya
dibayar secara natura, seperti dengan gandum, padi, logam mulia, emas, bahkan perak. Bagi
penduduk yang tidak mampu maka pembayarannya dilakukan dengan tenaga, antara lain
berekses dengan adanya perbudakan.
Adapun beberapa pendapat para ahli mengenai etimologis dan historisitas pajak, antara lain:
1. Charles Tilly
Ia menyatakan bahwa meski sebagian besar dari kita beranggapan telah dirampok oleh
pemerintah dengan alasan yang tidak jelas, mengapa kita tetap membayar pajak?
Begitu juga dengan leluhur kita sebelumnya. Pernyataan tersebut merupakan bentuk
dari retorika yang memberi kritik dengan dalih untuk mendapat jawaban yang kritis
mengapa orang membayar pajak tetapi tidak melakukan perlawanan sehingga
menjadikan pajak sebagai suatu hal yang bisa terlepaskan dari negara dan dianggap
common happened untuk menjadi kewajiban setiap warga negara.
Dalam bukunya, Charles Tilly cenderung berada di pihak proposisi mengenai pajak.
Jika dilihat dari perspektif historis, keberadaan pajak itu parallel dengan perkembangan
manusia dan suatu entitas di masa lampau, sehingga perkembangannya tidak dapat
dipisahkan dengna peradaban manusia karena diibaratkan pajak sebagai dua keping
mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Ia juga menanyakan dalam bukunya terkait apa
dasar legitimasi dan otoritas negara sehingga bisa menyerahkan kekayaan mereka
kepada negara yang notabenenya ialah hak dari warga negara (John Locke).
2. Joseph A. Schumpeter
Ia merupakan seorang ekonom dan pernah menjabat sebagai menteri keuangan Austria.
Dia menyatakan bahwa semangat dari sebuah bangsa, tingkat budaya, struktur sosial,
termasuk pelaksanaan kebijakannya semua itu tertulis dalam sejarah perpajakan.
Menurutnya, sejarah perpajakan mampu menemukan petir peradaban yang lebih
nyaring daripada tempat dimanapun. Jadi, jika kita mempelajari pajak maka kita akan
mengetahui bagaimana sejarah hukum ditegakkan, bagaimana hukum bisa menjadi
dasar legitimasi, serta bagaimana hukum bisa mengatur masyarakat didalamnya untuk
mengelola suatu entitas negara yang adil atau tidak adil berdasar pada kepentingan
entitas tersebut, serta apakah nanti akan berguna bagi suatu individu atau dapat
menjadi hal yang berguna bagi seluruh warga negara didalamnya. Dia juga
menyebutkan dalam bukunya yaitu Crisis of Tax State tahun 1918 bahwa negara
modern tidak terlepas dengan negara pajak untuk mewujudkan telos negara atau
mencapai bonum commune dan bonum publicum. Negara tidak mungkin dipisahkan
dari eksistensi pajak, akan tetapi pajak juga bentuk dari partisipasi dan solidaritas bagi
masyarakat dengan melihat apakah hal itu adil atau tidal dalam penetapan kebijakan
tarif pajak bagi warga negaranya. Selain itu, menurut Schumpeter yang menurutnya
krusial untuk digaris bawahi yaitu fenomena pajak dalam suatu negara sangat penting
untuk manajemen keuangan negara.
3. Alvin Rabushka
Ia merupakan pakar perpajakan dari Stanford University. Ia menyatakan bahwa pajak
merupakan gerbang modernitas yang tidak jauh terjadi dengan apa yang sebelumnya
telah terjadi oleh suatu entitas di masa lampau. Jatuh bangun sebuah pemerintah dapat
dilacak dan dilihat dari praktek perpajakannya. Bertanya kepada Andalussia (Spanyol),
kemudian bangkitnya koloni Inggris yang ada di Amerika sebagai bentuk dari
perlawanan ketidakadilan yang kemudian adanya keambrukan penopang ekonomi
Belanda yang berasal dari pajak wilayah jajahan dan menjadi sumber referensi untuk
melihat pentingnya pajak pada aspek historis dan pembentukan suatu negara. Selain itu
juga dapat diketahui bahwa satu hal yang menjadi sumber kesejahteraan dari suatu
pemerintah ialah bagaimana pemerintah mengelola pajak tidak hanya sebagai bentuk
pungutan terhadap masyarakat akan tetapi juga sebagai bentuk partisipasi serta cara
untuk menentukan apakah negara venderung diklasifikasikan sebagai negara yang
mempunyai nilai demokrasi atau bahkan otoriter. Terdapat 4 poin mengenai
perpajakan menruut Alvin Rabushka, yang pertama ialah kehadiran sebuah
pemerintahan yang memiliki hubungan kuat dengan adanya kebijakan perpajakan yang
diimplementasikan, kedua bahwa sistem perpajakan yang semula disusun secara baik
akan mudah bergeser dan cenderung berubah kearah yang menjadi buruk kecuali
dengan catatan warga negaranya berhasil mengontrol semua belanja yang dikeluarkan
oleh pemerintah, ketiga yaitu peradaban acapkali dimusnahkan oleh regulasi
perpajakan yang eksesif, dan yang keempat ialah moderasi menjadi dasar penting
dalam mendesing dan mengimplementasikan sistem perpajakan. Ini mencakup jumlah
penentuan tarif pajak, sanksi yang diterapkan, cara pemungutan pajak, serta perlakuan
yang baik terhadap wajib pajak.
SUMBER
Nurmantu, S. & Mas Rasmini S. E. Sejarah dan Definisi Pajak.
Wibowo, T. Hukum Pajak: Etimologi, Historis, dan Riwayatmu Kini.

Anda mungkin juga menyukai