Anda di halaman 1dari 8

NAMA : GISKHA MERLINA RIWU WIE

NIM : 2303040005
KELAS/ SEMESTER : POL-A/ 2
MATA KULIAH : PENDIDIKAN ANTI KORUPSI

A.Sejarah korupsi dimasa lampau

1. korupsi diyunani kuno

Korupsi merupakan masalah yang sudah ada sejak zaman dahulu, termasuk di Yunani Kuno.
Berbagai bentuk korupsi terjadi dalam berbagai aspek kehidupan, seperti:

1. Politik:

 Penyuapan: Pejabat publik disuap untuk memberikan keuntungan pribadi atau politik.
Contohnya, keluarga Alcmaeonid menyuap pendeta Oracle Delphi untuk membantu
mereka menaklukkan Athena.
 Penggelapan dana: Dana publik dialihkan untuk kepentingan pribadi. Contohnya, Pericles
dituduh menggelapkan dana pembangunan Parthenon.
 Penyalahgunaan kekuasaan: Pejabat publik menggunakan kekuasaannya untuk
keuntungan pribadi. Contohnya, Lysander, jenderal Sparta, dituduh menggunakan
kekuasaannya untuk menindas rakyat.

2. Peradilan:

 Suap hakim: Hakim disuap untuk memenangkan kasus. Contohnya, Anytus, seorang
politisi Athena, dituduh menyuap hakim untuk menghukum Socrates.
 Penyalahgunaan hukum: Hukum digunakan untuk menindas lawan politik atau orang
kaya. Contohnya, Cleon, seorang politisi Athena, dituduh menggunakan hukum untuk
menyingkirkan lawan-lawannya.

3. Militer:

 Penipuan: Jendral militer menipu tentang jumlah pasukan atau sumber daya mereka.
Contohnya, Clearchus, jenderal Spartan, dituduh menipu tentang jumlah pasukannya
untuk mendapatkan lebih banyak dana.
 Penggelapan dana: Dana militer dialihkan untuk kepentingan pribadi. Contohnya,
Lysander dituduh menggelapkan dana jarahan perang.

Upaya Penanggulangan Korupsi:

Meskipun korupsi merupakan masalah yang serius di Yunani Kuno, ada beberapa upaya yang
dilakukan untuk menanggulanginya:
 Pembentukan undang-undang: Undang-undang dibuat untuk mencegah dan menghukum
korupsi. Contohnya, Lex Poetelia (358 SM) melarang penahanan debitur yang tidak
mampu membayar hutang.
 Pembentukan lembaga: Lembaga-lembaga dibentuk untuk mengawasi dan menyelidiki
korupsi. Contohnya, Ekklesia (majelis rakyat) di Athena memiliki kewenangan untuk
mengawasi pejabat publik.
 Pendidikan moral: Pendidikan moral diajarkan kepada warga negara untuk menanamkan
nilai-nilai kejujuran dan integritas. Contohnya, para filsuf Yunani seperti Socrates dan
Plato menekankan pentingnya kebajikan dan keadilan.

Meskipun upaya-upaya tersebut dilakukan, korupsi tetap menjadi masalah yang persisten di
Yunani Kuno. Hal ini menunjukkan bahwa korupsi merupakan masalah yang kompleks dan sulit
diberantas.

2.sejarah korupsi di mesir kuno

Pada zaman Mesir kuno, korupsi bisa terjadi dalam berbagai bentuk, termasuk penyalahgunaan
wewenang, pemerasan, penyuapan, dan penggelapan dana publik. Pejabat pemerintah yang memiliki
kontrol atas sumber daya dan aset publik sering kali menggunakan posisi mereka untuk keuntungan
pribadi atau kelompok, seringkali dengan mengabaikan kesejahteraan masyarakat secara Sejarah korupsi
di Mesir kuno adalah fenomena kompleks yang melibatkan penyalahgunaan kekuasaan dan sumber daya
publik oleh pejabat pemerintah dan elit politik pada zaman kuno Mesir. Korupsi telah ada sepanjang
sejarah peradaban Mesir kuno dan dipengaruhi oleh berbagai faktor politik keseluruhan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi korupsi di Mesir kuno termasuk struktur sosial yang hierarkis, di mana
elit politik dan birokratik memiliki kekuasaan besar dan sedikit pengawasan, serta kurangnya sistem
hukum yang efektif untuk menegakkan keadilan. Selain itu, adanya sistem pemerintahan yang otoriter, di
mana kekuasaan terpusat pada sejumlah kecil individu atau kelompok, juga dapat memperkuat perilaku
korup.

Meskipun tidak ada catatan yang mencatat secara spesifik tentang korupsi di Mesir kuno, bukti-bukti
arkeologis, seperti inskripsi, papirus, dan dokumen administratif, memberikan indikasi bahwa praktik-
praktik korupsi sudah ada sejak zaman tersebut. Namun, informasi tentang detail korupsi di Mesir kuno
masih terbatas dan sering kali diperoleh dari interpretasi sumber-sumber sekunder.

3. Sejarah korupsi di Romawi

Sejarah korupsi di Romawi Kuno mencerminkan kompleksitas politik, sosial, dan ekonomi pada
masa itu. Korupsi di Romawi Kuno terjadi dalam berbagai bentuk, termasuk penyalahgunaan
kekuasaan politik, penyuapan, pemerasan, penggelapan dana publik, dan nepotisme. Fenomena
ini terjadi di berbagai lapisan masyarakat, mulai dari pejabat pemerintah hingga petinggi militer
dan elit ekonomi Selama periode Republik Romawi (sekitar abad ke-5 SM hingga abad ke-1
SM), korupsi sering kali terjadi di antara para pejabat pemerintah yang bertanggung jawab atas
administrasi dan pengelolaan kekayaan publik. Para politisi dan pejabat militer bersaing untuk
kekuasaan dan pengaruh, dan korupsi menjadi alat untuk memperoleh dan mempertahankan
kekuasaan.Pada periode Kekaisaran Romawi (mulai abad ke-1 SM hingga abad ke-5 M), korupsi
semakin merajalela karena adanya sentralisasi kekuasaan di tangan kaisar dan birokrasi yang
semakin kompleks. Kaisar-kaisar kadang-kadang terlibat dalam korupsi sendiri atau membiarkan
praktik korupsi berlangsung di kalangan pejabatnya dengan imbalan dukungan politik.Faktor-
faktor yang memengaruhi korupsi di Romawi Kuno termasuk kelemahan sistem hukum yang
tidak mampu menegakkan aturan secara konsisten, serta kurangnya transparansi dan
akuntabilitas dalam pengelolaan kekayaan publik. Selain itu, budaya yang mementingkan
kesuksesan pribadi dan kekayaan materi juga dapat mendorong praktik korupsi.Meskipun
terdapat upaya untuk mengatasi korupsi di Romawi Kuno, termasuk pembentukan undang-
undang anti-korupsi dan pengadilan terhadap pejabat korup, korupsi tetap menjadi masalah yang
persisten dalam sejarah Romawi. Penyimpangan moral dan politik, bersama dengan struktur
kekuasaan yang cenderung otoriter, memperkuat siklus korupsi di masa itu

4.sejarah korupsi di inggris dan jerman

Sejarah korupsi di Inggris dan Jerman memiliki perbedaan konteks sejarah dan perkembangannya sendiri.
Berikut adalah ringkasan singkat mengenai sejarah korupsi di kedua negara tersebut:

1. Inggris: Sejarah korupsi di Inggris mencakup berbagai periode sejarah, mulai dari zaman
monarki hingga masa modern. Pada abad-abad awal, korupsi sering terjadi di antara para pejabat
kerajaan, bangsawan, dan elit politik yang berusaha untuk memperoleh keuntungan pribadi atau
mempertahankan kekuasaan mereka. Salah satu contoh yang terkenal adalah sistem "patronase"
di mana jabatan-jabatan pemerintah diisi oleh orang-orang yang mendapat dukungan politik dari
mereka yang berkuasa, bukan berdasarkan kualifikasi atau kemampuan mereka.
Selama abad ke-18 dan ke-19, Inggris mengalami periode reformasi yang signifikan, termasuk
reformasi parlemen dan upaya untuk mengurangi korupsi politik. Reformasi-reformasi ini
berusaha memperbaiki sistem politik yang telah tercemar oleh praktik korupsi. Meskipun
demikian, korupsi masih tetap ada, terutama di bidang bisnis dan keuangan. Pada abad ke-20,
Inggris telah memiliki undang-undang yang lebih ketat untuk melawan korupsi, termasuk
pendirian Komisi Pencegahan Korupsi pada tahun 2006.
2. Jerman: Sejarah korupsi di Jerman juga mencakup berbagai periode sejarah, mulai dari masa
Kekaisaran Romawi Suci hingga pembentukan negara federal modern. Pada masa sebelum
penyatuan Jerman pada abad ke-19, korupsi sering terjadi di antara para bangsawan, pejabat
pemerintah, dan elit politik di berbagai wilayah kekaisaran. Setelah penyatuan Jerman pada tahun
1871, korupsi terus menjadi masalah, terutama di tingkat pemerintah daerah dan negara bagian.
Pada masa Republik Weimar (1919-1933), Jerman mengalami ketidakstabilan politik dan sosial
yang menyebabkan korupsi semakin merajalela. Selama masa Nazi dan pemerintahan Hitler,
korupsi tetap ada, tetapi ditekan secara keras oleh rezim tersebut. Setelah Perang Dunia II, Jerman
Barat dan Timur memiliki pengalaman yang berbeda dalam hal korupsi. Di Jerman Barat, korupsi
masih merupakan masalah, tetapi undang-undang yang ketat diberlakukan untuk memerangi
praktik korupsi. Setelah penyatuan Jerman pada tahun 1990, upaya dilakukan untuk
meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan dan sektor swasta.

Kedua negara tersebut telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi korupsi, termasuk pembentukan
badan anti-korupsi, pelaksanaan undang-undang yang ketat, dan peningkatan kesadaran masyarakat
tentang pentingnya integritas dalam pemerintahan dan bisnis. Meskipun demikian, korupsi masih tetap
menjadi tantangan yang harus diatasi di kedua negara tersebut.

B.Penyebab korupsi menurut para ahlih


1. Kurangnya gaji atau pendapat ASN
Menerima suap atau hadiah dari pihak swasta atau individu lain sebagai imbalan untuk
memberikan keputusan atau pelayanan yang menguntungkan pihak tersebu
Memanfaatkan akses atau kekuasaan terhadap pengadaan barang atau jasa pemerintah untuk
memperoleh keuntungan pribadi, misalnya dengan meminta komisi atau kickback dari pihak-pihak
yang memenangkan kontrak.
Memanfaatkan jabatan atau wewenang untuk memperlancar proses perizinan atau regulasi
pemerintah dengan tujuan memperoleh imbalan finansial atau manfaat pribadi lainnya.

Praktik kurniaan gaji atau pendapatan ASN adalah salah satu bentuk korupsi yang merugikan negara dan
masyarakat secara luas, karena menyebabkan penyalahgunaan kekuasaan, kerugian keuangan bagi negara,
serta menghambat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang adil dan berkelanjutan. Upaya
pencegahan dan penindakan terhadap praktik korupsi semacam ini menjadi penting dalam upaya
membangun sistem pemerintahan yang bersih dan akuntabel.

2.latar belakang kebudayaan atau kultur di indonesia

Latar belakang atau budaya di Indonesia tidak secara langsung menyebabkan korupsi, tetapi beberapa
aspek budaya atau faktor lingkungan sosial dapat memengaruhi prevalensi korupsi dalam masyarakat.
Berikut adalah beberapa faktor budaya atau lingkungan sosial di Indonesia yang dapat berkontribusi
terhadap korupsi:

1. Patronase dan Nepotisme: Budaya patronase, di mana hubungan personal dan koneksi politik
lebih penting daripada prinsip-prinsip meritokrasi, dapat memperkuat praktik korupsi. Nepotisme,
di mana orang-orang memihak atau memberikan perlakuan istimewa kepada keluarga atau teman-
teman mereka, juga dapat menyebabkan penyalahgunaan kekuasaan dan dana publik.
2. Ketidakpercayaan Terhadap Institusi: Tingginya tingkat ketidakpercayaan terhadap institusi
pemerintah atau sistem hukum dapat memperkuat praktik korupsi. Ketika masyarakat merasa
bahwa institusi tidak efektif atau tidak adil, mereka mungkin cenderung mencari cara-cara tidak
resmi untuk memenuhi kebutuhan mereka atau untuk mendapatkan keadilan.
3. Budaya Uang Suap: Budaya di mana suap dianggap sebagai cara yang dapat diterima untuk
mendapatkan layanan atau fasilitas tertentu juga dapat memperkuat korupsi. Jika masyarakat
merasa bahwa membayar suap adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan layanan yang
diharapkan, praktik korupsi akan menjadi lebih terjebak dalam kehidupan sehari-hari.
4. Kurangnya Transparansi dan Akuntabilitas: Kurangnya transparansi dalam pengelolaan dana
publik dan kurangnya akuntabilitas terhadap tindakan korupsi juga dapat memperkuat budaya
korupsi. Ketika tindakan korupsi jarang dihukum atau ketika pejabat yang korup tidak
bertanggung jawab atas tindakan mereka, itu dapat menimbulkan persepsi bahwa korupsi adalah
perilaku yang dapat diterima.
5. Tekanan Ekonomi: Tekanan ekonomi, termasuk gaji rendah bagi pejabat pemerintah atau
karyawan, juga dapat memperkuat korupsi. Ketika seseorang merasa bahwa mereka tidak dapat
memenuhi kebutuhan dasar mereka dengan gaji resmi mereka, mereka mungkin cenderung
mencari sumber penghasilan tambahan melalui praktik korupsi.
6. Budaya Loyalitas Kelompok: Budaya di mana loyalitas terhadap kelompok atau partai politik
diutamakan di atas integritas atau moralitas juga dapat memperkuat korupsi. Jika individu merasa
bahwa mereka harus mematuhi tuntutan kelompok atau partai politik mereka, bahkan jika itu
melibatkan tindakan korupsi, maka praktik korupsi akan lebih terjebak dalam masyarakat.

Meskipun faktor-faktor ini dapat memengaruhi prevalensi korupsi di Indonesia, penting untuk diingat
bahwa korupsi bukanlah hasil langsung dari budaya atau latar belakang sosial masyarakat. Upaya
pemberantasan korupsi harus memperhatikan berbagai faktor ekonomi, politik, hukum, dan sosial yang
berkaitan dengan fenomena tersebut.
3.manejemen dan kontrol yang tidak konfersional

Latar belakang atau budaya di Indonesia tidak secara langsung menyebabkan korupsi, tetapi beberapa
aspek budaya atau faktor lingkungan sosial dapat memengaruhi prevalensi korupsi dalam masyarakat.
Berikut adalah beberapa faktor budaya atau lingkungan sosial di Indonesia yang dapat berkontribusi
terhadap korupsi:

1. Patronase dan Nepotisme: Budaya patronase, di mana hubungan personal dan koneksi politik
lebih penting daripada prinsip-prinsip meritokrasi, dapat memperkuat praktik korupsi. Nepotisme,
di mana orang-orang memihak atau memberikan perlakuan istimewa kepada keluarga atau teman-
teman mereka, juga dapat menyebabkan penyalahgunaan kekuasaan dan dana publik.
2. Ketidakpercayaan Terhadap Institusi: Tingginya tingkat ketidakpercayaan terhadap institusi
pemerintah atau sistem hukum dapat memperkuat praktik korupsi. Ketika masyarakat merasa
bahwa institusi tidak efektif atau tidak adil, mereka mungkin cenderung mencari cara-cara tidak
resmi untuk memenuhi kebutuhan mereka atau untuk mendapatkan keadilan.
3. Budaya Uang Suap: Budaya di mana suap dianggap sebagai cara yang dapat diterima untuk
mendapatkan layanan atau fasilitas tertentu juga dapat memperkuat korupsi. Jika masyarakat
merasa bahwa membayar suap adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan layanan yang
diharapkan, praktik korupsi akan menjadi lebih terjebak dalam kehidupan sehari-hari.
4. Kurangnya Transparansi dan Akuntabilitas: Kurangnya transparansi dalam pengelolaan dana
publik dan kurangnya akuntabilitas terhadap tindakan korupsi juga dapat memperkuat budaya
korupsi. Ketika tindakan korupsi jarang dihukum atau ketika pejabat yang korup tidak
bertanggung jawab atas tindakan mereka, itu dapat menimbulkan persepsi bahwa korupsi adalah
perilaku yang dapat diterima.
5. Tekanan Ekonomi: Tekanan ekonomi, termasuk gaji rendah bagi pejabat pemerintah atau
karyawan, juga dapat memperkuat korupsi. Ketika seseorang merasa bahwa mereka tidak dapat
memenuhi kebutuhan dasar mereka dengan gaji resmi mereka, mereka mungkin cenderung
mencari sumber penghasilan tambahan melalui praktik korupsi.
6. Budaya Loyalitas Kelompok: Budaya di mana loyalitas terhadap kelompok atau partai politik
diutamakan di atas integritas atau moralitas juga dapat memperkuat korupsi. Jika individu merasa
bahwa mereka harus mematuhi tuntutan kelompok atau partai politik mereka, bahkan jika itu
melibatkan tindakan korupsi, maka praktik korupsi akan lebih terjebak dalam masyarakat.

Meskipun faktor-faktor ini dapat memengaruhi prevalensi korupsi di Indonesia, penting untuk diingat
bahwa korupsi bukanlah hasil langsung dari budaya atau latar belakang sosial masyarakat. Upaya
pemberantasan korupsi harus memperhatikan berbagai faktor ekonomi, politik, hukum, dan sosial yang
berkaitan dengan fenomena tersebut.

4. Modernisasi hedonisme
Modernisasi dan hedonisme, jika tidak diatur dengan baik, dapat menjadi faktor yang
memperkuat korupsi dalam masyarakat. Berikut adalah beberapa alasan mengapa modernisasi
dan hedonisme dapat menjadi penyebab korupsi:

1. Pemahaman Nilai yang Tidak Sehat: Dalam masyarakat yang terpengaruh oleh
modernisasi dan hedonisme yang berlebihan, nilai-nilai materialisme dan kesenangan
seringkali diutamakan daripada nilai-nilai moral dan etika. Ini dapat menyebabkan orang
menjadi lebih cenderung untuk memperoleh keuntungan secara tidak sah, termasuk
melalui praktik korupsi, demi memenuhi keinginan hedonistik mereka.
2. Gaya Hidup Konsumtif: Modernisasi sering dikaitkan dengan peningkatan standar
hidup dan konsumsi barang-barang material. Dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan
dan keinginan konsumtif ini, beberapa individu mungkin mencari jalan pintas, termasuk
melalui tindakan korupsi, untuk mendapatkan kekayaan yang lebih besar.
3. Ketidakpuasan dan Ambisi yang Tidak Terkendali: Dorongan untuk mengejar
kebahagiaan dan kesenangan dalam kehidupan seringkali diiringi oleh ketidakpuasan
yang tidak terkendali. Orang yang tidak puas dengan keadaan mereka atau yang memiliki
ambisi yang tinggi mungkin cenderung menggunakan tindakan korupsi sebagai cara
untuk mencapai tujuan mereka secara cepat.
4. Kurangnya Kendali Diri dan Moralitas: Hedonisme yang berlebihan dapat
mengakibatkan kurangnya kendali diri dan penurunan moralitas dalam masyarakat.
Orang-orang mungkin menjadi lebih cenderung untuk melanggar aturan atau melakukan
tindakan yang tidak etis, termasuk korupsi, demi memuaskan nafsu hedonistik mereka.
5. Kehilangan Rasa Solidaritas Sosial: Modernisasi sering kali berdampak pada hilangnya
rasa solidaritas sosial dalam masyarakat. Ketika individu lebih fokus pada kepentingan
pribadi dan kepuasan diri sendiri, mereka mungkin tidak lagi peduli dengan kesejahteraan
masyarakat secara keseluruhan, yang dapat memperkuat praktik korupsi.
6. Kurangnya Pertanggungjawaban dan Pengawasan: Dalam masyarakat yang terlalu
terfokus pada kesenangan dan kepuasan pribadi, seringkali kurangnya
pertanggungjawaban dan pengawasan terhadap tindakan-tindakan yang melanggar
hukum atau etika. Hal ini dapat menciptakan lingkungan yang lebih ramah terhadap
praktik korupsi.

Menghadapi tantangan ini, penting bagi masyarakat untuk mempromosikan nilai-nilai moral,
integritas, dan tanggung jawab sosial, bahkan dalam konteks modernisasi dan hedonisme.
Penguatan sistem hukum dan pengawasan, bersama dengan edukasi yang menyeluruh tentang
dampak negatif dari korupsi, juga dapat membantu meminimalisir praktik korupsi yang
disebabkan oleh modernisasi dan hedonisme yang tidak terkendali.

C. Motivasi orang melakukan korupsi


1.motivasi intrinsik: dorongan memperoleh kepuasan

Motivasi intrinsik dan dorongan untuk memperoleh kepuasan adalah dua konsep psikologis yang
berbeda yang seringkali saling terkait.
1. Motivasi Intrinsik: Motivasi intrinsik merujuk pada dorongan atau keinginan untuk
melakukan aktivitas atau tindakan karena alasan internal yang berasal dari kepuasan
internal atau keinginan pribadi, bukan karena hadiah eksternal atau tekanan sosial. Orang
yang didorong oleh motivasi intrinsik mengejar aktivitas karena aktivitas itu sendiri
dianggap memuaskan atau bermakna bagi mereka. Misalnya, seseorang yang menulis
puisi karena mereka menikmati ekspresi kreatifnya, bukan karena mereka ingin
memperoleh penghargaan atau pengakuan dari orang lain.
2. Dorongan untuk Memperoleh Kepuasan: Dorongan untuk memperoleh kepuasan
adalah keinginan atau motivasi untuk mencapai keadaan atau hasil tertentu yang
dianggap memuaskan atau memberikan kepuasan. Dorongan ini dapat berasal dari faktor
internal atau eksternal. Misalnya, seseorang mungkin memiliki dorongan untuk
memperoleh kepuasan finansial, sosial, atau emosional melalui pencapaian tertentu,
seperti memperoleh penghargaan atau pujian dari orang lain.

Dalam konteks yang tepat, motivasi intrinsik dan dorongan untuk memperoleh kepuasan dapat
saling terkait. Misalnya, seseorang yang melakukan pekerjaan dengan motivasi intrinsik yang
tinggi mungkin merasa puas dengan pencapaian mereka yang berkontribusi pada perasaan
pencapaian dan kepuasan pribadi. Sebaliknya, orang yang mencapai kepuasan eksternal tertentu,
seperti mendapatkan penghargaan atau pengakuan, juga mungkin mengalami kepuasan intrinsik
karena merasa bahwa pencapaian itu konsisten dengan nilai-nilai atau tujuan pribadi mereka.

Penting untuk dicatat bahwa motivasi intrinsik sering dianggap lebih berkelanjutan dan
memuaskan dalam jangka panjang daripada dorongan untuk memperoleh kepuasan eksternal
semata. Orang yang terdorong oleh motivasi intrinsik cenderung memiliki tingkat kepuasan yang
lebih tinggi dan lebih bertahan lama dalam melakukan aktivitas atau tindakan tertentu.

2.motivasi ekstrinsik:keserakahan

Motivasi ekstrinsik adalah dorongan atau keinginan untuk melakukan aktivitas atau tindakan
karena hadiah eksternal atau tekanan sosial, bukan karena kepuasan internal atau keinginan
pribadi. Dalam konteks motivasi ekstrinsik, individu melakukan sesuatu karena mereka
mengharapkan imbalan atau konsekuensi eksternal yang menguntungkan, seperti uang,
penghargaan, pujian, atau pengakuan dari orang lain.Keserakahan adalah dorongan yang kuat
untuk memperoleh atau mengakumulasi kekayaan, barang, atau keuntungan pribadi secara
berlebihan, tanpa memperhatikan kebutuhan atau kesejahteraan orang lain atau konsekuensi
jangka panjang dari tindakan tersebut. Keserakahan sering kali dipandang sebagai dorongan yang
berlebihan untuk memperoleh keuntungan finansial atau material yang lebih besar daripada yang
seharusnya, kadang-kadang dengan cara yang tidak adil atau merugikan orang lain.Meskipun
motivasi ekstrinsik dan keserakahan memiliki perbedaan yang signifikan dalam konsepnya,
keduanya bisa saling terkait dalam beberapa kasus. Misalnya, seseorang yang terdorong oleh
motivasi ekstrinsik yang tinggi untuk mencapai kesuksesan finansial atau status sosial tertentu
mungkin menjadi lebih rentan terhadap perilaku keserakahan, di mana mereka mengabaikan
nilai-nilai moral atau etika dalam upaya untuk mencapai tujuan material mereka.Dalam konteks
bisnis atau lingkungan kerja, motivasi ekstrinsik dan keserakahan dapat memengaruhi perilaku
individu dan keputusan organisasional. Penghargaan eksternal, seperti bonus atau promosi, dapat
menjadi faktor penting dalam mendorong kinerja individu. Namun, jika tidak diatur dengan baik,
motivasi ekstrinsik yang berlebihan dapat mengarah pada perilaku keserakahan yang merugikan
organisasi, seperti korupsi, penipuan, atau pengabaian etika dalam bisnis. Oleh karena itu,
penting untuk mengelola motivasi ekstrinsik dengan bijaksana, dan mempromosikan nilai-nilai
etika dan keadilan dalam pengambilan keputusan dan budaya organisasi.

ss

Anda mungkin juga menyukai