Anda di halaman 1dari 8

Pengertian dasar korupsi

Perkembangan korupsi Di Indonesia

Lemabaga Pemberantasan Korupsi

Pendidikan anti korupsi

Pengertian Korupsi

Korupsi merupakan penyalahgunaan kewenangan oleh pihak pribadi maupun kelompok.


Dari segi hukum memandang bahwa korupsi merupakan kejahatan (crime), koruptor oleh
karenanya yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah menindak para koruptor dengan jerat-
jerat
hukum serta memberantas korupsi dengan memperkuat perangkat hukum seperti undang-undang
dan
aparat hukum.
Segi politik memandang bahwa korupsi cenderung terjadi di ranah politik, khususnya korupsi
besar (grand corruption) dilakukan oleh para politisi yang menyalahgunakan kekuasaan mereka.
Segi sosiologi memandang bahwa korupsi adalah sebuah masalah sosial. Korupsi terjadi di
semua sektor dan dilakukan oleh sebagian besar lapisan masyarakat, maka dianggap sebagai
penyakit sosial.
Segi agama memandang bahwa korupsi terjadi sebagai dampak dari lemahnya nilai-nilai
agama dalam diri individu, dan oleh karenanya upaya yang harus dilakukan adalah
memperkokoh
nilai-nilai keagamaan dalam diri individu dan masyarakat

https://pakdosen.co.id/korupsi-adalah/

perkembangan korupsi di Indonesia

Pertama, kekuasaan negara Republik Indonesia (RI) - wewenang dan pelaksanaan kebijakan
maupun programnya - terselenggara berkat sokongan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN). Penyimpangan atas pendapatan dan anggaran rutin menjadi sumber korupsi bagi para
pejabat dan pegawainya.
Kedua, nasionalisasi perusahaan asing tahun 1957 menjadi sumber keuangan bagi negara.
Pengelolaan perusahaan-perusahaan ini telah menjadi rebutan bagi para pejabat yang mengelola
perusahaan tersebut, terutama dari kalangan perwira Angkatan Darat (AD). Perusahaan negara
yang penting pun mereka kuasai. Korupsi besar-besaran terjadi di tubuh Pertamina, Bulog, bank-
bank pemerintah, Perhutani, serta Telkom dan PLN.

Ketiga, para birokrat baik sipil dan militer telah terlibat kolusi dalam bisnis yang mengandalkan
patron politik (political patron) baik melalui pemberian lisensi, proyek dan kredit maupun
monopoli dan proteksi hingga privatisasi BUMN. Dimulai dari program ekonomi Benteng,
ekonomi Terpimpin, dan ekonomi Orde Baru hingga masa pemulihan ekonomi saat ini,
patronase bisnis (business patronage) tumbuh, berkembang, mencapai puncaknya dan kini masih
terus bertahan.

Keempat, berbagai lembaga militer dan kepolisian mengembangkan jaringan bisnisnya melalui
operasi sejumlah yayasan kendati sebagian besar ordernya bersumber dari negara. Di samping
menjadi mesin uang bagi pemupukan kekayaan pribadi pada sejumlah perwira, kekayaan
yayasan juga digunakan bagi berbagai operasi militer dengan alasan minimnya anggaran militer.

Kelima, perluasan korupsi telah berkembang melalui praktik pembiaran bagi tumbuhnya orang
kaya baru (OKB) dalam tubuh birokrasi seiring meningkatnya jumlah APBN. Lapisan birokrat
dan pegawai menjadi OKB adalah konsumen penting bagi barang-barang mewah seperti produk
otomotif dan elektronik yang pasarnya dikuasai sejumlah konglomerat agen tunggal pemegang
merek (ATPM).

Keenam, dunia peradilan dengan pasti telah mengikuti jejak perilaku birokrat dan para
pegawainya yang korup. Suap-menyuap, jual beli perkara dan pemerasan adalah potret mengenai
julukan prestasinya yang disebut sebagai mafia peradilan yang terus berlangsung hingga kini.
Aparat penegak hukum dan lembaga peradilan semakin kehilangan kepercayaan masyarakat.

Ketujuh, birokrasi tak hanya menghabiskan anggaran rutin dan membocorkan dana
pembangunan, tapi juga mengembangkan dirinya secara komersial dalam melayani kebutuhan
administrasi warga negara, terlebih lagi administrasi yang dibutuhkan para pelaku ekonomi
setelah tumbuhnya sektor industri manufaktur ringan. Perkembangan ini disebut sebagai tahapan
birokrasi pungutan (collect money bureaucracy).

Kedelapan, berbagai kelompok yang tumbuh dan menikmati sistem yang korup menemukan
jalan untuk mengembangkan dirinya ke dalam kegiatan bisnis ilegal seperti penebangan hutan
secara liar, pencurian kayu, penambangan pasir laut, perdagangan senjata api dan narkoba, serta
proteksi atas sejumlah pengelolaan bisnis hiburan dan perjudian.

Kesembilan, setelah berkurangnya pendapatan negara dari sektor migas sejak dasawarsa 1980-an
dan hak pengusahaan hutan (HPH) dikuasai segelintir orang serta kesenjangan pusat dan daerah
telah menimbulkan pergolakan daerah dan terorisme. Selain masalah Timor Timur, juga terjadi
pergolakan bersenjata (armed conflict) di Aceh dan Papua. Belakangan dilengkapi dengan
konflik komunal di Sambas, Sampit, Poso dan Maluku. Berbagai aksi teror bom juga telah
meningkatkan peredaran dan perdagangan bahan peledak dan senjata api.

Kesepuluh, pemilihan umum (pemilu) 1999 telah menjadi ajang berebut kursi kekuasaan politik.
Partai-partai politik yang bertahan dan mampu meraih hasil secara formal sebagai kekuatan yang
besar - dengan merebut kursi DPR dan DPRD - telah menikmati hasil tersebut berkat sokongan
dana yang populer disebut politik uang (money politics) dengan membagi-bagikannya kepada
calon pemilih.

Kesebelas, selain tumbuh sebagai bagian dari patronase politik dalam kegiatan bisnis, para
politisi (birokrat) di parlemen (DPR) - dengan menguatnya kedudukan mereka - telah pula
timbul dugaan di antara mereka dalam menikmati permainan politik dagang sapi baik dalam
menghadapi lawan dan membentuk koalisi maupun menyeleksi calon pejabat tertentu, hakim
agung dan anggota lembaga lainnya yang diajukan kepada parlemen. Selain itu, politik ini juga
berguna untuk melindungi orang-orang yang diduga terlibat korupsi dengan mengorbankan satu-
dua orang yang terlibat atau lawan politiknya.

Keduabelas, sejak paruh 1997, ekonomi Indonesia dilanda krisis, sehingga terjadi peningkatan
angka pengangguran dan kemiskinan melalui penyaluran dana sosial. Program pemerintah
dijalankan berupa menyalurkan dana jaring pengaman sosial (JPS) serta dana kompensasi BBM.
Seiring dengan timbulnya pengungsi akibat konflik di berbagai daerah, pemerintah pun terpaksa
menyediakan bantuan bagi para pengungsi. Pengelolaan dana sosial ini juga telah membuka
dugaan terjadinya penyimpangan.

Ketigabelas, reformasi tak hanya membuka jalan bagi terbentuknya pemerintahan sipil dan
lapisan politisi sipil, tapi juga timbulnya peluang bagi pengelolaan otonomi daerah yang lebih
besar. Selain ditunjukkan oleh peningkatan jumlah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD), daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alam (SDA) seperti Aceh, Riau, Papua dan
Kaltim juga telah menjadi incaran bagi praktik penyimpangan dalam pengeloaan anggaran dan
SDA tersebut.

https://antikorupsi.org/id/news/tahap-perkembangan-korupsi

lembaga pemberantasan korupsi

Di masa Orde Lama, tercatat dua kali dibentuk badan pemberantasan korupsi. Yang pertama,
dengan perangkat aturan Undang-Undang Keadaan Bahaya, lembaga ini disebut Panitia
Retooling Aparatur Negara (Paran). Badan ini dipimpin oleh A.H. Nasution dan dibantu oleh
dua orang anggota, yakni Profesor M. Yamin dan Roeslan Abdulgani. Kepada Paran inilah
semua pejabat harus menyampaikan data mengenai pejabat tersebut dalam bentuk isian formulir
yang disediakan. Mudah ditebak, model perlawanan para pejabat yang korup pada saat itu adalah
bereaksi keras dengan dalih yuridis bahwa dengan doktrin pertanggungjawaban secara langsung
kepada Presiden, formulir itu tidak diserahkan kepada Paran, tapi langsung kepada Presiden.
Diimbuhi dengan kekacauan politik, Paran berakhir tragis, deadlock, dan akhirnya menyerahkan
kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda.

Pada 1963, melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963, pemerintah menunjuk lagi A.H.
Nasution, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kasab,
dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan Operasi
Budhi. Kali ini dengan tugas yang lebih berat, yakni menyeret pelaku korupsi ke pengadilan
dengan sasaran utama perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya
yang dianggap rawan praktek korupsi dan kolusi.
Lagi-lagi alasan politis menyebabkan kemandekan, seperti Direktur Utama Pertamina yang tugas
ke luar negeri dan direksi lainnya menolak karena belum ada surat tugas dari atasan, menjadi
penghalang efektivitas lembaga ini. Operasi ini juga berakhir, meski berhasil menyelamatkan
keuangan negara kurang-lebih Rp 11 miliar. Operasi Budhi ini dihentikan dengan pengumuman
pembubarannya oleh Soebandrio kemudian diganti menjadi Komando Tertinggi Retooling
Aparat Revolusi (Kontrar) dengan Presiden Soekarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh
Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Bohari pada tahun 2001 mencatatkan bahwa seiring dengan
lahirnya lembaga ini, pemberantasan korupsi di masa Orde Lama pun kembali masuk ke jalur
lambat, bahkan macet.

Pada masa awal Orde Baru, melalui pidato kenegaraan pada 16 Agustus 1967, Soeharto terang-
terangan mengkritik Orde Lama, yang tidak mampu memberantas korupsi dalam hubungan
dengan demokrasi yang terpusat ke istana. Pidato itu seakan memberi harapan besar seiring
dengan dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), yang diketuai Jaksa Agung. Namun,
ternyata ketidakseriusan TPK mulai dipertanyakan dan berujung pada kebijakan Soeharto untuk
menunjuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa,
seperti Prof Johannes, I.J. Kasimo, Mr Wilopo, dan A. Tjokroaminoto, dengan tugas utama
membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, Pertamina, dan
lain-lain.

Empat tokoh bersih ini jadi tanpa taji ketika hasil temuan atas kasus korupsi di Pertamina,
misalnya, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah. Lemahnya posisi komite ini pun menjadi
alasan utama. Kemudian, ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib,
dibentuklah Operasi Tertib (Opstib) dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi.
Perselisihan pendapat mengenai metode pemberantasan korupsi yang bottom up atau top down di
kalangan pemberantas korupsi itu sendiri cenderung semakin melemahkan pemberantasan
korupsi, sehingga Opstib pun hilang seiring dengan makin menguatnya kedudukan para koruptor
di singgasana Orde Baru.

Di era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan mengeluarkan
UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti
Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman.
Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Namun, di
tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim ini, melalui suatu
judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan dengan logika
membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun 1999. Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh
KPKPN, dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke
dalam KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK-lah lembaga
pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis.

https://emankarcseven.wordpress.com/2009/11/09/kegiatan-lembaga2-anti-korupsi/

Korupsi yang terjadi di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan dan berdampak buruk luar
biasa pada hampir seluruh sendi kehidupan. Korupsi telah menghancurkan sistem perekonomian,
sistem demokrasi, sistem politik, sistem hukum, sistem pemerintahan, dan tatanan sosial
kemasyarakatan di negeri ini. Dilain pihak upaya pemberantasan korupsi yang telah dilakukan
selama ini belum menunjukkan hasil yang optimal. Korupsi dalam berbagai tingkatan tetap saja
banyak terjadi seolah-olah telah menjadi bagian dari kehidupan kita yang bahkan sudah dianggap
sebagai hal yang biasa. Jika kondisi ini tetap kita biarkan berlangsung maka cepat atau lambat
korupsi akan menghancurkan negeri ini. Korupsi harus dipandang sebagai kejahatan luar biasa
(extra ordinary crime) yang oleh karena itu memerlukan upaya luar biasa pula untuk
memberantasnya.

Upaya pemberantasan korupsi – yang terdiri dari dua bagian besar, yaitu (1) penindakan, dan (2)
pencegahan –tidak akan pernah berhasil optimal jika hanya dilakukan oleh pemerintah saja tanpa
melibatkan peran serta masyarakat. Oleh karena itu tidaklah berlebihan jika mahasiswa –sebagai
salah satu bagian penting dari masyarakat yang merupakan pewaris masa depan– diharapkan
dapat terlibat aktif dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Keterlibatan mahasiswa
dalam upaya pemberantasan korupsi tentu tidak pada upaya penindakan yang merupakan
kewenangan institusi penegak hukum. Peran aktif mahasiswa diharapkan lebih difokuskan pada
upaya pencegahan korupsi dengan ikut membangun budaya anti korupsi di masyarakat.
Mahasiswa diharapkan dapat berperan sebagai agen perubahan dan motor penggerak gerakan
anti korupsi di masyarakat. Untuk dapat berperan aktif mahasiswa perlu dibekali dengan
pengetahuan yang cukup tentang seluk beluk korupsi dan pemberantasannya. Yang tidak kalah
penting, untuk dapat berperan aktif mahasiswa harus dapat memahami dan menerapkan nilai-
nilai anti korupsi dalam kehidupan sehari-hari.

Nilai-nilai anti korupsi meliputi :

1.       Kejujuran


Kejujuran berasal dari kata jujur yang dapat di definisikan sebagai sebuah tindakan maupun
ucapan yang lurus, tidak berbohong dan tidak curang. Dalam berbagai buku juga disebutkan
bahwa jujur memiliki makna satunya kata dan perbuatan. Jujur ilah merupakan salah satu nilai
yang paling utama dalam anti korupsi, karena tanpa kejujuran seseorang tidak akan mendapat
kepercayaan dalam berbagai hal, termasuk dalam kehidupan sosial. Bagi seorang mahasiswa
kejujuran sangat penting dan dapat diwujudkan dalam bentuk tidak melakukan kecurangan
akademik, misalnya tidak mencontek, tidak melakukan plagiarisme dan tidak memalsukan nilai.
Lebih luas, contoh kejujuran secara umum dimasyarakat ialah dengan selalu berkata jujur, jujur
dalam menunaikan tugas dan kewajiban, misalnya sebagai seorang aparat penegak hukum
ataupun sebagai masyarakat umum dengan membaya pajak.

2.       Kepedulian


Arti kata peduli adalah mengindahkan, memperhatikan dan menghiraukan. Rasa kepedulian
dapat dilakukan terhadap lingkungan sekitar dan berbagai hal yang berkembang
didalamnya.Nilai kepedulian sebagai mahasiswa dapat diwujudkan dengan berusaha memantau
jalannya proses pembelajaran, memantau sistem pengelolaan sumber daya dikampus serta
memantau kondisi infrastruktur di kampus. Selain itu, secara umum sebagai masyarakat dapat
diwujudkan dengan peduli terhadap sesama seperti dengan turut membantu jika terjadi bencana
alam, serta turut membantu meningkatkan lingkungan sekitar tempat tinggal maupun di
lingkungan tempat bekerja baik dari sisi lingkungan alam maupun sosial terhadap individu dan
kelompok lain.

3.     Kemandirian
Di dalam beberapa buku pembelajaran, dikatakan bahwa mandiri berarti dapat berdiri diatas kaki
sendiri, artinya tidak banyak bergantung kepada orang lain dalam berbagai hal. Kemandirian
dianggap sebagai suatu hal yang penting harus dimiliki oleh seorang pemimpin, karena tampa
kemandirian seseorang tidak akan mampu memimpin orang lain.

4.     Kedisiplinan
Definisi dari kata disiplin ialah ketaatan atau kepatuhan kepada peraturan. Sebaliknya untuk
mengatur kehidupan manusia memerlukan hidup yang disiplin. Manfaat dari disiplin ialah
seseorang dapat mencpai tujuan dengan waktu yang lebih efisien. Kedisiplinan memiliki dampak
yang sama dngan nilai-nilai antikorupsi lainnya yaitu dapat menumbuhkan kepercayaan dari
orang lain dalam berbagai hal. Kedisiplinan dapat diwujudkan antara lain dalam bentuk
kemampuan mengatur waktu dengan baik, kepatuhan kepada seluruh peraturan dan ketentuan
yang berlaku, mengerjakan segala sesuatu dengan tepat waktu, dan fokus pada pekerjaan.

5.     Tanggung Jawab


Kata tanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-
apa boleh dituntut, dipersalahkan dan diperkarakan). Seseorang yang memiliki tanggung jawab
akan memiliki kecenderungan menyelesaikan tugas dengan lebih baik. Seseorang yang dapat
menunaikan tanggung jawabnya sekecil apa-pun itu dengan baik akan mendapatkan kepercayaan
dari orang lain. Penerapan nilai tanggung jawab antara lain dapat diwujudkan dalam bentuk
belajar dengan sungguh-sungguh, lulus tepat waktu dengan nilai baik, mengerjakan tugas
akademik dengan baik, menjaga amanah dan kepercayaan yang diberikan.
6.     Kerja Keras
Kerja keras didasari dengan adanya kemauan. Di dalam kemauan terkandung ketekadan,
ketekunan, daya tahan, daya kerja, pendirian keberanian, ketabahan, keteguhan dan pantang
mundur. Bekerja keras merupakan hal yang penting guna tercapainya hasil yang sesuai dengan
target. Akan tetapi bekerja keras akan menjadi tidak berguna jika tanpa adanya pengetahuan.

7.     Kesederhanaan
Gaya hidup merupakan suatu hal yang sangat penting bagi interaksi dengan masyarakat disekitar.
Dengan gaya hidup yang sederhana manusia dibiasakan untuk tidak hidup boros, tidak sesuai
dengan kemampuannya. Dengan gaya hidup yang sederhana, seseorang juga dibina untuk
memprioritaskan kebutuhan diatas keinginannya.

8.     Keberanian
Keberanian dapat diwujudkan dalam bentuk berani mengatakan dan membela kebenaran, berani
mengakui kesalahan, berani bertanggung jawab, dan sebagainya. Keberanian sangat diperlukan
untuk mencapai kesuksesan dan keberanian akan semakin matang jika diiringi dengan
keyakinan, serta keyakinan akan semakin kuat jika pengetahuannya juga kuat.

9.     Keadilan
Berdasarkan arti katanya, adil adalah sama berat, tidak berat sebelah dan tidak memihak.
Keadilan dari sudut pandang bangsa Indonesia disebut juga keadilan sosial, secara jelas
dicantumkan dalam pancasila sila ke-2 dan ke-5, serta UUD 1945. Keadilan adalah penilaian
dengan memberikan kepada siapapun sesuai dengan apa yang menjadi haknya, yakni dengan
bertindak proposional dan tidak melanggar hukum. Keadilan berkaitan erat dengan hak, dalam
konsepsi bangsa Indonesia hak tidak dapat dipisahkan dengan kewajiban. Dalam konteks
pembangunan bangsa Indonesia keadilan tidak bersifat sektoral tetapi meliputi ideologi. Untuk
menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Adil dalam kemakmuran dan makmur dalam

Anda mungkin juga menyukai