Anda di halaman 1dari 13

KORUPSI KOLUSI dan

NEPOTISME
Makalah

Disusun untuk menyelesaikan tugas


Pendidikan Kewarganegaraan

Disusun oleh :
• Nikolas Steven Tanjung
• Anthonius Rudi Kurniawan
• Hilarius Raditya P. Purba
• Leonita Kristina P.
Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat rahmat dan berkatya kami dapat menyusun makalah tentang korupsi
kolusi dan nepotisme ini dengan sebaik-baiknya.

Makalah ini kami susun dengan tujuan untuk menbantu dan


memberikan referensi bagi para pembaca dan menambah pengetahuan
umum bagi para pembaca serta makalah ini kami susun sebagai tugas
Pendidikan Kewarganegaraan.

Tidak lupa penulis juga berterima kasih kepada bapak Cahyo yang
telah membimbing dan menjelaskan kami tentang menyusun makalah ini.

Harapan kami, makalah ini dapat membantu menambah pengetahuan


bagi para pembaca dan dapat dijadikan referensi untuk pembaca

Sebelumnya kami mohon maaf apabila ada kata-kata yang kurang


jelas dan kurang dimengerti dalam makalah ini. Terimakasih atas
perhatiannya selamat membaca.

Muntilan, 24 Oktober 2009

Penulis
ISI
MAKALAH
A. Latar Belakang

Sangat menarik disimak tentang pendapat menaikkan 80% besarnya


gaji anggota DPR-RI dewasa ini. Pendapat masyarakat luas tidak ada yang
mendukung untuk menyetujui. Dari pihak anggota DPR-RI sebagian besar
tentu mendukungnya, namun ada satu fraksi yang tidak menyetujui, dengan
alasan bahwa gaji yang diterimanya sekarang sudah mencukupi untuk
hidup layak.

Dalam suasana prokontra tentang kenaikan gaji tersebut, mendadak


timbul berita baru. Anggota DPR dan semua pejabat negara menerima gaji
ke 13. Bukankah itu semua merupakan korupsi moral? tidak mengabaikan
keluhan penderitaan rakyat banyak, apalagi impati dengan kesulitan hidup
“wong cilik”.

Dikaitkan dengan masalah korupsi, dikemukakan dua warisan


kebajikan leluhur kita yang mengatakan bahwa,

“Gaji kecil, cukup! Gaji besar, kurang! Rumah kecil, cu¬kup!


Rumah besar, kurang!”

Dari ungkapan tersebut tersirat makna bahwa, besar kecilnya gaji atau
pendapatan boleh dikatakan sangat relatif untuk penyelenggaraan rumah
tangga keluarga, tergantung bagaimana kecenderungan jiwa keluarga yang
mengaturnya. Apabila dikaitkan dengan penyelenggaraan rumah tangga
negara, dapat dikemukakan kebajikan warisan ‘founding fathers’ kita yang
mengatakan bahwa, “Yang sangat penting dalam pemerintahan dan dalam
hal hidupnya negara ialah semangat, semangat para penyelenggara negara,
semangat para pemimpin pemerintahan.” Hal itu tercantum dalam
Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang asli. Penjelasan Undang-
Undang Dasar tersebut kini telah musnah dilanda tsunami perubahan,
sehingga para penyelenggara negara dan para pemimpin pemerintahan tidak
ada yang memahami betapa relevannya “semangat” dalam penyelenggaraan
rumah tangga keluarga dan rumah tangga negara. Maka maraklah wabah
korupsi melanda kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.
PENGERTIAN KORUPSI, KOLUSI dan NEPOTISME

Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere = busuk,


rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) menurut Transparency
International adalah perilaku pejabat publik, baik politikus|politisi maupun
pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri
atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan
kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.

Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah


penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk
pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya
korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan
pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai
dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi
adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di
mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.

Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk


sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering
memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang,
dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk
mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk
membedakan antara korupsi dan kriminalitas|kejahatan.

Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan


antara yang dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai
politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di
tempat lain.

Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar
mencakup unsur-unsur sebagai berikut:

* perbuatan melawan hukum;


* penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;
* memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;
* merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain,
diantaranya:

* memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan)


* penggelapan dalam jabatan
* pemerasan dalam jabatan
* ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara)
* menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara)

Kolusi adalah permufakatan atau kerja sama scara melawan hukum antar
peyelenggaa negara atau antara penyelenggara negara dengan pihak lain
yang merugikan orang lain ,masyrakat , dan negara.

Nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara yang melawan


hukum dengan tujuan menguntungkan kepentingan keluarganya atau
kroninya diatas kepentingan masyarakat, bangsa , dan negara .

Dampak negatif

Bidang Demokrasi
Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di
dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan
yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan proses formal.
Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif mengurangi akuntabilitas
dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan
menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik
menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara
umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena
pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau
dinaikan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi
mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti
kepercayaan dan toleransi.

Bidang Ekonomi
Korupsi selain mempersulit pembangunan ekonomi dan mengurangi
kualitas pelayanan pemerintahan juga mempersulit pembangunan ekonomi
dengan membuat distorsi dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor
privat, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari
pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat
korup, dan resiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan.
Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga)
dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru muncul
berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk
membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi
menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan “lapangan
perniagaan”. Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan
dan sebagai hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak
efisien.

Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik


dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang
mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah
kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi,
yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga
mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan
hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan
pemerintahan dan infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan
terhadap anggaran pemerintah.

Para pakar ekonomi memberikan pendapat bahwa salah satu faktor


keterbelakangan pembangunan ekonomi di Afrika dan Asia, terutama di
Afrika, adalah korupsi yang berbentuk penagihan sewa yang menyebabkan
perpindahan penanaman modal (capital investment) ke luar negeri, bukannya
diinvestasikan ke dalam negeri (maka adanya ejekan yang sering benar
bahwa ada diktator Afrika yang memiliki rekening bank di Swiss). Berbeda
sekali dengan diktator Asia, seperti Soeharto yang sering mengambil satu
potongan dari semuanya (meminta sogok), namun lebih memberikan kondisi
untuk pembangunan, melalui investasi infrastruktur, ketertiban hukum, dan
lain-lain. Pakar dari Universitas Massachussetts memperkirakan dari tahun
1970 sampai 1996, pelarian modal dari 30 negara sub-Sahara berjumlah US
$187 triliun, melebihi dari jumlah utang luar negeri mereka sendiri.

Dalam kasus Afrika, salah satu faktornya adalah ketidak-stabilan


politik, dan juga kenyataan bahwa pemerintahan baru sering menyegel aset-
aset pemerintah lama yang sering didapat dari korupsi. Ini memberi
dorongan bagi para pejabat untuk menumpuk kekayaan mereka di luar
negeri, diluar jangkauan dari ekspropriasi di masa depan.
Di Bidang Kesejahteraan umum negara
Korupsi politis ada dibanyak negara, dan memberikan ancaman besar
bagi warga negaranya. Korupsi politis berarti kebijaksanaan pemerintah
sering menguntungkan pemberi sogok, bukannya rakyat luas. Satu contoh
lagi adalah bagaimana politikus membuat peraturan yang melindungi
perusahaan besar, namun merugikan perusahaan-perusahaan kecil (SME).
Politikus-politikus “pro-bisnis” ini hanya mengembalikan pertolongan
kepada perusahaan besar yang memberikan sumbangan besar kepada
kampanye pemilu mereka.

Korupsi di Indonesia berkembang secara sistemik. Bagi banyak orang


korupsi bukan lagi merupakan suatu pelanggaran hukum, melainkan sekedar
suatu kebiasaan. Dalam seluruh penelitian perbandingan korupsi antar
negara, Indonesia selalu menempati posisi paling rendah.

Perkembangan korupsi di Indonesia juga mendorong pemberantasan


korupsi di Indonesia. Namun hingga kini pemberantasan korupsi di
Indonesia belum menunjukkan titik terang melihat peringkat Indonesia
dalam perbandingan korupsi antar negara yang tetap rendah. Hal ini juga
ditunjukkan dari banyaknya kasus-kasus korupsi di Indonesia.

Landasan dan Dasar Hukum Pemberantasan Korupsi


• UU no. 28 tahun 1999. Tentang Penyelenggaraan negara yang bersih
dan KKN.
• UU no. 20 th 2001. Tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi.
• UU no. 30 tahun 2002. Tentang tindak pidana pencarian uang.
• UU no. 15 tahun 2002. Tentang tindak Pidana pencucian uang.
• Tap MPR no. X/ MPR/ 1998, Tentang Penyelengaraan negara yang
bersih dan bebas KKN.

Sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia


Masa Orde Lama

Kabinet Djuanda
Di masa Orde Lama, tercatat dua kali dibentuk badan pemberantasan
korupsi. Yang pertama, dengan perangkat aturan Undang-Undang Keadaan
Bahaya, lembaga ini disebut Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran).
Badan ini dipimpin oleh A.H. Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota,
yakni Profesor M. Yamin dan Roeslan Abdulgani. Kepada Paran inilah
semua pejabat harus menyampaikan data mengenai pejabat tersebut dalam
bentuk isian formulir yang disediakan. Mudah ditebak, model perlawanan
para pejabat yang korup pada saat itu adalah bereaksi keras dengan dalih
yuridis bahwa dengan doktrin pertanggungjawaban secara langsung kepada
Presiden, formulir itu tidak diserahkan kepada Paran, tapi langsung kepada
Presiden. Diimbuhi dengan kekacauan politik, Paran berakhir tragis,
deadlock, dan akhirnya menyerahkan kembali pelaksanaan tugasnya kepada
Kabinet Djuanda.

Operasi Budhi
Pada 1963, melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963,
pemerintah menunjuk lagi A.H. Nasution, yang saat itu menjabat sebagai
Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kasab, dibantu oleh
Wiryono Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan
Operasi Budhi. Kali ini dengan tugas yang lebih berat, yakni menyeret
pelaku korupsi ke pengadilan dengan sasaran utama perusahaan-perusahaan
negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktek
korupsi dan kolusi.

Lagi-lagi alasan politis menyebabkan kemandekan, seperti Direktur


Utama Pertamina yang tugas ke luar negeri dan direksi lainnya menolak
karena belum ada surat tugas dari atasan, menjadi penghalang efektivitas
lembaga ini. Operasi ini juga berakhir, meski berhasil menyelamatkan
keuangan negara kurang-lebih Rp 11 miliar. Operasi Budhi ini dihentikan
dengan pengumuman pembubarannya oleh Soebandrio kemudian diganti
menjadi Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar) dengan
Presiden Soekarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan
Letjen Ahmad Yani. Bohari pada tahun 2001 mencatatkan bahwa seiring
dengan lahirnya lembaga ini, pemberantasan korupsi di masa Orde Lama
pun kembali masuk ke jalur lambat, bahkan macet.

Masa Orde Baru

Pada masa awal Orde Baru, melalui pidato kenegaraan pada 16


Agustus 1967, Soeharto terang-terangan mengkritik Orde Lama, yang tidak
mampu memberantas korupsi dalam hubungan dengan demokrasi yang
terpusat ke istana. Pidato itu seakan memberi harapan besar seiring dengan
dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), yang diketuai Jaksa
Agung. Namun, ternyata ketidakseriusan TPK mulai dipertanyakan dan
berujung pada kebijakan Soeharto untuk menunjuk Komite Empat
beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa, seperti
Prof Johannes, I.J. Kasimo, Mr Wilopo, dan A. Tjokroaminoto, dengan
tugas utama membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT
Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain.

Empat tokoh bersih ini jadi tanpa taji ketika hasil temuan atas kasus
korupsi di Pertamina, misalnya, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah.
Lemahnya posisi komite ini pun menjadi alasan utama. Kemudian, ketika
Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Operasi
Tertib (Opstib) dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi.

Perselisihan pendapat mengenai metode pemberantasan korupsi yang


bottom up atau top down di kalangan pemberantas korupsi itu sendiri
cenderung semakin melemahkan pemberantasan korupsi, sehingga Opstib
pun hilang seiring dengan makin menguatnya kedudukan para koruptor di
singgasana Orde Baru.

Masa Era Reformasi

Di era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J.


Habibie dengan mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti
Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau
Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid,
membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Namun, di
tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota
tim ini, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya
dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun 1999.
Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya
Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam
KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK-lah
lembaga pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis.

Langkah-langkah pemberantasan korupsi antara lain:


• Membersihkan birokrat dari oknum pelaku korupsi.
• Rekrutmen di seluruh instansi harus dilakukan dengan fair berbasis
kompetensi dan mencatat track record seseorang dari awal karir
sampai akhir masa tugasnya.
• Informasi track record bisa langsung diakses oleh masyarakat,
sehingga rakyat bisa ikut memilih seorang pejabat dari tingkat yang
paling awal.
Studi kasus mengenai KKN
Mengapa Antasari Membuat Testimoni
Tertulis
Antasari menuding oknum di komisi Antikorupsi menerima suap.
Dituding, KPK tak hanya diam.

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar


ditetapkan sebagai tersangka kasus pembunuhan Direktur PT Putra
Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen. Tak mau disudutkan
sendirian, Antasari membuat testimoni mengenai dugaan suap di
tubuh KPK.

Istri Antasari, Ida Laksmiwati mengaku tak tahu keberadaan


testimoni tersebut. Dia juga mengaku tak tahu untuk apa suaminya
menulis testimoni.
"Saya nggak tahu itu, Mas," kata Ida, didampingi dua putrinya, usai
menjenguk Antasari di Rumah Tahanan Direktorat Narkoba Kepolisian
Daerah Metro Jaya, Jakarta, Rabu 5 Agustus 2009.

Sebaliknya, pengacara Antasari, Juniver Girsang justru


membenarkan adanya testimoni kliennya. "Ya, itu dari pengembangan
polisi. Dari situ kami diskusikan pada Pak Antasari, jadi memang betul
Antasari yang membuat [testimoni]," kata Juniver saat dihubungi
wartawan, Rabu siang.

Mengapa testimoni itu harus ditulis? "Urgensinya ada ditemukan


bukti-bukti maka perlu bagi kami untuk membuatnya dalam bentuk
tertulis," tambah dia. Selain polisi, tambah Juniver, pihak pengacara
juga memegang testimoni Antasari.

Terkait rekonstruksi yang dilakukan polisi atas kliennya, kata


Juniver, pihaknya akan mempernyatakan keabsahan rekonstruksi,
karena Antasari tak didampingi pengacara.
Dalam rekontruksi tersebut tergambarkan bahwa ada pertemuan
antara Antasari Komisaris Besar Wiliardi Wizard dan Sigid Haryo
Wibisono. Saat itu, Antasari memberikan foto Nasrudin kepada Wiliardi
Wizard.

"Akan kami tanyakan keabsahannya di pengadilan," kata dia.

Penyidikan kasus pembunuhan Nasrudin melebar kemana-mana.


Dari persoalan cinta segitiga yang membawa-bawa nama seorang
caddy golf, Rani Juliani, sampai klaim Antasari bahwa ada dugaan
penyalahgunaan di KPK.

Dugaan yang menohok institusi antikorupsi itu ditulis Antasari


dalam empat lembar surat pada 16 Mei 2009,

Sebelum testimoni ini muncul, polisi juga telah menemukan


informasi dari laptop Antasari. Disebutkan salah satu oknum di KPK
diduga telah menerima suap Rp 6 miliar dari tersangka Direktur PT
Masaro, Anggoro Widjojo. Isu suap ini juga menimpa salah satu
direktur, penyidik, dan sopir KPK.
Dituding, KPK pun siap ambil langkah. Antasari akan dilaporkan balik
ke Kepolisian Daerah Metro Jaya dan Markas Besar Kepolisian RI.

"Kalau sudah terbuka begini, kita akan melaporkan ke Polda


Metro, ke Polri," kata Wakil Ketua Bidang Penindakan KPK, Bibit Samad
Rianto, di Gedung KPK, Jakarta, Rabu 5 Agustus 2009.

Analisis Kasus
1. Apa ?
Kasus tersebut berisi tentang Testimoni yang dibuat Antasari Azhar
2. Siapa ?
Tersangka kasus tersebut adalah Antasari Azhar.
3. Dimana ?
-
4. Kapan ?
Pada Hari Rabu tanggal 5 Agustus 2009
5. Mengapa ?
-
6. Bagaimana ?
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar
ditetapkan sebagai tersangka kasus pembunuhan Direktur PT Putra
Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen. Tak mau disudutkan
sendirian, Antasari membuat testimoni mengenai dugaan suap di
tubuh KPK.
PENUTUP

Sekian makalah dari kelompok kami , semoga makalah ini dapat


dijadikan referensi dan dapat berguna bagi kehidupan berbangsa dan
bernegara kita sekalian .
Kami menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini kami masih
banyak kekurangan , maka dari itu kami mohon maaf apabila dalam makalah
dan penyampaian masih terdapat kesalahan .

Penulis,

Muntilan , 26 Oktober 2009

Anda mungkin juga menyukai