NEPOTISME
Makalah
Disusun oleh :
• Nikolas Steven Tanjung
• Anthonius Rudi Kurniawan
• Hilarius Raditya P. Purba
• Leonita Kristina P.
Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat rahmat dan berkatya kami dapat menyusun makalah tentang korupsi
kolusi dan nepotisme ini dengan sebaik-baiknya.
Tidak lupa penulis juga berterima kasih kepada bapak Cahyo yang
telah membimbing dan menjelaskan kami tentang menyusun makalah ini.
Penulis
ISI
MAKALAH
A. Latar Belakang
Dari ungkapan tersebut tersirat makna bahwa, besar kecilnya gaji atau
pendapatan boleh dikatakan sangat relatif untuk penyelenggaraan rumah
tangga keluarga, tergantung bagaimana kecenderungan jiwa keluarga yang
mengaturnya. Apabila dikaitkan dengan penyelenggaraan rumah tangga
negara, dapat dikemukakan kebajikan warisan ‘founding fathers’ kita yang
mengatakan bahwa, “Yang sangat penting dalam pemerintahan dan dalam
hal hidupnya negara ialah semangat, semangat para penyelenggara negara,
semangat para pemimpin pemerintahan.” Hal itu tercantum dalam
Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang asli. Penjelasan Undang-
Undang Dasar tersebut kini telah musnah dilanda tsunami perubahan,
sehingga para penyelenggara negara dan para pemimpin pemerintahan tidak
ada yang memahami betapa relevannya “semangat” dalam penyelenggaraan
rumah tangga keluarga dan rumah tangga negara. Maka maraklah wabah
korupsi melanda kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.
PENGERTIAN KORUPSI, KOLUSI dan NEPOTISME
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar
mencakup unsur-unsur sebagai berikut:
Kolusi adalah permufakatan atau kerja sama scara melawan hukum antar
peyelenggaa negara atau antara penyelenggara negara dengan pihak lain
yang merugikan orang lain ,masyrakat , dan negara.
Dampak negatif
Bidang Demokrasi
Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di
dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan
yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan proses formal.
Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif mengurangi akuntabilitas
dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan
menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik
menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara
umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena
pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau
dinaikan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi
mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti
kepercayaan dan toleransi.
Bidang Ekonomi
Korupsi selain mempersulit pembangunan ekonomi dan mengurangi
kualitas pelayanan pemerintahan juga mempersulit pembangunan ekonomi
dengan membuat distorsi dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor
privat, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari
pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat
korup, dan resiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan.
Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga)
dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru muncul
berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk
membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi
menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan “lapangan
perniagaan”. Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan
dan sebagai hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak
efisien.
Kabinet Djuanda
Di masa Orde Lama, tercatat dua kali dibentuk badan pemberantasan
korupsi. Yang pertama, dengan perangkat aturan Undang-Undang Keadaan
Bahaya, lembaga ini disebut Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran).
Badan ini dipimpin oleh A.H. Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota,
yakni Profesor M. Yamin dan Roeslan Abdulgani. Kepada Paran inilah
semua pejabat harus menyampaikan data mengenai pejabat tersebut dalam
bentuk isian formulir yang disediakan. Mudah ditebak, model perlawanan
para pejabat yang korup pada saat itu adalah bereaksi keras dengan dalih
yuridis bahwa dengan doktrin pertanggungjawaban secara langsung kepada
Presiden, formulir itu tidak diserahkan kepada Paran, tapi langsung kepada
Presiden. Diimbuhi dengan kekacauan politik, Paran berakhir tragis,
deadlock, dan akhirnya menyerahkan kembali pelaksanaan tugasnya kepada
Kabinet Djuanda.
Operasi Budhi
Pada 1963, melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963,
pemerintah menunjuk lagi A.H. Nasution, yang saat itu menjabat sebagai
Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kasab, dibantu oleh
Wiryono Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan
Operasi Budhi. Kali ini dengan tugas yang lebih berat, yakni menyeret
pelaku korupsi ke pengadilan dengan sasaran utama perusahaan-perusahaan
negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktek
korupsi dan kolusi.
Empat tokoh bersih ini jadi tanpa taji ketika hasil temuan atas kasus
korupsi di Pertamina, misalnya, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah.
Lemahnya posisi komite ini pun menjadi alasan utama. Kemudian, ketika
Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Operasi
Tertib (Opstib) dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi.
Analisis Kasus
1. Apa ?
Kasus tersebut berisi tentang Testimoni yang dibuat Antasari Azhar
2. Siapa ?
Tersangka kasus tersebut adalah Antasari Azhar.
3. Dimana ?
-
4. Kapan ?
Pada Hari Rabu tanggal 5 Agustus 2009
5. Mengapa ?
-
6. Bagaimana ?
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar
ditetapkan sebagai tersangka kasus pembunuhan Direktur PT Putra
Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen. Tak mau disudutkan
sendirian, Antasari membuat testimoni mengenai dugaan suap di
tubuh KPK.
PENUTUP
Penulis,