Anda di halaman 1dari 90

MATERI PBAK

KELOMPOK 1-4

KELOMPOK 1 : KORUPSI DAN INTEGRITAS

 Pengertian Korupsi

Kata “korupsi” berasal dari bahasa Latin “corruptio” atau


“corruptus” yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutar
balik, menyogok.. Arti kata korupsi secara harfiah adalah kebusukan,
keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral,
penyimpangan dari kesucian.Istilah korupsi yang telah diterima dalam
perbendaharaan kata bahasa Indonesia, adalah “kejahatan, kebusukan,
dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan dan
ketidakjujuran”(S.Wojowasito-WJS Poerwadarminta: 1978).
Pengertian lainnya, Korupsi sebagian besar melibatkan 2 aktor yakni
pemerintah dan sector swasta dan masyarakat sipil yang jadi korban
(TI – Jeremy Pope).Selanjutnya untuk beberapa pengertian lain,
disebutkan bahwa:

1) Menurut UU 31/1999 tentang pemberantasan tindak pidana


korupsi, yang termasuk dalam tindak pidana korupsi adalah
setiap orang yang dikategorikan melawan hukum, melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan
kewenangan maupun kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan
Negara atau perekonomian Negara.
2) Menurut ilmu politik, korupsi didefinisikan sebagai
penyalahgunaan jabatan dan administrasi, ekonomi atau politik,
baik yang disebabkan oleh diri sendiri maupun orang lain,yang
ditujukan untuk memperoleh keuntungan pribadi, sehingga
menimbulkan kerugian bagi masyarakat umum, perusahaan,
atau pribadi lainnya.

3) Menurut ahli ekonomi, korupsi didefinisikan sebagai


pertukaran yang menguntungkan (antara prestasi dan
kontrapestasi, imbalan materi atau nonmateri), yang terjadi
secara diam-diam dan sukarela, yang melanggar norma-norma
yang berlaku, dan setidaknya merupakan penyalahgunaan
jabatan atau wewenag yang dimiliki salah satu pihak yang
terlibat dalam bidang umum dan swasta. Dengan demikian arti
kata korupsi adalah sesuatu yang busuk, jahat dan merusak,
berdasarkan kenyataan tersebut perbuatan korupsi menyangkut:
sesuatu yang bersifat amoral, sifat dan keadaan yang busuk,
menyangkut jabatan instansi aparatur pemerintah,
penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian,
menyangkut faktor ekonomi dan politik dan penempatan
keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan
jabatan.

 Prilaku Koruptif

Prilaku Koruptif adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan


sikap, tindakan, dan pengetahuan seseorang yang menjebakkan
dirinya pada kegiatan korupsi. Dalam peraturan perundang-undangan
memang tidak ada rumusan mengenai apa itu prilaku koruptif. Namun
perilaku sehari-hari yang merugikan orang lain termasuk kedalamnya.
Misalnya, mencontek, plagiarism, berbohong, mencurangi, buang
sampah sembarangan, memberi uang pelican dalam hal pelayanan
public seperti KTP dan SIM, pemberian hadiah saat hajatan, tidak
tepat waktu.

Seringkali perilaku koruptif dianggap sebagai hal yang wajar untuk


dilakukan dan telah membudaya dalam masyarakat. Persepsi yang
sudah tertanam di dalam masyarakat bahwa korupsi hanya apa yang
diatur di dalam UU tipikor. Namun, korupsi bukanlah budaya. Karena
budaya adalah nilai budi baik yang sudah tertanam.

 Bentuk-bentuk Prilaku Koruptif

Tindak pidana korupsi dalam berbagai bentuk mencakup


pemerasan, penyuapan, dan gratifikasi pada dasarnya telah terjadi
sejak lama dengan pelaku mulai dari pejabat Negara sampai pegawai
yang paling rendah. Korupsi pada hakekatnya berawal dari suatu
kebiasaan (habit) yang tidak disadari oleh setiap aparat, mulai dari
kebiasaan menerima upeti, hadiah, suap, pemberian fasilitas tertentu
ataupun yang lain dan pada akhirnya kebiasaan tersebut lama-lama
akan menjadi bibit korupsi yang nyata dan dapat merugikan keuangan
Negara.

Bentuk – bentuk korupsi diantaranya sebagai berikut:

1) Penyuapan (bribery), mencakup tindakan member dan


menerima suap, baik berupa uang maupun barang.

2) Embezzlement, merupakan tindakan penipuan dan pencurian


sumber daya yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang
mengelola sumber daya tersebut, baik berupa dana public atau
sumer daya alam tertentu.
3) Fraud, merupakan suatu tindakan kejahatan ekonomi yang
melibatkan penipuan (trickery or windle). Termasuk
didalamnya proses manipulasi atau mendistorsi informasi dan
fakta dengan tujuan mengambil keuntungan-keuntungan
tertentu.

4) Extortion, tindakan meminta uang atau sumber daya lainnya


dengan cara paksa atau disertai dengan intimidasi-intimidasi
tertentu oleh pihak yang memiliki kekuasaan. Lazimnya
dilakukan oleh mafia-mafia local dan regional.

5) Favouritism, adalah mekanisme penyalahgunaan kekuasaan


yang beimplikasi pada tindakan privatisasi sumber daya.

6) Melanggar hukum yang berlaku dan merugikan Negara

7) Serba kerahasiaan, meskipun dilakukan secara kolektif atau


korupsi berjamaah.

 Sejarah perkembangan korupsi di Indonesia

Korupsi di Indonesia sudah ‘membudaya’ sejak dulu, sebelum


dan sesudah kemerdekaan, di era Orde Lama, Orde Baru, berlanjut
hingga era Reformasi. Berbagai upaya telah dilakukan untuk
memberantas korupsi, namun hasilnya masih jauh panggang dari api.
Periodisasi korupsi di Indonesia secara umum dapat dibagi dua, yaitu
periode pra kemerdekaan dan pasca kemerdekaan.

“Budaya-tradisi korupsi” yang tiada henti karena didorong oleh motif


kekuasaan, kekayaan dan wanita. Perebutan kekusaan di Kerajaan
Singosari (sampai tujuh keturunan saling membalas dendam berebut
kekusaan: Anusopati-TohjoyoRanggawuni-Mahesa Wongateleng dan
seterusnya), Majapahit (pemberontakan Kuti, Narnbi, Suro dan
lainlain), Demak (Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang), Banten
(Sultan Haji merebut tahta dari ayahnya, Sultan Ageng Tirtoyoso).
Perlawanan rakyat terhadap Belanda dan seterusnya sampai terjadinya
beberapa kali peralihan kekuasaan di Nusantara telah mewarnai
Sejarah Korupsi dan Kekuasaan di Indonesia Kehancuran kerajaan-
kerajaan besar (Sriwijaya, Majapahit dan Mataram) adalah karena
perilaku korup dari sebagian besar para bangsawannya.

Sriwijaya diketahui berakhir karena tidak adanya pengganti atau


penerus kerajaan sepeninggal Bala-putra Dewa. Majapahit diketahui
hancur karena adanya perang saudara (perang paregreg) sepeninggal
Maha Patih Gajah Mada. Mataram lemah dan semakin tidak punya
gigi karena dipecah belah dan dipreteli gigi taringnya oleh Belanda.
Pada tahun 1755 dengan Perjanjian Giyanti, VOC memecah Mataram
menjadi dua kekuasaan yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan
Surakarta. Tahun 1757/1758 VOC memecah Kasunanan Surakarta
menjadi dua daerah kekuasaan yaitu Kasunanan Surakarta dan
Mangkunegaran. Kesultanan Yogyakarta juga dibagi dua menjadi
Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman.

Dalam buku History of Java karya Thomas Stamford Raffles


(Gubernur Jenderal Inggris yang memerintah Pulau Jawa tahun 1811-
1816), Hal menarik dalam buku itu adalah pembahasan seputar
karakter penduduk Jawa. Penduduk

Jawa digambarkan sangat “nrimo” atau pasrah terhadap keadaan.


Namun, di pihak lain, mempunyai keinginan untuk lebih dihargai oleh
orang lain. Tidak terus terang, suka menyembunyikan persoalan, dan
termasuk mengambil sesuatu keuntungan atau kesempatan di kala
orang lain tidak mengetahui. Hal menarik lainnya adalah adanya
bangsawan yang gemar menumpuk harta, memelihara sanak (abdi
dalem) yang pada umumnya abdi dalem lebih suka mendapat atau
mencari perhatian majikannya. Akibatnya, abdi dalem lebih suka
mencari muka atau berperilaku oportunis.

Dalam kalangan elit kerajaan, raja lebih suka disanjung, dihorrnati,


dihargai dan tidak suka menerima kritik dan saran. Dalam aspek
ekonomi, raja dan lingkaran kaum bangsawan mendominasi sumber-
sumber ekonomi di masyarakat. Rakyat umumnya “dibiarkan” miskin,
tertindas, tunduk dan harus menuruti apa kata, kemauan atau
kehendak “penguasa”. Budaya yang sangat tertutup dan penuh
“keculasan” itu turut menyuburkan “budaya korupsi” di

Nusantara. Tidak jarang abdi dalem juga melakukan “korup” dalam


mengambil “upeti” (pajak) dari rakyat yang akan diserahkan kepada
Demang (Lurah) selanjutnya oleh Demang akan diserahkan kepada
Tumenggung. Abdidalem di Katemenggungan setingkat kabupaten
atau propinsi juga mengkorup harta yang akan diserahkan kepada Raja
atau Sultan.

Kebiasaan mengambil “upeti” dari rakyat kecil yang dilakukan oleh


Raja Jawa ditiru oleh Belanda ketika menguasai Nusantara (1800 -
1942) minus Zaman Inggris (1811 - 1816), Akibat kebijakan itulah
banyak terjadi perlawananperlawanan rakyat terhadap Belanda. Sebut
saja misalnya perlawanan Diponegoro (1825-1830), Imam Bonjol
(1821-1837), Aceh (1873- 1904) dan lain-lain. Lebih menyedihkan
lagi yaitu penindasan atas penduduk pribumi (rakyat Indonesia yang
terjajah) juga dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri. Sebut saja
misalnya kasus penyelewengan pada pelaksanaan Sistem “Cultuur
Stelsel (CS)” yang secara harfiah berarti Sistem Pembudayaan.
Walaupun tujuan utama sistem itu adalah membudayakan tanaman
produktif di masyarakat agar hasilnya mampu untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat dan memberi kontribusi ke kas Belanda, namun
kenyataannya justru sangat memprihatinkan.

Pada masa Orde Lama, dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi,


Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN) dibentuk berdasarkan
UU Keadaan Bahaya, dipimpin oleh A.H. Nasution dan dibantu oleh
dua orang anggota yakni Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani.
Namun ternyata pemerintah pada waktu itu setengah hati
menjalankannya. Pejabat pemerintah diharuskan mengisi formulir
yang disediakan, istilah sekarang : daftar kekayaan pejabat negara.
Dalam perkembangannya kemudian ternyata kewajiban pengisian
formulir tersebut mendapat reaksi keras dari para pejabat. Mereka
berdalih agar formulir itu tidak diserahkan kepada Paran tetapi
langsung kepada Presiden. Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden
No 275 Tahun 1963, upaya pemberantasan korupsi kembali
digalakkan. A.H. Nasution yang saat itu menjabat sebagai
Menkohankam/ Kasab dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo.
Tugasnya yaitu meneruskan kasuskasus korupsi ke meja pengadilan.
Lembaga ini di kemudian hari dikenal dengan istilah

“Operasi Budhi”. Sasarannya adalah perusahaan-perusahaan negara


serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktik
korupsi dan kolusi. Operasi Budhi ternyata juga mengalami hambatan.

Soebandrio mengumumkan pembubaran Paran/Operasi Budhi yang


kemudian diganti namanya menjadi Kotrar (Komando Tertinggi
Retooling Aparat Revolusi) di mana Presiden Sukarno menjadi
ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani.
Sejarah kemudian mencatat pemberantasan korupsi pada masa itu
akhirnya mengalami stagnasi. Dalam kurun waktu 3 bulan sejak
Operasi Budhi dijalankan, keuangan negara dapat diselamatkan
sebesar kurang lebih Rp 11 miliar, jumlah yang cukup signifikan
untuk kurun waktu itu. Karena dianggap mengganggu prestise
Presiden, akhirnya Operasi Budhi dihentikan.

Pada Masa Orde Baru, dibentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK)


yang diketuai Jaksa Agung. - Tahun 1970, terdorong oleh
ketidakseriusan TPK dalam memberantas korupsi seperti komitmen
Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes
keberadaan TPK. Dibentuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh
tua yang dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof Johannes, I.J
Kasimo, Mr Wilopo dan A. Tjokroaminoto. Tugasnya yang utama
adalah membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog, CV
Waringin, PT Mantrust, Telkom, dan Pertamina. Namun kornite ini
hanya “macan ompong” karena hasil temuannya tentang dugaan
korupsi di Pertamina tak direspon pemerintah.

Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina, Departemen


Kehutanan banyak disorot masyarakat karena dianggap sebagai sarang
korupsi. Maraknya gelombang protes dan unjuk rasa yang dilakukan
mahasiswa, akhirnya ditanggapi Soeharto. Perusahaan-perusahaan
negara seperti Bulog, Pertamina, Departemen Kehutanan banyak
disorot masyarakat karena dianggap sebagai sarang korupsi. Maraknya
gelombang protes dan unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa, akhirnya
ditanggapi Soeharto.
Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib,
dibentuklah Opstib (Operasi Tertib) dengan tugas antara lain juga
memberantas korupsi. Kebijakan ini hanya melahirkan sinisme di
masyarakat. Tak lama setelah Opstib terbentuk, suatu ketika timbul
perbedaan pendapat yang cukup tajam antara Sudomo dengan
Nasution. Hal itu menyangkut pemilihan metode atau cara
pemberantasan korupsi, Nasution berpendapat apabila ingin berhasil
dalam memberantas korupsi, harus dimulai dari atas. Nasution juga
menyarankan kepada Laksamana Sudomo agar memulai dari dirinya.
Seiring dengan berjalannya waktu, Opstib pun hilang tanpa bekas
sama sekali.

Pada Era Reformasi hampir seluruh elemen penyelenggara negara


sudah terjangkit “Virus Korupsi” yang sangat ganas. Presiden BJ
Habibie mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut
pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU
atau lembaga Ombudsman, Presiden Abdurrahman Wahid membentuk
Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK)
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Namun di
tengah semangat menggebu-gebu untuk rnemberantas korupsi dari
anggota tim, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung,
TGPTPK akhirnya dibubarkan.

Proses pemeriksaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan


konglomerat Sofyan

Wanandi dihentikan dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan


(SP3) dari Jaksa Agung Marzuki Darusman. Akhirnya, Gus Dur
didera kasus Buloggate. Sejak itu, Indonesia mengalami kemunduran
dalam upaya pemberantasan KKN. - Di samping membubarkan
TGPTPK, Presiden Gus Dur juga dianggap tidak bisa menunjukkan
kepemimpinan yang dapat mendukung upaya pemberantasan korupsi.
Masyarakat menilai bahwa pemerintah masih memberi perlindungan
kepada para pengusaha besar yang notabene memberi andil bagi
kebangkrutan perekonomian nasional. Pemerintah semakin lama
semakin kehilangan wibawa. Belakangan kasuskasus korupsi merebak
pula di sejumlah DPRD era Reformasi. - Komisi Pemberantasan
Korupsi, atau disingkat menjadi KPK, adalah komisi yang dibentuk
pada tahun 2003 untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas
korupsi di Indonesia. Komisi ini didirikan berdasarkan
UndangUndang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Di masa pemerintahan Megawati, wibawa hukum semakin merosot, di


mana yang menonjol adalah otoritas kekuasaan. - Konglomerat
bermasalah bisa mengecoh aparat hukum dengan alasan berobat ke
luar negeri. Pemberian SP3 untuk Prajogo Pangestu, Marimutu
Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The Nien King, lolosnya Samadikun
Hartono dari jeratan eksekusi putusan MA, pemberian fasilitas MSAA
kepada konglomerat yang utangnya macet, menjadi bukti kuat bahwa
elit pemerintahan tidak serius dalam upaya memberantas korupsi.

Pada tanggal 16 Desember 2003, Taufiequrachman Ruki, dilantik


menjadi Ketua KPK. KPK hendak memposisikan dirinya sebagai
katalisator (pemicu) bagi aparat dan institusi lain untuk terciptanya
jalannya sebuah “good and clean governance” (pemerintahan baik dan
bersih) di Republik Indonesia. Taufiequrachman walaupun konsisten
mendapat kritik dari berbagai pihak tentang dugaan tebang pilih
pemberantasan korupsi.

 Ciri-ciri Korupsi

Korupsi merupakan istilah yang sering kita jumpai saat ini,


berbagai media masa, elektronik hampir setiap saat melaporkan
adanya korupsi. Korupsi berasal dari perkataan bahasa latin
“corruptio” yang berarti kerusakan atau kebobrokan.

Dalam bahasa Inggris “corruption” dan Perancis “corruption” yang


berarti perbuatan atau kenyataan yang menimbulkan keadaan yang
bersifat buruk, perilaku yang jahat yang tercela atau kebejatan moral.

Korupsi menurut Syed Hussein Alatas dalam Sumarwani S 2011,


mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1) Suatu pengkhianatan terhadap kepercayaan.

2) Penipuan terhadap badan pemerintah, lembaga swasta atau


masyarakat umumnya.

3) Dengan sengaja melalaikan kepentingan umum untuk


kepentingan khusus.

4) Dilakukan dengan rahasia, kecuali dalam keadaan di mana


orang-orang yang berkuasa atau bawahannya menganggapnya
tidak perlu.

5) Melibatkan lebih dari satu orang atau pihak.

6) Adanya kewajiban dan keuntungan bersama, dalam bentuk


uang atau yang lain.
7) Terpusatnya kegiatan korupsi pada mereka yang
menghendaki keputusan yang pasti dan mereka yang dapat
mempengaruhinya.

8) Adanya usaha untuk menutupi perbuatan korup dalam bentuk


pengesahan

Berikut dipaparkan berbagai bentuk korupsi yang diambil dari Buku


Saku yang dikeluarkan oleh KPK atau Komisi Pemberantasan
Korupsi.

1) Kerugian keuangan Negara

Secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri


sendiri atau orang lain atau korporasi, dengan tujuan menguntungkan
diri sendiri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau saran yang ada. 2) Suap menyuap

• Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Pegawai Negeri


atau penyelenggara Negara dengan maksud supaya berbuat
sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya.

• Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara


Negara karena atau berhubungan dengan kewajiban dilakukan
atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

• Memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan


mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada
jabatan atau kedudukannya atau oleh pemberi hadiah/janji
dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut.

• Bagi pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang


menerima pemberian atau janji.
• Bagi Pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang
menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga
bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan
agar melakukan sesuatu atau tindakan melakukan sesuatu dalam
jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

3) Gratifikasi

Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara


Negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan
jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban tugasnya 4)
Penggelapan dalam jabatan

• Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan


menjalankan sesuatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk
sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat
berharga yang disimpan karena jabatannya atau uang/surat berharga
tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain atau membantu
dalam melakukan perbuatan tersebut.

• Pegawai negeri atau orang lain selain pegawai negeri yang


ditugaskan menjalakan jabatan umum secara terus-menerus atau untuk
sementara waktu dengan sengaja memalsukan buku atau daftar-daftar
yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.

• Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan


menjalakan jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara
waktu dengan sengaja menggelapkan, merusak atau membuat tidak
dapat dipakai barang, akta, surat atau daftar yang digunakan untuk
meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang yang
dikuasai karena jabatannya. 5) Pemerasan
• Pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang dengan maksud
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum
atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang
memberikan Sesuatu, membayar atau menerima pembayaran dengan
potongan atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.

• Pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang pada waktu


menjalakan tugas meminta atau menerima pekerjaan atau penyerahan
barang seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal
diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang.

• Pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang pada waktu


menjalakan tugas, meminta, atau menerima atau memotong
pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang
lain atau kepada kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya,
padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang 6)
Perbuatan curang

• Pembarong ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan atau


penjual bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat
membahayakan keamanan orang atau barang atau keselamatan Negara
dalam keadaan perang. Setiap orang bertugas mengawasi
pembangunan atau menyerahkan bahan bangunan, sengaja
membiarkan perbuatan curang.

• Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan TNI


atau Kepolisian Negara RI melakukan perbuatan curang dengan
sengaja membiarkan perbuatan curang.

 Konflik kepentingan dalam pengadaan


Pegawai negeri atau penyelenggara Negara baik langsung maupun
tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan
pengadaan atau persewaan yang pada saat dilakukan perbuatan untuk
keseluruhan atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau
mengawasinya

 Penyebab terjadinya Korupsi

1. Faktor Internal

Factor internal merupakan factor pendorong korupsi dari dalam diri,


yang dapat dirinci menjadi:

a) Aspek perilaku individu

1) Sifat tamak/rakus manusia

2) Moral yang kurang kuat

3) Gaya hidup yang konsumtif

4) Penghasilan yang kurang mencukupi

5) Kebutuhan hidup yang mendesak

6) Malas atau tidak mau bekerja

7) Ajaran agama yang kurang diterapkan

b) Aspek sosial

Perilaku korup dapat terjadi karena dukungan keluarga. Kaum


behavioris mengatakan bahwa lingkungan keluargalah yang secara
kuat memberikan dorongan bagi orang untuk korupsi dan
mengalahkan sifat baik seseorang yang sudah menjadi traits
pribadinya.
2. Faktor Eksternal

Factor eksternal ialah pemicu perilaku korup yang disebabkan oleh


factor diluar diri pelaku.

a) Aspek sikap masyarakat terhadap korupsi

Pada umumnya jajaran manajemen selalu menutupi tindak korupsi


yang dilakukan oleh segelintir oknum. Akibat sifat tertutup ini
pelanggaran korupsi justru terus berjalan dengan berbagai bentuk.
Oleh karena itu sikap masyarakat yang berpotensi menyuburkan
tindak korupsi terjadi karena:

Nilai nilai dimasyarakat kondusif untuk terjadinya korupsi.

1) Korupsi bisa ditimbulkan oleh budaya masyarakat

2) Masyarakat kurang menyadari bahwa korban utama korupsi


adalah masyarakat sendiri.

3) Masyarakat kurang menyadari bila dirinya terlibat korupsi

b) Aspek ekonomi

Pendapatan tidak mencukupi kebutuhan. Dalam rentang kehidupan


ada kemungkinan seseorang mengalami situasi terdesak dalam hal
ekonomi. Keterdesakan itu membuka ruang bagi seseorang untuk
mengambil jalan pintas di antaranya dengan melakukan korupsi.

b) Aspek politis

Menurut Rahardjo (1983) bahwa kontrol sosial adalah suatu proses


yang dilakukan untuk mempengaruhi orang-orang agar bertingkah
laku sesuai dengan harapan masyarakat. Kontrol sosial tersebut
dijalankan dengan menggerakkan berbagai aktivitas yang melibatkan
penggunaan kekuasaan negara sebagai suatu lembaga yang
diorganisasikan secara politik, melalui lembaga-lembaga yang
dibentuknya. Dengan demikian instabilitas politik, kepentingan
politis, meraih dan mempertahankan kekuasaan sangat potensi
menyebabkan perilaku korupsi.

d) Aspek organisasi

1) Kurang adanya sikap keteladanan kepemimpinan

2) Tidak adanya kultur organisasi yang benar kurang


memadainya kultur organisasi yang benar

3) Kurang memadainya system akuntabilitas

4) Kelemahan system pengendalian manajemen 5) Lemahnya


pengawasan

 Dampak korupsi

Berbagai studi komprehensif mengenai dampak korupsi


terhadap ekonomi serta variabel-variabelnya telah banyak dilakukan
hingga saat ini. Dari hasil studi tersebut jelas terlihat berbagai dampak
negatif akibat korupsi. Korupsi memperlemah investasi dan
pertumbuhan ekonomi (Mauro: 1995). Selanjutnya, dalam penelitian
yang lebih elaboratif dilaporkan bahwa korupsi mengakibatkan
penurunan tingkat produktivitas yang dapat diukur melalui berbagai
indikator fisik, seperti kualitas jalan raya (Tanzi dan Davoodi: 1997).

Korupsi tidak hanya berdampak terhadap satu aspek kehidupan saja.


Korupsi menimbulkan efek domino yang meluas terhadap eksistensi
bangsa dan negara. Meluasnya praktik korupsi di suatu negara akan
memperburuk kondisi ekonomi bangsa, misalnya harga barang
menjadi mahal dengan kualitas yang buruk, akses rakyat terhadap
pendidikan dan kesehatan menjadi sulit, keamanan suatu negara
terancam, kerusakan lingkungan hidup, dan citra pemerintahan yang
buruk di mata internasional sehingga menggoyahkan sendi-sendi
kepercayaan pemilik modal asing, krisis ekonomi yang
berkepanjangan, dan negara pun menjadi semakin terperosok dalam
kemiskinan.

 Pengertian Integritas

Integritas (berasal dari kata inggris, integrity) secara definisi


berarti: kepengikutan dan ketundukan kepada prinsip-prinsip moral
dan etis (adherence to moral and ethical principles); keutuhan karakter
moral (soundness of moral character); kejujuran (honesty); tidak rusak
secara moral (moral unimpaired) atau keadaan moral sempurna tanpa
cacat (moral perfect condition). Pengertian lain menyebutkan bahwa
integritas adalah kesatuan antara pikiran, perasaan, ucapan, tindakan
dengan hati nurani.

Untuk melengkapi, PBB mendefinisikan ‘integritas’ sebagai “sikap


jujur, adil, tidak memihak [dalam urusan public, pemerintahan, dan
birokrasi]. Integritas mengacu kepada kejujuran, kebenaran, dan
keadilan. Integritas adalah ‘kepaduan, dan keutuhan karakter diri
berdasarkan prinsip-prinsip etika dan moral dalam kehidupan dan
pekerjaan pribadi maupun publik”.

Integritas dalam konteks pemerintahan dan birokrasi adalah


penggunaan kekuasaaan resmi, otoritas dan wewenang oleh para
pejabat publik untuk tujuantujuan yang sah (justified) menurut hukum.
Integritas dengan demikian adalah keteguhan diri aparatur birokrasi
dan pejabat publik untuk tidak meminta atau menerima apapun.

Dengan demikian, integritas merupakan antitesis dari korupsi yang


merupakan penggunaan kekuasaan untuk tujuan-tujuan yang tidak sah
atau ilegal baik oleh individu maupun kelompokyang memegang
kekuasaan, otoritas dan wewenang.

 Karakteristik integritas dan Nilai integritas

Karakteristik integritas (Adrian Gostik & Dana Telford):

1) Menyadari bahwa hal-hal kecil itu penting.

Jarang sekali orang kehilangan integritas secara mendadak.


Biasanya dimulai dengan menurunnya standar integritas secara
perlahan hingga sulit disadari dan sukar dihentikan sampai akhirnya
mencapai akhir yang mematikan. Seperti seorang anak, orang
memulainya dengan mencuri permen dan bukan mobil. Dalam kaitan
dengan integritas, hal kecil itu penting. Oleh karena itu, untuk
memiliki keunggulan integritas, orang tidak boleh mengabaikan hal
kecil, seperti berbohong untuk hal sederhana atau mengambil sesuatu
milik orang lain tanpa izin (mencuri), sekecil apa pun itu. Membangun
integritas diri berarti memulainya dan memperlihatkannya dari hal
kecil.

2) Menemukan yang benar (saat orang lain hanya melihat abu-abu)

Di sini yang dibutuhkan bukanlah kemampuan super untuk


mengetahui dengan pasti yang mana yang benar dan yang mana yang
salah. Hal yang terutama dibutuhkan adalah komitmen untuk
menghabiskan waktu dan energi untuk menemukannya. Setelah
memahami semua fakta, telah mendengar masukan dari berbagai
pihak yang dapat dipercaya (penasehat), dan yakin dapat jujur dengan
keputusan Anda itu, dengarlah intuisi Anda. Anda harus
merefleksikan keputusan yang diambil.

Untuk mengambil keputusan yang benar dapat juga dengan cara


melihatnya dari pihak yang terpengaruh oleh keputusan tersebut. Hal
itu berarti menempatkan diri pada posisi pihak yang kena pengaruh
keputusan itu.

Ukuran lain untuk meyakinkan kebenaran suatu keputusan yang


diambil adalah bertanyalah kepada diri sendiri apakah Anda ingin
dikenang sebagai orang yang turut serta dalam pengambilan keputusan
itu. Kalau Anda ingin dikenang sebagai pengambil keputusan atau
yang turut serta dalam pengambilan keputusan itu maka besar
kemungkinan keputusan itu benar. Jadi, orang berintegritas tidak akan
bertindak sembarangan, tanpa didahului pertimbangan yang luas dan
dalam

3) Bertanggung jawab

Kata “Tanggung jawab” berkaitan dengan “jawab”, berarti


dapat menjawab, bila ditanyai mengenai perbuatan yang dilakukan.
Orang yang bertanggungjawab bukan saja ia dapat menjawab,
melainkan harus menjawab, dalam arti harus memberi dan tidak dapat
mengelak mengenai perbuatannya dan apa yang dilakukannya.
Jawaban itu harus dapat dia berikan kepada pihak yang membutuhkan
jawabannya dan itu dapat kepada dirinya sendiri, kepada masyarakat
luas, dan bahkan kepada Tuhan, kalau dia orang beragama dan
beriman (Berten, 1997:125).
Kita dapat dianggap juga bertanggungjawab apabila pekerjaan tidak
selesai namun kita dapat memberi penjelasan yang masuk akal dan
dapat diterima mengapa sebenarnya pekerjaan itu tidak selesai. Salah
satu bentuk pertanggungjawaban atas kegagalan memenuhi tanggung
jawab adalah mengundurkan diri dari jabatan. Orang yang memiliki
integritas diri tidak pernah lari dari tanggung jawabnya.

4) Menciptakan budaya kepercayaan

Suatu hal tertentu hanya dapat bertahan apabila telah


dibudayakan. Kepercayaan merupakan tali pengikat dalam kehidupan
bersama, baik dalam komunitas kecil seperti keluarga dan teman
dekat, maupun dalam komunitas besar seperti organisasi bisnis dan
kelompok masyarakat lainnya. Orang yang dapat memperlihatkan
dirinya sebagai orang yang dapat dipercaya, itulah yang memiliki
integritas diri. Seorang pimpinan bukan saja hanya konsisten
menerapkan aturan kelompok dengan baik tetapi dia sendiri harus
dapat memperlihatkan hal itu dalam dirinya. Dia sendiri menjadi
embodiment of values bagi bawahan dan kelompoknya.

Orang akan semakin dapat dipercaya apabila dia membuang segala


kepalsuan dan kepura-puraan dalam dirinya. Dia tampil apa adanya,
namun tetap bijaksana dalam bertindak. Orang seperti itu dapat
memancarkan pengaruh positif pada lingkungan sekitarnya sehingga
orang-orang di sekitarnya akan mengalami suasana yang mendorong
mereka untuk menjadikan mereka orang-orang yang dapat dipercaya
juga. Lama kelamaan kondisi itu akan menciptakan lingkungan, yaitu
kepercayaan (saling percaya) menjadi budaya, menjadi pola hidup
yang sudah terinternalisasi.
5) Menepati janji

Janji atau perjanjian dapat terjadi antara satu individu dengan


individu lain, antara individu dengan kelompok, atau sebaliknya
antara satu kelompok dengan individu, dan juga antara satu kelompok
dengan kelompok lain. Namun, yang mendapat perhatian utama disini
adalah janji seorang pribadi yang diarahkan, baik kepada individu atau
kelompok lain. Entah kepada siapa pun hal itu diarahkan, hanya
berupa lisan atau sudah dituliskan di atas kertas bermaterai, janji
terutama adalah masalah moral.

Ungkapan “Janji harus ditepati” memang merupakan suatu sikap


moral karena janji merupakan sebuah kewajiban moral yang mengikat
batin setiap orang yang mengucapkannya. Janji menuntut pemenuhan,
entah kepada siapa pun janji itu diberikan.

6) Jujur namun rendah hati

Jujur sering diartikan secara negatif, yaitu tidak berbohong.


Tidak jujur berarti berbohong. Arti kata berbohong sebenarnya hanya
berarti mengatakan sesuatu yang tidak benar. Namun, kata bohong
sendiri, seperti halnya kata kejujuran, memiliki konotasi etis. Dengan
demikian, berbohong berarti suatu tindakan sengaja, dengan tujuan
buruk, menyampaikan informasi yang salah kepada pihak lain.

Dengan kata jujur kita diminta untuk mengatakan yang benar dan
tidak menyampaikan informasi yang salah yang didorong oleh tujuan
buruk. Kita didesak untuk harus berkata benar tetapi tidak perlu semua
kebenaran harus kita ungkapkan. Hal yang tidak pernah boleh kita
lakukan adalah menyampaikan informasi palsu yang menyesatkan,
terutama bila hal itu dilakukan dengan sengaja dengan maksud dan
tujuan buruk. Artinya, informasi palsu yang kita berikan itu kita tahu
bahwa menyesatkan dan kita tahu juga bahwa informasi salah yang
kita berikan itu akan digunakan orang dan ketika digunakan akan
membawa akibat buruk.

7) Peduli pada kebaikan yang lebih besar

Orang kadang bahkan sering dihadapkan pada situasi ketika dia


harus mengambil keputusan dan tindakan yang akan membawa
konsekuensi tertetu dalam kehidupan. Masing-masing keputusan dan
tindakan yang dilakukuan membawa konsekuensi, entah konsekuensi
baik ataupun konsekuensi buruk, dengan dampak yang tidak sama
besar. Sering muncul konflik antara kepentingan pribadi dan
kelompok, antara kepentingan kelompok, dan kepentingan orang
banyak.

Di lingkungan pekerjaan (perusahaan) umpamanya, sering terjadi


konflik antara kepentingan pribadi dan kepentingan perusahaan,
tujuan pribadi dan tujuan perusahaan. Seseorang disebut memiliki
integritas diri apabila dia menunjukkan kepedulian terhadap kebaikan
yang lebih besar, mengedepankan agenda yang lebih besar dari pada
agenda pribadi dan terbatas. Karakteristik paling nyata dari orang
dengan integritas tinggi adalah tingkat egoismenya yang rendah

8) Bertindak bagaikan tengah diawasi

Kalau kita sedang diawasi oleh orang lain dan bahwa kita
benar-benar menyadari hal itu, kita tentu akan lebih hati-hati dalam
semua hal yang akan kita lakukan. Kita akan selektif dalam
mengeluarkan kata yang akan kita ucapkan, kita akan mengontrol
setiap gerakan kita, dan akan berusaha mengendalikan berbagai
dorongan dan tindakan yang menurut kita akan dicela bila kita
melakukannya. Jadi, ketika sedang diawasi, orang akan memiliki
kontrol diri yang baik dan hampir pasti berusaha untuk tidak
melakukan hal yang buruk.

9) Memperkerjakan integritas

Orang yang memiliki integritas diri tidak mudah lepas kontrol


atas berbagai tindakannya, terutama untuk hal yang memiliki dimensi
etis (soal baik-buruk). Dia berlaku dan bertindak seakan-akan sedang
diawasi, bukan saja oleh beberapa pasang mata tetapi juga oleh mata
batinnya sendiri dan bahkan mata Tuhan yang merupakan hakim, yang
senantiasa menjatuhkan penilaian pada dirinya dan pada apa yang
dilakukannya. Bagi seorang yang memiliki integritas diri, ada atau
tidak ada orang, dia tetap waspada atas apa yang akan dilakukannya.
Dia selalu merasa sedang bertindak di depan hakim, yang senantiasa
mengetahui dengan baik segala apa yang dilakukannya.

10). Konsisten

Secara singkat, konsisten dapat dimengerti sebagai kesesuaian


antara perkataan dan tindakan. Orang yang konsisten tidak
terpengaruh oleh perubahan di luar dirinya, Uang, kekuasaan, dan
pengaruh lainnya, dapat datang dan pergi tetapi sikap, perkataan, dan
tindakan orang yang konsisten tidak lepas dari nilai moral yang
dianutnya. Orang yang konsisten biasanya terus terang. Mereka
merasa percaya diri dalam mengatakan apa yang mereka yakini.
Tanpa basa-basi. Mereka berani. Hal itu juga menghemat banyak
waktu dan merupakan praktik yang baik.
Orang yang memiliki konsistensi biasanya hampir dapat diduga
(keterdugaan etis), yakni orang dapat menduga dia bertindak atau
bereaksi apa hampir dalam semua situasi. Kita tahu apa yang akan
mereka lakukan dan bagaimana hasilnya. Kalau dia seorang atasan
sedang berhadapan dengan bawahan yang melanggar aturan, kita
dapat duga dia akan bertindak apa. Kita tidak melihat tindakannya
yang lain dari apa yang selalu dia nyatakan dalam banyak kesempatan.

KPK sendiri membagi integritas kedalam tiga komponen nilai-nilai.


Pertama, nilai integritas inti, yaitu jujur, bertanggung jawab, dan
disiplin. Berintegritas jujur adalah lurus hati, tidak curang dan tidak
berbohong. Sementara tanggung jawab memiliki arti siap menanggung
akibat dari perbuatan yangdilakukan alias tidak buang badan. Adapun
disiplin merupakan sikap taat terhadap peraturan, baik yang tertulis
maupun tidak tertulis.

Kedua, nilai integritas etos kerja, yaitu mandiri, kerja keras, dan
sederhana. Mandiri artinya tidak bergantung pada orang lain. Kerja
keras berarti gigih dan fokus dalam melakukan sesuatu, serta tidak
asal-asalan. Sedangkan sederhana memiliki arti bersahaja dan tidak
berlebih-lebihan. Ketiga, nilai integritas sikap, yaitu berani memiliki
arti mantap hati dan percaya diri, tidak gentar dalam menghadapi
bahaya, kesulitan dan sejenisnya. Sementara peduli artinya,
mengindahkan, memperhatikan, atau menghiraukan orang lain.
Adapun adil ialah berlaku sepatutnya dan tidak sewenang-wenang.

 Strategi pemberantasan korupsi

1. Penindakan (kuratif)
Upaya penindakan, yaitu dilakukan kepada mereka yang
terbukti melanggar dengan diberikan peringatan, dilakukan pemecatan
tidak terhormat dan dihukum pidana.

2. Pencegahan (preventif).

a) Menanamkan semangat nasional yang positif dengan


mengutamakan pengabdian pada bangsa dan negara melalui
pendidikan formal, informal dan agama.

b) Melakukan penerimaan pegawai berdasarkan prinsip


keterampilan teknis.

c) Para pejabat dihimbau untuk mematuhi pola hidup sederhana


dan memiliki tanggung jawab yang tinggi.

d) Para pegawai selalu diusahakan kesejahteraan yang memadai


dan ada jaminan masa tua.

e) Menciptakan aparatur pemerintahan yang jujur dan disiplin


kerja yang tinggi.

f) Sistem keuangan dikelola oleh para pejabat yang memiliki


tanggung jawab etis tinggi dan dibarengi sistem kontrol yang
efisien.

g) Melakukan pencatatan ulang terhadap kekayaan pejabat yang


mencolok.

h) Berusaha melakukan reorganisasi dan rasionalisasi organisasi


pemerintahan mela-lui penyederhanaan jumlah departemen
beserta jawatan di bawahnya.
3.Pendidikan dan peran serta masyarakat Mengedukasi
masyarat/mahasiswa untuk:

a) Memiliki tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik


dan kontrol sosial terkait dengan kepentingan publik.

b) Tidak bersikap apatis dan acuh tak acuh.

c) Melakukan kontrol sosial pada setiap kebijakan mulai dari


pemerintahan desa hingga ke tingkat pusat/nasional.

d) Membuka wawasan seluas-luasnya pemahaman tentang


penyelenggaraan peme-rintahan negara dan aspek-aspek
hukumnya.

e) Mampu memposisikan diri sebagai subjek pembangunan dan


berperan aktif dalam setiap pengambilan keputusan untuk
kepentingan masyarakat luas.

KELOMPOK 2 : FAKTOR PENYEBAB KORUPSI

 Faktor-Faktor Penyebab Korupsi

Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi, baik


berasal dari dalam diri pelaku atau dari luar pelaku. Sebagaimana
dikatakan Yamamah bahwa ketika perilaku materialistik dan
konsumtif masyarakat serta sistem politik yang masih “mendewakan”
materi maka dapat “memaksa” terjadinya permainan uang dan korupsi
(Ansari Yamamah : 2009). “Dengan kondisi itu hampir dapat
dipastikan seluruh pejabat kemudian terpaksa korupsi kalau sudah
menjabat”. Nur Syam (2000) memberikan pandangan bahwa
penyebab seseorang melakukan korupsi adalah karena ketergodaannya
akan dunia materi atau kekayaan yang tidak mampu ditahannya.
Ketika dorongan untuk menjadi kaya tidak mampu ditahan sementara
akses ke arah kekayaan bisa diperoleh melalui cara berkorupsi, maka
jadilah seseorang akan melakukan korupsi. Dengan demikian, jika
menggunakan sudut pandang penyebab korupsi seperti ini, maka salah
satu penyebab korupsi adalah cara pandang terhadap kekayaan. Cara
pandang terhadap kekayaan yang salah akan menyebabkan cara yang
salah dalam mengakses kekayaan.

Adapun Penyebab adanya tindakan korupsi sebenarnya bervariasi dan


beraneka ragam. Akan tetapi, secara umum dapatlah dirumuskan,
sesuai dengan pengertian korupsi yaitu bertujuan untuk mendapatkan
keuntungan pribadi /kelompok /keluarga/ golongannya sendiri.
Namun, secara umum faktor penyebab korupsi dapat terjadi karena
faktor politik, hukum dan ekonomi, sebagaimana dalam buku berjudul
Peran Parlemen dalam Membasmi Korupsi (ICW : 2000) yang
mengidentifikasikan empat faktor penyebab korupsi yaitu faktor
politik, faktor hukum, faktor ekonomi dan birokrasi serta faktor
transnasional.

1. Faktor Politik

Politik merupakan salah satu penyebab terjadinya korupsi. Hal ini


dapat dilihat ketika terjadi instabilitas politik, kepentingan politis para
pemegang kekuasaan, bahkan ketika meraih dan mempertahankan
kekuasaan. Perilaku korup seperti penyuapan, politik uang merupakan
fenomena yang sering terjadi. Terkait dengan hal itu Terrence Gomes
(2000) memberikan gambaran bahwa politik uang (money politik)
sebagai use of money and material benefits in the pursuit of political
influence.
Adapun factor-faktor penyebab korupsi, diantaranya yaitu:

 Politik uang (money politics) pada Pemilihan Umum

 Penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang karena takut


dianggap bodoh bila tidak menggunakan kesempatan

 Kelemahan Sistem pengangkatan pejabat partai politik dan


pejabat pemerintahan

 Kelemahan pengkaderan partai dan pencalonan pemimpin


partai atau yang akan menjadi pejabat publik, legislatif atau
pengawas pejabat publik yang tidak transparan dan berbiaya
tinggi memicu terjadi korupsi sebagai tindakan untuk mencapai
balik modal saat biaya mahal yang telah dikeluarkan saat
menjadi pejabat partai dan pejabat public

 pemberian kredit atau penarikan pajak pada pengusaha

Menurut Susanto korupsi pada level pemerintahan adalah dari sisi


penerimaan, pemerasan uang suap, pemberian perlindungan,
pencurian barang- barang publik untuk kepentingan pribadi, tergolong
korupsi yang disebabkan oleh konstelasi politik (Susanto: 2002).
Sementara menurut De Asis, korupsi politik misalnya perilaku curang
(politik uang) pada pemilihan anggota legislatif ataupun pejabat-
pejabat eksekutif, dana ilegal untuk pembia-yaan kampanye,
penyelesaian konflik parlemen melalui cara-cara ilegal dan teknik lobi
yang menyimpang (De Asis : 2000).

Penelitian James Scott (Mochtar Mas’oed: 1994) mendiskripsikan


bahwa dalam masyarakat dengan ciri pelembagaan politik eksklusif
dimana kompetisi politik dibatasi pada lapisan tipis elit dan perbedaan
antar elit lebih didasarkan pada klik pribadi dan bukan pada isu
kebijakan, yang terjadi pada umumnya desakan kultural dan struktural
untuk korupsi itu betul-betul terwujud dalam tindakan korupsi para
pejabatnya. Robert Klitgaard (2005) menjelaskan bahwa proses
terjadinya korupsi dengan formulasi M+D–A=C. Simbol M adalah
monopoly, D adalah discretionary (kewenangan), A adalah
accountability (pertanggungjawaban). Penjelasan atas simbul tersebut
dapat dikatakan bahwa korupsi adalah hasil dari adanya monopoli
(kekuasaan) ditambah dengan kewenangan yang begitu besar tanpa
keterbukaan dan pertanggungjawaban.

2. Faktor Hukum

Faktor hukum bisa lihat dari dua sisi, di satu sisi dari aspek
perundangundangan dan sisi lain lemahnya penegakan hukum. Tidak
baiknya substansi hukum, mudah ditemukan dalam aturan-aturan yang
diskriminatif dan tidak adil; rumusan yang tidak jelas-tegas (non lex
certa) sehingga multi tafsir; kontradiksi dan overlapping dengan
peraturan lain (baik yang sederajat maupun yang lebih tinggi). Sanksi
yang tidak equivalen dengan perbuatan yang dilarang sehingga tidak
tepat sasaran serta dirasa terlalu ringan atau terlalu berat; penggunaan
konsep yang berbeda-beda untuk sesuatu yang sama, semua itu
memungkinkan suatu peraturan tidak kompatibel dengan realitas yang
ada sehingga tidak fungsional atau tidak produktif dan mengalami
resistensi. Penyebab keadaan ini sangat beragam, namun yang
dominan adalah: Pertama, tawar menawar dan pertarungan
kepentingan antara kelompok dan golongan di parlemen, sehingga
memunculkan aturan yang bias dan diskriminatif. Kedua, praktek
politik uang dalam pembuatan hukum berupa suap menyuap (political
bribery), utamanya menyangkut perundang-undangan di bidang
ekonomi dan bisnis. Akibatnya timbul peraturan yang elastis dan multi
tafsir serta tumpang-tindih dengan aturan lain sehingga mudah
dimanfaatkan untuk menyelamatkan pihak-pihak pemesan. Sering
pula ancaman sanksinya dirumuskan begitu ringan sehingga tidak
memberatkan pihak yang berkepentingan.

Selaras dengan hal itu Susila (dalam Hamzah:2004) menyebutkan


tindakan korupsi mudah timbul karena ada kelemahan di dalam
peraturan perundangundangan, yang mencakup:

1. Adanya peraturan perundang-undangan yang bermuatan


kepentingan pihak-pihak tertentu,

2. Kualitas peraturan perundang-undangan kurang memadai,

3. Peraturan kurang disosialisasikan,

4. Sanksi yang terlalu ringan,

5. Penerapan sanksi yang tidak konsisten dan pandang bulu,

6. Lemahnya bidang evalusi dan revisi peraturan perundang-


undangan.

Kenyataan bahwa berbagai produk hukum di masa Orde Baru sangat


ditentukan oleh konstelasi politik untuk melanggengkan kekuasaan, di
era reformasi pun ternyata masih saja terjadi. Banyak produk hukum
menjadi ajang perebutan legitimasi bagi berbagai kepentingan
kekuasaan politik, untuk tujuan mempertahankan dan mengakumulasi
kekuasaan. Mantan Ketua Ketua KPK, Bibit Samad Riyanto (2009),
mengatakan lima hal yang dianggap berpotensi menjadi penyebab
tindakan korupsi, yaitu:

a. Sistem politik, yang ditandai dengan munculnya aturan


perundang-undangan, seperti Perda, dan peraturan lain.

b. Intensitas moral seseorang atau kelompok.

c. Remunerasi atau pendapatan (penghasilan) yang minim.

d. Pengawasan baik bersifat internal-eksternal.

e. Budaya taat aturan.

Dari beberapa hal yang disampaikan, yang paling penting adalah


budaya sadar akan aturan hukum. Dengan sadar hukum, maka
masyarakat akan mengerti konskuensi dari apa yang ia lakukan.
Sementara itu Rahman Saleh merinci ada empat faktor dominan
penyebab merajalelanya korupsi di Indonesia, yakni faktor penegakan
hukum, mental aparatur, kesadaran masyarakat yang masih rendah,
dan rendahnya ‘political will’ (Rahman Saleh:2006).

Kemampuan lobi kelompok kepentingan dan pengusaha terhadap


pejabat publik dengan menggunakan uang sogokan, hadiah, hibah dan
berbagai bentuk pemberian yang mempunyai motif koruptif,
masyarakat hanya menikmati sisa-sisa hasil pembangunan.Fakta ini
memperlihatkan bahwa terjadinya korupsi sangat mungkin karena
aspek peraturan perundang-undangan yang lemah atau hanya
menguntungkan pihak tertentu saja. Hal senada juga dikemukakan
oleh Basyaib, dkk (Basyaib : 2002) yang menyatakan bahwa
lemahnya sistem peraturan perundang-undangan memberikan peluang
untuk melakukan tindak pidana korupsi. Disamping tidak bagusnya
produk hukum yang dapat menjadi penyebab terjadinya korupsi,
praktik penegakan hukum juga masih dililit berbagai permasalahan
yang menjauhkan hukum dari tujuannya. Secara kasat mata, publik
dapat melihat banyak kasus yang menunjukan adanya diskriminasi
dalam proses penegakan hukum termasuk putusan-putusan
pengadilan.

3. Faktor Ekonomi

Faktor ekonomi juga merupakan salah satu penyebab terjadinya


korupsi. Hal itu dapat dijelaskan dari pendapatan atau gaji yang tidak
mencukupi kebutuhan. Pendapat ini tidak mutlak benar karena dalam
teori kebutuhan Maslow, sebagaimana dikutip oleh Sulistyantoro,
korupsi seharusnya hanya dilakukan oleh orang untuk memenuhi dua
kebutuhan yang paling bawah dan logika lurusnya hanya dilakukan
oleh komunitas masyarakat yang pas-pasan yang bertahan hidup.
Namum saat ini korupsi dilakukan oleh orang kaya dan berpendidikan
tinggi (Sulistyantoro : 2004). Pendapat lain menyatakan bahwa
kurangnya gaji dan pendapatan pegawai negeri memang merupakan
faktor yang paling menonjol dalam arti menyebabkan merata dan
meluasnya korupsi di Indonesia dikemukakan pula oleh Guy J. Pauker
(1979) yang menyatakat sebagai berikut: Although corruption is
widespread in Indonesia as means of supplementing excessively low
governmental salaries, the resources of the nation are not being used
primarily for the accumulation of vast private fortunes, but for
economic development and some silent, for welfare (Meskipun
korupsi tersebar luas di Indonesia sebagai sarana penambah gaji
pegawai pemerintah yang terlalu rendah, sumber daya bangsa tidak
digunakan terutama untuk mengumpulkan kekayaan pribadi yang luas,
tetapi untuk pembangunan ekonomi dan kesejahteraan pribadi) (Guy
J. Pauker : 1979).

Pendapat ini diperkuat oleh Schoorl yang menyatakan bahwa di


Indonesia dibagian pertama tahun enampuluhan, situasinya begitu
merosot, sehingga untuk golongan terbesar dari pegawai gaji sebulan
hanya sekedar cukup untuk makan dua minggu. Dapat dipahami,
bahwa dengan situasi demikian para pegawai terpaksa mencari
penghasilan tambahan dan bahwa banyak diantara mereka
mendapatkannya dengan meminta uang ekstra (Hamzah: 1995). Hal
demikian diungkapkan pula oleh KPK dalam buku Tambahan
Penghasilan Bagi Pegawai Negeri Sipil Daerah (KPK : 2006), bahwa
sistem penggajian kepegawaian sangat terkait degan kinerja aparatur
pemerintah. Tingkat gaji yang tidak memenuhi standar hidup minimal
pegawai merupakan masalah sulit yang harus dituntaskan
penyelesaiannya. Aparatur pemerintah yang merasa penghasilan yang
diterimanya tidak sesuai dengan kontribusi yang diberkannya dalam
menjalankan tugas pokoknya tidak akan dapat secara optimal
melaksanakan tugas pokoknya.

Selain rendahnya gaji pegawai, banyak aspek ekonomi lain yang


menjadi penyebab terjadinya korupsi, diantaranya adalah kekuasaan
pemerintah yang dibarengi dengan faktor kesempatan bagi pegawai
pemerintah untuk memenuhi kekayaan mereka dan kroninya. Terkait
faktor ekonomi dan terjadinya korupsi, banyak pendapat menyatakan
bahwa kemiskinan merupakan akar masalah korupsi. Pernyataan
demikian tidak benar sepenuhnya, sebab banyak korupsi yang
dilakukan oleh pemimpin Asia dan Afrika, dan mereka tidak tergolong
orang miskin. Dengan demikian korupsi bukan disebabkan oleh
kemiskinan, tapi justru sebaliknya, kemiskinan disebabkan oleh
korupsi (Pope : 2003). Menurut Henry Kissinger korupsi politisi
membuat sepuluh persen lainnya terlihat buruk. Dari keinginan
pribadi untuk keuntungan yang tidak adil, untuk ketidakpercayaan
dalam sistem peradilan, untuk ketidakstabilan lengkap dalam identitas
bangsa, ada banyak faktor motivasi orang kekuasaan, anggota
parlemen termasuk warga biasa, untuk terlibat dalam perilaku korup.

4. Faktor Organisasi

Organisasi dalam hal ini adalah organisasi dalam arti yang luas,
termasuk sistem pengorganisasian lingkungan masyarakat. Organisasi
yang menjadi korban korupsi atau di mana korupsi terjadi biasanya
memberi andil terjadinya korupsi karena membuka peluang atau
kesempatan untuk terjadinya korupsi (Tunggal 2000). Bilamana
organisasi tersebut tidak membuka peluang sedikitpun bagi seseorang
untuk melakukan korupsi, maka korupsi tidak akan terjadi. Aspek-
aspek penyebab terjadinya korupsi dari sudut pandang organisasi ini
meliputi:

a. Kurang adanya teladan dari pimpinan,

b. Tidak adanya kultur organisasi yang benar,

c. Sistem akuntabilitas di instansi pemerintah kurang memadai,

d. Manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasinya.

Terkait dengan itu Lyman W. Porter (1984) menyebut lima fungsi


penting dalam Tujuan Organisasi (organizational goals):

(1) Focus attention (perhatian yang focus);


(2) Provide a source of legitimacy (menyediakan sumber
legitimasi);

(3) Affect the structure of the organization (mempengaruhi


struktur organisasi);

(4) Serve as a standard (pelayanan standar);

(5) Provide clues about the organization (memberikan petunjuk


tentang organisasi).

Focus attention, dapat dijadikan oleh para anggota sebagai semacam


guideline untuk memusatkan usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan
anggota-anggota dan organisasi sebagai kesatuan. Melalui tujuan
organisasi, para panggota dapat memiliki arah yang jelas tentang
segala kegiatan dan tetang apa yang tidak, serta apa yang harus
dikerjakan dalam kerangka organisasi. Tindak tanduk atas kegiatan
dalam organisasi, oleh karenanya senantiasa berorientasi kepada
tujuan organisasi, baik disadari maupun tidak. Dalam fungsinya
sebagai dasar legitimasi atau pembenaran tujuan organisasi dapat
dijadikan oleh para anggota sebagai dasar keabsahan dan kebenaran
tindak-tindakan dan keputusan-keputusannya. Tujuan oraganisasi juga
berfungsi menyediakan pedoman-pedoman (praktis) bagi para
anggotanya. Dalam fungsinya yang demikian tujuan organisasi
menghubungkan para anggotanya dengan berbagai tata cara dalam
kelompok. Ia berfungsi untuk membantu para anggotanya menentukan
cara terbaik dalam melaksanakan tugas dan melakukan suatu tindakan.

Standar tindakan itulah yang akan menjadi tolok ukur dalam menilai
bobot suatu tindakan. Mengapa? Karena sebuah organisasi dapat
berfungsi dengan baik, hanya bila anggotanya bersedia
mengintegrasikan diri di bawah sebuah pola tingkah laku (yang
normatif), sehingga dapat dikatakan bahwa kehidupan bersama hanya
mungkin apabila anggota-anggota bersedia mematuhi dan mengikuti
“aturan permainan” yang telah ditentukan. Di sinilah letaknya bila
kurang ada teladan dari pimpinan bisa memicu perilaku korup.
Fenomena korupsi di atas menurut Baswir (Baswir:1996) pada
dasarnya berakar pada bertahannya jenis birokrasi patrimonial. Dalam
birokrasi ini, dilakukannya korupsi oleh para birokrat memang sulit
dihindari. Sebab kendali politik terhadap kekuasaan dan birokrasi
memang sangat terbatas.Penyebab lainnya karena sangat kuatnya
pengaruh integralisme di dalam filsafat kenegaraan bangsa ini,
sehingga cenderung masih mentabukan sikap oposisi. Karakteristik
negara kita yang merupakan birokrasi patrimonial dan negara
hegemonik tersebut menyebabkan lemahnya fungsi pengawasan,
sehingga merebaklah budaya korupsi itu. Banyak kejadian justru para
pengawas tersebut terlibat dalam praktik korupsi, belum lagi berkaitan
dengan pengawasan ekternal yang dilakukan masyarakat dan media
juga lemah, dengan demikian menambah deretan citra buruk
pengawasan yang sarat dengan korupsi. Baswir (Baswir: 1996) yang
mengemukakan bahwa negara kita yang merupakan birokrasi
patrimonial dan negara hegemonik menyebabkan lemahnya fungsi
pengawasan, sehingga merebaklah budaya korupsi itu.

Di banyak negara berkembang muncul pandangan bahwa korupsi


merupakan akibat dari perilaku-perilaku yang membudaya. Anggapan
ini lamakelamaan akan berubah jika uang pelicin yang diminta
semakin besar, atau konsumen tahu bahwa kelangkaan yang
melandasi uang semir sengaja diciptakan atau justru prosedur dan
proses yang lebih baik bisa diciptakan.

C. Faktor Internal dan Eksternal Penyebab Korupsi

Dari beberapa uraian di atas, tindak korupsi pada dasarnya bukanlah


peristiwa yang berdiri sendiri. Perilaku korupsi menyangkut berbagai
hal yang bersifat kompleks. Faktor-faktor penyebabnya bisa dari
internal pelaku-pelaku korupsi, tetapi bisa juga bisa berasal dari situasi
lingkungan yang kondusif bagi seseorang untuk melakukan korupsi.
Dengan demikian secara garis besar penyebab korupsi dapat
dikelompokan menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

1. Faktor Internal

Merupakan faktor pendorong korupsi dari dalam diri, yang dapat


dirinci menjadi:

a. Aspek Perilaku Individu

 Sifat tamak/rakus manusia.

Korupsi, bukan kejahatan kecil-kecilan karena mereka membutuhkan


makan. Korupsi adalah kejahatan orang profesional yang rakus. Sudah
berkecukupan, tapi serakah. Mempunyai hasrat besar untuk
memperkaya diri. Unsur penyebab korupsi pada pelaku semacam itu
datang dari dalam diri sendiri, yaitu sifat tamak dan rakus. Maka
tindakan keras tanpa kompromi, wajib hukumnya.

 Moral yang kurang kuat

Seorang yang moralnya tidak kuat cenderung mudah tergoda untuk


melakukan korupsi. Godaan itu bisa berasal dari atasan, teman
setingkat, bawahannya, atau pihak yang lain yang memberi
kesempatan untuk itu.  Gaya hidup yang konsumtif

Kehidupan di kota-kota besar sering mendorong gaya hidup seseong


konsumtif. Perilaku konsumtif bila tidak diimbangi dengan
pendapatan yang memadai akan membuka peluang seseorang untuk
melakukan berbagai tindakan untuk memenuhi hajatnya. Salah satu
kemungkinan tindakan itu adalah dengan korupsi.

b. Aspek Sosial

Perilaku korup dapat terjadi karena dorongan keluarga. Kaum


behavioris mengatakan bahwa lingkungan keluargalah yang secara
kuat memberikan dorongan bagi orang untuk korupsi dan
mengalahkan sifat baik seseorang yang sudah menjadi traits
pribadinya. Lingkungan dalam hal ini malah memberikan dorongan
dan bukan memberikan hukuman pada orang ketika ia
menyalahgunakan kekuasaannya.

2. Faktor Eksternal

Pemicu perilaku korup yang disebabkan oleh faktor di luar diri pelaku,
dapat dirinci menjadi:

a. Aspek Sikap Masyarakat Terhadap Korupsi

Pada umumnya jajaran manajemen selalu menutupi tindak korupsi


yang dilakukan oleh segelintir oknum dalam organisasi. Akibat sifat
tertutup ini pelanggaran korupsi justru terus berjalan dengan berbagai
bentuk. Oleh karena itu sikap masyarakat yang berpotensi
menyuburkan tindak korupsi terjadi karena:
 nilai-nilai di masyarakat kondusif untuk terjadinya korupsi.
Korupsi bisa ditimbulkan oleh budaya masyarakat. Misalnya,
masyarakat menghargai seseorang karena kekayaan yang dimilikinya.
Sikap ini seringkali membuat masyarakat tidak kritis pada kondisi,
misalnya dari mana kekayaan itu didapatkan.

 Masyarakat kurang menyadari bahwa korban utama korupsi adalah


masyarakat sendiri. Anggapan masyarakat umum terhadap peristiwa
korupsi, sosok yang paling dirugikan adalah negara. Padahal bila
negara merugi, esensinya yang paling rugi adalah masyarakat juga,
karena proses anggaran pembangunan bisa berkurang sebagai akibat
dari perbuatan korupsi.

 Masyarakat kurang menyadari bila dirinya terlibat korupsi. Setiap


perbuatan korupsi pasti melibatkan anggota masyarakat. Hal ini
kurang disadari oleh masyarakat. Bahkan seringkali masyarakat sudah
terbiasa terlibat pada kegiatan korupsi sehari-hari dengan cara-cara
terbuka namun tidak disadari.

 Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi akan bisa dicegah


dan diberantas bila masyarakat ikut aktif dalam agenda pencegahan
dan pemberantasan. Pada umumnya masyarakat berpandangan bahwa
masalah korupsi adalahtanggung jawab pemerintah semata.
Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi itu bisa diberantas
hanya bila masyarakat ikut melakukannya.

b. Aspek Ekonomi

Pendapatan tidak mencukupi kebutuhan. Dalam rentang kehidupan


ada kemungkinan seseorang mengalami situasi terdesak dalam hal
ekonomi. Keterdesakan itu membuka ruang bagi seseorang untuk
mengambil jalan pintas diantaranya dengan melakukan korupsi. c.
Aspek Politis

Menurut Rahardjo (1983) bahwa kontrol sosial adalah suatu proses


yang dilakukan untuk mempengaruhi orang-orang agar bertingkah
laku sesuai dengan harapan masyarakat. Kontrol sosial tersebut
dijalankan dengan menggerakkan berbagai aktivitas yang melibatkan
penggunaan kekuasaan negara sebagai suatu lembaga yang
diorganisasikan secara politik, melalui lembaga-lembaga yang
dibentuknya. Dengan demikian instabilitas politik, kepentingan
politis, meraih dan mempertahankan kekuasaan sangat potensi
menyebabkan perilaku korupsi. d. Aspek Organisasi

 Kurang adanya sikap keteladanan pimpinan

Posisi pemimpin dalam suatu lembaga formal maupun informal


mempunyai pengaruh penting bagi bawahannya. Bila pemimpin tidak
bisa memberi keteladanan yang baik di hadapan bawahannya,
misalnya berbuat korupsi, maka kemungkinan besar bawahnya akan
mengambil kesempatan yang sama dengan atasannya.

 Tidak adanya kultur organisasi yang benar

Kultur organisasi biasanya punya pengaruh kuat terhadap anggotanya.


Apabila kultur organisasi tidak dikelola dengan baik, akan
menimbulkan berbagai situasi tidak kondusif mewarnai kehidupan
organisasi. Pada posisi demikian perbuatan negatif, seperti korupsi
memiliki peluang untuk terjadi.  Kurang memadainya sistem
akuntabilitas

Institusi pemerintahan umumnya pada satu sisi belum dirumuskan


dengan jelas visi dan misi yang diembannya, dan belum dirumuskan
tujuan dan sasaran yang harus dicapai dalam periode tertentu guna
mencapai hal tersebut. Akibatnya, terhadap instansi pemerintah sulit
dilakukan penilaian apakah instansi tersebut berhasil mencapai
sasaranya atau tidak. Akibat lebih lanjut adalah kurangnya perhatian
pada efisiensi penggunaan sumber daya yang dimiliki. Keadaan ini
memunculkan situasi organisasi yang kondusif untuk praktik korupsi.
 Kelemahan sistim pengendalian manajemen

Pengendalian manajemen merupakan salah satu syarat bagi tindak


pelanggaran korupsi dalam sebuah organisasi. Semakin longgar/lemah
pengendalian manajemen sebuah organisasi akan semakin terbuka
perbuatan tindak korupsi anggota atau pegawai di dalamnya. 
Lemahnya pengawasan

Secara umum pengawasan terbagi menjadi dua, yaitu pengawasan


internal

(pengawasan fungsional dan pengawasan langsung oleh pimpinan)


dan pengawasan bersifat eksternal (pengawasan dari legislatif dan
masyarakat). Pengawasan ini kurang bisa efektif karena beberapa
faktor, diantaranya adanya tumpang tindih pengawasan pada berbagai
instansi, kurangnya profesional pengawas serta kurangnya kepatuhan
pada etika hukum maupun pemerintahan oleh pengawas sendiri.

D. Cara atau Upaya Untuk Memberantas Korupsi

United Nations mengembangkan berbagai upaya atau strategi untuk


memberantas korupsi yang dinamakan the Global Program Against
Corruption dan dibuat dalam bentuk United Nations Anti-Corruption
Toolkits (UNODC, 2004):

1. Pembentukan Lembaga Anti Korupsi


a. Membentuk lembaga independen yang khusus menangani
korupsi. Di Hongkong bernama Independent Commission
Against Corruption (ICAC), di Malaysia the Anti-Corruption
Agency (ACA), dan di Indonesia: KPK

b. Memperbaiki kinerja lembaga peradilan baik dari tingkat


kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan Lembaga
Permasyarakatan. Pengadilan adalah jantung penegakan hukum
yang harus bersikat imparsial (tidak memihak), jujur, dan adil.

c. Di tingkat departemen kinerja lembaga-lembaga audit seperti


Inspektorat Jenderal harus ditingkatkan. Ada kesan lembaga ini
sama sekali tidak punya ‘gigi’ ketika berhadapan dengan
korupsi yang melibatkan pejabat tinggi

d. Reformasi birokrasi dan reformasi pelayanan publik adalah


salah satu cara mencegah korupsi. Semakin banyak meja yang
harus dilewati untuk mengurus suatu hal, semakin banyak pula
kemungkinan terjadinya korupsi

e. Hal lain yang krusial untuk mengurangi resiko korupsi adalah


dengan memperbaiki dan memantau kinerja Pemerintah Daerah.
Sebelum Otonomi Daerah diberlakukan umumnya semua
kebijakan diambil oleh Pemerintah Pusat. Pada waktu itu
korupsi besar-besaran umumnya terjadi di Ibukota Negara.
Dengan otonomi, kantong korupsi tidak terpusat hanya di
ibukota negara tapi berkembanga ke berbagai daerah

f. Dalam berbagai pemberitaan di media-media, ternyata


korupsi juga banyak dilakukan oleh anggota parlemen baik di
pusat (DPR) maupun di daerah (DPRD). Alih-alih menjadi
wakil rakyat dan berjuang untuk kepentingan rakyat, anggota
parlemen justru melakukan korupsi yang “dibungkus” rapi.

2. Pencegahan Korupsi di Sektor Publik

a. Salah satu cara mencegah korupsi adalah dengan mewajibkan


pejabat publik melaporkan dan mengumumkan jumlah kekayaan yang
dimiliki baik sebelum dan sesudah menjabat. Masyarakat ikut
memantau tingkat kewajaran peningkatan jumlah kekayaan setelah
selesai menjabat. Kesulitan timbul ketika kekayaan yang didapatkan
dengan melakukan korupsi dialihkan kepemilikannya ke orang lain.

b. Pengadaan barang atau kontrak pekerjaan di pemerintahan pusat


dan daerah maupun militer sebaiknya melalui lelang atau penawaran
secara terbuka. Masyarakat diberi akses untuk dapat memantau dan
memonitor hasil pelelangan tersebut.

c. Korupsi juga banyak terjadi dalam perekrutan pegawai negeri dan


anggota TNI-Polri baru. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme sering terjadi
dalam proses rekrutmen tersebut. Sebuat sistem yang transparan dan
akuntabel dalam hal perekrutan perlu dikembangkan.

d. Sistem penilaian kinerja pegawai negeri yang menitik-beratkan


pada proses (process oriented) dan hasil kerja akhir (result oriented)
perlu dikembangkan. Untuk meningkatkan budaya kerja dan motivasi
kerjanya, bagi pegawai negeri yang berprestasi perlu diber insentif.

3. Pencegahan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat

a. Salah satu upaya memberantas korupsi adalah dengan memberi hak


kepada masyarakat untuk mendapatkan akses terhadap informasi.
Perlu dibangun sistem dimana masyarakat (termasuk media) diberikan
hak meminta segala informasi sehubungan dengan kebijakan
pemerintah yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.

b. Isu mengenai public awareness atau kesadaran dan kepedulian


publik terhadap bahaya korupsi dan isu pemberdayaan masyarakat
merupakan salah satu bagian penting upaya pemberantasan korupsi.
Salah satu cara meningkatkan public awareness adalah dengan
melakukan kampanye tentang bahaya korupsi.

c. Menyediakan sarana untuk melaporkan kasus korupsi. Misalnya


melalui telepon, surat, faksimili (fax), atau internet.

d. Di beberapa negara pasal mengenai ‘fitnah’ dan ‘pencemaran nama


baik’ tidak dapat diberlakukan untuk mereka yang melaporkan kasus
korupsi, dengan pemikiran bahwa bahaya korupsi lebih besar daripada
kepentingan individu.

e. Pers yang bebas adalah salah satu pilar demokrasi. Semakin banyak
informasi yang diterima masyarakat, semakin paham mereka akan
bahaya korupsi

f. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau NGOs baik tingkat lokal


maupun internasional juga memiliki peran penting untuk mencegah
dan memberantas korupsi. Sejak era Reformasi, LSM baru yang
bergerak di bidang Anti Korupsi banyak bermunculan. LSM memiliki
fungsi untuk melakukan pengawasan atas perilaku pejabat publik.
Contoh LSM lokal adal ICS (Indonesian Corruption Watch).

g. Cara lain untuk mencegah dan memberantas korupsi adalah dengan


menggunakan perangkat electronic surveillance. Alat ini digunakan
untuk mengetahui dan mengumpulkan data dengan menggunakan
peralatan elektronik yang dipasang di tempat-tempat tertentu.
Misalnya kamera video CCTV

h. Melakukan tekanan sosial dengan menayangkan foto dan


menyebarkan data para buronan tindak pidana korupsi yang putusan
perkaranya telah berkekuatan hukum tetap.

D. Andhi Nirwanto, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus


(2011) menjelaskan bahwa dalam rangka pencegahan dan
pemberantasan korupsi ke depan terdapat empat hal bisa dijadikan
bahan renungan dan pemikiran:

1. Harmonisasi peraturan perundang-undangan dalam rangka


pencegahan dan pemberantasan korupsi

2. Revitalisasi dan reaktualisasi peran dan fungsi aparatur


penegak hukum yang menangani perkara korupsi

3. Reformulasi fungsi lembaga legislatif

4. Pemberantasan tindak pidana korupsi harus dimulai dari diri


sendiri dari halhal yang kecil dan mulai hari ini agar setiap
daerah terbebas dari korupsi (Miranis, 2012).

4. Pengembangan dan Pembuatan Berbagai Instrumen Hukum yang


Mendukung Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi

Dukungan terhadap pencegahan dan pemberantasan korupsi tidak


cukup hanya mengandalkan satu instrumen hukum yaitu Undang-
Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berbagai peraturan
perundang-undangan atau instrumen hukum lain perlu dikembangkan.
Perlu peraturan perundang-undangan yang mendukung pemberantasan
korupsi yaitu Undang-Undang Tindak Pidana Money Laundering atau
pencucian uang. Untuk melindungi saksi dan korban tindak pidana
korupsi, perlu instrumen hukum berupa Undang-Undang Perlindungan
Saksi dan Korban. Untuk memberdayakan pers, perlu UU yang
mengatur pers yang bebas. Perlu mekanisme untuk mengatur
masyarakat yang akan melaporkan tindak pidana korupsi dan
penggunaan elektronic surveillance agar tidak melanggar privacy
seseorang. Hak warganegara untuk secara bebas menyatakan
pendapatnya juga perlu diatur. Selain itu, untuk mendukung
pemerintahan yang bersih, perlu instrumen kode etik yang ditujukan
kepada semua pejabat publik, baik pejabat eksekutif, legislatif,
maupun code of conduct bagi aparat lembaga peradilan (kepolisian,
kejaksaan, dan peradilan).

5. Pemantauan dan Evaluasi

Perlu pemantauan dan evaluasi terhadap seluruh pekerjaan atau


kegiatan pemberantasan korupsi agar diketahui capaian yang telah
dilakukan. Melalui pemantauan dan evaluasi dapat dilihat strategi atau
program yang sukses dan gagal. Program yang sukses sebaiknya
silanjutkan, sementara yang gagal dicari penyebabnya.

Pengalaman di negara lain yang sukses maupun gagal dapat dijadikan


bahan pertimbangan ketika memilih cara, strategi, upaya, maupun
program permberantasan korupsi di negara tertentu.

6. Kerjasama Internasional

Upaya lain yang dapat dilakukan dalam memberantas korupsi adalah


melakukan kerjasama internasional baik dengan negara lain maupun
dengan International NGOs. Sebagai contoh di tingkat internasional,
Transparency
International (TI) membuat program National Integrity Sistem. OECD

(Organization for Economic Co-operation and Development) yang


didukung oleh PBB untuk mengambil langkah baru dalam memerangi
korupsi di tingkat internasional membuat program the Ethics
Infrastructure dan World Bank membuat program A Framework for
Integrity.

KELOMPOK 3 :

1. PENDIDIKAN ANTI KORUPSI

2. DAMPAK MASIF KORUPSI

 PENDIDIKAN ANTI KORUPSI


1. Pengertian Pendidikan Anti Korupsi
Menurut Komisi Pemberantas Korupsi (2018), pendidikan anti
korupsi adalah proses untuk menguatkan sikap anti korupsi dalam
diri peserta didik, baik siswa maupun mahasiswa.
2. Fungsi Pendidikan Anti Korupsi
Pendidikan anti korupsi memiliki fungsi, yaitu :
a. Fungsi kognitif, yakni menambah wawasan mengenai
korupsi dan dampak massif yang ditimbulkan.
b. Fungsi efektif, yakni membentuk moral dan karakter anti
korupsi peserta didik dengan cara menanamkan nilai-nilai anti
korupsi dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
c. Fungsi psikomotor, yakni kesadran moral untuk melawan
berbagai bentuk praktek korupsi yang ada dilingkungan sekitar.
3. Tujuan Pendidikan Anti Korupsi
Menurut Sukiyat, tujuan pendidikan anti korupsi secara umum
adalah :
a. Membentuk pengetahuan dan pemahaman mengenai
bentuk korupsi dan aspek-aspeknya.
b. Mengubah persepsi dan sikap terhadap korupsi.
c. Membentuk keterampilan dan kecakapan baru yang
ditujukan untuk melawan korupsi.

Nilai-Nilai Anti Korupsi


a. Jujur
Kejujuran adalah nilai dasar yang menjadi landasan utama bagi
penegakan integritas dari seseorang. Tanpa adanya kejujuran,
seseorang tidak bisa menjadi pribadi yang berintegritas. Prinsip
kejujuran harus dapat dipegang teguh oleh setiap mahasiswa sejak
awal untuk memupuk dan membentuk karakter sedini mungkin
dalam setiap pribadi mahasiswa. Nilai kejujuran juga dapat
diwujudkan dalam kegiatan organisasi kemahasiswaan, misalnya
membuat laporan keuangan dalam kegiatan organisasi/kepanitiaan
dengan jujur.
Jujur juga didefinisikan sebagai lurus hati, tidak berbohong, dan
tidak curang. Jujur yaitu salah satu sifat yang sangat penting bagi
kehidupan mahasiswa. Tanpa sifat jujur mahasiswa tidak akan
dipercaya dalam kehidupan sosialnya (Sugono,2008).
Permasalahan yang hingga saat ini menjadi fenomena dikalangan
mahasiswa, yaitu budaya ketidakjujuran mahasiswa. Fakta
menunjukkan bahwa budaya ketidakjujuran pada waktu menjadi
mahasiswa indikatornya sederhana. Terdapat beberapa contoh
budaya ketidakjujuran mahasiswa, misalnya mencontek dan
plagiarisme.
Perilaku mencontek dan plagiarisme merupakan manifestasi
ketidakjujuran yang pada akhirnya memunculkan perilaku korupsi.
Kejujuran merupakan barang langka di Indonesia. Banyak orang
yang lulus perguruan tinggi, tetapi sangat langka orang pintar yang
jujur, sehingga akibatnya sulit mengukur kadar kesuksesan proses
belajar-mengajar.

b. Disiplin
Disiplin adalah ketaatan atau kepatuhan kepada peraturan
(Sugono, 2008). Disiplin juga adalah kunci keberhasilan,
ketekunan, dan konsisten semua orang untuk terus
mengembangkan potensi diri membuat seseorang akan selalu
mampu memberdayakan dirinya dalam menjalani tugasnya.
Nilai kedisiplinan pada mahasiswa dapat diwujudkan dalam bentuk
mengatur dan mengelola waktu untuk menyelesaikan tugas, baik
dalam lingkup akademik maupun social kampus. Kepatuhan pada
seluruh peraturan dan ketentuan yang berlaku di kampus,
mengerjakan sesuatunya tepat waktu, dan fokus pada perkuliahan.
Manfaat dar hidup disiplin adalah mahasiswa dapat mencapai
tujuan hidupnya dengan waktu yang efisien. Disiplin juga
membuat orang lain percaya. Misalnya, orangtua akan lebih
percaya pada anaknya yang hidup disiplin untuk belajar dikota lain
dibandingkan dengan anak yang tidak disiplin. Selain disiplin
dalam belajar, yang perlu dimiliki oleh mahasiswa agar diperoleh
hasil belajar yang maksimal.
Peran dosen dalam menanamkan nilai disiplin yaitu menjadi
teladan, sabar, dan penuh pengertian.
c. Tanggungjawab
Tanggungjawab adalah keadaan wajib menanggung segala
sesuatunya atau kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan,
dan diperkarakan (Sugono, 2008).
Mahasiswa yang memiliki rasa tanggungjawab akan memiliki
kecenderungan menyelesaikan tugas lebih baik dibandingkan
mahasiswa yang tidak memiliki rasa tanggungjawab. Seseorang
yang dapat menyelesaikan tanggungjawabnya sekecil apapun itu
dengan baik, akan mendapatkan kepercayaan dari orang lain.
Penerapan nilai tanggungjawab pada mahasiswa dapat diwujudkan
dalam bentuk :
1). Mempunyai prinsip dan memikirkan kemana arah masa
depan yang akan dituju.
2). Mempunyai attitude atau sikap yang menonjolkan generasi
penerus tenaga kesehatan yang berguna dikemudian hari dalam
mengembangkan profesinya.
3). Selalu belajar untuk menjadi generasi muda yang berguna
4). Mengikuti semua kegiatan yang telah dijadwalkan
5). Menyelesaikan tugas pembelajarn prakti secara individu dan
kelompok
d. Adil
Adil adalah sama berat, tidak berat sebelah, tidak memihak.
Keadilan adalah penilaian dengan memberikan kepada siapapun
sesuai apa yang menjadi haknya. Yakni dengan bertindak
proposional dan tidak melanggar hukum. Pribadi dengan karakter
yang baik akan menyadari bahwa apa yang dia terima sesuai
dengan jerih payahnya.
Bagi mahasiswa karakter adil ini perlu sekali dibina sejak masa
perkuliahan agar mahasiswa dapat mempertimbangkan dan
mengambil keputusan secara adil dan benar.
Nilai keadilan dapat dikembangkan oleh mahasiswa dalam
kehidupan sehari-hari, baik di dalam kampus maupun diluar
kampus.

e. Berani
Seseorang yang memiliki karakter kuat akan memiliki
keberanian untuk menyatakan kebenaran, berani mengaku
kesalahan, berani bertanggugjawab, dan berani menolak kebatilan.
Keberanian sangat diperlukan untuk mencapai kesuksesan serta
keberanian akan semakin matang jika diiringi dengan keyakinan
dan keyakinan akan semakin kuat jika pengetahuannya juga kuat.
Untuk mengembangkan sikap keberanian demi mempertahankan
pendirian dan keyakinan mahasiswa harus mempertimbangkan
dengan sebaik-baiknya. Pengetahuan yang mendalam
menimbulkan perasaan percaya diri sendiri. Dimanapun dan dalam
kondisi apapun sering kali harus diambil keputusan yang cepat dan
harus dilaksanakan dengan cepat pula.
Nilai keberanian dapat dikembangkan oleh mahasiswa dengan
kehidupan dikampus dapat diwujudkan dalam bentuk :
1. Bertanya kepada dosen jika tidak mengerti
2. Berani mengemukakan pendapat secara
bertanggungjawab ketika berdiskusi atau berani maju ke depan
untuk menyelesaikan tugas yang diberikan
3. Mengajukan sara/usul perbaikan proses belajar mengajar
dengan cara santun
4. Menulis artikel, pendapat, opini dimajalah dinding,
jurnal, dan publikasi ilmiah lainnya
5. Berani mengatakan tidak pada ajakan dan paksaan
tawuran mahasiswa serta perbuatan tercela.
Pengetahuan yang mendalam diperlukan untuk menerapkan nilai
keberanian yang membuat mahasiswa menguasai masalah yang di
hadapi.
f. Peduli
Peduli adalah mengindahkan, memperhatikan dan
menghiraukan (Sugono, 2008). Kepedulian sosial kepada sesama
menjadikan seseorang memiliki sifat kasih sayang. Individi yang
memiliki jiwa sosial tinggi akan memperhatikan lingkungan
sekelilingnya dimana masih terdapat banyak orang yang tidak
mampu, menderita dan membutuhkan uluran tangan. Pribadi
dengan jiwa sosial tidak akan tergoda untuk memperkaya diri
sendiri dengan cara yang tidak benar, tetapi ia berupaya untuk
menyisihkan sebagian penghasilannya untuk membantu sesama.
Nilai kepedulian mahasiswa harus mulai ditimbulkan sejak berada
dikampus. Oleh karena itu, upaya untuk mengembangkan sifat
pedulu dikalangan mahasiswa sebagai subjek didik sangat penting.
Hal tersebut dapat diwujudkan denag :
1. Berusaha ikut memantau jalannya proses pembelajaran,
memantau system pengelolaan sumber daya dikampus
2. Memantau kondisi infrastruktur di kampus
3. Terlibat aktif dalam kegiatan yang di selenggarakan
4. Tidak merokok di lingkungan kampus
5. Tidak meminum minuman beralkohol
6. Menghargai dan menghormati dosen, pegawai, dan teman
mahasiswa/i
7. Bersikap ramah, peduli dan suka menolong terhadap
masyarakat sekitar.
g. Kerja Keras
Bekerja keras didasari dengan adanya kemauan. Kata
“Kemauan” menimbulkan asosiasi dengan ketekunan, daya tahan,
tujuan jelas, daya kerja, pendirian, pengendalian diri, keberanian,
ketabahan, keteguhan, tenaga, kekuatan, dan pantang mundur.
Bekerja keras merupakan hal yang penting guna tercapainya hasil
yang sesuai dengan target. Akan tetapi bekerja keras akan menjadi
tidak berguna jika tanpa adanya pengetahuan.
Contoh niali kerja keras pada mahasiswa yaitu :
1. Belajar dengan sungguh-sungguh untuk meraih cita-cita
2. Memanfaatkan waktu luang untuk belajar dan membuat tugas
3. Bersikap aktif dalam belajar
4. Tidak mudah putus asa dalam mengerjakan tugas
5. Tidak tergantung pada orang lain dalam mengerjakan tugas-
tugas kampus
6. Rajin mengikuti kegiatan ekstra kulikuler untuk
meningkatkan prestasi diri
7. Tidak membuang waktu untuk melakukan sesuatu yang tidak
berguna
h. Sederhana
Pribadi yang berintegritas tinggi adalah seseorang yang
menyadari kebutuhannya dan berupaya memenuhi kebutuhannya
dengan semestinya tanpa berlebih-lebihan. Ia tidak tergoda untuk
hidup dalam gelimang kemewahan. Kekayaan utama yang menjadi
modal kehidupannya adalah ilmu pengetahuan. Ia sadar bahwa
mengejar harta tidak akan pernah ada habisnya karena hawa nafsu
keserakahan akan selalu memacu untuk mencari harta sebanyak-
banyaknya.
Contoh nilai sederhana bagi mahasiswa adalah :
1. Rendah hati
2. Berpakaian yang sopan dan sesuai aturan
3. Merasa cukup dengan apa yang ada
4. Tidak sombong
5. Selalu bersyukur dengan apa yang ia miliki
i. Mandiri
Kemandirian membentuk karakter yang kuat pada diri
seseorang, tidak bergantung terlalu banyak pada orang lain.
Mentalitas kemandirian yang dimiliki seseorang
memungkinkannya untuk mengoptimalkan daya pikirnya guna
bekerja secara efektif.
Mahasiswa yang mandiri dan dewasa memiliki sifat-sifat seperti :
a) Mampu menghadapi tantangan dengan baik
b) Mampu bersyukur dimasa-masa sulit
c) Dapat menentukan keputusan dan berpikir pijak dalam keadaan
terdesak
d) Dapat mengontrol amarah
e) Berpikir sebelum melakukan tindakan
Prinsip-Prinsip Anti Korupsi
a. Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah kesesuaian antara aturan dan pelaksanaan
kerja. Prinsip akuntabilitas merupakan pilar penting dalam rangka
mencegah terjadinya korupsi. Prinsip ini pada dasarnya
dimaksudkan agar kebijakan dan langkah-langkah atau kinerja
yang dijalankan sebuah lembaga dapat dipertanggungjawabkan.
Prinsip ini pada dasarnya dimaksudkan agar kebijakan dan
langkah-langkah atau kinerja yang dijalankan sebuah lembaga
dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, prinsip
akuntabilitas membutuhkan perangkat-perangkat pendukung, baik
berupa perundangan-undangan (de jure) maupun dalam bentuk
komitmen dan dukungan masyarakat (de facto), baik pada level
budaya (individu dengan individu) maupun pada level lembaga
(bappenas 2002). Akuntabilitas publik secara tradisional dipahami
sebagai alat yang digunakan untuk mengawasi dan mengarahkan
prilaku administrasi dengan cara membri kewajiban untuk dapat
memberikan jawaban untuk dapat memberikan kewajiban untuk
dapat meberikan jawaban (answerability) kepada sejumlah otoritas
eksternal (Dubnik,2005). Akuntabilitas Publik dalam arti yang
paling fundamental merujuk kepada kemempuan menjawab kepada
seseorang terkait dengan kinerja yang diharapkan (Pierre,2007).
Akuntabilitas public memiliki pola-pola tertentu dalam
mekanismenya, antara lain adalah akuntabilitas program, proses,
keuangan, outcome, hokum, dan politik (Puslitbang, 2001). Untuk
mewujudkan prinsip-prinsip akuntabilitas pengelolaan keuangan
negara, maka dalam pelaksanaannyaa harus dapat
dipertanggungjawabkan melalui : 1) Mekanisme pelaporan dan
pertanggungjawaban atas semua kegiatan yang dilakukan
Pelaporan dan pertangjawaban tidak hanya diajukan kepada
penanggung jawab kegiatan pada lembaga yang bersangkutan dan
Diraktorat Jenderal Anggaran Kementrian Keuangan, melainkan
kepada semua pihak khususnya kepada lembaga-lembaga kontrol
seperti DPR yang membidanginya serta kepada masyarakat.
Demekian juga dengan forum-forum untuk penentuaan anggaran
dana pembangunan mudah diakses oleh masyarakat, jika forum-
forum penganggaraan biaya pembangunan itu rumit atau terkesan
rahasia maka akan menjadi sasaran koruptor untuk memainkan
peran jahatnya dengan maksimal. 2) Evaluasi Evaluasi terhadap
kinerja administrasi, proses pelaksanaan, dampak dan manfaat
yang diberikan oleh setiap kegiatan kepada masyarakat, baik
manfaat langsung maupun manfaat jangka panjang setelah
beberapa tahun kegiatan itu dilaksanakan. Sektor evaluasi
merupakan sektor yang wajib diakuntabilitas demi menjaga
kredibilitas keuangan yang telah dianggarkan. Ketiadaan evaluasi
yang serius akan mengakibatkan tradisi penganggaran keuangan
yang buruk.
b. Transparansi
Tranparansi merupakan prinsip yang mengharuskan semua
proses kebijakan dilakukan secara terbuka, sehingga segala bentuk
penyimpangan dapat diketahui oleh publik (Prasojo, 2007)
Transpalasi menjadi pintu masuk, sekaligus sebagai kontrol bagi
seluruh proses dinamika stuktural kelembagaan, dalam bentuk
yang paling sederhana, kererikatan interaksi antar dua individu
atau lebih mengharuskan adanya transpalasi mangacu pada
keterbukaan dan kejujuran untuk saling menjunjung tinggi
kepercayaan karena kepercayaan, keterbukaan, dan kejujuran ini
merupakan modal awal yang sanagat berharga bagi mahasiswa
untuk dapat melanjutkan tanggungjawabnya pada masa kini dan
masa mendatang ( Kurniawan,2010). Dalam prosesnya, terdapat
lima proses dalam transparansi, yaitu penggaran, penyusunan
kegiatan, pembahsan, pengawasan, dan evaluasi.
1. Proses penggaran, bersifat dari bawah ke atas (bottom up), mulai
dari perencanaan, implementasi, laporan pertanggungjawaban, dan
penilain (evaluasi) terhadap kinerja anggaran. Hal ini dilakukan
untuk memudahkan kontrol pengelolaan anggaran oleh
masyarakat.
2. Proses penyusunan kegiatan, terkait dengan proses pembahasan
tentang tentang sumber-sumber pendanaan (anggaran pendapatan)
dan alokasi anggaran (anggaran belanja) pada semua tingkatan
3. Proses pembahasan, adalah pembahasan tentang pembuatan
rancangan peraturan yang berkaitan dengan strategi penggalangan
dana kegiatan dalam penetapan retribusi, pajak, serta aturan lain
yang terkait dengan penganggaran pemerintah.
4. Proses pengawasan, tentang tata cara dan mekanisme
pengelolaan kegiatan dimulai dari pelaksanaan tender, pengerjaan
teknis, pelaporan finansial, dan pertanggungjawaban secara
teknis.proses pengawasan dilakukan dalam pelaksanaan program
dan kegiatan yang terkait dengan kepentingan publik atau
pemenuhan kebutuhan masyarakat, khususnya kegiatan yang
diusulkan oleh masyarakat sendiri.
5. Proses evaluasi, dilakukan terhadap penyelenggaraan kegiatan
yang dilakukan secara terbuka. Evaluasi harus dilakukan sebagai
pertanggungjawaban secara administratif, teknis dan fisik dari
output kerja pembanguna.
c. Kewajaran
Prinsip kewajaran (fairness) dimaksudkan untuk mencegah adanya
ketidakwajaran dalam penganggaran, dalam bentuk mark up
maupun ketidakwajaran lainnya. Prinsip kewajaran terdiri atas lima
sifat, yaitu sebagai berikut.
1) Komprehensif Mempertimbangkan semua aspek, taat asas,
prinsip pembebanan, pengeluaran, dan tidak melampaui batas (off
budget). Hal ini dimaksudkan agar anggaran dapat dimanfaatkan
sewajarnya.
2) Fleksibilitas Tersedianya kebijakan tertentu untuk mencapai
efesiensi dan efektivitas (prinsip tak tersangka, perubahan,
pergerakan, dan disentrilisasi manajemen)
3) Terprediksi Ketetapan dalam perencanaan berdasarkan asas
value for money dengan tujuan untuk menghindari defisit dalam
tahun anggaran berjalan. Adanya anggaran yang terprediksi
merupakan cerminan dari prinsip kewajaran dalam proses
pembangunan.
4) Kejujuran Merupakan bagian utama dari prinsip kewajaran.
Kejujuran adalah tidak adanya bias perkiraan penerimaan atau
pengeluaran yang disengaja yang berasal dari pertimbangan teknis
maupun politis.
5) Informatif Informatif merupakan ciri dari kejujuran. Sistem
informasi pelaporan yang teratur dan informatif adalah dasar
penilain kinerja, kejujuran, dan proses pengambilan keputusan.
Pemerintah yang informatif merupakan pemerintah yang telah
bersikap wajar dan jujur dan tidak menutup-nutupi hal yang
memang.
d. Kebijakan
Prinsip kebijakan adalah prinsip antikorupsi yang dimaksudkan
agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang
kebijakan antikorupsi. Kebijakan berperan untuk mengatur tata
interaksi dalam ranah sosial agar tidak terjadi penyimpangan yang
dapat merugikan negara dan masyarakat. Kebijakan antikorupsi
tidak selalu identik dengan undang-undang antikorupsi, akan tetapi
bisa juga berupa undang-undang kebebasan untuk mengakses
informasi, desentralisasi, anti monopoli, maupun undang-undang
lainnya yang memudahkan masyarakat untuk mengetahui dan
mengendalikan kinerja dan penggunaan anggaran negara oleh
pejabat negara. Kebijakan antikorupsi dapat dilihat dalam empat
aspek berikut :
1) Isi kebijakan Isi atau konten merupakan komponen penting dari
sebuah kebijakan. Kebijakan anti korupsi akan menjadi lebih
efektif apabila mengandung unsur-unsur yang terkait dengan
permasalahan korupsi sebagai fokus dri kegiatan tersebut.
2) Pembuat kebijakan Pembuat kebikan adalah hal yang terkait erat
dengan kebijakan antikorupsi. Isi kebijakan setidaknya merupakan
cermin kualitas dan integritas pembuatnya dan pembuat kebijakan
juga akan menentukan kualitas dari isi kebijakan tersebut.
3) Penegakan kebijakan kebijakan yang telah dirumuskan akan
berfungsi apabila didukung oleh faktor penegak kebijakan, yaitu
kepolisian, pengadilan, pengacara, dan lembaga permasyarakatan.
Kebijakan hanya akan menjadi instrumen kekuasaan apabila
penegak kebijakan tidak memiliki komitmen untuk meletakan
kebijakan tersebut sebagai aturan yang mengikat bagi semua,
dimana hal tersebut justru akan menimbulkan kesenjangan,
ketidakadilan, dan bentuk penyimpangan lainnya.
4) Kultur kebijakan Keberadaan suatu kebijakan memiliki
keterkaitan dengan nilainilai, pemahaman, sikap persepsi, dan
kesadaran masyarakat terhadap hukum undang-undang antikorupsi.
Selanjutnya tingkat partisipasi masyarakat dalam pemberantasan
korupsi akan ditentukan oleh kultur kebijakan.
e. Kontrol Kebijakan
Kontrol kebijakan adalah upaya agar kebijakan yang dibuat benar-
benar efektif dan menghapus semua korupsi. Sedikitnya terdapat
tiga model atau bentuk kontrol terhadap kebijakan pemerintah,
yaitu berupa:
1) Partisipasi Kontrol kebijakan berupa partisipasi yaitu melakukan
kontrol terhadap kebijakan dengan ikut serta dalam penyusunan
dan pelaksaannya.
2) Evolusi Kontrol kebijakan berupa evolusi yaitu mengontrol
dengan menawarkan alternatif kebikan baru yang dianggap lebik
layak.
3) Reformasi Kontrol kebijakan berupa reformasi yaitu mengontrol
dengan mengganti kebijakan yang dianggap tidak sesuai. Substansi
dari tiga model tersebut adalah keterlibatan masyarakat dalam
mengontrol kebijakan negara
o DAMPAK MASIH KORUPSI

A. Pengertian Korupsi

Kata “korupsi” berasal dari bahasa Latin “corruptio” atau


“corruptus”. Selanjutnya dikatakan bahwa “corruptio”
berasal dari kata “corrumpere”, suatu bahasa Latin yang
lebih tua. Dari bahasa Latin tersebut kemudian dikenal istilah
“corruption, corrupt” (Inggris),

“corruption” (Perancis) dan “corruptie/korruptie” (Belanda).


Arti kata korupsi secara harfiah adalah kebusukan,
keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak
bermoral, penyimpangan dari kesucian.

Istilah korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan


kata bahasa Indonesia, adalah “kejahatan, kebusukan, dapat
disuap, tidak bermoral, kebejatan dan ketidakjujuran”.
Pengertian lainnya, “perbuatan yang buruk seperti
penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya”.
Selanjutnya untuk beberapa pengertian lain, disebutkan
bahwa :

1. Korup artinya busuk, suka menerima uang


suap/sogok, memakai kekuasaan untuk kepentingan
sendiri dan sebagainya;
2. Korupsi artinya perbuatan busuk seperti penggelapan
uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya; dan;

3. Koruptor artinya orang yang melakukan korupsi.

B. Penyebab Korupsi

Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi,


baik berasal dari dalam diri pelaku atau dari luar pelaku.
Sebagaimana dikatakan Yamamah bahwa ketika perilaku
materialistik dan konsumtif masyarakat serta sistem politik
yang masih “mendewakan” materi maka dapat “memaksa”
terjadinya permainan uang dan korupsi “Dengan kondisi itu
hampir dapat dipastikan seluruh pejabat kemudian `terpaksa`
korupsi kalau sudah menjabat”.

Dengan demikian, jika menggunakan sudut pandang


penyebab korupsi seperti ini, maka salah satu penyebab
korupsi adalah cara pandang terhadap kekayaan. Cara
pandang terhadap kekayaan yang salah akan menyebabkan
cara yang salah dalam mengakses kekayaan. Pandangan lain
dikemukakan oleh Arifin yang mengidentifikasi faktor-faktor
penyebab terjadinya korupsi antara lain:

(1) aspek perilaku individu

(2) aspek organisasi,

(3) aspek masyarakat tempat individu dan organisasi berada.


Erry Riyana Hardjapamekas menyebutkan tingginya kasus
korupsi di negeri ini disebabkan oleh beberapa hal
diantaranya: (1) Kurang keteladanan dan kepemimpinan elite
bangsa, (2) Rendahnya gaji Pegawai Negeri Sipil, (3)
Lemahnya komitmen dan konsistensi penegakan hukum dan
peraturan perundangan, (4) Rendahnya integritas dan
profesionalisme, (5) Mekanisme pengawasan internal di
semua lembaga perbankan, keuangan, dan birokrasi belum
mapan, (6) Kondisi lingkungan kerja, tugas jabatan, dan
lingkungan masyarakat, dan (7) Lemahnya keimanan,
kejujuran, rasa malu, moral dan etika.

Dari beberapa uraian di atas, tindak korupsi pada dasarnya


bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Perilaku korupsi
menyangkut berbagai hal yang bersifat kompleks. Faktor-
faktor penyebabnya bisa dari internal pelaku-pelaku korupsi,
tetapi bisa juga bisa berasal dari situasi lingkungan yang
kondusif bagi seseorang untuk melakukan korupsi. Dengan
demikian secara garis besar penyebab korupsi dapat
dikelompokan menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor
eksternal.

1 Faktor internal, merupakan faktor pendorong korupsi dari


dalam diri, yang dapat dirinci menjadi:

a. Aspek Perilaku Individu


1). Sifat tamak/rakus manusia.

Korupsi, bukan kejahatan kecil-kecilan karena mereka


membutuhkan makan. Korupsi adalah kejahatan orang
profesional yang rakus. Sudah berkecukupan, tapi serakah.
Mempunyai hasrat besar untuk memperkaya diri. Unsur
penyebab korupsi pada pelaku semacam itu datang dari
dalam diri sendiri, yaitu sifat tamak dan rakus. Maka tindakan
keras tanpa kompromi, wajib hukumnya.

2) Moral yang kurang kuat

Seorang yang moralnya tidak kuat cenderung mudah tergoda


untuk melakukan korupsi. Godaan itu bisa berasal dari
atasan, teman setingkat, bawahannya, atau pihak yang lain
yang memberi kesempatan untuk itu.

3) Gaya hidup yang konsumtif.

Kehidupan di kota-kota besar sering mendorong gaya hidup


seseong konsumtif. Perilaku konsumtif bila tidak diimbangi
dengan pendapatan yang memadai akan membuka peluang
seseorang untuk melakukan berbagai tindakan untuk
memenuhi hajatnya. Salah satu kemungkinan tindakan itu
adalah dengan korupsi.

b. Aspek Sosial
Perilaku korup dapat terjadi karena dorongan keluarga. Kaum
behavioris mengatakan bahwa lingkungan keluargalah yang
secara kuat memberikan dorongan bagi orang untuk korupsi
dan mengalahkan sifat baik seseorang yang sudah menjadi
traits pribadinya. Lingkungan dalam hal ini malah
memberikan dorongan dan bukan memberikan hukuman pada
orang ketika ia menyalahgunakan kekuasaannya.

2. Faktor eksternal, pemicu perilaku korup yang disebabkan


oleh faktor di luar diri pelaku.

a. Aspek sikap masyarakat terhadap korupsi

1) Pada umumnya jajaran manajemen selalu menutupi tindak


korupsi yang dilakukan oleh segelintir oknum dalam
organisasi. Akibat sifat tertutup ini pelanggaran korupsi
justru terus berjalan dengan berbagai bentuk. Oleh karena itu
sikap masyarakat yang berpotensi menyuburkan tindak
korupsi terjadi karena :

a) Nilai-nilai di masyarakat kondusif untuk terjadinya


korupsi. Korupsi bisa ditimbulkan oleh budaya masyarakat.
Misalnya, masyarakat menghargai seseorang karena
kekayaan yang dimilikinya. Sikap ini seringkali membuat
masyarakat tidak kritis pada kondisi, misalnya dari mana
kekayaan itu didapatkan.
b) Masyarakat kurang menyadari bahwa korban utama
korupsi adalah masyarakat sendiri. Anggapan masyarakat
umum terhadap peristiwa korupsi, sosok yang paling
dirugikan adalah negara. Padahal bila negara merugi,
esensinya yang paling rugi adalah masyarakat juga, karena
proses anggaran pembangunan bisa berkurang sebagai akibat
dari perbuatan korupsi.

c) Masyarakat kurang menyadari bila dirinya terlibat korupsi.


Setiap perbuatan korupsi pasti melibatkan anggota
masyarakat. Hal ini kurang disadari oleh masyarakat. Bahkan
seringkali masyarakat sudah terbiasa terlibat pada kegiatan
korupsi sehari-hari dengan cara-cara terbuka namun tidak
disadari.

d) Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi akan bisa


dicegah dan diberantas bila masyarakat ikut aktif dalam
agenda pencegahan dan pemberantasan. Pada umumnya
masyarakat berpandangan bahwa masalah korupsi adalah
tanggung jawab pemerintah semata. Masyarakat kurang
menyadari bahwa korupsi itu bisa diberantas hanya bila
masyarakat ikut melakukannya.

b. Aspek ekonomi

Pendapatan tidak mencukupi kebutuhan. Dalam rentang


kehidupan ada kemungkinan seseorang mengalami situasi
terdesak dalam hal ekonomi. Keterdesakan itu membuka
ruang bagi seseorang untuk mengambil jalan pintas
diantaranya dengan melakukan korupsi.

c. Aspek Politis

Menurut Rahardjo bahwa kontrol sosial adalah suatu proses


yang dilakukan untuk mempengaruhi orang-orang agar
bertingkah laku sesuai dengan harapan masyarakat. Kontrol
sosial tersebut dijalankan dengan menggerakkan berbagai
aktivitas yang melibatkan penggunaan kekuasaan negara
sebagai suatu lembaga yang diorganisasikan secara politik,
melalui lembaga-lembaga yang dibentuknya. Dengan
demikian instabilitas politik, kepentingan politis, meraih dan
mempertahankan kekuasaan sangat potensi menyebabkan
perilaku korupsi

C. Dampak Masif Korupsi

Korupsi tidak hanya berdampak terhadap satu aspek


kehidupan saja. Korupsi menimbulkan efek domino yang
meluas terhadap eksistensi bangsa dan negara. Meluasnya
praktik korupsi di suatu negara akan memperburuk kondisi
ekonomi bangsa, misalnya harga barang menjadi mahal
dengan kualitas yang buruk, akses rakyat terhadap
pendidikan dan kesehatan menjadi sulit, keamanan suatu
negara terancam, kerusakan lingkungan hidup, dan citra
pemerintahan yang buruk di mata internasional sehingga
menggoyahkan sendi-sendi kepercayaan pemilik modal
asing, krisis ekonomi yang berkepanjangan, dan negara pun
menjadi semakin terperosok dalam kemiskinan. Berbagai
dampak masif korupsi yang merongrong berbagai aspek
kehidupan berbangsa dan bernegara akan diuraikan di bawah
ini.

1. Dampak Ekonomi

Korupsi memiliki berbagai efek penghancuran yang hebat (an


enermous destruction effects) terhadap berbagai sisi
kehidupan bangsa dan negara, khususnya dalam sisi ekonomi
sebagai pendorong utama kesejahteraan masyarakat. Mauro
menerangkan hubungan antara korupsi dan ekonomi.
Menurutnya korupsi memiliki korelasi negatif dengan tingkat
investasi, pertumbuhan ekonomi, dan dengan pengeluaran
pemerintah untuk program sosial dan kesejahteraan. Hal ini
merupakan bagian dari inti ekonomi makro. Kenyataan
bahwa korupsi memiliki hubungan langsung dengan hal ini
mendorong pemerintah berupaya menanggulangi korupsi,
baik secara preventif, represif maupun kuratif.

a. Lesunya Pertumbuhan Ekonomi dan Investasi

Korupsi bertanggung jawab terhadap lesunya pertumbuhan


ekonomi dan investasi dalam negeri. Korupsi juga
mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat
distorsi dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor
privat, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian
dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi
dengan pejabat korup, dan resiko pembatalan perjanjian atau
karena penyelidikan.

Kondisi negara yang korup akan membuat pengusaha


multinasional meninggalkannya, karena investasi di negara
yang korup akan merugikan dirinya karena memiliki ‘biaya
siluman’ yang tinggi. Dalam studinya, Paulo Mauro
mengungkapkan dampak korupsi pada pertumbuhan investasi
dan belanja pemerintah bahwa korupsi secara langsung dan
tidak langsung adalah penghambat pertumbuhan investasi.
Berbagai organisasi ekonomi dan pengusaha asing di seluruh
dunia menyadari bahwa suburnya korupsi di suatu negara
adalah ancaman serius bagi investasi yang ditanam.

b. Penurunan Produktifitas

Dengan semakin lesunya pertumbuhan ekonomi dan


investasi, maka tidak dapat disanggah lagi, bahwa
produktifitas akan semakin menurun. Hal ini terjadi seiring
dengan terhambatnya sektor industri dan produksi untuk bisa
berkembang lebih baik atau melakukan pengembangan
kapasitas. Penurunan produktifitas ini juga akan
menyebabkan permasalahan yang lain, seperti tingginya
angka PHK dan meningkatnya angka pengangguran. Ujung
dari penurunan produktifitas ini adalah kemiskinan
masyarakat

c. Rendahnya Kualitas Barang dan Jasa Bagi Publik

Ini adalah sepenggal kisah sedih yang dialami masyarakat


kita yang tidak perlu terjadi apabila kualitas jalan raya baik
sehingga tidak membahayakan pengendara yang
melintasinya. Hal ini mungkin juga tidak terjadi apabila
tersedia sarana angkutan umum yang baik, manusiawi dan
terjangkau. Ironinya pemerintah dan departemen yang
bersangkutan tidak merasa bersalah dengan kondisi yang ada,
selalu berkelit bahwa mereka telah bekerja sesuai dengan
prosedur yang ditetapkan.

d. Menurunnya Pendapatan Negara Dari Sektor Pajak

Sebagian besar negara di dunia ini mempunyai sistem pajak


yang menjadi perangkat penting untuk membiayai
pengeluaran pemerintahnya dalam menyediakan barang dan
jasa publik, sehingga boleh dikatakan bahwa pajak adalah
sesuatu yang penting bagi negara.

Pajak berfungsi sebagai stabilisasi harga sehingga dapat


digunakan untuk mengendalikan inflasi, di sisi lain pajak juga
mempunyai fungsi redistribusi pendapatan, di mana pajak
yang dipungut oleh negara selanjutnya akan digunakan untuk
pembangunan, dan pembukaan kesempatan kerja yang pada
akhirnya akan menyejahterakan masyarakat. Pajak sangat
penting bagi kelangsungan pembangunan negara dan
kesejahteraan masyarakat juga pada akhirnya.

e. Meningkatnya Hutang Negara

Kondisi perekonomian dunia yang mengalami resesi dan


hampir melanda semua negara termasuk Amerika Serikat dan
negara-negara Eropa, memaksa negara-negara tersebut untuk
melakukan hutang untuk mendorong perekonomiannya yang
sedang melambat karena resesi dan menutup biaya anggaran
yang defisit, atau untuk membangun infrastruktur penting

2 Dampak Sosial dan Kemiskinan Masyarakat

Bagi masyarakat miskin korupsi mengakibatkan dampak


yang luar biasa dan saling bertaut satu sama lain. Pertama,
dampak langsung yang dirasakan oleh orang miskin yakni
semakin mahalnya jasa berbagai pelayanan publik, rendahnya
kualitas pelayanan, dan pembatasan akses terhadap berbagai
pelayanan vital seperti air, kesehatan, dan pendidikan.

Kedua, dampak tidak langsung terhadap orang miskin yakni


pengalihan sumber daya milik publik untuk kepentingan
pribadi dan kelompok, yang seharusnya diperuntukkan guna
kemajuan sektor sosial dan orang miskin, melalui pembatasan
pembangunan. Hal ini secara langsung memiliki pengaruh
kepada langgengnya kemiskinan.

a. Mahalnya Harga Jasa dan Pelayanan Publik

Praktek korupsi yang terjadi menciptakan ekonomi biaya


tinggi. Beban yang ditanggung para pelaku ekonomi akibat
korupsi disebut high cost economy. Dari istilah pertama di
atas terlihat bahwa potensi korupsi akan sangat besar terjadi
di negara-negara yang menerapkan kontrol pemerintah secara
ketat dalam praktek perekonomian alias memiliki kekuatan
monopoli yang besar, karena rentan sekali terhadap
penyalahgunaan. Yang disalahgunakan adalah perangkat-
perangkat publik atau pemerintahan dan yang diuntungkan
adalah kepentingan-kepentingan yang bersifat pribadi.

b. Terbatasnya Akses Bagi Masyarakat Miskin

Korupsi yang telah menggurita dan terjadi di setiap aspek


kehidupan mengakibatkan highcost economy, di mana semua
harga-harga melambung tinggi dan semakin tidak terjangkau
oleh rakyat miskin. Kondisi ini mengakibatkan rakyat miskin
semakin tidak bisa mendapatkan berbagai macam akses
dalam kehidupannya. Harga bahan pokok seperti beras, gula,
minyak, susu dan sebagainya saat ini sangat tinggi. Kondisi
ini mengakibatkan penderitaan khusunya bagi bayi dan anak-
anak karena ketercukupan gizinya kurang. Untuk
mendapatkan bahan pokok ini rakyat miskin harus
mengalokasikan sejumlah besar uang dari sedikit pendapatan
yang dimilikinya.

c. Meningkatnya Angka Kriminalitas

Dampak korupsi, tidak diragukan lagi dapat menyuburkan


berbagai jenis kejahatan dalam masyarakat. Melalui praktik
korupsi, sindikat kejahatan atau penjahat perseorangan dapat
leluasa melanggar hukum, menyusupi berbagai oraganisasi
negara dan mencapai kehormatan. Semakin tinggi tingkat
korupsi, semakin besar pula kejahatan.

d. Solidaritas Sosial Semakin Langka dan Demoralisasi

Korupsi yang begitu masif yang terjadi membuat masyarakat


merasa tidak mempunyai pegangan yang jelas untuk
menjalankan kehidupannya sehari-hari. Kepastian masa
depan yang tidak jelas serta himpitan hidup yang semakin
kuat membuat sifat kebersamaan dan kegotong-royongan
yang selama ini dilakukan hanya menjadi retorika saja.

3. Dampak Terhadap Politik dan Demokrasi

a. Munculnya Kepemimpinan Korup

Kondisi politik yang carut marut dan cenderung sangat


koruptif menghasilkan masyarakat yang tidak demokratis.
Perilaku koruptif dan tindak korupsi dilakukan dari tingkat
yang paling bawah. Konstituen di dapatkan dan berjalan
karena adanya suap yang diberikan oleh calon-calon
pemimpin partai, bukan karena simpati atau percaya terhadap
kemampuan dan kepemimpinannya. Hubungan transaksional
sudah berjalan dari hulu yang pada akhirnya pun
memunculkan pemimpin yang korup juga karena proses yang
dilakukan juga transaksional. Masyarakat juga seolah-olah
digiring untuk memilih pemimpin yang korup dan diberikan
mimpi-mimpi dan janji akan kesejahteraan yang menjadi
dambaan rakyat sekaligus menerima suap dari calon
pemimpin tersebut.

b. Hilangnya Kepercayaan Publik pada Demokrasi

Demokrasi yang diterapkan di Indonesia sedang menghadapi


cobaan berat yakni berkurangnya kepercayaan masyarakat
terhadap demokrasi. Hal ini dikarenakan terjadinya tindak
korupsi besar-besaran yang dilakukan oleh petinggi
pemerintah, legislatif atau petinggi partai politik. Kondisi ini
mengakibatkan berkurangnya bahkan hilangnya kepercayaan
publik terhadap pemerintahan yang sedang berjalan.

c. Menguatnya Plutokrasi

Korupsi yang sudah menyandera pemerintahan pada akhirnya


akan menghasilkan konsekuensi menguatnya plutokrasi
(sitem politik yang dikuasai oleh pemilik modal/kapitalis)
karena sebagian orang atau perusahaan besar melakukan
‘transaksi’ dengan pemerintah, sehingga pada suatu saat
merekalah yang mengendalikan dan menjadi penguasa di
negeri ini.

d. Hancurnya Kedaulatan Rakyat

Dengan semakin jelasnya plutokrasi yang terjadi, kekayaan


negara ini hanya dinikmati oleh sekelompok tertentu bukan
oleh rakyat yang seharusnya. Perusahaan besar
mengendalikan politik dan sebaliknya juga politik digunakan
untuk keuntungan perusahaan besar.Bila kita melihat sisi lain
politik, seharusnya kedaulatan ada di tangan rakyat. Namun
yang terjadi sekarang ini adalah kedaulatan ada di tangan
partai politik, karena anggapan bahwa partailah bentuk
representasi rakyat.

4. Dampak Terhadap Penegakan Hukum

a. Fungsi Pemerintahan Mandul

Korupsi telah mengikis banyak kemampuan pemerintah


untuk melakukan fungsi yang seharusnya. Bentuk hubungan
yang bersifat transaksional yang lazim dilakukan oleh
berbagai lembaga pemerintahan begitu juga Dewan
Perwakilan Rakyat yang tergambar dengan hubungan partai
politik dengan voter-nya, menghasilkan kondisi yang sangat
rentan terhadap terjadinya praktek korupsi. Korupsi, tidak
diragukan, menciptakan dampak negatif terhadap kinerja
suatu sistem politik atau pemerintahan

b. Hilangnya Kepercayaan Rakyat Terhadap Lembaga


Negara

Korupsi yang terjadi pada lembaga-lembaga negara seperti


yang terjadi di Indonesia dan marak diberitakan di berbagai
media massa mengakibatkan kepercayaan masyarakat
terhadap lembaga tersebut hilang.

D. Mengatasi Dan Mencegah Korupsi

1. Nilai & Prinsip Anti Korupsi

Mengacu pada berbagai aspek yang dapat menjadi penyebab


terjadinya korupsi sebagaimana telah dipaparkan dalam bab
sebelumnya, dapat dikatakan bahwa penyebab korupsi terdiri
atas faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal
merupakan penyebab korupsi yang datangnya dari diri
pribadi atau individu, sedangkan faktor eksternal berasal dari
lingkungan atau sistem. Upaya pencegahan korupsi pada
dasarnya dapat dilakukan dengan menghilangkan, atau
setidaknya mengurangi kedua faktor penyebab korupsi
tersebut.

Faktor internal sangat ditentukan oleh kuat tidaknya nilai-


nilai anti korupsi tertanam dalam diri setiap individu. Nilai-
nilai anti korupsi tersebut antara lain meliputi kejujuran,
kemandirian, kedisiplinan, tanggung jawab, kerja keras,
sederhana, keberanian, dan keadilan. Nilai-nilai anti korupsi
itu perlu diterapkan oleh setiap individu untuk dapat
mengatasi faktor eksternal agar korupsi tidak terjadi. Untuk
mencegah terjadinya faktor eksternal, selain memiliki nilai-
nilai anti korupsi, setiap individu perlu memahami dengan
mendalam prinsipprinsip anti korupsi yaitu akuntabilitas,
transparansi, kewajaran, kebijakan, dan kontrol kebijakan
dalam suatu organisasi/institusi/masyarakat. Oleh karena itu
hubungan antara prinsip-prinsip dan nilai-nilai anti korupsi
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

a. Nilai-nilai anti korupsi

1. Kejujuran

2. Kemandirian

3. Kepedulian

4. Kedisplinan

5. Tanggung Jawab

6. Kerja Keras

7. Sederhana

8. Keberaniaan
9. Keadilan

b. Prinsip-Prinsip Anti-Korupsi

Setelah memahami nilai-nilai anti korupsi yang penting untuk


mencegah faktor internal terjadinya korupsi, berikut akan
dibahas prinsip-prinsip Anti-korupsi yang meliputi
akuntabilitas, transparansi, kewajaran, kebijakan, dan kontrol
kebijakan, untuk mencegah faktor eksternal penyebab
korupsi.

1. Akuntabilitas

2. Transparansi

3. Kewajaran

4. Kebijakkan

5. Kontrol Kebijakkan

c. Upaya Pemberantasan Korupsi

Ada yang mengatakan bahwa upaya yang paling tepat untuk


memberantas korupsi adalah menghukum seberat-beratnya
pelaku korupsi. Dengan demikian, bidang hukum khususnya
hukum pidana akan dianggap sebagai jawaban yang paling
tepat untuk memberantas korupsi. Merupakan sebuah realita
bahwa kita sudah memiliki berbagai perangkat hukum untuk
memberantas korupsi yaitu peraturan perundang-undangan.
Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa bekal pendidikan
(termasuk Pendidikan Agama) memegang peranan yang
sangat penting untuk mencegah korupsi. Benarkah demikian?
Yang cukup mengejutkan, negara-negara yang tingkat
korupsinya cenderung tinggi, justru adalah negara-negara
yang masyarakatnya dapat dikatakan cukup taat beragama.
Ada yang mengatakan bahwa untuk memberantas korupsi,
sistem dan lembaga pemerintahan serta lembaga-lembaga
negara harus direformasi. Reformasi ini meliputi reformasi
terhadap sistem, kelembagaan maupun pejabat publiknya.

Penting pula untuk membentuk lembaga independen yang


bertugas mencegah dan memberantas korupsi. Lembaga ini
harus mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya
kepada rakyat. Ruang gerak serta kebebasan menyatakan
pendapat untuk masyarakat sipil (civil society) harus
ditingkatkan, termasuk di dalamnya mengembangkan pers
yang bebas dan independen.Di sini akan dipaparkan berbagai
upaya pemberantasan korupsi yang dapat dan telah
dipraktekkan di berbagai negara. Ada beberapa bahan
menarik yang dapat didiskusikan dan digali bersama untuk
melihat upaya yang dapat kita lakukan untuk memberantas
korupsi.

a) Konsep Pemberantasan Korupsi


b) Upaya Penanggulangan Kejahatan (Korupsi) dengan
Hukum Pidana

c) Berbagai Strategi dan/atau Upaya Pemberantasan Korupsi

KELOMPOK 4 :UPAYA PEMBERANTASAN


KORUPSI

 Gambaran Umum Korupsi di Indonesia

Korupsi di Indonsia dimulai sejak era Orde Lama sekitar


tahun 1960-an bahkan sangat mungkin pada tahun-tahun
sebelumnya. Pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 24
Prp 1960 yang diikuti dengan dilaksanakannya “Operasi
Budhi” dan Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi
berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 228 Tahun 1967
yang dipimpin langsung oleh Jaksa Agung, belum
membuahkan hasil nyata.

Pada era Orde Baru, muncul Undang-Undang Nomor3 Tahun


1971 dengan “Operasi Tertib”yang dilakukan Komando
Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib),
namun dengan kemajuan iptek, modus operandi korupsi
semakin canggih dan rumit sehingga Undang-Undang
tersebut gagal dilaksanakan. Selanjutnya dikeluarkan kembali
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.
Upaya-upaya hukum yang telah dilakukan pemerintah
sebenarnya sudah cukup banyak dan sistematis. Namun
korupsi di Indonesia semakin banyak sejak akhir 1997 saat
negara mengalami krisis politik, sosial, kepemimpinan, dan
kepercayaan yang pada akhirnya menjadi krisis multidimensi.
Gerakan reformasi yang menumbangkan rezim Orde Baru
menuntut antara lain ditegakkannya supremasi hukum dan
pemberantasan Korupsi, Kolusi & Nepotisme (KKN).
Tuntutan tersebut akhirnya dituangkan di dalam Ketetapan
MPR Nomor IV/MPR/1999 & Undang-Undang Nomor 28
Tahun 1999 tentang Penye-lenggaraan Negara yang Bersih &
Bebas dari KKN.

 Persepsi Masyarakat tentang Korupsi

Rakyat kecil yang tidak memiliki alat pemukul guna


melakukan koreksi dan memberikan sanksi pada umumnya
bersikap acuh tak acuh. Namun yang paling menyedihkan
adalah sikap rakyat menjadi apatis dengan semakin
meluasnya praktik-praktik korupsi oleh be-berapa oknum
pejabat lokal, maupun nasional.

Kelompok mahasiswa sering menanggapi permasalahan


korupsi dengan emosi dan de-monstrasi. Tema yang sering
diangkat adalah “penguasa yang korup” dan “derita rakyat”.
Mereka memberikan saran kepada pemerintah untuk
bertindak tegas kepada para korup-tor. Hal ini cukup berhasil
terutama saat gerakan reformasi tahun 1998. Mereka tidak
puas terhadap perbuatan manipulatif dan koruptif para
pejabat. Oleh karena itu, mereka ingin berpartisipasi dalam
usaha rekonstruksi terhadap masyarakat dan sistem pemerin-
tahan secara menyeluruh, mencita-citakan keadilan,
persamaan dan kesejahteraan yang merata.

 Fenomena Korupsi di Indonesia

Fenomena umum yang biasanya terjadi di negara


berkembang contohnya Indonesia ialah:

i. Proses modernisasi belum ditunjang oleh


kemampuan sumber daya manusia pada lembaga-
lembaga politik yang ada.
ii. Institusi-institusi politik yang ada masih lemah
disebabkan oleh mudahnya “ok-num” lembaga
tersebut dipengaruhi oleh kekuatan bisnis/ekonomi,
sosial, keaga-maan, kedaerahan, kesukuan, dan
profesi serta kekuatan asing lainnya.
iii. Selalu muncul kelompok sosial baru yang ingin
berpolitik, namun sebenarnya banyak di antara
mereka yang tidak mampu.
iv. Mereka hanya ingin memuaskan ambisi dan
kepentingan pribadinya dengan dalih “kepentingan
rakyat”.

Sebagai akibatnya, terjadilah runtutan peristiwa sebagai


berikut :

a) Partai politik sering inkonsisten, artinya pendirian dan


ideologinya sering beru-bah-ubah sesuai dengan kepentingan
politik saat itu.

b) Muncul pemimpin yang mengedepankan kepentingan


pribadi daripada kepenting-an umum.

c) Sebagai oknum pemimpin politik, partisipan dan


kelompoknya berlomba-lomba mencari keuntungan materil
dengan mengabaikan kebutuhan rakyat.

d) Terjadi erosi loyalitas kepada negara karena menonjolkan


pemupukan harta dan kekuasaan. Dimulailah pola tingkah
para korup.

e) Sumber kekuasaan dan ekonomi mulai terkonsentrasi pada


beberapa kelompok kecil yang mengusainya saja. Derita dan
kemiskinan tetap ada pada kelompok masyarakat besar
(rakyat).

f) Lembaga-lembaga politik digunakan sebagai dwi aliansi,


yaitu sebagai sektor di bidang politik dan ekonomi-bisnis.
g Kesempatan korupsi lebih meningkat seiring dengan
semakin meningkatnya ja-batan dan hirarki politik
kekuasaan.

 Peran Serta Pemerintah dalam Memberantas


Korupsi

Partisipasi dan dukungan dari masyarakat sangat dibutuhkan


dalam mengawali upaya-upaya pemerintah melalui KPK
(Komisi Pemberantasan Korupsi) dan aparat hukum lain.

KPK yang ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 30


Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi untuk mengatasi, menanggulangi, dan memberan-tas
korupsi, merupakan komisi independen yang diharapkan
mampu menjadi “martir” bagi para pelaku tindak KKN.

Adapun agenda KPK adalah sebagai berikut :

i. Membangun kultur yang mendukung pemberantasan


korupsi.
ii. Mendorong pemerintah melakukan reformasi public
sector dengan mewujudkan good governance.
iii. Membangun kepercayaan masyarakat.

iv. Mewujudkan keberhasilan penindakan terhadap pelaku


korupsi besar.
iv. Memacu aparat hukum lain untuk memberantas
korupsi
 Upaya yang Dapat Ditempuh dalam Pemberantasan
Korupsi

Ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam


memberantas tindak korupsi di Indone-sia, antara lain sebagai
berikut :

a. Upaya pencegahan (preventif).

b. Upaya penindakan (kuratif).

c. Upaya edukasi masyarakat/mahasiswa.

d. Upaya edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat).

 Upaya Pencegahan (Preventif)

a. Menanamkan semangat nasional yang positif dengan


mengutamakan pengabdian pada bangsa dan negara melalui
pendidikan formal, informal dan agama.

b. Melakukan penerimaan pegawai berdasarkan prinsip


keterampilan teknis.

c. Para pejabat dihimbau untuk mematuhi pola hidup


sederhana dan memiliki tang-gung jawab yang tinggi.

d. Para pegawai selalu diusahakan kesejahteraan yang


memadai dan ada jaminan masa tua.
e. Menciptakan aparatur pemerintahan yang jujur dan disiplin
kerja yang tinggi.

f. Sistem keuangan dikelola oleh para pejabat yang memiliki


tanggung jawab etis tinggi dan dibarengi sistem kontrol yang
efisien.

g. Melakukan pencatatan ulang terhadap kekayaan pejabat


yang mencolok.

h. Berusaha melakukan reorganisasi dan rasionalisasi


organisasi pemerintahan mela-lui penyederhanaan jumlah
departemen beserta jawatan di bawahnya.

 Upaya Penindakan (Kuratif)

Upaya penindakan, yaitu dilakukan kepada mereka yang


terbukti melanggar dengan dibe-rikan peringatan, dilakukan
pemecatan tidak terhormat dan dihukum pidana. Beberapa
contoh penindakan yang dilakukan oleh KPK :

a. Dugaan korupsi dalam pengadaan Helikopter jenis MI-2


Merk Ple Rostov Rusia milik Pemda NAD (2004).

b. Menahan Konsul Jenderal RI di Johor Baru, Malaysia, EM.


Ia diduga melekukan pungutan liar dalam pengurusan
dokumen keimigrasian.

c. Dugaan korupsi dalam Proyek Program Pengadaan


Busway pada Pemda DKI Jakarta (2004).
d. Dugaan penyalahgunaan jabatan dalam pembelian tanah
yang merugikan keuang-an negara Rp 10 milyar lebih (2004).

e. Dugaan korupsi pada penyalahgunaan fasilitas preshipment


dan placement deposito dari BI kepada PT Texmaco Group
melalui BNI (2004).

f. Kasus korupsi dan penyuapan anggota KPU kepada tim


audit BPK (2005).

g. Kasus penyuapan panitera Pengadilan Tinggi Jakarta


(2005).

h. Kasus penyuapan Hakim Agung MA dalam perkara


Probosutedjo.

i. Menetapkan seorang bupati di Kalimantan Timur sebagai


tersangka dalam kasus korupsi Bandara Loa Kolu yang
diperkirakan merugikan negara sebesar Rp 15,9 miliar
(2004).

j. Kasus korupsi di KBRI Malaysia (2005).

 Upaya Edukasi Masyarakat/Mahasiswa

a. Memiliki tanggung jawab guna melakukan partisipasi


politik dan kontrol sosial terkait dengan kepentingan publik.

b. Tidak bersikap apatis dan acuh tak acuh.


c. Melakukan kontrol sosial pada setiap kebijakan mulai dari
pemerintahan desa hingga ke tingkat pusat/nasional.

d. Membuka wawasan seluas-luasnya pemahaman tentang


penyelenggaraan peme-rintahan negara dan aspek-aspek
hukumnya.

e. Mampu memposisikan diri sebagai subjek pembangunan


dan berperan aktif dalam setiap pengambilan keputusan untuk
kepentingan masyarakat luas.

 Upaya Edukasi LSM (Lembaga Swadaya


Masyarakat)

a. Indonesia Corruption Watch (ICW) adalah organisasi non-


pemerintah yang meng-awasi dan melaporkan kepada publik
mengenai korupsi di Indonesia dan terdiri dari sekumpulan
orang yang memiliki komitmen untuk memberantas korupsi
me-lalui usaha pemberdayaan rakyat untuk terlibat melawan
praktik korupsi. ICW la-hir di Jakarta pd tgl 21 Juni 1998 di
tengah-tengah gerakan reformasi yang meng-hendaki
pemerintahan pasca-Soeharto yg bebas korupsi.

b. Transparency International (TI) adalah organisasi


internasional yang bertujuan memerangi korupsi politik dan
didirikan di Jerman sebagai organisasi nirlaba se-karang
menjadi organisasi non-pemerintah yang bergerak menuju
organisasi yang demokratik. Publikasi tahunan oleh TI yang
terkenal adalah Laporan Korupsi Global. Survei TI Indonesia
yang membentuk Indeks Persepsi Korupsi (IPK) In-donesia
2004 menyatakan bahwa Jakarta sebagai kota terkorup di
Indonesia, disu-sul Surabaya, Medan, Semarang dan Batam.
Sedangkan survei TI pada 2005, In-donesia berada di posisi
keenam negara terkorup di dunia. IPK Indonesia adalah 2,2
sejajar dengan Azerbaijan, Kamerun, Etiopia, Irak, Libya dan
Usbekistan, ser-ta hanya lebih baik dari Kongo, Kenya,
Pakistan, Paraguay, Somalia, Sudan, Angola, Nigeria, Haiti
& Myanmar. Sedangkan Islandia adalah negara terbebas dari
korupsi.

Anda mungkin juga menyukai