Anda di halaman 1dari 19

KORUPSI

Disusun Oleh :
Nurul Aulia (11170840000089)
Elfiera Salfa Ananda (11190840000017)
Putriani Ashri Rahmah (11190840000021)
Athallah Dhiaulhaq Hareldi (11190840000044)
Liyoni Delly Samboja (11190840000094)
Putri Amelia Syavarani (11190840000099)

PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2020
A. Pengertian Korupsi

Korupsi berasal dari bahasa Latin: corruption dari kata kerja corrumpere berarti
busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, menyogok. Menurut Transparency
International adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri,
yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang
dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada
mereka.¹
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi secara harfiah berarti:
buruk, rusak, suka memakai barang (uang) yang dipercayakan padanya, dapat disogok
(melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi).Adapun arti terminologinya, korupsi
adalah penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan) untuk kepentingan
pribadi atau orang lain.²

1. Pengertian korupsi menurut David H. Bayley :


Korupsi sebagai “perangsang (seorang pejabat pemerintah) berdasarkan itikad
buruk (seperti misalnya, suapan) agar ia melakukan pelanggaran kewajibannya”. Lalu
suapan (sogokan) diberi definisi sebagai “hadiah,penghargaan, pemberian atau
keistimewaan yang dianugerahkan atau dijanjikan, dengan tujuan merusak pertimbangan
atau tingkah laku, terutama seorang dari dalam kedudukan terpercaya (sebagai pejabat
pemerintah).³

2. Pengertian korupsi menurut Henry Campbell Black dalam Black's Law Dictionary :
Korupsi adalah perbuatan yang dilakukan dengan maksud memberikan beberapa
keuntungan yang bertentangan dengan tugas dan hak orang lain.

3. Pengertian korupsi menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999


Korupsi yaitu setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian Negara.

¹ Muhammad Shoim, Laporan Penelitian Individual (Pengaruh Pelayanan Publik Terhadap Tingkat Korupsi pada
Lembaga Peradilan di Kota Semarang), Pusat Penelitian IAIN Walisongo Semarang, 2009, h. 14.
² Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1995, h. 527
³ Ibid, h. 263
Secara umum, pengertian korupsi adalah suatu tindakan dari seseorang yang
menyalahgunakan sebuah kepercayaan dalam suatu masalah maupun organisasi guna
memperoleh keuntungan pribadi.

B. Sejarah korupsi
Dalam sejarah tercatat bahwa korupsi bermula sejak awal kehidupan manusia, dimana
organisasi kemasyarakatan yang rumit mulai muncul. Kepustakaan lain mencatat korupsi
sudah berlangsung sejak zaman Mesir kuno, Babilonia, Roma, sampai pada abad
pertengahan, hingga sekarang. Pada zaman Romawi korupsi dilakukan oleh para jenderal
dengan cara memeras daerah jajahannya,untuk memperkaya dirinya sendiri. Pada abad
pertengahan para bangsawan istana kerajaan juga melakukan praktek korupsi. Pendek kata,
korupsi yang merupakan benalu sosial dan masalah besar sudah berlangsung dan tercatat di
dalam sejarah Mesir, Babilonia, Ibrani, India, Cina, Yunani, dan Romawi kuno.⁴
Korupsi memang merupakan istilah modern, tetapi wujud dari tindakan korupsi itu
sendiri ternyata telah ada sejak lama. Sekitar dua ribu tahun yang lalu, seorang Indian yang
menjabat semacam perdana menteri, telah menulis buku berjudul “Arthashastra” yang
membahas masalah korupsi di masa itu Dalam literatur Islam ⁵ , pada abad ke-7 Nabi
Muhammad SAW. juga telah memperingatkan sahabatnya untuk meninggalkan segala
bentuk tindakan yang merugikan orang lain yang kemudian dikenal sebagai bagian dari
korupsi.
Korupsi dalam konteks sejarah Indonesia sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka,
bahkan beberapa referensi menyatakan korupsi sudah ada sejak jaman kerajaan nusantara
melalui venalty of power, dimana kedudukan atau jabatan diperjualbelikan secara bebas
kepada siapa saja yang mampu membayar (Retnowati & Utami, 2014).

⁴ Ridlwan Nasir, Dialektika Islam dengan Problem Kontemporer, hal. 277. 39 Ahmad Fawa’id, Sultonul Huda,
NU Melawan Korupsi: Kajian Tafsir dan Fiqih, (Jakarta: Tim
⁵ Kerja Gerakan Nasional Pemberantasan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, 2006) hal 1..
Pasca Indonesia merdeka korupsi dilakukan sejak dari era Orde Lama, era Orde
Baru, hingga era Reformasi dan menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan
indeks korupsi tertinggi di dunia. Tidak heran apabila sebagian kalangan sudah menganggap
korupsi memiliki sifat lintas waktu/cross-temporal dan menjelma menjadi sebuah budaya
yang tidak bisa dipisahkan dalam penyelenggaraan pemerintahan Indonesia (Junaidi &
Patra, 2018; Ka`bah, 2007).
Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi, pada era Orde Lama
pemberantasan korupsi diatur dalam Peraturan Pemberantasan Korupsi No.Prt/PM-06/1957.
Pada era Orde Baru pemberantasan korupsi diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada era Reformasi pemberantasan
korupsi diatur dalam banyak peraturan perundang-undangan, bahkan dibentuk pula lembaga
anti korupsi KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan pengadilan khusus tindak pidana
korupsi (Tipikor) yang terpisah dari pengadilan umum (Santoso, 2012).

C. Sebab-sebab Terjadinya Korupsi


1. Aspek Individu Pelaku korupsi
Apabila dilihat dari segi pelaku korupsi, sebab-sebab dia melakukan korupsi dapat
berupa dorongan dari dalam dirinya, yang dapat pula dikatakan sebagai keinginan, niat,
atau kesadarannya untuk melakukan. Sebab-sebab seseorang terdorong untuk
melakukan korupsi antara lain sebagai berikut :
a) Sifat Tamak Manusia
Kemungkinan orang yang melakukan korupsi adalah orang yang
penghasilannya sudah cukup tinggi, bahkan sudah berlebih bila dibandingkan
dengan kebutuhan hidupnya. Dalam hal seperti ini, berapapun kekayaan dan
penghasilan sudah diperoleh oleh seseorang tersebut, apabila ada kesempatan untuk
melakukan korupsi, maka akan dilakukan juga.⁶

⁶ Ibid, h. 8
b) Moral Yang Kurang Kuat Menghadapi Godaan
Seseorang yang moralnya tidak kuat cenderung lebih mudah untuk terdorong
berbuat korupsi karena adanya godaan. Godaan terhadap seorang pegawai untuk
melakukan korupsi berasal dari atasannya, teman setingkat, bawahannya, atau dari
pihak luar yang dilayani.⁷

c) Penghasilan Kurang Mencukupi Kebutuhan Hidup Yang Wajar


Apabila ternyata penghasilannya tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya
yang wajar, maka mau tidak mau harus mencari tambahan penghasilan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Usaha untuk mencari tambahan penghasilan
tersebut sudah merupakan bentuk korupsi, misalnya korupsi waktu, korupsi pikiran,
tenaga, dalam arti bahwa seharusnya pada jam kerja, waktu, pikiran, dan tenaganya
dicurahkan untuk keperluan dinas ternyata dipergunakan untuk keperluan lain.⁸

d) Kebutuhan Hidup Yang Mendesak


Kebutuhan yang mendesak seperti kebutuhan keluarga, kebutuhan untuk
membayar hutang, kebutuhan untuk membayar pengobatan yang mahal, kebutuhan
untuk membiayai sekolah anaknya, merupakan bentuk-bentuk dorongan seseorang
yang berpenghasilan kecil untuk berbuat korupsi.

e) Gaya Hidup Konsumtif


Gaya hidup yang konsumtif di kota-kota besar, mendorong seseorang untuk
dapat memiliki mobil mewah, rumah mewah, pakaian yang mahal, hiburan yang
mahal, dan sebagainya. Gaya hidup yang konsumtif tersebut akan menjadikan
penghasilan yang sedikit semakin tidak mencukupi. Hal tersebut juga akan
mendorong seseorang untuk melakukan korupsi bilamana kesempatan untuk
melakukannya ada.⁹

⁷ Ibid, h. 84
⁸ Ibid, h. 85
⁹ Ibid, h. 86
f) Malas Atau Tidak Mau Bekerja Keras
Kemungkinan lain, orang yang melakukan korupsi adalah orang yang ingin
segera mendapatkan sesuatu yang banyak, tetapi malas untuk bekerja keras guna
meningkatkan penghasilannya.

g) Ajaran-Ajaran Agama Kurang Diterapkan Secara Benar


Para pelaku korupsi secara umum adalah orang-orang yang beragama. Mereka
memahami ajaran-ajaran agama yang dianutnya, yang melarang korupsi. Akan
tetapi pada kenyataannya mereka juga melakukan korupsi. Ini menunjukkan bahwa
banyak ajaran-ajaran agama yang tidak diterapkan secara benar oleh pemeluknya.¹⁰

2. Aspek Organisasi
Organisasi dalam hal ini adalah organisasi dalam arti yang luas, termasuk sistem
pengorganisasian lingkungan masyarakat. Organisasi yang menjadi korban korupsi atau
dimana korupsi terjadi biasanya memberi andil terjadinya korupsi karena membuka
peluang atau kesempatan untuk terjadinya korupsi. Diantara penyebabnya adalah :
a) Kurang Adanya Teladan Dari Pemimpin
Dalam organisasi, pimpinannya baik yang formal maupun yang tidak formal
akan menjadi panutan dari setiap anggota/orang yang berafiliasi pada organisasi
tersebut. Apabila pimpinannya mencontohkan gaya hidup yang bersih dengan tingkat
kehidupan ekonomi yang wajar, maka anggota organisasi tersebut akan cenderung
untuk bergaya hidup yang sama.¹¹

b) Tidak Adanya Kultur Organisasi Yang Benar


Kultur atau budaya organisasi biasanya akan mempunyai pengaruh yang
sangat kuat kepada anggotaanggota organisasi tersebut terutama pada kebiasaannya,
cara pandangnya, dan sikap dalam menghadapi suatu keadaan. Kebiasaan tersebut
akan menular ke anggota lain dan kemudian perbuatan tersebut akan dianggap
sebagai kultur di lingkungan yang bersangkutan.

¹⁰ Ibid, h. 87
¹¹ Ibid, h. 88
c) Sistem Akuntabilitas di Instansi Pemerintah Kurang Memadai
Pada organisasi dimana setiap unit organisasinya mempunyai sasaran yang
telah ditetapkan untuk dicapai yang kemudian setiap penggunaan sumber dayanya
selalu dikaitkan dengan sasaran yang harus dicapai tersebut, maka setiap unsur
kuantitas dan kualitas sumber daya yang tersedia akan selalu dimonitor dengan baik.
Pada instansi pemerintah, pada umumnya instansi belum merumuskan dengan jelas
visi dan misi yang diembannya dan juga belum merumuskan dengan tepat tujuan dan
sasaran yang harus dicapai dalam periode tertentu guna mencapai misi tersebut.
Demikian pula dalam memonitor prestasi kerja unit-unit organisasinya, pada
umumnya hanya melihat tingkat penggunaan sumber daya (input factor), tanpa
melihat tingkat pencapaian sasaran yang seharusnya dirumuskan dengan tepat dan
seharusnya dicapai (faktor out-put). Akibatnya, terhadap instansi pemerintah sulit
dilakukan penilaian apakah instansi tersebut berhasil mencapai sasarannya atau tidak.
Keadaan ini memunculkan situasi organisasi yang kondusif untuk terjadi korupsi.¹²

d) Kelemahan Sistem Pengendalian Manajemen


Pada organisasi di mana pengendalian manajemennya lemah akan lebih
banyak pegawai yang melakukan korupsi dibandingkan pada organisasi yang
pengendalian manajemennya kuat. Seorang pegawai yang mengetahui bahwa sistem
pengendalian manajemen pada organisasi di mana dia bekerja lemah, maka akan
timbul kesempatan atau peluang baginya untuk melakukan korupsi.¹³

e) Manajemen Cenderung Menutupi Korupsi Di Dalam Organisasinya


Pada umumnya jajaran manajemen organisasi di mana terjadi korupsi enggan
membantu mengungkapkan korupsi tersebut walaupun korupsi tersebut sama sekali
tidak melibatkan dirinya. Kemungkinan keengganan tersebut timbul karena
terungkapnya praktek korupsi di dalam organisasinya. Akibatnya, jajaran manajemen
cenderung untuk menutup-nutupi korupsi yang ada, dan berusaha menyelesaikannya
dengan cara-cara sendiri yang kemudian dapat menimbulkan praktek korupsi yang
lain.¹4
¹² Ibid, h. 89
¹³ Ibid, h. 90
¹⁴ Ibid, h. 92
3. Aspek Masyarakat Tempat Individu dan Organisasi Berada
Nilai-Nilai Yang berlaku Di Masyarakat Ternyata Kondusif Untuk Terjadinya
Korupsi.Korupsi mudah timbul karena nilai-nilai yang berlaku di masyarakat kondusif
untuk terjadinya hal itu. Misalnya, banyak anggota masyarakat yang dalam pergaulan
sehari-harinya ternyata dalam menghargai seseorang lebih didasarkan pada kekayaan
yang dimiliki orang yang bersangkutan.¹⁵

a) Masyarakat Kurang Menyadari Bahwa Yang Paling Dirugikan Oleh Setiap Praktik
Korupsi Adalah Masyarakat Sendiri. Masyarakat pada umumnya beranggapan
bahwa apabila terjadi perbuatan korupsi, maka pihak yang akan paling dirugikan
adalah negara atau pemerintah.Masyarakat kurang menyadari bahwa apabila negara
atau pemerintah yang dirugikan, maka secara pasti hal itu juga merugikan
masyarakat sendiri.¹⁶

b) Masyarakat Kurang Menyadari Bahwa Masyarakat Sendiri Terlibat Dalam Setiap


Praktik Korupsi.Pada umumnya masyarakat beranggapan bahwa apabila terjadi
perbuatan korupsi, yang terlibat dan yang harus bertanggung jawab adalah aparat
pemerintahnya. Masyarakat kurang menyadari bahwa pada hampir setiap perbuatan
korupsi, yang terlibat dan mendapatkan keuntungan adalah termasuk anggota
masyarakat tertentu. Jadi tidak hanya aparat pemerintah saja.¹⁷

c) Masyarakat Kurang Menyadari Bahwa Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi


Hanya Akan Berhasil Kalau Masyarakat Ikut Aktif Melakukannya.Pada umumnya
masyarakat beranggapan bahwa pihak yang bertanggung jawab untuk melakukan
pemberantasan korupsi adalah pemerintah. Pandangan seperti itu adalah keliru, dan
ini terbukti bahwa selama ini pemberantasan korupsi masih belum berhasil karena
upaya pemberantasan korupsi tersebut masih lebih banyak mengandalkan
pemerintah.¹⁸

¹⁵ Ibid, h. 92
¹⁶ Ibid, h. 93
¹⁷ Ibid, h. 94
¹⁸ Ibid, h. 96
Masyarakat secara nasional mempunyai berbagai potensi dan kemampuan
diberbagai bidang, yang apabila dipergunakan secara terencana dan terkoordinasi maka
akan lebih memberikan hasil pada upaya pemberantasan korupsi. Sebagai contoh, peran-
serta secara aktif dari kalangan pemuka agama memiliki kemungkinan yang lebih besar
untuk berhasil mengurangi ketamakan manusia. Demikian peran-serta secara aktif dari
para pendidik.
Alatas menjelaskan beberapa hal yang menjadi penyebab korupsi, antara lain, yaitu
:
a) Lemahnya/ tidak adanya kepemimpinan yang berpengaruh dalam
“menjinakkan” korupsi.
b) Kurangnya pendidikan agama dan etika
c) Konsumerisme dan globalisasi
d) Kurangnya pendidikan
e) Kemiskinan
f) Tidak adanya tindak hukuman yang keras
g) Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi
h) Struktur pemerintahan
i) Perubahan radikal/ transisi demokrasi

Sementara, berdasarkan jajak pendapat yang dilakukan oleh bagian Litbang


Harian Kompas menunjukkan bahwa penyebab perilaku korupsi, yaitu:
a) Didorong oleh motif-motif ekonomi, yakni ingin memiliki banyak uang dengan cara
cepat meski memiliki etos kerja yang rendah.
b) Rendahnya moral
c) Penegakan hukum yang lemah.¹⁹

¹⁹ Nadiatus Salama, op.cit., h. 19-20


D. Dampak dari Tindakan Korupsi
Korupsi berdampak sangat buruk bagi kehidupan berbangsa dan bernegara karena telah
terjadi kebusukan, ketidakjujuran, dan melukai rasa keadilan masyarakat. Penyimpangan
anggaran yang terjadi akibat korupsi telah menurunkan kualitas pelayanan negara kepada
masyarakat. Pada tingkat makro, penyimpangan dana masyarakat ke dalam kantong pribadi
telah menurunkan kemampuan negara untuk memberikan hal-hal yang bermanfaat untuk
masyarakat, seperti: pendidikan, perlindungan lingkungan, penelitian, dan pembangunan.
Pada tingkat mikro, korupsi telah meningkatkan ketidakpastian adanya pelayanan yang baik
dari pemerintah kepada masyarakat.²⁰

E. Dasar hukum pemberantasan korupsi

Dampak korupsi yang lain bisa berupa:

1. Runtuhnya akhlak, moral, integritas, dan religiusitas bangsa.

2. Adanya efek buruk bagi perekonomian negara.

3. Korupsi memberi kontribusi bagi matinya etos kerja masyarakat.

4. Terjadinya eksploitasi sumberdaya alam oleh segelintir orang.

5. Memiliki dampak sosial dengan merosotnya human capital.

Korupsi selalu membawa konsekuensi negatif terhadap proses demokratisasi dan


pembangunan, sebab korupsi telah mendelegetimasi dan mengurangi kepercayaan publik
terhadap proses politik melalui money-politik. Korupsi juga telah mendistorsi pengambilan
keputusan pada kebijakan publik, tiadanya akuntabilitas publik serta menafikan the rule of law.
Di sisi lain, korupsi menyebabkan berbagai proyek pembangunan dan fasilitas umum bermutu
rendah serta tidak sesuai dengan kebutuhan yang semestinya, sehingga menghambat
pembangunan jangka panjang yang berkelanjutan.²¹

Pemberantasan korupsi adalah langkah pencegahan untuk mencegah dan menanggulangi korupsi
(supervisi, pengawasan, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan
pengadilan) dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan yang berlaku.

²⁰ Nadiatus Salama, op.cit., h. 25


²¹ Ibnu Santoso, Memburu Tikus-Tikus Otonom, Penerbit Gava Media, Yogyakarta, Cet I, 2011, h. 9
Saat ini, pemberantasan korupsi dilaksanakan oleh beberapa institusi, yaitu Tim Tipikor
(Tindak Pidana Korupsi), Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepolisian, Kejaksaan, dan Badan
Pengawas Keuangan dan Pembangunan. Adanya institusi pemberantasan dan tindak pidana
korupsi ini tentunya tidak terlepas dari asal mula mereka, yaitu amanat dari beberapa landasan
hukumnya. Berikut ini 9 landasan hukum pemberantasan korupsi di Indonesia :

1. TAP MPR RI No. XI / MPR / 1998

Salah satu ketetapan MPR RI ini berisi tentang Penyelanggaraan Negara yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Ketetapan ini memiliki posisi lebih
dibandingkan dengan ketetapan MPR lainnya. TAP ini berisi ide-ide reformasi yang menanti
Indonesia bersih dan bebas dari KKN. Inti dari ketetapan ini adalah untuk membatalkan
persetujuan-KKN, seseorang yang dapat mempercayai beberapa keputusan dalam
penyelenggaraan harus mengumumkan dan menerima pengajuan kekayaannya sebelum dan
setelah disetujui.

2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999

Aturan yang diberikan tentang Penyelanggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme. Ia dibuat sebagai amanat dari TAP MPR RI No. XI / MPR / 1998. Hal
yang mengatur dalam UU ini adalah asas-asas penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas
KKN. Masyarakat memiliki hak untuk mendapat persetujuan dalam hal penyelenggaraan negara.
Baca juga: Lembaga Pelaksana Kedaulatan Rakyat .
3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

Undang-undang ini memuat tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang


ini juga dibuat atas amanat TAP MPR RI No. XI / MPR / 1998. Undang-undang ini membahas
lengkap apa saja yang termasuk dalam korupsi bersama pidananya. Bahkan, mereka yang tidak
langsung membantu para pelaku korupsi juga dapat dikenai kejahatan. Penyuluhan, penuntutan,
dan pemeriksaan di pengadilan korupsi serta peran masyarakat dalam pemberantasan korupsi
juga diatur dalam Undang-undang ini. (Baca juga: Fungsi MPR )

4. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

Undang-undang ini membahas tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun


1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pembukaannya, dengan adanya UU
ini diharapkan dapat lebih menjamin kepastian hukum, menghindari keberagaman penafsiran
hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta
menjamin keadilan dalam keanggotaan. Tersedia banyak artikel yang diubah dan disisipkan pula
pasal tambahan. (Baca juga: Peranan Mahasiswa dalam Pemberantasan Korupsi )

5. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002

Isi UU ini adalah tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Adanya UU ini tidak lepas
dari amanat UU No. 31 Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001. Diatur pula tata cara keputusan
dan keputusan status gratifikasi, tempat kedudukan, tanggung jawab, dan susunan organisasi.
Selain itu, hal-hal teknis seperti penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, pemeriksaan di
pengadilan, rehabilitasi, kompensasi, dan ketentuan pengadilan juga mengatur. (Baca juga:
Proses Peradilan Pidana )

6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 1999

Isi dari PP ini mengatur tentang Tata Cara Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara.
Karena menyangkut hal-hal teknis, dipilihlah PP sebagai sumber hukum yang disetujui hal ini.
PP ini membahas tentang teknis pemeriksaan kekayaan negara, hubungan antara komisi
pemeriksa dan badan terkait, dan pengambilan keputusan terkait hasil pemeriksaan kekayaan
negara. PP ini mulai diberlakukan semenjak 20 November 1999 hingga sekarang.
7. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 1999

PP ini berisi tentang Persyaratan Tata Cara Pengangkatan serta Pemberhentian Anggota
Komisi Pemeriksa. Dalam PP ini, ditentukan oleh anggota komisi pemeriksa ditetapkan dengan
Keputusan Presiden dan diberikan beberapa persyaratan yang harus disetujui oleh calon anggota
komisi pemeriksa. Proses partisipasi minimum 20 orang anggota. Masa jabatannya adalah
selama 5 tahun. Pemberhentian dan penggantian anggota komisi antarwaktu serta pengangkatan
dan pemberhentian komisi pemeriksa di daerah juga mengatur dalam PP ini.

8. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 1999

Isi dari PP ini adalah tentang Tata Cara Pemantauan dan Evaluasi Pelaksanaan Tugas dan
Wewenang Komisi Pemeriksa. Mengingat perannya yang vital dalam pemberantasan korupsi,
komisi ini perlu dipantau dan dievaluasi. Dua hal ini dilakukan oleh Presiden dan Dewan
Perwakilan Rakyat, namun pembahasan ini juga tetap memperhatikan independensi komisi
pemeriksa. Pemantauan dilakukan dengan cara melaporkan setiap 6 bulan, laporan insidental,
dan rapat kerja yang dilakukan minimal 2 kali disetujui. Evaluasi dilakukan dengan meminta
rencana kerja tahunan dan hasil kerja komisi pemeriksa serta pelaksanaan hubungan antara.
(Baca juga: PresidenTugas Fungsi dan Wewenang Presiden dan Wakil Presiden )

9. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 1999

Isi dari PP ini membahas Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam
Penyelenggaraan Negara. PP ini mendorong masyarakat untuk membuat komitmen untuk ikut
serta mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN, yang dilakukan
dengan menaati norma hukum, moral, dan sosial yang berlaku dalam masyarakat. Ada beberapa
peran yang dilakukan masyarakat yang dilakukan, yaitu mencari, memperoleh, dan memberi
informasi tentang penyelenggaraan negara, memperoleh pelayanan yang sama dan adil,
memberikan saran dan pendapat terhadap penyelenggaraan negara, dan memperoleh persetujuan
hukum dalam pelaksanaannya.
F.Contoh kasus korupsi di Indonesia

1. Kasus E-KTP

Kasus pengadaan E-KTP menjadi salah satu kasus korupsi yang paling fenomenal. Kasus
yang menyeret Mantan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto ini telah bergulir sejak 2011
dengan total kerugian negara mencapai Rp 2,3 triliun.

Setidaknya ada sekitar 280 saksi yang telah diperiksa KPK atas kasus ini dan hingga kini ada
8 orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka.

Mereka adalah pengusaha Made Oka Masagung, Keponakan Setya Novanto yakni Irvanto
Hendra Pambudi, Mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Dirjen
Dukcapil Kemendagri Sugiharto, Mantan Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Kemendagri Irman, pengusaha Andi Narogong, Mantan Ketua Umum Golkar Setya Novanto,
Anggota DPR Markus Nari, dan Direktur PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudiharjo.

2. Proyek Hambalang

Kasus proyek pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sarana Olahraga Nasional
(P3SON) di Hambalang juga tercatat menjadi salah satu kasus korupsi besar yang pernah ada.
Nilai kerugiannya mencapai Rp 706 miliar.

Pembangunan proyek Hambalang ini direncanakan dibangun sejak masa Menteri Pemuda
dan Olahraga Andi Malarangeng dengan menghabiskan anggaran sebesar Rp 1,2 triliun. Proyek
yang ditargetkan rampung dalam waktu 3 tahun ini mangkrak hingga akhirnya aliran dana
korupsi terendus KPK.

Aliran dana proyek ini masuk ke kantong beberapa pejabat. Di antaranya Mantan Menpora
Andi Malarangeng, Sekretaris Kemenpora Wafid Muharram, Ketua Umum Partai Demokrat
Anas Urbaningrum, Direktur Utama PT Dutasari Citra Laras Mahfud Suroso, Anggota DPR
Angelina Sondakh.

3.Gayus Halomoan Partahanan Tambunan adalah bekas pegawai negeri sipil di DJP Kemkeu. Ia
dipenjara karena melakukan penyalahgunaan wewenang, menerima suap dari wajib pajak, dan
pidana umum lainnya. Gayus merupakan PNS golongan IIIA namun disebut-sebut memiliki
harta hingga puluhan miliar rupiah.Gayus dinyatakan terbukti bersalah menerima suap senilai
Rp925 juta dari Roberto Santonius, konsultan PT Metropolitan Retailmart terkait kepengurusan
keberatan pajak perusahaan tersebut.

Gayus dinilai lalai menangani keberatan pajak PT Surya Alam Tunggal (SAT) yang berakibat
pada kerugian negara sebesar Rp570 juta. Gayus juga terlibat dalam kasus penggelapan pajak PT
Megah Citra Raya. Gayus terbukti bersalah menerima gratifikasi saat menjabat petugas penelaah
keberatan pajak di Ditjen pajak. Gayus terbukti menerima gratifikasi sebesar US$659.800 dan
Sin$9,6 juta.

Gayus juga dijerat dengan UU Tindak Pidana Pencucian Uang. Selama persidangan, Gayus gagal
membuktikan kekayaannya berupa uang Rp925 juta, US$3,5 juta, US$659.800, Sin$9,6 juta dan
31 keping logam mulai masing-masing 100 gram bukan berasal dari hasil tindak pidana.

G.Solusi / upaya pemberantasan korupsi

-> Upaya pemberantasan korupsi

Dilansir dari bpkp.go.id, komitmen pemerintah Indonesia dalam pemberantasan korupsi juga
diaktualisasikan dalam bentuk strategi komprehensif. Upaya-upaya pemberantasan tindak pidana
korupsi mencakup aspek preventif, detektif dan represif.

1. Upaya preventif

Strategi preventif adalah usaha pencegahan korupsi yang diarahkan untuk menghilangkan
atau meminimalkan faktor-faktor penyebab atau peluang terjadinya korupsi.

Upaya preventif dilakukan dengan cara :

A. Pemberlakuan berbagai undang-undang yang mempersempit peluang korupsi,

B. Pembentukan berbagai lembaga yang diperlukan untuk mencegah korupsi, misalnya Komisi
Pemeriksa Kekayaan Penyelenggaraan Negara (KPKPN),

C. Pelaksanaan sistem rekrutmen aparat secara adil dan terbuka,


D. Peningkatan kualitas kerja berbagai lembaga independen masyarakart untuk memantau
kinerja para penyelenggara negara,

E. Kampanye untuk menciptakan nilai anti korupsi secara nasional.

2. Upaya detektif

Strategi detektif adalah usaha yang diarahkan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi
terjadinya kasus-kasus korupsi dengan cepat, tepat dan biaya murah sehingga dapat
ditindaklanjuti.

A. Upaya detektif dilakukan dengan cara :

B. Perbaikan sistem dan tindak lanjut atas pengaduan masyarakat,

C. Pemberlakuan kewajiban pelaporan transaksi keuangan tertentu,

D. Pelaporan kekayaan pribadi pemegang jabatan dan fungsi publik,

E. Partisipasi Indonesia pada gerakan anti korupsi dan anti pencucian uang di masyarakat
internasional,

F. Peningkatan kemampuan Aparat Pengawasan Fungsional Pemerintah (APFP) atau Satuan


Pengawas Intern (SPI) dalam mendeteksi tindak pidana korupsi.

3. Upaya represif

Strategi represif adalah usaha yang diarahkan agar setiap perbuatan korupsi yang telah
diidentifikasi dapat diproses secara cepat, tepat dengan biaya murah sehingga kepada para
pelakunya dapat segera diberikan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Upaya represif dapat dilakukan dengan cara :

A. Pembentukan Badan atau Komisi Anti Korupsi. Pemerintah pada 2003 dengan membentuk
Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK),

B. Penyidikan, penuntutan, peradilan dan penghukuman koruptor besar,

C. Penentuan jenis-jenis atau kelompok-kelompok korupsi yang diprioritaskan untuk diberantas,


D. Meneliti dan mengevaluasi proses penanganan perkara korupsi dalam sistem peradilan pidana
secara terus menerus,

E. Pemberlakuan sistem pemantauan proses penanganan tindak pidana korupsi secara terpadu,

Publikasi kasus-kasus tindak pidana korupsi beserta analisisnya.

-> Tiga strategi Pemberantasan Korupsi KPK

Dikutip dari kpk.go.id, pemberantasan korupsi membutuhkan kesamaan pemahaman mengenai


tindak pidana korupsi itu sendiri. Dengan kesamaan persepsi, pemberantasan korupsi bisa
dilakukan secara tepat dan terarah.

Adapun tiga strategi pemberantasan korupsi menurut KPK meliputi:

1. Perbaikan Sistem

Sistem yang berjalan di Indonesia dinilai masih banyak yang memberikan peluang terjadinya
tindak pidana korupsi.Agar tidak bisa melakukan korupsi, diperlukan beberapa upaya perbaikan
sistem:

A. Mendorong transparansi penyelenggara negara seperti yang dilakukan KPK menerima


pelaporan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dan juga gratifikasi.

B. Memberikan rekomendasi langkah-langkah perbaikan kepada kementerian dan lembaga


terkait.
C. Modernisasi pelayanan publik dengan teknologi digital (pelayanan publik secara online) dan
sistem pengawasan yang terintegrasi agar lebih transparan dan efektif.

2. Edukasi dan Kampanye

Edukasi dan kampanye dilakukan agar orang tidak mau melakukan korupsi. Edukasi dan
kampanye adalah strategi pembelajaran pendidikan antikorupsi dengan tujuan :

A. Membangkitkan kesadaran masyarakat mengenai dampak korupsi,

B. Mengajak masyarakat untuk terlibat dalam gerakan pemberantasan korupsi,

C. Membangun perilaku dan budaya anti korupsi.

Sasaran edukasi dan kampanye anti korupsi tidak hanya kalangan umum dan mahasiswa
tapi juga anak usia dini yang masih duduk di bangku taman kanak-kanak dan sekolah dasar.

3. Represif

Streategi represif ini bertujuan agar orang takut melakukan korupsi. Upaya ini diwujudkan dalam
upaya penindakan hukum untuk membawa koruptor ke pengadilan. Dalam strategi ini, tahapan
yang dilakukan adalah:

A. Penanganan laporan pengaduan masyarakat (KPK melakukan proses verifikasi dan


penelaahan),

B. Penyelidikan,

C. Penyidikan,

D. Penuntutan,

E. Eksekusi.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.kompasiana.com/amp/kyberdian/5d3ffe1b0d823073df35f1d2/sejarah-korupsi-di-
indonesia

http://digilib.unila.ac.id/5387/7/BAB%2520I.pdf

http://eprints.walisongo.ac.id/3925/3/104211009_Bab2.pdf

https://aclc.kpk.go.id/wp-content/uploads/2019/07/Modul-tindak-pidana-korupsi-aclc-KPK.pdf

http://digilib.uinsby.ac.id/8064/4/BAB%2520II.pdf

https://guruppkn.com/landasan-hukum-pemberantasan-korupsi-di-indonesia/amp

https://www.kompas.com/skola/read/2019/12/12/190000169/uu-tipikor-dan-upaya-
pemberantasan-korupsi

Anda mungkin juga menyukai