Korupsi merupakan salah satu jenis kejahatan yang semakin sulit dijangkau oleh aturan hukum pidana, karena perbuatan korupsi bermuka majemuk yang memerlukan kemampuan berpikir aparat pemeriksaan dan penegakan hukum disertai pola perbuatan yang sedemikian rapi. Oleh karena itu, perubahan dan perkembangan hukum merupakan salah satu untuk mengantisipasi korupsi tersebut. Tindak Pidana Korupsi di Indonesia telah berkembang dalam 3 (tiga) tahap yaitu elitis, endemic, dan sistematik : pada tahap elitis, korupsi masih menjadi patologi sosial yang khas di lingkungan para elit/pejabat. Pada tahap endemic, korupsi mewabah mengjakau lapisan masyarakat luas. Lalu ditahap yang kritis, ketika korupsi menjadi sistemik, setiap individu di dalam sistem terjangkit penyakit yang serupa. Penyakit korupsi di Indonesia ini telah sampai pada tahap sistematik. Perbuatan tindak pidana merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa (ordinary- crimes). Dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan “secara biasa”, tetapi dituntut cara cara yang “luar biasa “ (extra-ordinary enforcement). Korupsi telah menjadi perhatian semua pihak pada saat ini. Bentuk bentuk dan perwujudan korupsi jauh lebih banyak daripada kemampuan untuk melukiskannya. Iklim yang diciptakan oleh korupsi menguntungkan bagi tumbuh suburnya berbagai kejahatan.Korupsi pun menjadi permasalahan yang sungguh serius dinegeri ini. Kasus korupsi sudah tidak terhitung lagi jumlahnya. Berkembang dengan pesat, meluas dimana–mana, dan terjadi secara sistematis dengan rekayasa yang canggih dan memanfaatkan teknologi modern. Kasus terjadinya korupsi dari hari kehari kian marak. Hampir setiap hari berita tentang korupsi menghiasi berbagai media. Bahkan Korupsi dianggap biasa dan dimaklumi banyak orang sehingga masyarakat sulit membedakan nama perbuatan korup dan mana perbuatan yang tidak korup. Meskipun sudah ada komisi pemberantasan korupsi (KPK) dan beberapa instansi antikorupsi lainnya, faktanya negeri ini menduduki rangking teratas sebagai negara terkorup didunia. Tindak korupsi di negeri ini bisa dikatakan mulai merajalela, bahkan menjadi kebiasaan, dan yang lebih memprihatinkan adalah korupsi dianggap biasa saja atau hal yang sepele. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk mencegah terjadinya korupsi, namun tetap saja korupsi menjadi hal yang sering terjadi. Korupsi terjadi dikalangan lembaga pemerintahan (eksekutif), dan terjadi pada banyak anggota Dewan Perwakilan Rakyat ( legislatif), dan juga terjadi pada Penegak Hukum (yudikatif). Dan lebih parahnya lagi terjadi pada Pejabat- pejabat Daerah, dalam hal ini Bupati dan Wakil Bupati serta jajarannya. Korupsi yang dilakukan oleh beberapa Pejabat di Jayapura, Papua, lebih banyak menyangkut penyalahgunaan kewenangan jabatan yang ada pada mereka dan hal tersebut berkaitan dengan Alokasi Dana yang sudah ditetapkan dalam APBD disetiap tahun yang mengakibatkan kerugian keuangan Negara bahkan ada yang nilainya mencapai lebih dari 1Milyar. Akan tetapi tidak sedikit pelaku tindak pidana korupsi, yang setelah di bawah ke Pengadilan tindak pidana korupsi di Jayapura, Papua, mereka diputus bebas oleh Pengadilan.
2.1 RUMUSAN MASALAH
1. Mengidentifikasi apa itu Korupsi dan factor penyebabnya ? 2. Mengidentifikasi apa itu anti Korupsi dan tindakan yang dapat dilakukan? 3.1 TUJUAN 1. Mampu memahami dan menjelaskan apa itu korupsi dan factor penyebabnya 2. Mampu memahami dan menjelaskan apa itu anti korupsi dan tindakan yang dapat dilakukan BAB II PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN KORUPSI
Dalam Ensiklopedia Indonesia “korupsi” (dari bahasa latin corruption= penyuapan; corruptore = merusak) gejala dimana para pejabat, badan-badan Negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainya. Adapun arti harfiyah dari korupsi dapat berupa: 1. Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan dan ketidakjujuran. 2. Perbuatan yang buruk seperti menggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya. 3. Korup (busuk; suka menerima uang suap/sogok, memakai kekuasaan untuk kepentingan sendiri, dan sebagainya), 4. Korupsi (perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya), Koruptor (orang yang korupsi) Pengertian tindak pidana korupsi diuraikan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3, yaitu : Pasal 2 ayat (1) „‟ setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara,………” dan Pasal 3 : „‟setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara,…….” Korupsi dari bahasa latin : corruption dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politis maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Secara harfiah korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat dan merusak. Jika membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan kenyataan semacam itu karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatannya. Bentuk korupsi sangatlah beragam. Menurut Hussein al Attas, modus operandi bentuk-bentuk korupsi mencakup penyuapan (bribery), pemerasan (exstortion), dan Nepotisme. (Al-attas, 1982: 1314).23 Jenis korupsi yang lebih operasional juga diklasifikasikan oleh tokoh reformasi, M. Amien Rais yang menyatakan sedikitnya ada empat jenis korupsi, yaitu24: Korupsi ekstortif, korupsi manipulatif, korupsi nepotistik, dan korupsi subversif. Secara lengkap dalam UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No 20 Tahun 2001) Merumuskan 30 bentuk / Jenis tindak pidana korupsi, yang dikelompokan yaitu sebagai berikut25: Korupsi yang terkait dengan kerugian keuangan negara, suap menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, curang, kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi (pemberian hadiah). Ada 3 (tiga) tiang penyangga korupsi, yaitu: 1. Tekanan (preesure) Tekanan seperti mengikuti gaya hidup modern, kerugian materi atau uang, terbelit hutang, akan menyebabkan seseorang berbuat curang atau korupsi. 2. Kesempatan (opportunity) Orang yang memiliki kedudukan, jabatan, pangkat, dan pendidikan yang lebih tinggi biasanya memiliki kesempatan untuk berbuat korupsi. 3. Rasionalisasi (rationalize) Orang yang memiliki otoritas untuk mengendalikan kegiatan serta mengetahui kelemahan di lingkungan departemen, kantor, dan pekerjaannya, sehingga mereka dapat memanipulasi yang menyebabkan pihak lain tidak tahu bahwa mereka telah melakukan korupsi. Albrecht dan Chad O. Albrecht menyebut tiga penyangga kecurangan yang mampu mendorong seseorang bertindak korupsi sebagai segitiga kecurangan. 2.2 FAKTOR PENYEBAB KORUPSI Nugroho dan Tri Hanurita (2005: 116) mencatat 7 alasan mengapa korupsi tumbuh dan berkembang terutama di negara berkembang. 1. Kemiskinan. Kemiskinan membuat pegawai pemerintah maumelakukan apapun juga asal mendapatkan tambahan penghasilan untuk membuat keluarganya selamat. 2. Kekuasaan yang berlebihan atau yang berasal dari keserakahan 3. Budaya. Kinoshita melaporkan hasil penelitiannya bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat keluarga besar, yakni sebuah masyarakat yang mempunyai nilai bahwa kesuksesan seseorang anggota keluarga harus pula dinikmati oleh seluruh anggota keluarga besar 4. Ketidaktahuan. 5. Rendahnya kualitas moral masyarakat 6. Lemahnya kelembagaan politik suatu negara, baik menyangkut sistem hukumnya, birokrasi maupun sistem interaksi antarlembaga yang cendurung melahirkan perilaku dan budaya korupsi. 7. Korupsi terjadi karena penyakit bersama 2.3 ANTI KORUPSI Antikorupsi merupakan sikap tidak setuju, tidak suka, dan tidak senang terhadap tindakan korupsi. Antikorupsi merupakan sikap yang dapat mencegah (upaya meningkatkan kesadaran individu untuk tidak melakukan tindak korupsi) dan menghilangkan peluang bagi berkembangnya korupsi. 2.4 PENDIDIKAN ANTI KORUPSI 1. Pengertian Pendidikan antikorupsi secara umum diartikan sebagai pendidikan koreksi budaya yang bertujuan untuk mengenalkan cara berpikir dan nilai-nilai baru kepada peserta didik (suyanto, 2005: 43). Penididikan antikorupsi dapat dipahami juga sebagai usaha sadar dan sistematis yang diberikan kepada peserta didik berupa pengetahuan, nilai-nilai, sikap, dan keterampilan yang dibutuhkan agar mereka mau dan mampu mencegah dan menghilangkan peluang berkembangnya korupsi. Pendidikan antikorupsi melibatkan 3 domain penting, yaitu: a) Aspek kognitif, menekankan pada kemampuan mengingat dan memproduksi informasi yang telah dipelajarai, bisa berupa mengkombinasikan cara-cara kretif atau mensintesisikan ide-ide dan materi baru. b) Domain afektif, menekankan pada aspek emosi, sikap, apresiasi, nilai atau pada level menerima atau menolak sesuatu. 3. Domain psikomotorik, menekankan pada tujuan melatih kecakapan dan keterampilan untuk membekali peserta didik agar terbiasa berprilaku antikorupsi. Sekolah berfungsi sebagai pengembangan pendidikan intelektual dan juga bertujuan membangun karakter atau membangun nilai-nilai kemanusiaan siswa. Pendidikan antikorupsi dalam konteks ini termasuk dalam kategori pendidikan nilai, karena yang ingin dikejar oleh pendidikan antikorupsi tidak lain adalah membentengi anakanak dari perilaku koruptif dengan membekali nilai- nilai luhur sebagaimana dikembangkan oleh pendidikan nilai. Dalam upaya mengimplementasikan pendidikan antikorupsi di sekolah dapat dipilih tiga strategi, yaitu strategi inklusif, strategi eksklusif, dan strategi studi kasus (suyanto, 2005: 43). a) Strategi inklusif dapat dipilih dengan cara menyisipkan nilai-nilai antikorupsi ke dalam sejumlah mata pelajaran terkait. b) Strategi eksklusif dapat digunakan untuk jenjang pendidikan menengah, yakni dengan cara memasukan pendidikan antikorupsi ke dalam kurikulum lokal (muatan lokal) atau melalui kegiatan ekstra-kulikuler yang lebih bernuansakan kesiswaan. Di perguruan tinggi pendidikan antikorupsi dapat diwujudkan dalam kegiatan ekstrakulikuler, seperti: a) Pelatihan antikorupsi pada aktivis badan eksekutif mahasiswa dan himpunan mahasiswa jurusan’program studi. b) Rublik antikorupsi di koran atau majalah mahasiswa (pers kampus). c) Siaran antikorupsi pada radio atau televisi kampus. d) Pergelaran tari atau musik antikorupsi. e) Gelar lukis antikorupsi. 2. Tujuan pendidikan antikorupsi adalah: • Pembentukan pengetahuan dan pemahaman mengenai berbagai bentuk korupsi dan aspek-aspeknya. • Perubahan persepsi dan sikap terhadap korupsi. • Pembentukan keterampilan dan kecakapan baru yang dibutuhkan untuk melawan korupsi. 3. Metode Pembelajaran Mata Kuliah Pendidikan Anti Korupsi (Learning Methods) Berikut adalah beberapa metode pembelajaran yang bisa diterapkan dalam matakuliah Anti-korupsi. Setiap metode pada dasarnya harus memberikan aspek problem-based learning bagi mahasiswa, bahkan membawa pada problem solving terhadap setiap masalah yang dibahas. a) In-class discussion Tujuan: untuk menumbuhkan kepekaan (awareness) dan membangun kerangka berfikir (framework of thinking) Kegiatan: penyampaian oleh dosen dan mendiskusikan konsep-konsep terkait b) Case study Tujuan: untuk meningkatkan kepekaan mahasiswa terhadap kasus korupsi serta mampu menganalisa atas dasar konsep-konsep yang diberikan. Disisipkan pada setiap pertemuan perkuliahan untuk setiap pembahasan Kegiatan: mendiskusikan kasus – kasus terkait dengan topik yang sedang dibahas, seperti kasus korupsi, kasus faktor penyebab korupsi, kasus dampak korupsi, kasus gerakan pemberantasan korupsi di negara lain, dan sebagainya. Sifat studi kasus disarankan tidak hanya berupa kasus grand corruption yang dikenai hukum, namun juga kasus- kasus petty corruption dan dilema korupsi yang sering dihadapi mahasiswa; tidak hanya kasus korupsi namun juga best practice dalam memberantas korupsi atau menerapkan good governance. Sumber kasus bisa berasal dari dosen maupun mahasiswa. c) Skenario perbaikan sistem (improvement system scenario) Tujuan: Memberikan rangsangan kepada mahasiswa agar memikirkan peelsaian masalah secara nyata (problem solving) Kegiatan: dosen memberikan satu bahan diskusi untuk didiskusikan oleh kelompok mahasiswa. Mahasiswa diharapkan membuat skema perbaikan sistem yang bisa menyelesaikan masalah korupsi yang selalu terjadi pada kasus tersebut. d) Kuliah umum (General lecture) Tujuan: untuk belajar dari praktisi atau orang-orang di lapangan yang mampu menginspirasi dan dapat menjadi role model bagi mahasiswa Kegiatan: menghadirkan seorang pembicara tamu untuk berbagi pengalaman dan kita dalam memberantas dan mencegah korupsi di dunia kerjanya. Pembicara tamu adalah tokoh-tokoh yang dikenal sebagai corruptor-fighter di bidangnya masing-masing seperti tokoh-tokoh KPK, pengusaha, politisi, pemuka agama, pejabat pemerintah, dan lain-lain e) Diskusi film Tujuan: menggunakan media film sebagai media pembelajaran melalui kekuatan audiovisual Kegiatan: memutar film dokumenter korupsi atau anti- korupsi, kemudian mendiskusikan dengan mahasiswa Hal-hal yang bisa didiskusikan mahasiswa misalnya terkait bentuk korupsi yang terjadi, dilema yang dihadapi si koruptor atau orang yang membantu terjadinya korupsi, dan sebagainya. Diskusi bisa diperkaya dengan pengalaman serupa yang pernah dihadapi oleh mahasiswa. f) Investigative report Tujuan: mahasiswa memiliki kompetensi untuk mengidentifikasi dan menganalisis sebuah tindak korupsi yang nyata terjadi di lingkungan sekitar atau daerah setempat, serta membuat laporan korupsi yang efektif dan impactful. Kegiatan: merupakan investigasi lapangan yang dilakukan dalam kurun beberapa minggu. Kelompok mahasiswa menentukan tindak korupsi dan lokasinya, melakukan investigasi dengan teknik yang benar, menyusun laporan berisi kasus, data dan analisis konseptual, dan mempresentasikannya di kelas. Mahasiswa dapat menggunakan kamera, video dan recorder untuk mengumpulkan data dan informasi sebagai bukti valid. Tindak lanjut dari hasil investigasi: bisa disosialisasikan kepada masyarakat melalui media lokal atau cara lain, sehingga menyebarkan kesadaran anti-korupsi ke lingkungan yang lebih luas. Universitas misalnya bisa bekerjasama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan materi teknik investigasi yang tingkatannya disesuaikan dengan kemampuan mahasiswa dan tujuan matakuliah Mahasiswa mengamati dan mengikuti berbagai kasus korupsi dan proses penyidikan, serta dinamika kerja pemerintah dan peran masyarakat dalam gerakan memberantas korupsi Kegiatan: mahasiswa mengetahui terjadinya berbagai kasus korupsi, mengamati perjalanan proses penyidikan sebuah kasus, atau mengamati perkembangan kinerja pemerintah dalam upaya memberantas korupsi, dan lain- lain–melalui media massa seperti surat kabar, majalah berita, televisi. g) Thematic exploration Tujuan: membangun cara berfikir (way of thinking) yang komprehensif dalam menggali sebuah kasus. Kegiatan: mahasiswa melakukan observasi terhadap sebuah kasus korupsi atau perilaku koruptif, kemudian menganalisis dari berbagai perspektif sosial, budaya, hukum, ekonomi, politik dan sebagainya. Mahasiswa juga bisa melakukan observasi perbandingan perspektif atau cara penyelesaian terhadap satu jenis kasus yang serupa dari masyarakat atau negara yang berbeda. h) Prototype Tujuan: penerapan keilmuan atau ciri khas perguruan tinggi terkait atau ciri khas lokal dalam konteks anti- korupsi; atau mengeksplorasi korupsi dan anti-korupsi. Kegiatan: mahasiswa membuat prototype teknologi terkait cara-cara penanggulangan korupsi i) Prove the government policy Tujuan: memantau realisasi janji pemerintah sebagai bentuk integritas.Kegiatan: kelompok mahasiswa melakukan pengamatan, penelitian ke lapangan untuk melihat kesesuaian janji pemerintah yang disosialisasikan melalui kampanye/spanduk/ iklan/pengumuman prosedur di berbagai instansi dengan realisasi di lapangan. j) Education tools Tujuan: menciptakan media pembelajaran yang kreatif untuk segmen pendidikan formal maupun publik dalam rangka gerakan anti-korupsi. Kegiatan: kelompok mahasiswa mewujudkan kreatifitasnya dalam mendesain berbagai macam produk yang bisa menjadi media pembelajaran anti-korupsi. BAB III PENUTUP
Pendidikan antikorupsi menjadi sangat penting sebagai upaya sistematis dan
masif dalam pemberantasan korupsi. Guna mencapai hal tersebut, maka pendidikan harus mengedepankan proses yang benar-benar ditujukan kepada pembentukan kepribadian, kecerdasan, dan keterampilan. Sudah saatnya, distorsi dalam pendidikan dan pengabaian nilai-nilai moral diperbaiki agar melahirkan generasi muda yang tidak toleran terhadap korupsi. Pendidikan antikorupsi sangat signifikan untuk dimasukkan dalam kurikulum pendidikan nasional di Indonesia. Pendidikan harus mampu mentransformasikan nilai-nilai moral, pendidikan juga berfungsi melakukan “rekayasa sosial” guna membangun modal sosial yang efektif. Dengan adanya penanaman nilai- nilai agama dan moral antikorupsi secara lebih spesifik, maka akan mampu memberikan kontribusi pada pembangunan mental dan moral yang bersih dan jujur. Lebih dari itu pendidikan anti korupsi ini jangan hanya berhenti di tingkat program pendidikan tetapi harus diupayakan menjadi sebuah gerakan yang melibatkan berbagai elemen masyarakat. DAFTAR PUSTAKA
1. Azwar S, Sikap Manusia : Teori dan Pengukurannya, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2006 Budiningsih, 2. C.A, Pembelajaran Moral: Berpijak pada Karakteristik Siswa dan Budayanya, Bhineka Cipta, Jakarta, 2004 3. Dananjaya, Utomo , Media Pembelajaran Aktif, Penerbit Nuansa, Bandung,2010 4. Fishbein M & Ajzein.I, Belief, Attitude, Intention and Behavior: An Introduction to Theory and Research, Addison-Wesley Publishing, Sydney, 1975 5. Sofia, Asriana Issa & Herdiansyah H, Pengaruh Attitude toward behavior, Subjective norm, dan Perceived behavioral control terhadap Intensi Perilaku Anti- korupsi pada Mahasiswa Peserta Matakuliah Antikorupsi Universitas 6. Paramadina, Jurnal Paramadina ed. Maret 2011, Jakarta, 2011 UNESCO, Handbook Non-formal Adult Education Facilitators, Modul Four: Participatory Learning Wade C & Tavris, C , Psikologi (ed.9 jilid 2), Penerbit Erlangga, Jakarta, 2007 7. Wijayanto, et.al, Korupsi Mengorupsi Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010