penjelasan tentang apa itu korupsi; sebab-sebab dan akibta-akibat korupsi; serta
strategi pemberantasan korupsi. Analisis didasarkan pada pendekatan yuridis,
politis, dan sosio-religius.
Permasalahan yang akan dibahas dalam kajian ini adalah bagaimana strategi
pemberantasan korupsi? Dan strategi apa saja yang tepat untuk pemberantasan
korupsi di Indonesia?
PENGERTIAN DAN TIPOLOGI KORUPSI
Korupsi berasal dari bahasa Latin, corruptio atau corruptus. Corruptio sendiri
berasal dari kata corrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin
itulah turun ke bayak bahasa Eropa seperti Inggris yaitu corruption, corrupt;
Perancis yaitu corruption; dan Belanda yaitu cnorruptie. Dari bahasa Belanda
inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia yaitu korupsi. (Andi Hamzah, 2005:4).
Dalam Kamus Hukum (2002), kata korupsi berarti buruk; rusak; suka menerima
uang sogok; menyelewengkan uang/barang milik perusahaan atau negara;
menerima uang dengan menggunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi. The
Lexicon, 1979, mengartikan kata corruption berarti suatu perbuatan busuk, buruk,
bejat, tidak jujur, dapat disuap, tidak bermoral, menyimpang dari kesucian, dan
kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. Kata korupsi dalam
Webster’s Third New International Dectionary (1961) diartikan sebagai
“perangsang (seorang pejabat pemerintah) berdasarkan itikad buruk (seperti suap)
agar ia melakukan pelanggaran terhadap kewajibannya”. Sedangkan “suap”
(sogokan) didefinisikan sebagai “hadiah, penghargaan, pemberian atau
keistimewaan yang dianugerahkan atau dijanjikan, dengan tujuan merusak
pertimbangan atau tingkah laku, terutama dari seseorang dalam kedudukan
terpercaya (sebagai pejabat pemerintah).”
Korupsi juga mencakup nepotisme atau sifat suka memberi jabatan kepada
kerabat dan famili saja, serta penggelapan uang negara. Dalam kedua hal ini
terdapat “perangsang dengan pertimbangan tidak wajar.” Jadi korupsi, sekalipun
khusus terkait dengan penyuapan dan penyogokan, adalah istilah umum yang
mencakup penyalahgunaan wewenang sebagai hasil pertimbangan demi mengejar
keuntungan pribadi, keluarga dan kelompok. Menurut laporan Pemerintah India,
Report of the Committee on Prevention of Corruption, “korupi menyangkut
penyalahgunaan kekuasaan serta pengaruh jabatan atau kedudukan istimewa
dalam masyarakat untuk maksud-maksud pribadi. (Bayley, 1995),
Menurut Johnson (1993), korupsi adalah penyalahgunaan peran dan sumber daya
pemerintah atau oleh mereka yang berusaha untuk mempengaruhi orang-orang
tadi. Tetapi, standar apa yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi
“penyalahgunaan” itu? Boleh jadi adalah “norma” atau “kepentingan umum”.
Tetapi kedua-duanya memiliki kelemahan yang serius sebagai suatu standar.
Norma berdasarkan standar yang tidak tetap, kabur dan acapkali bertentangan
antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat yang lain, sedang
“kepentingan umum” berdasarkan standar yang tidak ada dalam sebagian besar
masalah dan keadaan serta lingkungan. Tetapi Johnson menegaskan bahwa
standar yang lebih mantap dan tepat untuk mengidentifikasi penyalahgunaan
adalah standar hukum.
Definisi korupsi yang lain dikemukakan oleh Klitgaard (1998), korupsi adalah
tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara
karena keuntungan status atau uang untuk pribadi (perorangan, keluarga dekat,
kelompok sendiri). Menurut Klitgaard, konsep korupsi tersebut sekaligus merujuk
pada tingkah laku politik dan seksual. Kata lain corruptus, “corrupt”
menimbulkan serangkaian gambaran jahat; kata “corrupt” berarti apa saja yang
merusak keutuhan. Ada dimensi 3
moral pada kata tersebut. Namun Klitgaard menegaskan bahwa definisi tentang
korupsi tidaklah statis tetapi berkembang sepanjang perjalanan waktu. Masyarakat
lambat laun akan mampu membuat pembedaan yang lebih tajam antara “suap”
dan “transaksi”, dan semakin mampu membuat pembedaan-pembedaan ini dalam
praktek. Dan dalam setiap zaman, suatu masyarakat cenderung menemukan
sekurang-kurangnya empat definisi suap yang berbeda: definisi dari kaum moralis
yang lebih maju”, definisi hukum sebagaimana tertulis”, definisi hukum sejauh
ditegakkan, dan definisi praktek yang lazim.
Berdasarkan latar belakang sejarahnya, pengertian korupsi itu sangat berkaitan
erat dengan Sistem kekuasaan dan pemerintahan di zaman dulu maupun di zaman
modern ini. Adapun pengertian korupsi yang berkaitan dengan kekuasaan pertama
kali dipopulerkan oleh E. John Emerich Edwards Dalberg Acton, yang
mengatakan: “The Power tends to corrupt, but absolute power corrupts
absolutely” (Kekuasaan cenderung korupsi, tetapi kekuasaan yang berlebihan
mengakibatkan korupsi yang berlebihan pula).
Dari beberapa teori tentang korupsi yang ada, menurut Syed Hussein Alatas,
William-Chambliss, dan Milovan Djilas, sebagaimana diolah George Junus
Aditjondro (2006:401-402), korupsi dapat dibedakan menjadi tiga lapis:
1. Korupsi lapis pertama, yang meliputi bidang sentuh langsung antara warga
(citizen) dan birokrasi atau aparatur negara, yang dapat dibedakan antara suap
(Inggris, bribery; Arab, riswah), di mana prakarsa untuk mengeluarkan dana, jasa,
atau benda datang dari warga, dan pemerasan (extortion), di mana prakarsa untuk
mendapatkan dana, jasa, atau benda tertentu datang dari aparatur negara.
2. Korupsi lapis kedua, yang meliputi “lingkaran dalam” (inner circle) di pusat
pemerintahan, dapat dibedakan antara:
a. Nepotisme, di mana ada hubungan darah antara mereka yang menjadi pelayan
public dengan mereka yang menerima berbagai kemudahan dalam bidang usaha
mereka.
b. Kronisme, di mana tidak ada hubungan darah antara pelayan public dengan
orang-orang yang menerima berbagai kemudahan dalam bidang usaha mereka.
c. Kelas baru, di mana mereka yang mengambil kebijakan dengan mereka yang
menerima kemudahan khusus untuk usaha mereka, sudah menjadi satu kesatuan
yang organinik, satu stratum (lapis) warga negara dan warga masyarakat yang
bersama-sama memerintah satu negara.
3. Korupsi lapis ketiga, adalah jaringan korupsi (corruption network) yang sudah
terbentuk yang meliputi birokrat, politisi, aparat penegak hokum, aparat keamanan
negara, perusahaan-perusahaan negara dan swasta tertentu, serta lembaga-lembaga
hukum, pendidikan dan penelitian yang memberikan kesan “obyektif” dan
“ilmiah” terhadap apa yang merupakan kebijakan jaringan itu. Katakanlah
semacam “legitimator”. Jaringan itu bisa berlingkup regional, nasional dan
internasional. Tipologi korupsi berlapis tiga ini jauh lebih kompleks
lahir sebelum era eformasi sampai dengan produk hukum era reformasi; tetapi
pelaksanaannya kurang konsisten sehingga korupsi tetap subur di negeri ini.
Saya menyebutkan beberapa saja dari sekian banyak dasar hukum anti-korupsi
yang pernah ada di Indonesia. Antara lain TAP MPR RI Nomor XI/MPR/1998
tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Berwibawa dan Bebas KKN,
UU Nomor 31 tahun 1999 jo UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. UU No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara
yang bersih dan bebas KKN; UU Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang; UU Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi; dan lain-lain.
Dari sekian banyak peraturan perundang-undangan anti-korupsi yang ada, salah
satu yang paling populer barangkali UU Nomor 30/2002 tentang KPK. KPK
adalah lembaga negara yang bersifat independen yang dalam pelaksanaan tugas
dan kewenangannya bebas dari kekuasaan manapun. Tugas-tugas KPK adalah
sebagai berikut: (a) Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi; (b) supervisi terhadap instansi yang
berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; (c) Melakukan
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; (d)
Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi, dan melakukan
monitor terhadap penyelengaraan pemerintahan negara.
Selain itu terdapat beberapa peraturan pelaksana yang mengatur tentang
pemberantasan korupsi di Indonesia, antara lain:
1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2000 tentang Tim
Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2000 tentang tata
Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian penghargaan dalam
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 1999 tentang Tata
Cara Pemeriksaan kekayaan Penyelenggara Negara
4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 1999 tentang Tata
Cara pemantauan dan Evaluasi pelaksanaan Tugas dan Wewenang Komisi
Pemeriksa
5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 1990 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Peran serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Negara.
6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2006 tentang Hak
Keuangan, kedudukan Protokol, dan perlindungan Keamanan Pimpinan komisi
Pemberantasan Korupsi.
7. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2003 tentang
Pembentukan Panitia Seleksi Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
8. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 127 Tahun 1999 tentang
Pembentukan komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara dan Sekretaris
Jerdral Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara
9. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2004 tentang Percepatan
Pemberantasan Korupsi.
Dari sekian banyak peraturan perundang-undangan yang ada tersebut,
pemberantasan korupsi tidak akan berjalan efektif jika tidak ada komitmen yang
kuat, tulus dan ikhlas dari pemerintah, penegak hukum, dan masyarakat. 10
DAFTAR PUSTAKA
Aditjondro, George Junus, Korupsi kepresidenan; Reproduksi oligarki berkaki
tiga, 11