Anda di halaman 1dari 15

1

STRATEGI PEMBERANTASAN KORUPSI


(Kajian Pendalaman Materi Percepatan Pemberantasan Korupsi
Pada Diklat Prajabatan Gol. III)
Oleh: Abdul Main, S.Ag., SS.,M.Hum.
(Widyaiswara Madya BDK Surabaya)
ABSTRAK
Korupsi merupakan kejahatan luar biasa dan fenomenal di Indonesia. Modus
korupsi sangat bervariasi, seperti mark-up, penipuan, penyuapan, pemerasan,
gratifikasi dan lain-lain. Oleh karena itu, untuk menghilangkan korupsi itu perlu
langkah serius. Pemberantasan korupsi membutuhkan komitmen kuat semua
pihak: pemerintah, penegak hukum dan masyarakat sipil. Tanpa itu, upaya
pemberantasan korupsi akan berjalan di tempat. Karena korupsi telah menjadi
endemy yang berakar pada budaya Indonesia. Oleh karena itu, harus ada upaya
serius semua pihak agar korupsi bisa dikurangi secara bertahap dan pada akhirnya
diberantas tuntas. Pertama peran pemerintah: hendaknya pemerintah dapat
menutup peluang terjadinya korupsi, meningkatkan gaji PNS, mereformasi hukum
dan meningkatkan fungsi kontrol, serta memimpin gerakan nti-korupsi. Kedua
peran penegakan hukum, meliputi komitmen yang kuat untuk menegakkan hukum
tanpa pandang bulu, menolak dan menuntut kasus-kasus korupsi secara jujur.
Ketiga peran masyarakat sipil: menghidupkan fungsi kontrol publik, kebebasan
pers dan pendidikan antikorupsi di masyarakat. Dan untuk semua pihak, harus
menjunjung tinggi etika dan moral antikorupsi.
Kata-Kata Kunci: korupsi, sebab-akibat korupsi, fenomena korupsi,
pemberantasan korupsi.
PENDAHULUAN
Korupsi merupakan suatu bentuk kejahatan sosioekonomi dan kejahatan jabatan
yang sangat merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, bagaikan
virus ganas yang mematikan. Virus ini sangat mudah menyerang birokrasi
pemerintah terutama di negara-negara berkembang. Menurut survey PERC
(Politcal and Economic Risk Consultancy), sebuah Biro Konsultasi Risiko Politik
dan Ekonomi yang bermarkas di Hongkong, menunjukkan bahwa dari 13 negara-
negara Asia yang disurvey, Indonesai menduduki peringkat ke-3 sebagai negara
yang terkorup di Asia setelah Filipina dan Thailand. Adapun negara di kawasan
Asia yang dinilai paling berhasil memberantas korupsi adalah Singapura, disusul
Hongkong, Jepang, Makau, Korea Selatan, Malaysia, Taiwan, India, Vietnam dan
Tiongkok.
Indonesia dari dahulu hingga kini bejuang memberantas korupsi, baik secara
prefentif, edukatif, maupun represif. Bahkan tidak sedikit perangkat hukum yang
telah dibuat untuk menjerat para koruptor. Tetapi mengapa Indonesia masih selalu
menjadi “juara bertahan” dalam soal korupsi? Penulis berpendapat bahwa korupsi
jangan lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa tetapi harus digolongkan sebagai
kejahatan luar biasa. Begitupun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi
dilakukan secara biasa, tetapi harus dengan cara-cara yang luar biasa. Tulisan ini
mencoba memberikan 2

penjelasan tentang apa itu korupsi; sebab-sebab dan akibta-akibat korupsi; serta
strategi pemberantasan korupsi. Analisis didasarkan pada pendekatan yuridis,
politis, dan sosio-religius.
Permasalahan yang akan dibahas dalam kajian ini adalah bagaimana strategi
pemberantasan korupsi? Dan strategi apa saja yang tepat untuk pemberantasan
korupsi di Indonesia?
PENGERTIAN DAN TIPOLOGI KORUPSI
Korupsi berasal dari bahasa Latin, corruptio atau corruptus. Corruptio sendiri
berasal dari kata corrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin
itulah turun ke bayak bahasa Eropa seperti Inggris yaitu corruption, corrupt;
Perancis yaitu corruption; dan Belanda yaitu cnorruptie. Dari bahasa Belanda
inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia yaitu korupsi. (Andi Hamzah, 2005:4).
Dalam Kamus Hukum (2002), kata korupsi berarti buruk; rusak; suka menerima
uang sogok; menyelewengkan uang/barang milik perusahaan atau negara;
menerima uang dengan menggunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi. The
Lexicon, 1979, mengartikan kata corruption berarti suatu perbuatan busuk, buruk,
bejat, tidak jujur, dapat disuap, tidak bermoral, menyimpang dari kesucian, dan
kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. Kata korupsi dalam
Webster’s Third New International Dectionary (1961) diartikan sebagai
“perangsang (seorang pejabat pemerintah) berdasarkan itikad buruk (seperti suap)
agar ia melakukan pelanggaran terhadap kewajibannya”. Sedangkan “suap”
(sogokan) didefinisikan sebagai “hadiah, penghargaan, pemberian atau
keistimewaan yang dianugerahkan atau dijanjikan, dengan tujuan merusak
pertimbangan atau tingkah laku, terutama dari seseorang dalam kedudukan
terpercaya (sebagai pejabat pemerintah).”
Korupsi juga mencakup nepotisme atau sifat suka memberi jabatan kepada
kerabat dan famili saja, serta penggelapan uang negara. Dalam kedua hal ini
terdapat “perangsang dengan pertimbangan tidak wajar.” Jadi korupsi, sekalipun
khusus terkait dengan penyuapan dan penyogokan, adalah istilah umum yang
mencakup penyalahgunaan wewenang sebagai hasil pertimbangan demi mengejar
keuntungan pribadi, keluarga dan kelompok. Menurut laporan Pemerintah India,
Report of the Committee on Prevention of Corruption, “korupi menyangkut
penyalahgunaan kekuasaan serta pengaruh jabatan atau kedudukan istimewa
dalam masyarakat untuk maksud-maksud pribadi. (Bayley, 1995),
Menurut Johnson (1993), korupsi adalah penyalahgunaan peran dan sumber daya
pemerintah atau oleh mereka yang berusaha untuk mempengaruhi orang-orang
tadi. Tetapi, standar apa yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi
“penyalahgunaan” itu? Boleh jadi adalah “norma” atau “kepentingan umum”.
Tetapi kedua-duanya memiliki kelemahan yang serius sebagai suatu standar.
Norma berdasarkan standar yang tidak tetap, kabur dan acapkali bertentangan
antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat yang lain, sedang
“kepentingan umum” berdasarkan standar yang tidak ada dalam sebagian besar
masalah dan keadaan serta lingkungan. Tetapi Johnson menegaskan bahwa
standar yang lebih mantap dan tepat untuk mengidentifikasi penyalahgunaan
adalah standar hukum.
Definisi korupsi yang lain dikemukakan oleh Klitgaard (1998), korupsi adalah
tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara
karena keuntungan status atau uang untuk pribadi (perorangan, keluarga dekat,
kelompok sendiri). Menurut Klitgaard, konsep korupsi tersebut sekaligus merujuk
pada tingkah laku politik dan seksual. Kata lain corruptus, “corrupt”
menimbulkan serangkaian gambaran jahat; kata “corrupt” berarti apa saja yang
merusak keutuhan. Ada dimensi 3

moral pada kata tersebut. Namun Klitgaard menegaskan bahwa definisi tentang
korupsi tidaklah statis tetapi berkembang sepanjang perjalanan waktu. Masyarakat
lambat laun akan mampu membuat pembedaan yang lebih tajam antara “suap”
dan “transaksi”, dan semakin mampu membuat pembedaan-pembedaan ini dalam
praktek. Dan dalam setiap zaman, suatu masyarakat cenderung menemukan
sekurang-kurangnya empat definisi suap yang berbeda: definisi dari kaum moralis
yang lebih maju”, definisi hukum sebagaimana tertulis”, definisi hukum sejauh
ditegakkan, dan definisi praktek yang lazim.
Berdasarkan latar belakang sejarahnya, pengertian korupsi itu sangat berkaitan
erat dengan Sistem kekuasaan dan pemerintahan di zaman dulu maupun di zaman
modern ini. Adapun pengertian korupsi yang berkaitan dengan kekuasaan pertama
kali dipopulerkan oleh E. John Emerich Edwards Dalberg Acton, yang
mengatakan: “The Power tends to corrupt, but absolute power corrupts
absolutely” (Kekuasaan cenderung korupsi, tetapi kekuasaan yang berlebihan
mengakibatkan korupsi yang berlebihan pula).
Dari beberapa teori tentang korupsi yang ada, menurut Syed Hussein Alatas,
William-Chambliss, dan Milovan Djilas, sebagaimana diolah George Junus
Aditjondro (2006:401-402), korupsi dapat dibedakan menjadi tiga lapis:
1. Korupsi lapis pertama, yang meliputi bidang sentuh langsung antara warga
(citizen) dan birokrasi atau aparatur negara, yang dapat dibedakan antara suap
(Inggris, bribery; Arab, riswah), di mana prakarsa untuk mengeluarkan dana, jasa,
atau benda datang dari warga, dan pemerasan (extortion), di mana prakarsa untuk
mendapatkan dana, jasa, atau benda tertentu datang dari aparatur negara.
2. Korupsi lapis kedua, yang meliputi “lingkaran dalam” (inner circle) di pusat
pemerintahan, dapat dibedakan antara:
a. Nepotisme, di mana ada hubungan darah antara mereka yang menjadi pelayan
public dengan mereka yang menerima berbagai kemudahan dalam bidang usaha
mereka.
b. Kronisme, di mana tidak ada hubungan darah antara pelayan public dengan
orang-orang yang menerima berbagai kemudahan dalam bidang usaha mereka.
c. Kelas baru, di mana mereka yang mengambil kebijakan dengan mereka yang
menerima kemudahan khusus untuk usaha mereka, sudah menjadi satu kesatuan
yang organinik, satu stratum (lapis) warga negara dan warga masyarakat yang
bersama-sama memerintah satu negara.
3. Korupsi lapis ketiga, adalah jaringan korupsi (corruption network) yang sudah
terbentuk yang meliputi birokrat, politisi, aparat penegak hokum, aparat keamanan
negara, perusahaan-perusahaan negara dan swasta tertentu, serta lembaga-lembaga
hukum, pendidikan dan penelitian yang memberikan kesan “obyektif” dan
“ilmiah” terhadap apa yang merupakan kebijakan jaringan itu. Katakanlah
semacam “legitimator”. Jaringan itu bisa berlingkup regional, nasional dan
internasional. Tipologi korupsi berlapis tiga ini jauh lebih kompleks

SEBAB-SEBAB TERJADINYA KORUPSI


Menurut analisis Syed Hussain Alatas (1987:120), korupsi yang melanda segenap
negara dewasa ini tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Perang Dunia II. Mengutip
Laporan Komite Shantanam, ia mengatakan, peperangan yang meluas –yang
menguras pengeluaran pemerintah dalam jumlah besar untuk pengadaan dan
persediaan system —telah memberi peluang bagi korupsi. Bahkan di sebuah
negara yang sedikit saja dipengaruhi oleh mobilitas seperti itu, misalnya Saudi
Arabia, korupsi juga ada. Dalam hal Asia Tenggara, pendudukan Jepang
menimbulkan korupsi yang membengkak secara mendadak. Kelangkaan barang
dan makanan bersamaan dengan 4

inflasi yang tinggi karena lemahnya pengawasan pemerintah, menjadikan korupsi


sebagai jalan menutup kekurangan pendapatan. Jelas bahwa situasi perang
melahirkan masalah korupsi.
Faktor lain yang ikut menyebabkan terjadinya korupsi adalah pemerintahan
Kolonial. Korupsi terhadap pemerintahan Kolonial dianggap sebagai patriotic
karena merupakan bentuk perlawanan terhadap penjajah. Contoh di India, semasa
penjajahan Inggris, menipu pemerintah umumnya dianggap perbuatan patriotic.
Mencopoti bola lampu dan perlangkapan lain di kereta api, melindungi para
pelnggar hukum dari tangkapan polisi, semua itu dianggap sebagai perbuatan
yang bertujuan agar pemerintahan Kolonial tidak merampas uang rakyat India.
Setelah kemerdekaan pada tahun 1947, kebiasaan bersikap tidak jujur kepada
pemerintah terus berlanjut. Demikian juga di Indonesia, mencuri dan merampas
harta Kompeni Belanda dianggap pahlawan karena berarti menyelamtkan harta
rakyat pribumi. Namun konyolnya, kebiasaan serupa masih berlangsung di saat
pemerintahan dipegang orang pribumi sendiri.
Sebab-sebab korupsi lainnya ialah bertambahnya jumlah pegawai negeri dengan
cepat, dengan akibat gaji mereka menjadi sangat kurang. Hal itu selanjutnya
mengakibatkan perlunya pendapatan tambahan. (Wertheim, 19970). Pengaruh
koruptif masa perang, bertambahnya jumlah pegawai negeri dengan cepat,
bertambah luasnya kekuasaan dan kesempatan birokrasi dibarengi dengan
lemahnya pengawasan dari atas dan pengaruh partai-partai politik menjadikan
lahan subur bagi korupsi. Terhadap birokrasi yang rapuh itulah dunia usaha dan
industri memperkenalkan metode “semir”. Padahal birokrasi itu sendiri sudah
lama mengidap penyakit “semir”, apalagi ditambah rangsangan dari factor luar,
maka semakin marak saja praktik korupsi berlangsung.
Korupsi juga bisa disebabkan oleh system birokrasi patrimonial. Menurut Max
Weber (1968), kelemahan jabatan patrimonial adalah terutama tidak mengenal
perbedaan birokrasi antara lingkup “pribadi” dan lingkup “dinas”. Juga
pelaksanaan pemerintahan dianggap sebagai urusan pribadi sang penguasa.
Dengan demikian tingkah laku kekuasaannya sama sekali bebas, tidak dibatasi
norma-norma dan tradisi suci yang kukuh. Dalam masalah-masalah politik, hak
penguasa menghilangkan batas yurisdiksi para pejabat. Batas-batas di antara
berbagai fungsi jabatan sangat tipis. Menurut Weber, hal itu merupakan gambaran
kekanak-kanakan orang Asia. Sedang dalam birokrasi modern, di Barat, pejabat
mempunyai lingkup yurisdiksi, suatu jenis kegiatan yang teratur, dan seperangkat
peraturan yang menata kegiatan birokrasi.
Korupsi juga sering terjadi karena sikap solidaritas kekeluargaan dan kebiasaan
saling memberi hadiah. Pemberian hadiah di kalangan birokrasi bahkan telah
melembaga, meskipun pada awalnya tidak dimaksudkan untuk mempengaruhi
keputusan. Menurut penelitian Alatas (1987:132), bahwa korupsi bagaikan benalu
yang merayap ke segenap lingkungan yang cocok untuk tumbuh, dan lingkungan
yang paling subur untuk tempat tumbuhnya benalu itu adalah lembaga hadiah.
Memang ada yang mengatakan bahwa hadiah dan suap itu berbeda seperti halnya
perkawinan dan pelacuran. Meskipun secara lahiriah beberapa perilaku tertentu
dari perkawinan dan pelacuran itu sama, tetapi secara fenomenologis keduanya
berbeda. Dalam tinjauan fikih, hadiah itu ada tiga jenis.
a. Hadiah yang halal bagi pemberi dan penerima; yaitu hadiah seseorang kepada
orang lain demi terciptanya kasih sayang dan keakraban. “Hendaknya kalian
saling memberi hadiah, maka kalian akan saling mencintai.” (H.R. Ibnu Asakir).
b. Hadiah yang halal bagi pemberi dan haram bagi penerima; contohnya, jika
seseorang merasa takut dari orang lain lalu dia memberikan hadiah kepada orang
yang ditakutinya dengan harapan mampu meredam perbuatan dzalimnya. “Jika
seseorang memberi
5

hadiah kepada orang yang berkompeten sebagai imbalan mencegah kedzaliman


darinya atau untuk memberikan haknya yang pasti ditunaikan oleh penerima
hadiah, maka hadiah itu haram bagi penerima dan halal bagi pemberi.” (Ibnu
Taimiyah, dalam Majmu’ Fatawa).
c. Hadiah yang haram bagi keduanya; yaitu hadiah yang diberikan seseorang
dengan harapan hajatnya akan dikabulkan. Imam Ibnu Taimiyah mengatakan:
“Barang siapa yang memberikan hadiah kepada Waliyul Amr (Pejabat
Pemerintah) untuk melakukan perbuatan yang tidak diperbolehkan, maka hadiah
tersebut haram bagi pemberi dan penerima.” (Majmu’ Fatawa).

Korupsi juga terjadi karena lemahnya disiplin pemerintah dalam mengendalikan


kekuasaan negara, yang menurut Gunnar Myrdal (1968), disebut sebagai negara
yang lembek. Negara yang lembek ialah negara yang tidak memiliki disiplin
sosial, di mana pemerintah menuntut sangat sedikit kepada warga negaranya, dan
sedikit kewajiban yang tidak dilakukan secara memadai pula. Weber mengaitkan
negara yang lembek dengan otak yang lembek. Otak yang lembek adalah otak
yang kesadaran etisnya lemah, yang tidak berkemampuan memberlakukan sanksi
etis, dan yang tidak mampu membedakan urusan pemerintahan dengan urusan
pribadi. Mereka yang mengelola negara dengan lembek pastilah orang yang
berotak lembek, seperti halnya orang-orang yang korup pastilah berpikir korup.
Korupsi juga terjadi karena adanya anggapan bahwa korupsi itu baik dan
bermanfaat. Ini kedengarannya berlebihan tetapi fakta menunjukkan bahwa tidak
sedikit orang yang berpandangan demikian. Sebut saja misalnya, Jose Velos
Abueva, seorang ahli administrasi Filipina yang menulis artikel berjudul: ”The
Corruption of Nepotism, Spoils and Graft to Political Development (1966),
mengatakan bahwa: ”nepotisme, maupun pemberian jabatan dan keuntungan
usaha berdasar pada koneksi politik, memberi sumbangan bagi segi-segi
perkembangan politik tertentu, yakni kesatuan dan kemantapan politik,
keikutsertaan rakyat dalam masalah pemerintahan, pengembangan sistem
kepartaian yang sehat, hasil yang lebih baik dalam pemeliharaan politik dan
prestasi administrasi birokrasi. (Lihat: Heidenheimer, 19970). Ada juga pihak
yang menganggap adaya akibat-akibat positif dari korupsi. Bayley (1995:102-
110), mengemukakan sisi-sisi positif dari korupsi, antara lain mengatakan: (a)
korupsi, baik berupa komisi maupun berupa pembayaran oleh seorang penyuap,
mungkin berakibat semakin banyak jatah sumber-sumber masuk ke bidang
penanaman modal dan tidak ke bidang konsumsi. Ini merupakan mekanisme
penjatahan yang sesuai dengan tujuan pembangunan ekonomi. (b) kesempatan
korupsi juga berguna untuk meningkatkan mutu para pegawai negeri. Korupsi
sering dilakukan dengan motif memenuhi kebutuhan dasar. Maka orang-orang
yang korup di sini bukanlah orang yang tanpa kemampuan. Di negara-negara
sedang berkembang, korupsi diperlukan untuk menyesuaikan taraf-taraf
kehidupan. (c) Korupsi membuka jalan untuk memperlunak kekerasan suatu
rencana pembangunan ekonomi dan sosial suatu golongan elit. (d) di kalangan
elit-elit politik, korupsi mungkin berlaku sebagai pelarut soal-soal ideologi atau
kepentingan-kepentingan yang tak dapat disepakati. Nah, pandangan-pandangan
seperti itulah yang menyebabkan korupsi akan tetap eksis.
Korupsi terjadi karena kerakusan, kekejaman dan nafsu mengeruk keuntungan
para penguasa yang mengenggam kekuasaan. Jadi dalam hal ini korupsi lebih
disebabkan faktor kepribadian pemimpin. Tetapi faktor sosial, seperti pranata
budaya, kemiskinan, penderitaan yang luar biasa, perubahan politik besar-besaran,
peperangan, sistem hukum yang tidak sempurna; pengaruh yang berasal dari luar
diri individu, semuanya bisa menjadi sebab-sebab terjadinya korupsi. 6

Abdullah Hehamahua, (2006) seorang Penasehat KPK mengatakan sebab-sebab


terjadinya korupsi di Indonesia ada 8:
1. Sistem penyelenggaraan negara yang keliru, seharusnya prioritas pembangunan
itu bidang pendidikan. Tetapi selama puluhan tahun mulai dari orde lama, orde
baru sampai orde reformasi ini, pembangunan difokuskan di bidang ekonomi.
Padahal semua negara yang baru merdeka, terbatas dalam memiliki uang, SDM
dan teknologi. Konsekuensinya, semuanya didatangkan dari luar negeri yang pada
gilirannya menghasilkan penyebab korupsi yang kedua, yaitu:
2. Kompensasi PNS yang rendah. Disebabkan prioritas pembangunan di bidang
ekonomi maka secara fisik dan kultural melahirkan pola konsumerisme, sehingga
sekitar 90% PNS melakukan KKN.
3. Pejabat yang serakah. Pola hidup konsumerisme yang dilahirkan oleh sistem
pembangunan kapitalistik mendorong para pejabat untuk menjadi kaya secara
mendadak.
4. Law enforcment tidak berjalan. Karena pejabat penegak hukumnya sendiri
korup, bagaimana mungkin mereka akan menegakkan hukum yang itu berarti
menghukum dirinya sendiri? Sehingga lahirlah plesetan: “KUHP= Kasih Uang
Habis Perkara”, “Ketuhanan yang Maha Esa”, Keuangan yang Maka Kuasa”.
5. Hukum yang ringan terhadap koruptor. Aparat penegak hukum bisa dibeli
mulai dari polisi, jaksa, hakim dan pengacara. Maka hukuman yang dijatuhkan
pada koruptor sangat ringan sehingga tidak menimbulan efek jera bagi koruptor.
6. Pengawasan yang tidak efektif.
7. Tidak ada keteladanan pemimpin.
8. Budaya masyarakat yang kondusif KKN.

AKIBAT-AKIBAT BURUK KORUPSI


Menurut David Bayley (1995), akibat-akibat buruk yang ditimbulkan oleh sikap
korup adalah sebagai berikut:
1. Korupsi mengurangi efisiensi biaya penyelenggaraan negara karena banyaknya
pos-pos anggaran yang digerogoti oleh para koruptor untuk keuntungan pribadi.
2. Korupsi menyebabkan kenaikan biaya administrasi. Seberapa jauh
pelipatgandaan biaya tambahan tergantung pada kemampuan pasaran. Orang-
orang yang sekaligus menjadi wajib pajak dan dipaksa untuk memberi sogokan,
menjadi berlipat ganda membayar untuk suatu jasa negara.
3. Jika korupsi terjadi dalam bentuk “komisi”, akan mengakibatkan berkurangnya
jumlah dana yang seharusnya dipakai untuk keperluan masyarakat umum. Ini
merupakan pengalihan sumber-sumber kepentingan umum untuk keperluan
perorangan. Contohnya, seorang pejabat pemerintah menyetujui suatu proyek atau
kontrak dengan harga tertentu, tetapi menerima ”komisi” 10% sebagai balas jasa
penyetujuan kontrak tersebut, maka dana yang terpakai untuk kepentingan umum
tinggal 90% karena yang 10% telah masuk ke keuntungan pribadi.
4. Korupsi berpengaruh buruk pada pejabat-pejabat lain dari aparat pemerintah.
Karena korupsi menghancurkan keberanian orang untuk berpegang teguh pada
nilai-nilai sopan santun yang tinggi. Moral dan akhlak merosot karena sebagian
orang tidak lagi mengindahkannya.
5. Korupsi menurunkan martabat pejabat dan menurunkan kepercayaan
masyarakat terhadap tindakan adil pemerintah.
6. Para ahli politik dan pegawai negeri adalah kelompok elit dalam suatu
masyarakat. Kalau golongan elit saja bersikap korup, maka rakyat kecil pun tidak
memliki alasan
7
untuk tidak melakukan apa saja yang membawa keuntungan bagi dirinya, sebab
para elit yang dijadikan panutan toh juga demikian.
7. Keberanian yang laur biasa sukar didaptkan dari pemimpin-pemimpin yang
korup. Sebab bagaimana mungkin mereka akan memperjuangkan kebenaran dan
keadilan, sedangkan hal itu akan membatasi ruang geraknya sendiri untuk
melakukan korupsi.
8. Korupsi menyebabkan keberpihakan pejabat pada kepentingan orang yang
memberikan sogokan dan kurang keberpihakannya kepada kebenaran dan
kepetingan masyarakat.
9. Korupsi bisa menimbulkan fitnah, dakwaan-dakwaan serta sakit hati yang
mendalam. Sebab orang-orang yang tidak mau berbuat korupsi boleh jadi akan
dituduh di depan umum oleh temannya sendiri sang koruptor yang sesungguhnya.
10. Korupsi mengakibatkan keputusan akan dipertimbangkan berdasarkan uang
pelicin dan bukan berdasarkan kebutuhan masyarakat. Roda organisasi perlu
diminyaki dengan uang, tanpa pelumas itu roda birokrasi tidak akan berputar.

Menurut catatan Abdullah Hehamahua (2004), seorang penasehat KPK, bahwa


pelaku korupsi di Indonesia adalah 90% Pegawai Negeri. Fakta ini sama dengan
apa yang terjadi di Hongkong sekitar 30 tahun yang lalu, (untuk menyebut satu
pembanding), di mana pelaku korupsi di negeri itu juga 90% aparat negara mulai
dari atas sampai yang paling bawah. Mulai pejabat kementerian sampai petugas di
kampung-kampung melakukannya, sedang sisanya 10% dilakukan oleh swasta.
(Dahlan Iskan, 2006). Tetapi Hongkong telah melakukan pemberantasan korupsi
secara sistematis, sehingga hasilnya bukan saja sistem kenegaraan dan
kemasyarakatan yang bersih, tetapi juga kemajuan ekonomi yang luar biasa.
Sehingga Hongkong telah menjadi salah satu negara yang dinilai paling berhasil
memberantas korupsi. (Lihat: Transpancy Internasional, 2006).
Tetapi Indonesia, sampai saat ini masih memprihatinkan. Menurut laporan Dato
Param Cumaraswamy, pelapor khusus PBB, yang menyimpulkan bahwa korupsi
di Indonesia (mengambil kasus di pengadilan), adalah salah satu yang terburuk di
dunia yang mungkin hanya bisa disamai Meksiko. Korupsi di Indonesia
memperoleh skor 8,03 dari skala 1 sampai 10, dimana yang mendapat skor 1
adalah yang terbaik dan yang mendapat skor 10 adalah yang terburuk. Skor ini
tepat berada di atas Filipina yang memperoleh angka 9,40 dan sama dengan
Thailand yang juga mendapat skor 8,03. Data tersebut menunjukkan bahwa
korupsi di Indonesia sangat memprihatinkan. (KPK, 2007). Pantas saja kalau
Mundzar Fahman (2004) mengatakan bahwa Indonesia selalu menjadi “juara
bertahan” dalam melakukan korupsi.
STRATEGI PEMBERANTASAN KORUPSI
Menurut Andi Hamzah (2005:249), strategi pemberantasan korupsi bisa disusun
dalam tigas tindakan terprogram, yaitu Prevention, Public Education dan
Punishment. Prevention ialah pencerahan untuk pencegahan; Publik Education,
yaitu pendidikan masyarakat untuk menjauhi korupsi dan Punishment, adalah
pemidanaan atas pelanggaran tindak pidana korupsi.
1. Strategi Preventif:

Strategi Preventif diarahkan untuk mencegah terjadinya korupsi dengan cara


menghilangkan atau meminimalkan faktor-faktor penyebab atau peluang
terjadinya korupsi. Konvensi PBB Anti Korupsi, Uneted Nations Convention
Against Corruption (UNCAC), menyepakati langkah-langkah untuk mencegah
terjadinya korupsi. Masing-masing negara setuju untuk: “...mengembangkan dan
menjalankan kebijaksanaan anti-korupsi terkoordinasi dengan mempromosikan
partisipasi masyarakat dan menunjukkan 8

prinsip-prinsip supremasi hukum, manajemen urusan publik dan properti publik


dengan baik, integritas, transparan, dan akuntable, ... saling bekerjasama untuk
mengembangkan langkah-langkah yang efektif untuk pemberantasan korupsi”.
Sebagai upaya pencegahan korupsi, Konvensi menegaskan tujuannya yaitu, (a)
mempromosikan dan memperkuat langkah-langkah guna mencegahdan
memerangki korupsi secara lebih efisien dan efektif; (b) untuk mempromosikan
bantuan dan dukungan kerjasama internasional dan bantuan teknis dalam
pencegahan dan perang melawan korupsi termasuk dalam pemulihan aset; (c)
Untuk mempromosikan integritas, akuntabilitas dan manajemen urusan publik dan
properti publik dengan baik.
Dalam konteks Indonesia, langkah-langkah preventif terhadap korupsi dapat
dilakukan dengan cara: (a) Penguatan fungsi dan peran lembaga legislatif; (b)
Penguatan peran dan fungsi lembaga peradilan; (c) Membangun Kode Etik di
sektor publik; sektor Parpol, Organisasi Politik, dan Asosiasi Bisnis; (d) Mengkaji
sebab-sebab terjadinya korupsi secara berkelanjutan; (e) Penyempurnaan Sumber
Daya Manusia (SDM) dan peningkatan kesejahteraan Pegawai Negeri; (f)
Pengharusan pembuatan perencanaan stratejik dan laporan akuntabilitas kinerja
bagi instansi pemetintah; (g) Peningkatan kualitas penerapan sistem pengendalian
manajemen; (h) Penyempurnaan manajamen Barang Kekayaan Milik Negara
(BKMN); (i) Peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat; (j) Kampanye
untuk menciptakan nilai (value) anti korupsi secara nasional.
2. Public Education
Public education atau pendidikan anti korupsi untuk rakyat perlu digalakkan
untuk membangun mental anti-korupsi. Pendidikan anti-korupsi ini bisa dilakukan
melalui berbagai pendekatan, seperti pendekatan agama, budaya, sosioal,
ekonomi, etika, dsb.
Adapun sasaran pendidikan anti-korupsi secara garis besar bisa dikelompokkan
menjadi dua:
(a). Pendidikan anti korupsi bagi aparatur pemerintah dan calon aparatur
pemerintah. Misalnya, Lembaga Administrasi Negara (LAN) memasukkan materi
“Percepatan Pemberantasan Korupsi” bagi Peserta Diklat Prajabatan Ex. Honorer.
(Lihat: Peraturan Kepala LAN/5/2007 tentang “Perubahan atas Peraturan Kepala
LAN/2/2007 tetang Pedoman Penyelenggaraan Diklat Prajabatan CPNS yang
diangkat dari Tenaga Honorer). Usaha semacam itu sangat baik, tetapi amat
disayangkan, mengapa hanya peserta Pajabatan ex. Honorer yang mendapatkan
materi pemberantasan korupsi? Bukankah pelaku korupsi, sebagaimana telah
dijelaskan di muka, adalah 90% PNS? Penulis berpendapat, hendaknya materi
“Percepatan Pemberantasan Korupsi” diberikan bukan hanya kepada CPNS Ex.
Honorer, tetapi juga CPNS reguler, dan lebih-lebih kepada PNS yang sudah
menduduki jabatan. Maka LAN harus lebih inovatif dalam mendesain
pembelajaran dan memasukkan mata diklat “Percepatan Pemberantasan Korupsi”
pada diklat-diklat aparatur.
(b) Public education anti korupsi bagi masyarakat luas melalui lembaga-lembaga
keagamaan, dan tokoh-tokoh masyarakat. Semua itu dilakukan untuk
meningkatkan moral anti korupsi. Publik perlu mendapat sosialisasi konsep-
konsep seperti kantor publik dan pelayanan publik berikut dengan konsekuensi-
konsekuensi tentang biaya-biaya sosial, ekonomi, politik, moral, dan agama yang
diakibatkan korupsi.
3. Strategi Punishment:
Strategi punishment adalah tindakan memberi hukuman terhadap pelaku tindak
pidana korupsi. Dibandingkan negara-negara lain, Indonesia memiliki dasar
hukum pemberantasan korupsi paling banyak, mulai dari peraturan perundang-
undangan yang 9

lahir sebelum era eformasi sampai dengan produk hukum era reformasi; tetapi
pelaksanaannya kurang konsisten sehingga korupsi tetap subur di negeri ini.
Saya menyebutkan beberapa saja dari sekian banyak dasar hukum anti-korupsi
yang pernah ada di Indonesia. Antara lain TAP MPR RI Nomor XI/MPR/1998
tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Berwibawa dan Bebas KKN,
UU Nomor 31 tahun 1999 jo UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. UU No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara
yang bersih dan bebas KKN; UU Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang; UU Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi; dan lain-lain.
Dari sekian banyak peraturan perundang-undangan anti-korupsi yang ada, salah
satu yang paling populer barangkali UU Nomor 30/2002 tentang KPK. KPK
adalah lembaga negara yang bersifat independen yang dalam pelaksanaan tugas
dan kewenangannya bebas dari kekuasaan manapun. Tugas-tugas KPK adalah
sebagai berikut: (a) Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi; (b) supervisi terhadap instansi yang
berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; (c) Melakukan
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; (d)
Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi, dan melakukan
monitor terhadap penyelengaraan pemerintahan negara.
Selain itu terdapat beberapa peraturan pelaksana yang mengatur tentang
pemberantasan korupsi di Indonesia, antara lain:
1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2000 tentang Tim
Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2000 tentang tata
Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian penghargaan dalam
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 1999 tentang Tata
Cara Pemeriksaan kekayaan Penyelenggara Negara
4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 1999 tentang Tata
Cara pemantauan dan Evaluasi pelaksanaan Tugas dan Wewenang Komisi
Pemeriksa
5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 1990 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Peran serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Negara.
6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2006 tentang Hak
Keuangan, kedudukan Protokol, dan perlindungan Keamanan Pimpinan komisi
Pemberantasan Korupsi.
7. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2003 tentang
Pembentukan Panitia Seleksi Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
8. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 127 Tahun 1999 tentang
Pembentukan komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara dan Sekretaris
Jerdral Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara
9. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2004 tentang Percepatan
Pemberantasan Korupsi.
Dari sekian banyak peraturan perundang-undangan yang ada tersebut,
pemberantasan korupsi tidak akan berjalan efektif jika tidak ada komitmen yang
kuat, tulus dan ikhlas dari pemerintah, penegak hukum, dan masyarakat. 10

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


1. Kesimpulan

Korupsi telah menjadi endemy yang sudah mengurat-mengakar dalam “budaya”


masyarakat Indonesia. (Mohon maaf kepada para Budayawan yang kurang
sependapat dengan penisbatan istilah “budaya” di sini). Oleh karena itu usaha
pemberantasan korupsi memerlukan komitmen yang kuat, ikhlas dan tulus dari
pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat. Tanpa komitmen itu, usaha
pemberantasan korupsi akan “jalan di tempat”. Kegagalan gerakan anti korupsi di
berbagai negara terletak bukan pada kurang lengkapnya ketentuan legal atau
badan-badan anti korupsi, tetapi lebih sering karena tidak adanya keseriusan,
komitmen dan keikhlasan dari kepememimpinan politik. Hal itulah yang
kemudian menimbulkan sikap “skeptis” masyarakat. Masyarakat di lapis bawah
akan meniru apa yang dilakukan oleh para birokrat di level yang lebih tinggi.
2. Rekomendasi

Sekurang-kurangnya, terdapat lima macam kebijakan yang dapat diambil oleh


pemerintah, penegak hukum dan masyarakat untuk memberantas korupsi secara
efektif:
a. Mengubah kebijakan publik atau kebijakan administratif penyelenggaraan
negara yang mendorong orang untuk berbuat korup. Seperti dengan
menyederhanakan prosedur administrasi pelayanan publik; memotong rantai
pungli; menata kembali sistem administrasi akuntabilitas keuangan yang selama
ini hanya dilihat dari adanya “hitam di atas putih”. Padahal yang ada “hitam di
atas putih”-nya belum tentu semua benar.
b. Menata kembali struktur penggajian dan insentif yang berlaku pada lembaga-
lembaga pemerintah dengan menaikkan gaji pegawai.
c. Mereformasi lembaga-lembaga hukum untuk menciptakan penegakan hukum
(law enforcement) dan memperkuat rule of law. Harus ada kerjasama yang
sinergis antara lembaga penegak hukum, seperti Polri, Lembaga Peradilan, dan
KPK.
d. Memberdayakan fungsi kontrol dan pengawasan, dengan cara: pertama,
memperkuat kelembagaan dan mekanisme kontrol resmi untuk memonitor para
pegawai, pejabat dan politisi. Kedua, meningkatkan tekanan publik agar lembaga
dan mekanisme kontrol bisa berfungsi baik. Ini memerlukan reformasi struktur
politik kenegaraan dan partai politik serta lingkungan sosial yang memungkinkan
publik untuk dapat melakukan kontrol. Fungsi ini dapat dijalankan melalui
kebebasan pers dan transparansi pemerintah dan birokrasi dalam proses
pengambilan keputusan.
e. Meningkatkan moralitas antikorupsi melalui public education baik secara
formal melalui diklat-diklat antikorupsi kepada aparaur pemerintah, maupun
secara non-formal oleh tokoh-tokoh agama dan tokoh masyarakat serta melalui
publikasi dan promosi antikorupsi.[]

DAFTAR PUSTAKA
Aditjondro, George Junus, Korupsi kepresidenan; Reproduksi oligarki berkaki
tiga, 11

istana, tangsi, dan partai penguasa. Yogyakarta: Elkis, 2006.


Alatas, S.H., Korupsi: sifat, sebab dan fungsi; Penerjemah, Nirwono, Jakarta:
LP3ES, 1987.
Bayley, David H., “Akibat-akibat korupsi pada bangsa-bangsa sedang
berkembang”, dalam Bunga rampai korupsi; Penyunting, Muchtar Lubis dan
James C. Scott., Jakarta: LP3ES, 1995.
Baderani, H., Percepatan pemberantasan korupsi: Bahan ajar diklat Prajabatan
Golongan III Ex. Honorer. Banjarbaru: Badan Pendidikan dan pelatihan Daerah
Provinsi Kalimantan Selatan, 2007.
Fahman, Mundzar, Kiai dan korupsi: Adil rakyat, Kiai dan Pejabat dalam
korupsi. Surabaya: Jawa Pos Press, 2004.
Gunawan, Ilham., Postur korupsi di Indonesia: Tinjauan yuridis, sosiologis,
budaya dan politis. Bandung: Angkasa, 1993.
Hamzah, Jur. Andi., Pemberantasan korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.
Hehaahua, Abdullah., “Pemberantasan Korupsi Harus Simultan”, “Kata
Pengentar”, dalam Rafi, Abu Fida’ Abdur., Terapi penyakit korupsi dengan
tazkiyatun nafs (penyucian jiwa). Jakarta: Republika, 2004.
Indonesia. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Percepatan Pemberantasan Korupsi.
Indonesia. Undang-Undang RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
-------, Undang-Undang RI Nomor 201 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
-------, Undang-Undang RI Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi.
Johnston, Michael., “Konsekuensi politik dari korupsi: suatu penilaian kembali”,
dalam Korupsi politik; Penyunting, Mochtar Lubis. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1993.
Klitgaard, Robert., Membasmi korupsi; Penerjemah, Hermoyo. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 1998.
Lembaga Administrasi Negara, Percepatan pemberantasan korupsi: Modul diklat
Prajabatan Gol. III Eks Honorer. Jakarta: LAN, 2007.
Maheka, Arya. Mengenali dan memberantas korupsi. Jakarta: KPK, (t.t.).
McWalters, SC. Memerangi korupsi: sebuah peta jalan unutk Indonesia;
Penerjemah, Joko Pitono, Nurul Retno Hapsari, Yenny Arghanty. Surabaya:
JPBooks, 2006.[]

Anda mungkin juga menyukai