Anda di halaman 1dari 6

PENGERTIAN

Istilah korupsi berasal dari bahasa Latin, yaitu corruptus atau corruption yang
berasal dari kata kerja corrumpere yang berarti menyogok, rusak, atau busuk.
Pengertian lain menurut Transparency International, yaitu perilaku pejabat publik,
baik politikus maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar atau tidak legal
bertujuan untuk memperkaya diri ataupun memperkaya orang terdekatnya, dengan
menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Makna
korupsi sebagai kebusukan, keburukan, dan kebejatan sejalan dengan definisi
korupsi menurut Acham, yaitu suatu tindakan yang menyimpang dari norma
masyarakat dengan cara memperoleh keuntungan untuk diri sendiri serta merugikan
kepentingan umum. Selain itu, definisi korupsi menurut Klitgaard merupakan
tindakan memungut uang atau menggunakan wewenang untuk mencapai tujuan
yang tidak sah. Mendasar dari beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa
korupsi merupakan tindakan atau tingkah laku menyimpang baik yang berasal dari
ajakan atau niatan sendiri yang dilakukan secara sendiri atau bersama-sama untuk
mendapatkan keuntungan atau memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan
cara, baik sengaja maupun tidak sengaja melanggar aturan atau norma yang
berlaku.

Philip (1997) mengemukakan bahwa terdapat tiga pengertian luas dari


korupsi yang paling sering digunakan dalam berbagai pembahasan. Pertama,
korupsi yang berpusat pada kantor publik (public officecentered corruption). Menurut
Philip, korupsi merupakan tingkah laku dan tindakan pejabat publik yang
menyimpang dari tugas-tugas publik formal. Tujuannya untuk mendapatkan
keuntungan pribadi, atau orang-orang tertentu yang berkaitan erat dengannya
seperti keluarga, kerabat dan teman. Pengertian ini juga mencakup kolusi dan
nepotisme. Contoh perilaku ini seperti pemberian patronase karena alasan
hubungan kekeluargaan (ascriptive), bukan merit. Kedua, korupsi yang berpusat
pada dampaknya terhadap kepentingan umum (public interest-centered). Dalam hal
ini, korupsi sudah terjadi ketika pemegang kekuasaan atau fungsionaris pada
kedudukan publik, melakukan tindakan-tindakan tertentu dari orang-orang dengan
imbalan (apakah uang atau materi lain). Akibatnya, tindakan itu merusak
kedudukannya dan kepentingan publik.
Ketiga, korupsi yang berpusat pada pasar (market-centered) yang
menggunakan teori pilihan publik dan sosial, dan pendekatan ekonomi dalam
kerangka analisa politik. Menurut pengertian ini, individu atau kelompok
menggunakan korupsi sebagai “lembaga” ekstra legal untuk mempengaruhi
kebijakan dan tindakan birokrasi. Hanya individu dan kelompok yang terlibat dalam
proses pembuatan keputusan yang lebih mungkin melakukan korupsi daripada
pihak-pihak lain. Dalam kerangka ini, korupsi juga berarti penyalahgunaan
kekuasaan oleh seorang pegawai atau pejabat pemerintah untuk mendapatkan
tambahan pendapatan dari publik. Kedudukan publik dijadikan lahan bisnis untuk
memperoleh pendapatan sebesar-besarnya.

Terdapat tiga ciri yang menonjol dari pengertian korupsi menurut Diego
Gambetta, yaitu pertama korupsi menunjuk kemerosotan watak atau etis orang /
pelaku, tiadanya integritas moral, atau bahkan kebejatan hidup orang / pelaku.
Dalam hal ini, tindakan korupsi dapat dipicu oleh motif dan watak yang korup.
Kedua, korupsi secara genetik menggambarkan rumpun praktik sosial, apapun
motifnya, yang muncul dari atau menyebabkan kondisi kemerosotan kinerja institusi.
Ketiga, korupsi menunjuk pada beberapa jenis praktik, seperti suap atau imbalan
bagi persengkongkolan.

JENIS KORUPSI

 Secara tipologi, menurut Alatas (1987) korupsi dibagi ke dalam tujuh jenis,
yaitu:
1. Korupsi transaktif (transactive corruption), menunjukan adanya kesepakatan
timbal balik antara pemberi dan penerima, demi keuntungan kedua belah
pihak.
2. Korupsi yang memeras (extortive corruption), menunjukan adanya
pemaksaan kepada pihak pemberi untuk menyuap guna mencegah kerugian
yang sedang mengancam dirinya, kepentingannya atau hal-hal yang
dihargainya.
3. Korupsi investif (investive corruption), berupa pemberian barang atau jasa
tanpa ada pertalian langsung dengan keuntungan tertentu, selain keuntungan
yang dibayangkan akan diperoleh dimasa yang akan datang.
4. Korupsi perkerabatan (nepotistic corruption), merupakan penunjukan yang
tidak sah terhadap kerabat atau orang yang dianggap dekat untuk memegang
jabatan dalam pemerintahan, atau tindakan yang memberikan perlakuan
istimewa yang bertentangan dengan norma dan peraturan yang berlaku.
5. Korupsi defensif (defensive corruption), adalah korban korupsi dengan
pemerasan. Korupsi tersebut dalam rangka untuk mempertahankan diri.
6. Korupsi otogenik (autogenic corruption), adalah korupsi yang dilakukan oleh
seorang individu atau pejabat, kemudian akan mendapatkan keuntungan
karena memiliki pengetahuan sebagai orang dalam (insider’s information)
tentang berbagai kebijakan publik yang semestinya dia rahasiakan.
7. Korupsi dukungan (supportive corruption), adalah korupsi yang dilakukan
untuk memperkuat korupsi yang sudah ada.

 Berdasarkan proses terjadinya, tindakan korupsi dapat dibedakan dalam tiga


bentuk, yaitu:
1. Graft, yaitu korupsi yang bersifat internal. Korupsi ini terjadi karena mereka
mempunyai kedudukan dan jabatan di kantor tersebut. Dengan wewenangnya
para bawahan tidak dapat menolak permintaan atasannya.
2. Bribery (penyogokan, penyuapan), yaitu tindakan korupsi yang melibatkan
orang lain di luar dirinya (instansinya). Tindakan ini dilakukan dengan maksud
agar dapat mempengaruhi objektivitas dalam membuat keputusan atau
membuat keputusan yang dibuat akan menguntungkan penyuap.
3. Nepotism, yaitu tindakan korupsi berupa kecenderungan pengambilan
keputusan yang tidak berdasar pada pertimbangan objektif, rasional, tapi
didasarkan atas pertimbangan “nepotis” dan “kekerabatan”.

 Berdasarkan sifatnya, korupsi dapat dibedakan menjadi:


1. Korupsi individualis, yaitu tindakan korupsi yang dilakukan oleh salah satu
atau beberapa orang dalam suatu organisasi.
2. Korupsi sistemik, yaitu korupsi yang dilakukan oleh sebagian besar
(kebanyakan) orang dalam suatu organisasi (melibatkan banyak orang)
 Berdasarkan kerangkanya, korupsi dapat dibedakan menjadi tiga lapis, yaitu:
1. Lapis pertama: Pada lapisan ini, korupsi yang terjadi dalam bentuk
Persentuhan langsung antara warga dan birokrasi. Bentuk korupsi: Suap
(bribery), ketika inisiatif datang dari warga; Pemerasan (extortion), ketika
prakarsa untuk mendapatkan dana datang dari aparatur negara. Contoh
tindakan korupsi pada lapis ini, seperti suap dan pemerasan dalam
kepengurusan KTP di RT, RW, atau kelurahan.
2. Lapis kedua: Jenis korupsi nya terdiri atas, nepotisme diantara mereka yang
punya hubungan darah dengan pejabat public, Kronisme (diantara mereka
yang tidak punya hubungan darah dengan pejabat publik), dan “Kelas Baru”
(terdiri dari semua partai pemerintah dan keluarga mereka yang menguasai
semua pos basah, pos ideologis dan pos yuridis penting).
3. Lapis Ketiga: Jejaring (cabal), baik regional, nasional ataupun internasional,
yang meliputi unsur pemerintahan, politisi, penguasaha dan aparat penegak
hukum. Pada tahap ini, kebusukan suatu tindakan koruptif mencapai
kesempurnaan. Kekuasaan kelompok bisnis akan begitu mempengaruhi
kekuatan politik dan kewenangan birokrasi dalam hubungan saling
menguntungkan.

 Sebagaimana dinyatakan oleh Yves Meny, korupsi dari segi keragamannya


dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu:
1. Korupsi Jalan Pintas
Korupsi jenis ini banyak dipraktikkan dalam kasus penggelapan uang
negara, perantara ekonomi dan politik, dimana sektor ekonomi membayar
untuk keuntungan politik. Contoh dari kategori ini adalah kasus para
pengusaha yang menginginkan agar UU Perburuhan tertentu diberlakukan
atau peraturan-peraturan yang menguntungkan usaha tertentu untuk tidak
direvisi. Kemudian, partai-partai politik mayoritas akan memperoleh uang
sebagai balas jasa. Jenis korupsi ini sifat institusional politik nya lebih
menonjol dibandingkan dengan jenis korupsi-upeti.
2. Korupsi-upeti
Bentuk korupsi ini dimungkinkan karena jabatan strategis. Berkat
jabatan tersebut seseorang mendapatkan persentase dari berbagai
kegiatan, baik dalam bidang ekonomi, politik, budaya, bahkan upeti dari
bawahan, kegiatan lain atau jasa dalam suatu perkara, termasuk di
dalamnya adalah upaya mark up.
3. Korupsi-kontrak
Korupsi ini tidak bisa dilepaskan dari upaya mendapatkan proyek atau
pasar; masuk dalam kategori ini adalah usaha untuk mendapatkan fasilitas
pemerintah.
4. Korupsi-pemerasan
Korupsi ini sangat terkait dengan jaminan keamanan dan urusan-
urusan intern maupun dari luar. Contoh tindakan korupsi jenis ini, seperti
perekrutan perwira menengah Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau
polisi menjadi manajer human recources departement atau pencantuman
nama perwira tinggi dalam dewan komisaris perusahaan. Selain itu,
contoh yang mencolok adalah penggunaan jasa keamanan seperti di
Exxon Mobil di Aceh atau Freeport di Papua. Dalam kategori korupsi ini
pula dapat memberikan kesempatan pemilikan saham kepada “orang
kuat” tertentu.

 Jenis korupsi menurut Indonesian Corruption Watch (ICW), terdiri atas:


1. Korupsi di lingkungan pejabat
2. Korupsi di lingkungan departemen
3. Korupsi di lingkungan BUMN
4. Korupsi bantuan luar negeri.
DAFTAR PUSTAKA

Fitria, D., Fitriyanti, Kholikun, N. 2015. Korupsi (Pengertian, Ciri-Ciri, dan Jenis
Korupsi). Diakses pada 6 Maret 2021.

Klitgaard, R. 2005. Membasmi Korupsi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Diakses


pada 6 Maret 2021.

Herry, B. 2018. KORUPSI: Melacak Arti, Menyimak Implikasi. Jakarta: PT Gramedia


Pustaka Utama.

Sanusi, A. 2009. Jurnal Konstitusi. 6(2): 93-96

Anda mungkin juga menyukai