Istilah korupsi berasal dari bahasa Latin, yaitu corruptus atau corruption yang
berasal dari kata kerja corrumpere yang berarti menyogok, rusak, atau busuk.
Pengertian lain menurut Transparency International, yaitu perilaku pejabat publik,
baik politikus maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar atau tidak legal
bertujuan untuk memperkaya diri ataupun memperkaya orang terdekatnya, dengan
menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Makna
korupsi sebagai kebusukan, keburukan, dan kebejatan sejalan dengan definisi
korupsi menurut Acham, yaitu suatu tindakan yang menyimpang dari norma
masyarakat dengan cara memperoleh keuntungan untuk diri sendiri serta merugikan
kepentingan umum. Selain itu, definisi korupsi menurut Klitgaard merupakan
tindakan memungut uang atau menggunakan wewenang untuk mencapai tujuan
yang tidak sah. Mendasar dari beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa
korupsi merupakan tindakan atau tingkah laku menyimpang baik yang berasal dari
ajakan atau niatan sendiri yang dilakukan secara sendiri atau bersama-sama untuk
mendapatkan keuntungan atau memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan
cara, baik sengaja maupun tidak sengaja melanggar aturan atau norma yang
berlaku.
Terdapat tiga ciri yang menonjol dari pengertian korupsi menurut Diego
Gambetta, yaitu pertama korupsi menunjuk kemerosotan watak atau etis orang /
pelaku, tiadanya integritas moral, atau bahkan kebejatan hidup orang / pelaku.
Dalam hal ini, tindakan korupsi dapat dipicu oleh motif dan watak yang korup.
Kedua, korupsi secara genetik menggambarkan rumpun praktik sosial, apapun
motifnya, yang muncul dari atau menyebabkan kondisi kemerosotan kinerja institusi.
Ketiga, korupsi menunjuk pada beberapa jenis praktik, seperti suap atau imbalan
bagi persengkongkolan.
JENIS KORUPSI
Secara tipologi, menurut Alatas (1987) korupsi dibagi ke dalam tujuh jenis,
yaitu:
1. Korupsi transaktif (transactive corruption), menunjukan adanya kesepakatan
timbal balik antara pemberi dan penerima, demi keuntungan kedua belah
pihak.
2. Korupsi yang memeras (extortive corruption), menunjukan adanya
pemaksaan kepada pihak pemberi untuk menyuap guna mencegah kerugian
yang sedang mengancam dirinya, kepentingannya atau hal-hal yang
dihargainya.
3. Korupsi investif (investive corruption), berupa pemberian barang atau jasa
tanpa ada pertalian langsung dengan keuntungan tertentu, selain keuntungan
yang dibayangkan akan diperoleh dimasa yang akan datang.
4. Korupsi perkerabatan (nepotistic corruption), merupakan penunjukan yang
tidak sah terhadap kerabat atau orang yang dianggap dekat untuk memegang
jabatan dalam pemerintahan, atau tindakan yang memberikan perlakuan
istimewa yang bertentangan dengan norma dan peraturan yang berlaku.
5. Korupsi defensif (defensive corruption), adalah korban korupsi dengan
pemerasan. Korupsi tersebut dalam rangka untuk mempertahankan diri.
6. Korupsi otogenik (autogenic corruption), adalah korupsi yang dilakukan oleh
seorang individu atau pejabat, kemudian akan mendapatkan keuntungan
karena memiliki pengetahuan sebagai orang dalam (insider’s information)
tentang berbagai kebijakan publik yang semestinya dia rahasiakan.
7. Korupsi dukungan (supportive corruption), adalah korupsi yang dilakukan
untuk memperkuat korupsi yang sudah ada.
Fitria, D., Fitriyanti, Kholikun, N. 2015. Korupsi (Pengertian, Ciri-Ciri, dan Jenis
Korupsi). Diakses pada 6 Maret 2021.