Anda di halaman 1dari 13

KASUS KORUPSI DIKALANGAN PENJABAT

ZAHRA KHASANAH FATHONI


(B300220114)

Dosen Pengampu : Ilham Sunaryo, Drs. M.Pd


DAFATAR ISI

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................2
A. Latar Belakang...........................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
A. Pengertian Korupsi.....................................................................................4
B. Jenis-Jenis Korupsi.....................................................................................4
C. Sila Pancasila Terhadap Tindakan Korupsi................................................7
BAB III PENUTUP................................................................................................9
A. Kesimpulan................................................................................................9
B. Saran..........................................................................................................9

1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korupsi adalah


penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi,
yayasan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Korupsi
adalah perbuatan atau tindakan yang sungguh amat buruk karena merugikan
keuangan negara untuk kepentingan sendiri maupun orang lain dengan seperti
penyalahgunaan uang negara, penggelapan uang, penerimaan uang sogok atau
lainnya. Dilansir dari situs Investopedia, korupsi (corruption) adalah perilaku
tidak jujur yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan, seperti manajer atau
pejabat pemerintah. Korupsi adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh
koruptor. Koruptor adalah orang yang melakukan korupsi.
Di indonesia kasus-kasus korupsi sudah ada sejak lama dan tidak sedikit,
malahan sudah sangat marak dan telah merajalela di kalangan pejabat-pejabat
pemerintah negara.
Pendapatan yang dinilai tidak mencukupi, bisa menjadi penyebab
terjadinya korupsi dilakukan seseorang. Selanjutnya pada aspek politis,
penyebab terjadinya korupsi karena kepentingan politik serta haus
kekuasaan, ingin meraih dan mempertahankan jabatan.
Tindakan korupsi nyatanya dilakukan dengan kesadaran, niat, serta
kemauan dari dalam diri untuk melakukan hal tindakan yang tidak terpuji serta
merugikan. Tetapi, banyak pejabat tidak peduli akan kerugian yang dapat
ditimbulkan, pada orang lain yakni dampak bagi masyarakat yang dapat
membuat mereka sengsara. Tapi tetap saja mereka lakukan tindakan korupsi
karena sifat keserakahan dan ketidakpuasan mereka akan uang.
Tingginya angka korupsi di Indonesia, pendidikan antikorupsi
menjadi sarana penting sejak dini. Menurut Indeks Korupsi Persespi,
Indonesia mendapat skor 38, masih jauh dari rata-rata global 43. Skor ini
menunjukkan bahwa persepsi antikorupsi di masyarakat Indonesia sangat

2
tinggi.

3
BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Korupsi

Korupsi berasal dari Bahasa latin “corruption” atau “corruptus” yang


berarti kerusakan atau kebobrokan. Secara harafiah korupsi adalah kebusukan,
keburukan, kebejatan korupsi adalah perbuatan buruk seperti penggelapan uang,
penerimaan uang dan sebagainya. Korupsi dapat pula dijelaskan sebagai korup,
artinya busuk, suka menerima suap, memakai kekuasaan untuk kepentingan
pribadi dan sebagainya. Koruptor artinya orang yang melakukan korupsi.
(Saputra, 2017). Jeremi Pope menyatakan bahwa korupsi adalah
menyalahgunakan kepercayaan untuk kepentingan pribadi. Namun korupsi
dapat pula dilihat sebagai perilaku yang tidak mematuhi prinsip
“mempertahankan jarak”, artinya dalam pengambilan keputusan dibidang
ekonomi, apakah ini dilakukan oleh perorangan di sektor swasta atau oleh
pejabat publik, hubungan pribadi atau keluarga tidak memainkan peranan.
Sekali prinsip mempertahankan jarak ini dilanggar dan keputusan dibuat
berdasarkan hubungan pribadi atau keluarga, korupsi akan timbul.
Menurut Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, yang termasuk dalam tindak pidana korupsi adalah:
Setiap orang yang dikategorikan melawan hukum, melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan atau sarana yang
ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara. Korupsi (corruptie) adalah perbuatan buruk
yang dilakukan oleh orang dengan cara menyogok, menyuap, menerima sesuatu
yang bertentangan dengan hukum dan merugikan keuangan negara. Korupsi
juga perbuatan bejat yang menguntungkan diri sendiri dan orang lain dengan
cara melawan hukum. Korupsi di kalangan aparatur sipil negara khususnya PNS
dapat mudah dijumpai walaupun masyarakat melihatnya sebagai hal yang biasa.

Kemudian arti kata korupsi yang telah diterima dalam pembendaharaan

4
kata bahasa Indonesia itu, disimpulkan oleh Poerwadarminta dalam Kamus
Umum Bahasa Insonesia: “Korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti
penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya” (Poerwadarminta,
1976). Ketentuan-ketentuan tentang tindak pidana korupsi dalam KUHP ditemui
pengaturannya secara terpisah di beberapa pasal pada tiga bab, yaitu:
1. Bab VIII menyangkut kejahatan terhadap penguasa umum, yakni pada
pasal 209, 210 KUHP.
2. Bab XXI tentang perbuatan curang, yakni pada pasal 387 dan 388 KUHP.
3. Bab XXVIII tentang kejahatan jabatan, yakni pada pasal 415, 416, 417,
418, 149, 420, 423, 425, dan 435 KUHP.
Adapun rumusan tentang tindak pidana korupsi yang terdapat di dalam
KUHP, dapat dikelompokan atas empat kelompok tindak pidana (delik) yaitu:
1. kelompok tindak pidana penyuapan; yang terdiri dari pasal 209, 210, 418,
419, dan pasal 420 KUHP;
2. kelompok tindak pidana penggelapan; yang terdiri dari pasal 415, 416,
dan pasal 417 KUHP;
3. kelompok tindak pidana kerakusan (knevelarij atau extortion); yang
terdiri dari pasal 423 dan pasal 425 KUHP;
4. kelompok tindak pidana yang berkaitan dengan pemborongan, leveransir
dan rekanan; yang terdiri dari pasal 387, 388, dan pasal 435 KUHP.

B. Jenis-jenis Korupsi

Tindak pidana korupsi dalam berbagai bentuk mencakup pemerasan,


penyuapan dan gratifikasi pada dasarnya telah terjadi sejak lama dengan pelaku
mulai dari pejabat negara sampai pegawai yang paling rendah. Korupsi pada
hakekatnya berawal dari suatu kebiasaan (habit) yang tidak disadari oleh setiap
aparat, mulai dari kebiasaan menerima upeti, hadiah, suap, pemberian fasilitas
tertentu ataupun yang lain dan pada akhirnya kebiasaan tersebut lama-lama akan
menjadi bibit korupsi yang nyata dan dapat merugikan keuangan negara indonesia
Beberapa bentuk-bentuk korupsi diantaranya adalah sebagai berikut:

5
1. Penyuapan (bribery) mencakup tindakan memberi dan menerima suap,
baik berupa uang maupun barang.
2. Embezzlement, merupakan tindakan penipuan dan pencurian sumber
daya yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang mengelola sumber
daya tersebut, baik berupa dana publik atau sumber daya alam tertentu.
3. Fraud, merupakan suatu tindakan kejahatan ekonomi yang melibatkan
penipuan (trickery or swindle). Termasuk didalamnya proses manipulasi
atau mendistorsi informasi dan fakta dengan tujuan mengambil
keuntungan-keuntungan tertentu.
4. Extortion, tindakan meminta uang atau sumber daya lainnya dengan cara
paksa atau disertai dengan intimidasi-intimidasi tertentu oleh pihak yang
memiliki kekuasaan. Lazimnya dilakukan oleh mafia-mafia lokal dan
regional.
5. Favouritism, adalah mekanisme penyalahgunaan kekuasaan yang
berimplikasi pada tindakan privatisasi sumber daya.
6. Melanggar hukum yang berlaku dan merugikan negara.
7. Serba kerahasiaan, meskipun dilakukan secara kolektif atau korupsi
berjamaah.

C. Contoh Kasus-Kasus Korupsi Yang Terjadi

1. Kasus penyerobotan lahan di Riau


Kejaksaan Agung berhasil mengungkap kasus korupsi yang menyeret PT Duta
Palma Group. Pemilik PT Duta Palma Group Surya Darmadi ditetapkan sebagai
tersangka kasus korupsi penyerobotan lahan bersama mantan Bupati Indragiri
Hulu (Inhu) periode 1998- 2008. Surya Darmadi diduga melakukan korupsi dalam
penyerobotan lahan seluas 37.095 hektar di wilayah Riau melalui PT Duta Palma
Group.
Diketahui, Raja Thamsir Rachman pernah melawan hukum dengan
menerbitkan izin lokasi dan izin usaha perkebunan di kawasan Indragiri Hulu atas
lahan seluas 37.095 hektar kepada lima perusahaan milik PT Duta Palma Group.

6
Surya Darmadi kemudian mempergunakan izin usaha lokasi dan izin usaha
perkebunan tanpa izin pelepasan kawasan hutan dari Kementerian Kehutanan
serta tanpa adanya hak guna usaha dari Badan Pertanahan Nasional. Apabila
terbukti di pengadilan, kasus korupsi yang melibatkan Surya Darmadi akan
menjadi yang terbesar di Indonesia dengan kerugian negara mencapai Rp 78
triliun.
2. Kasus PT TPPI
Kasus korupsi yang menyeret PT Trans-Pacific Petrochemical Indotama (TPP)
menempati peringkat kedua dengan kerugian negara mencapai Rp 2,7 miliar
dollar Amerika Serikat atau sekitar Rp 37,8 triliun.
Dalam kasus ini, mantan Kepala BP Migas, Raden Priyono dan mantan Deputi
Finansial Ekonomi dan Pemasaran BP Migas, Djoko Harsono telah divonis 12
tahun penjara. Sayangnya, mantan Presiden Direktur PT TPPI, Honggo
Wendratno yang divonis 16 tahun penjara kini masih berstatus buron.
3. Kasus korupsi PT Asabri
Dalam kasus korupsi PT Asuransi Angkatan Bersenjata Indonesia atau Asabri
(Persero), negara harus merugi Rp 22,7 triliun. Diketahui, jajaran manajemen PT
Asabri melakukan pengaturan transaksi berupa investasi saham dan reksa dana
bersama dengan pihak swasta.
Sebanyak tujuh orang telah divonis bersalah dalam kasus ini. Mereka adalah
Adam Rachmat Damiri (Dirut Asabri 2011-2016), Sonny Widjaja (Dirut Asabri
2016-2020), dan Bachtiar Effendi (Direktur Investasi dan Keuangan Asabri 2008-
2014). Kemudian Hari Setianto (Direktur Asabri 2013-2014 dan 2015-2019),
Heru Hidayat (Direktur PT Trada Alam Minera dan Direktur PT Maxima Integra),
Lukman Purnomosidi (Direktur Utama PT Prima Jaringan), serta Jimmy Sutopo
(Direktur Jakarta Emiten Investor Relation).

4. Kasus korupsi PT Jiwasraya


Kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) terungkap setelah mereka
gagal membayar polis kepada nasabah terkait investasi Saving Plan sebesar Rp

7
12,4 triliun. Sebanyak enam orang telah divonis bersalah, yaitu Hary Prasetyo
(Direktur Keuangan Jiwasraya), Hendrisman Rahim (mantan Direktur Utama
Jiwasraya), Syahmirwan (mantan Kepala Divisi Investasi dan Keuangan
Jiwasraya), Joko Hartono Tirto (Direktur PT Maxima Integra), Benny
Tjokrosaputro (Direktur Utama PT Hanson International) dan Heru Hidayat
(Direktur PT Trada Alam Minera dan Direktur PT Maxima Integra). Akibat kasus
korupsi ini, negara mengalami kerugian sebesar Rp 16,8 triliun.
5. Kasus Bank Century
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memanggil mantan Deputi
Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Miranda S Goeltom, Selasa (13/11/2018).
Miranda sendiri telah datang ke Gedung Merah Putih KPK sejak pukul 09.30 WIB
tadi. Ia pun tampak keluar sekitar pukul 11.10 WIB. Kasus korupsi yang memiliki
nilai fantastis berikutnya adalah kasus Bank Century. Pasalnya, negara mengalami
kerugian sebesar Rp 7 triliun.
Nilai tersebut berdasarkan Laporan Hasil Perhitungan (LHP) kerugian negara
atas kasus tersebut. Pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) ke
Bank Century telah menyebabkan kerugian negara Rp 689,394 miliar. Kemudian
untuk penetapan sebagai bank berdampak sistematik telah merugikan negara
sebesar Rp 6,742 triliun

D. Sila-Sila Pancasila Terhadap Tindakan Korupsi

1. Sila pertama yang berbunyi “Ke-Tuhanan Yang Masa Esa” jika kita
melakukan tindakan korupsi berarti sama saja kita telah membohongi Tuhan.
2. Sila kedua yang berbunyi “Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab” sila ini
memiliki makna untuk memperlakukan sesama manusia sebagai mana
mestinya dan melakukan tindakan yang benar, bermartabat, adil terhadap
sesama manusia sebagaimana mestinya. Dengan melakukan korupsi, berarti
sama saja telah melangggar sila kedua ini karena telah melakukan tindakan
yang memperlakukan kekuasaan dan kedudukan sebagai tempat untuk

8
mendapatkan hal yang diinginkan demi kebahagiaan diri sendiri dan juga
membuat orang lain menjadi rugi karena tindakan korupsi tersebut .
3. Sila ketiga yang berbunyi “Persatuan Indonesia” yang memiliki makna bahwa
kedudukan masyarakat/rakyat itu sama di depan mata hukum tanpa membeda-
bedakan serta mendapat
4. perlakuan yang sama di depan hukum sehingga, dengan melakukan korupsi
berarti sama saja telah melanggar sila ini. Korupsi merupakan tindakan yang
dapat menghilangkan kepercayaan masyarakat sehingga hal tersebut akan
membuat rakyat merasa menjadi terintimidasi dan tidak peduli lagi terhadap
tindakan yang telah dilakukan oleh pemerintah. Lama kelamaan, hal ini akan
membuat Indonesia menjadi tidak harmonis.
5. Sila keempat yang berbunyi “Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat
Kebijaksanaan Dalam Permusyahwarataan Dan Perwakilan” dengan
melakukan tindakan korupsi berarti kita juga telah melanggar sila keempat ini
karena sila ini mengandung makna untuk bermusyawarah dalam melakukan
dan menentukan segala sesuatu agar tercapainya keputusan bersama yang
berdampak baik bagi Indonesia. Tetapi, dengan korupsi itu sama saja telah
melakukan tindakan dengan keputusan sendiri dan hal itu tidak baik karena
dalam menentukan dan melakukan segala sesuatu haruslah berdasarkan
keputusan bersama karena Indonesia sangat menjunjung tinggi musyawarah.
Jika melakukan tindakan korupsi berarti sama saja telah meremehkan
kekuatan musyawarah dan hal itu akan membuat negara menjadi terpecah
belah.
6. Sila kelima yang berbunyi “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”
dengan adanya korupsi berarti telah melakukan tindakan yang melenceng dari
sila ini karena sila ini memiliki makna yaitu adil terhadap sesama dan
menghormati setiap hak-hak yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia. Dengan
tindakan korupsi menunjukan ketidakadilan antar pemerintah dan masyarakat.

9
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
Korupsi merupakan kasus pelanggaran hukum yang terjadi pada setiap negara.
Secara khusus di Indonesia, dimana jika diihat dengan sekilas, korupsi sudah
hampir mengontaminasi negara secara menyeluruh. Berkali-kali kasus korupsi
yang menjerat pejabat negara menjadi sorotan publik. Penegakan hukum bagi
kasus-kasus tersebut pun seringkali tidak konsisten dan terkesan tidak sepenuhnya
menghukum mereka yang terjerat. Akibatnya, tidak sedikit kasus korupsi yang
tidak masuk radar aparat penegak hukum.
Saking seringnya kasus korupsi terjadi di Indonesia, kesan yang diterima
sebagian besar anak muda masa kini seolah-olah hal tersebut sudah biasa.
Penegakan hukum yang tidak konsisten memberi kesan bahwa aparat hukum
negara bisa jadi telah dikontaminasi oleh oknum-oknum korup. Lebih lagi, kasus-
kasus korupsi yang sering menjerat pejabat negara memberi kesan bahwa negara
ini dijalankan oleh oknum-oknum yang lebih mementingkan diri sendiri
ketimbang kesejahteraan rakyat.
Maraknya korupsi di Indonesia mencerminkan makna Pancasila yang belum
sepenuhnya terintegrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila
bukanlah sekedar hafalan, melaikan pedoman hidup seluruh rakyat Indonesia. Hal
tersebut perlu dipahami oleh setiap warna negara Indonesia demi kehidupan
berbangsa dan bernegara yang sepenuhnya merdeka dari korupsi.

B. Saran
Akan lebih baik jika pembaca mencari tau dan menggali ilmu lebih dalam
lagi tentang kasus-kasus korupsi di media-media yang telah tersedia untuk
mengetahui lebih jelasnya tentang apa itu korupsi dan apa sebab dan akibat yang
akan kita dapat jika melakukan hal itu.

10
DAFTAR PUSTAKA

http://kkn.undip.ac.id/?p=343678
https://www.researchgate.net/publication/329505772_MEWABAHNYA_KORUPSI_DI_KA
LANGAN_PEJABAT
https://aclc.kpk.go.id/action-information/lorem-ipsum/20220411-null - :~:text=Menurut
%20Kamus%20Besar%20Bahasa%20Indonesia,keuntungan%20pribadi%20atau%20orang
%20lain

11
12

Anda mungkin juga menyukai