Anda di halaman 1dari 11

Nama : Irma Rahmawati

Nim : 2003008
Prodi : SI Kebidanan
Mata Kuliah : Pendidikan Anti Korupsi

SEJARAH PERKEMBANGAN KORUPSI DI INDONESIA DARI PRA


KEMERDEKAAN HINGGA PASCA KEMERDEKAAN

A. Pengertian Korupsi
Kata korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio. Atau "corruptus" yang berarti
kerusakan atau kebobrokan. Kata korupsi sudah masuk perbendaharaan bahasa Indonesia.
Menurut kamus Bahasa Indonesia karangan WJS Purwadarminta (1976) pengertian korupsi
adalah Korup Busuk, buruk, suka menerima uang sogok, memakai kekusaan untuk
kepentingan sendiri dan sebagainya. Korupsi perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang,
penerimaan uang sogok dan sebagainya. Misalnya: "Korupsi di kalangan pegawai negeri
harus dibasmi hingga akar-akarnya".

Arti harfiah dari kata korupsi adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak
jujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan
yang menghina atau memfitnah".

Dengan demikian pengertian korupsi sangat luas. Sedang pengertian korupsi menurut
menurut penjelasan UU. No. 3 tahun 1971 adalah :)

"Perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang dilakukan secara
melawan hukum, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan
negara dan atau perekonomian negara atau diketahui atau patut disangka bahwa perbuatan
tersebut merugikan keuangan negara dan perekonomian Negara".

Kartono (1983) memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku individu yang
menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan
kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari
kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara
dengan menggunakan wewenang dan kekuatankekuatan formal (misalnya dengan alasan
hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.

Korupsi terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang


dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan
pribadi atau keluarga, sanak saudara dan teman.

Wertheim (dalam Lubis, 1970) menyatakan bahwa seorang pejabat dikatakan


melakukan tindakan korupsi bila ia menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan
mempengaruhinya agar ia mengambil keputusan yang menguntungkan kepentingan si
pemberi hadiah. Kadang-kadang orang yang menawarkan hadiahdalam bentuk balas jasa juga
termasuk dalam korupsi.

Baharuddin Lopa mengutip pendapat dari David M. Chalmers, menguraikan arti


istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang
berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang
kepentingan umum.

Berdasarkan undang-undang bahwa korupsi diartikan:

1. Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung merugikan keuangan Negara
dan atau perekonomian Negara dan atau perekonomian Negara atau diketahui patut
disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan Negara (Pasal 2):
2. Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
badan menyalah gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan secara langsung dapat merugikan Negara atau
perekonomian Negara (Pasal 3).
3. Barang siapa melakukan kejahatan yang tercantum dalam pasal 209, 210, 387, 388,
415, 416, 417, 418, 419, 420, 425, 435 KUHP.
B. undang-undang tentang korupsi

Di Indonesia langkah-langkah pembentukan hukum positif untuk menghadapi


masalah korupsi telah dilakukan selama beberapa masa perjalanan sejarah dan melalui
beberapa masa perubahan perundang undangan. Istilah korupsi sebagai istilah yuridis
baru digunakan tahun 1957, yaitu dengan adanya Peraturan Penguasa Militer yang
berlaku di daerah kekuasaan Angkatan Darat (Peraturan Militer Nomor
PRT/PM/06/1957). Beberapa peraturan yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi di
Indonesia sebagai berikut:

1. Masa Peraturan Penguasa Militer, yang terdiri dari :


a) Pengaturan yang berkuasa Nomor PRT/PM/06/1957 dikeluarkan oleh Penguasa
Militer Angkatan Darat dan berlaku untuk daerah kekuasaan Angkatan Darat.
Rumusan korupsi menurut perundang-undangan ini ada dua, yaitu tiap perbuatan yang
dilakukan oleh siapa pun juga baik untuk kepentingan sendiri, untuk kepentingan
orang lain, atau untuk kepentingan suatu badan yang langsung atau tidak langsung
menyebabkan kerugian keuangan atau perekonomian. Tiap perbuatan yang dilakukan
oleh seorang pejabat yang menerima gaji atau upah dari suatu badan yang menerima
bantuan dari keuangan negara atau daerah yang dengan mempergunakan kesempatan
atau kewenangan atau kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh jabatan langsung
atau tidak langsung membawa keuntungan keuangan material baginya.
b) Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/08/1957 berisi tentang pembentukan
badan yang berwenang mewakili negara untuk menggugat secara perdata orang-orang
yang dituduh melakukan berbagai bentuk perbuatan korupsi yang bersifat keperdataan
(perbuatan korupsi lainnya lewat Pengadilan Tinggi. Badan yang dimaksud adalah
Pemilik Harta Benda (PHB).
c) Peraturan Penguasaan Militer Nomor PRT/PM/011/1957 merupakan peraturan yang
menjadi dasar hukum dari kewenangan yang dimiliki oleh Pemilik Harta Benda
(PHB) untuk melakukan penyitaan harta benda yang dianggap hasil perbuatan korupsi
lainnya, sambil menunggu putusan dari Pengadilan Tinggi. perbuatan korupsi yang
bersifat keperdataan (perbuatan korupsi lainnya lewat Pengadilan Tinggi. Badan yang
dimaksud adalah Pemilik Harta Benda (PHB).
d) Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan darat Nomor
PRT/PEPERPU/031/1958 serta peraturan pelaksananya.
e) Peraturan Penguasaan Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut Nomor
PRT/z.1/1/7/1958 tanggal 17 April 1958 (diumumkan dalam BN Nomor 42/58).
Peraturan tersebut diberlakukan untuk wilayah hukum Angkatan Laut
2. Masa Undang-Undang Nomor 24/Prp/Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan,
dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Anti Korupsi, yang merupakan peningkatan dari berbagai peraturan. Sifat
Undang Undang ini masih melekat sifat kedaruratan, menurut pasal 96 UUDS 1950,
pasal 139 Konstitusi RIS 1949. Undang-Undang ini merupakan perubahan dari
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 yang tertera
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961.
3. Masa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
4. Masa Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Selanjutnya pada tanggal 27 Desember 2002 dikeluarkan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
C. factor penyebab korupsi

Korupsi yang saat ini sudah sangat banyak dilakukan oleh para pejabat khususnya di
negara-negara berkembang disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan
eksternal.

a. Factor internal
 Lemahnya keimanan
 Lemahnya moral dan etika
 Sifat tamak manusia,
 Gaya hidup konsumtif,
 Tidak mau (malas) bekerja keras
 Rendahnya integritas dan profesionalisme,
b. Factor eksternal
 Kurang keteladanan dan kepemimpinan elite bangsa,
 Rendahnya gaji Pegawai Negeri Sipil,
 Lemahnya komitmen dan konsistensi penegakan hukum dan peraturan
perundangan,
 Mekanisme pengawasan internal di semua lembaga dan birokrasi belum
mapan,
 Kondisi lingkungan kerja, tugas jabatan, dan lingkungan Masyarakat
D. budaya korupsi
Di Indonesia, korupsi telah menjadi kebiasaan zaman lampau. Korupsi menjadi
budaya dalam sistem tersebut, dimana kekuasaan menjadi harga mati bagi kalangan ningrat
dan golongannya.

Korupsi merupakan tindakan penyimpangan dalam kehidupan sosial, budaya,


kemasyarakatan, dan kenegaraan. Perilaku korupsi sudah terjadi dimana- mana. Antara
pengusaha dan pejabat birokrat yang mempunyai kekuasaan atau antara warga bertaraf
ekonomi menengah ke bawah. Sepertinya dalam berbagai perbincangan, kata korupsi
merupakan kata yang sudah tidak aneh lagi. Seolah telah menjadi bahasa lumrah dalam
perbincangan.

Korupsi sudah tidak dianggap lagi sebagai pelanggaran etika individual melainkan
dianggap sebagai pelanggaran etika sosial sebagai kesepakatan umum. Para anggota dewan,
birokrasi, dan penegak hukum masih menganggap bahwa korupsi merupakan tindakan
pelanggaran etika individual yang harus dihindari.

Berkembangnya sikap semacam ini justru membahayakan. Jika terjadi di kalangan


anggota dewan dan berkaitan erat dengan penegak hukum. Hal ini disebabkan karena korupsi
di DPR dilakukan dalam peraturan perundang- undangan yang sah sebagai kebijakan negara
(corruption by policy). Hal ini tentu akan merusak cita-cita dan tujuan bangsa.

Terungkapnya berbagai kasus korupsi di lingkungan DPR, telah membuktikan bahwa


korupsi sudah menjadi budaya di Indonesia. DPR adalah lembaga yang memegang
kedaulatan rakyat. Dimana rakyat menaruh harapan banyak kepada para DPR.

Namun tidak semua DPR melakukan korupsi, tetapi dengan adanya DPR yng
melakukan korupsi akan mengubah persepsi masyarakat sehingga menjadi tidak percaya lagi
terhadap kinerja DPR.

Masalah lain yaitu korupsi di tingkat pegawai negeri. Dalam hal ini salah satu
pemicunya adalah gaji pegawai yang rendah. Dengan gaji pegawai yang rendah dan
banyaknya kepentingan partai politik maka semua ini akan mendorong pada tindakan korupsi
dalam birokrasi dan dalam masyarakat.

Selain itu, pada masyarakat menengah ke bawah tanpa sadar juga sering melakukan
tindakan korupsi. Misalnya saja pada pemilihan kepala desa, para calon memberikan uang
kepada para warga dengan maksud agar warga memilih calon kepala desa tersebut. hal ini
juga termasuk dalam tidakan suap. Perilaku korupsi juga tak hanya berlaku pada siapa yang
menerima uang pelicin, tetapi juga pada siapa yang memberikan uang pelicin tersebut.
(Semma, 2008:36). Jadi, terhadap pemberi suap maupun penerima suap sama-sama telah
melakukan perilaku korupsi.

Di lingkup pendidikan misalnya saja seorang guru yang membocorkan kunci jawaban
UNAS kepada murid-muridnya agar bisa lulus semua dengan nilai yang memuaskan. Tentu
hal ini juga terbilang korupsi dalam tingkat yang kecil. Murid sudah diajarkan terlebih dahulu
untuk berbuat kecurangan yaitu seperti tidak jujur dalam mengerjakan soal UNAS.
Semestinya dalam lingkup pendidikan anak sudah mulai diajarkan sejak dini untuk selalu
berperilaku jujur.

Melihat hal di atas memang sangat mengkhawatirkan. Hampir semua orang di negeri
ini sudah mulai melakukan perilaku korupsi mulai dari taraf yang rendah hingga sampai taraf
tinggi. Korupsi memang sudah menjadi budaya di negeri ini. suatu upaya untuk
menghilangkan korupsi tersebut dari masyarakat sama saja memusnahkan kebudayaan
masyarakat yang merupakan warisan. Salah satu cara yang bisa dilakukan yaitu dengan cara
mengubah budaya pada masyarakat yang masih mengagungkan kebudayaan lama yang
dianut. Seberapa kuat kebudayaan lama, jika kita lama-lama mampu mengikis secara terus
menerus akan terlihat dampak dengan mulai berkurangnya perilaku korupsi.

1. Prekembangan Korupsi Pra Kemerdekaan Dan Pasca Kemerdekaan


a. Masa Pemerintahan Kerajaan : singosari, majapahit, demak, dan banten. Gejala
korupsi dan penyimpangan kekuasaan masih di dominasi para kalangan elit
bangsawan, sultan, dan raja. Sedangkan rakyat kecil nyaris belum pernah
melakukan korupsi.
b. Masa Kolonial Belanda.
 Perilaku korupsi bukan hanya oleh masyarakat nusantara saja, akan tetapi
orang belanda, portugis, dan jepang pun gemar mengkorup harta-harta
korpsnya, institusi atau pemerintahannya.
 Budaya yang sangat tertutup dan penuh keculasan tersebut turut
menyuburkan budaya korupsi di indonesia, seperti kebiasaan mengambil
upeti (pajak) dari rakyat.
c. Pasca Kemerdekaan
 Pada era kepemimpinan presiden soekarno tercatat 2 kali membentuk
Badan Pemberantasan Korupsi yakni, Panitia Retooling Aparatur Negara
(PARAN) dan operasi Budhi dipimpin oleh Abdul Haris Nasution.
 Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN) sebagai Badan
Pemberantasan Korupsi mengharuskan pejabat mengisi formulir daftar
kekayaan pejabat tersebut.
 Usaha Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN) akhirnya mengalami
deadlock karena kebanyakan pejabat berlindung di balik Presiden,
sehingga diserahkan kembali ke Pemerintah (cabinet Juanda).
d. Orde Lama
 Pada tahun 1963 melalui keputusan presiden No 275 Tahun 1963, upaya
pemberantasan korupsi kembali digalakkan dengan membentuk lembaga
yang bertugas meneruskan kasus-kasus korupsi di pemerintahan.
 Dalam kurun waktu 3 bulan sejak operasi Budhi dijalankan, keuangan
negara dapat di selamatkan sebesar kurang lebih Rp.11 milyar, jumlah
yang cukup signifikan untuk kurun waktu itu.
 Selang beberapa waktu kemudian, soebandrio mengumumkan pembubaran
operasi Budhi yang kemudian di ganti namanya menjadi Komando
Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (KOTRAR), yang mana diketuai
langsung oleh presiden Soekarno.
e. Era Pasca Kemerdekaan
Bagaimana sejarah "budaya korupsi" khususnya bisa dijelaskan? Sebenarnya
"Budaya korupsi yang sudah mendarah daging sejak awal sejarah Indonesia dimulai
seperti telah diuraikan di muka, rupanya kambuh lagi di Era Pasca Kemerdekaan
Indonesia, baik di Era Orde Lama maupun di Era Orde Baru, Titik tekan dalam
persoalan korupsi sebenarnya adalah masyarakat masih belum melihat kesungguhan
pemerintah dalam upaya memberantas korupsi. Ibarat penyakit, sebenarnya sudah
ditemukan penyebabnya, namun obat mujarab untuk penyembuhan belum
bisa ditemukan.
Pada era di bawah kepemimpinan Soekarno, tercatat sudah dua kali dibentuk
Badan Pemberantasan Korupsi - Paran dan Operasi Budhi-namun ternyata pemerintah
pada waktu itu setengah hati menjalankannya. Paran, singkatan dari Panitia Retooling
Aparatur Negara dibentuk berdasarkan Undang-undang Keadaan Bahaya, dipimpin
oleh Abdul Haris Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota yakni Prof M. Yamin
dan Roeslan Abdulgani.
Salah satu tugas Paran saat itu adalah agar para pejabat pemerintah diharuskan
mengisi formulir yang disediakan - istilah sekarang: daftar kekayaan pejabat negara.
Dalam perkembangannya kemudian ternyata kewajiban pengisian formulir tersebut
mendapat reaksi keras dari para pejabat. Mereka berdalih agar formulir itu tidak
diserahkan kepada Paran tetapi langsung kepada Presiden.
Usaha Paran akhirnya mengalami deadlock karena kebanyakan pejabat berlindung
di balik Presiden. Di sisi lain, karena pergolakan di daerah-daerah sedang memanas
sehingga tugas Paran akhirnya diserahkan kembali kepada pemerintah (Kabinet
Juanda).
Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya
pemberantasan korupsi kembali digalakkan. Nasution yang saat itu menjabat sebagai
Menkohankam/Kasab ditunjuk kembali sebagai ketua dibantu oleh Wiryono
Prodjodikusumo. Tugas mereka lebih berat, yaitu meneruskan kasus-kasus korupsi ke
meja pengadilan.
Lembaga ini di kemudian hah dikenal dengan istilah "Operasi Budhi". Sasarannya
adalah perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang
dianggap rawan praktik korupsi dan kolusi. Operasi Budhi ternyata juga mengalami
hambatan. Misalnya, untuk menghindari pemeriksaan, Dirut Pertamina mengajukan
permohonan kepada Presiden untuk menjalankan tugas ke luar negeri, sementara
direksi yang lain menolak diperiksa dengan dalih belum mendapat izin dari atasan.

Dalam kurun waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan, keuangan negara
dapat diselamatkan sebesar kurang lebih Rp 11 miliar, jumlah yang cukup signifikan
untuk kurun waktu itu. Karena dianggap mengganggu prestise Presiden, akhirnya
Operasi Budhi dihentikan. Menurut Soebandrio dalam suatu pertemuan di Bogor,
"prestise Presiden harus ditegakkan di atas semua kepentingan yang lain".
Selang beberapa hari kemudian, Soebandrio mengumumkan pembubaran
Paran/Operasi Budhi yang kemudian diganti namanya menjadi Kotrar (Komando
Tertinggi Retooling Aparat Revolusi) di mana Presiden Sukarno menjadi ketuanya
serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Sejarah kemudian mencatat
pemberantasan korupsi pada masa itu akhirnya mengalami stagnasi.
f. Era Orde Baru
Pada pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus 1967,
Pj Presiden Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu
memberantas korupsi sehingga segala kebijakan ekonomi dan politik berpusat di
Istana. Pidato itu memberi isyarat bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi
korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebagai wujud dari tekad itu tak lama kemudian
dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung.
Tahun 1970, terdorong oleh ketidak-seriusan TPK dalam memberantas korupsi
seperti komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa
memprotes keberadaan TPK. Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog.
Pertamina, Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena dianggap
sebagai sarang korupsi. Maraknya gelombang protes dan unjuk rasa yang
dilakukan mahasiswa, akhirnya ditanggapi Soeharto dengan membentuk Komite
Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa
seperti Prof Johannes, IJ Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugas mereka
yang utama adalah membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog, CV
Waringin, PT Mantrust, Telkom, dan Pertamina. Namun kornite ini hanya "macan
ompong" karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina tak
direspon pemerintah.
Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah
Opstib (Operasi Tertib) derigan tugas antara lain juga memberantas korupsi.
Kebijakan ini hanya melahirkan sinisme di masyarakat. Tak lama setelah Opstib
terbentuk, suatu ketika timbul perbedaan pendapat yang cukup tajam antara
Sudomo dengan Nasution. Hal itu menyangkut pemilihan metode atau cara
pemberantasan korupsi, Nasution berpendapat apabila ingin berhasil dalam
memberantas korupsi, harus dimulai dari atas. Nasution juga menyarankan kepada
Laksamana Sudomo agar memulai dari dirinya. Seiring dengan berjalannya
waktu, Opstib pun hilang ditiup angin tanpa bekas sama sekali.
g. Era Reformasi
Jika pada masa Orde Baru dan sebelumnya "korupsi" lebih banyak dilakukan
oleh kalangan elit pemerintahan, maka pada Era Reformasi hampir seluruh elemen
penyelenggara negara sudah terjangkit "Virus Korupsi yang sangat ganas. Di era
pemerintahan Orde Baru, korupsi sudah membudaya sekali, kebenarannya tidak
terbantahkan. Orde Baru yang bertujuan meluruskan dan melakukan koreksi total
terhadap ORLA serta melaksanakan Pancasila dan DUD 1945 secara murni dan
konsekwen, namun yang terjadi justru Orde Baru lama-lama mnenjadi Orde Lama
juga dan Pancasila maupun UUD 1945 belum pemah diamalkan secara murni,
kecuali secara "konkesuen" alias "kelamaan".
Kemudian, Presiden BJ Habibie pernah mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun
1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut
pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau
lembaga Ombudsman, Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid membentuk Tim
Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK).
Badan ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman
dan dipimpin Hakim Agung Andi Andojo. Namun di tengah semangat menggebu-
gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial review
Mahkamah Agung. TGPTPK akhirnya dibubarkan. Sejak itu, Indonesia
mengalami kemunduran dalam upaya. pemberantasan KKN.
Di samping membubarkan TGPTPK. Gus Dur juga dianggap sebagian
masyarakat tidak bisa menunjukkan kepemimpinan yang dapat mendukung upaya
pemberantasan korupsi. Kegemaran beliau melakukan pertemuan-pertemuan di
luar agenda kepresidenan bahkan di tempat-tempat yang tidak pantas dalam
kapasitasnya sebagai presiden, melahirkan kecurigaan masyarakat bahwa Gus Dur
sedang melakukan proses tawar-menawar tingkat tinggi.
TGPTPK akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU
Nomor 31 Tahun 1999. Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan
dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke
dalam KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap, Artinya, KPK-lah
lembaga pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis.
Pada tanggal 16 Desember 2003, Taufiqurachman Ruki, seorang alumni
Akademi Kepolisian (Akpol) 1971, dilantik menjadi Ketua KPK. Di bawah
kepemimpinan Taufiequrachman Ruki, KPK hendak memposisikan dirinya
sebagai katalisator (pemicu) bagi aparat dan institusi lain untuk terciptanya
jalannya sebuah "good and clean governance" (pemerintahan baik dan bersih) di
Republik Indonesia. Sebagai seorang mantan Anggota DPR RI dari tahun 1992
sampai 2001, Taufiequrachman walaupun konsisten mendapat kritik dari berbagai
pihak tentang dugaan tebang pilih pemberantasan korupsi.
Menurut Tauficqurachman Ruki, pemberantasan korupsi tidak hanya
mengenai bagaimana menangkap dan memidanakan pelaku tindak pidana korupsi,
tapi juga bagaimana mencegah tindak pidana korupsi agar tidak terulang pada
masa yang akan datang melalui pendidikan antikorupsi, kampanye antikorupsi dan
adanya contoh "island of integrity" (daerah contoh yang bebas korupsi).
Pernyataan Tauficqurachman mengacu pada definisi korupsi yang dinyatakan
dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo U No 20 Tahun 2001. Menurutnya, tindakan
preventif (pencegahan) dan represif (pengekangan) ini dilakukan dengan
"memposisikan KPK sebagai katalisator (trigger) bagi aparat atau institusi lain
agar tercipta good and clean governance dengan pilar utama transparansi,
partisipasi dan akuntabilitas".

Anda mungkin juga menyukai