Anda di halaman 1dari 16

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah Swt, yang hingga saat ini masih
melimpahkan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul
“HUKUMAN YANG MASIH RENDAH BAGI PARA KORUPTOR”.

Kami sadar bahwa makalah ini masih memiliki banyak kekurangan atau kesalahan, oleh
karena itu kritik dan saran selalu kami harapkan agar makalah ini dapat menjadi lebih baik
lagi.

Akhir kata dari kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan
sertadalam pembuatan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua
dansemoga Allah SWT senantiasa meridhai semua usaha kita, Amin.
DAFTAR ISI

Kata Pengantar........................................................................................................ i
Daftar Isi................................................................................................................. ii
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang................................................................................................... 1
BAB II Pembahasan
A. Pengertian Korupsi............................................................................................. 2
B. Penyebab Korupsi............................................................................................... 3
C. Korupsi Berdampak Besar Pada Indonesia........................................................ 6
D. Hukuman Untuk Para Koruptor......................................................................... 6
E. Hukuman Koruptor Indonesia Yang Masih Rendah.......................................... 7
F. Cara Mengatasi Korupsi...................................................................................... 10
BAB III Penutup
A. Kesimpulan........................................................................................................ 13
B. Saran.................................................................................................................. 13
Daftar Pustaka........................................................................................................ 14
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Akhir – akhir ini di Indonesia sering sekali terdengar berbagai macam masalah
yang berkaitan dengan korupsi. Parahnya, korupsi bukan lagi hal yang tabu tapi
merupakan sesuatu yang wajar dan merupakan momok bagi petinggi Negara.
Pemberantasan pun juga telah dilaksanakan tetapi tetap saja korupsi masih
merajalela di masyarakat. Hukum di Indonesia seolah seperti pedang yang ‘runcing
ke bawah dan tumpul ke atas’ sehingga para koruptor dengan mudahnya merampas
harta tanpa mendapatkan hukuman yang setimpal. Sehingga, hukuman yang rendah
inilah yang merupakan masalah terbesar di Indonesia yang harus segera
diselesaikan.
Perkembangan peradaban dunia semakin sehari seakan-akan berlari menuju
modernisasi. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa
mengikuti perkembangan jaman dan bertransformasi dalam bentuk-bentuk yang
semakin canggih dan beranekaragam. Kejahatan dalam bidang teknologi dan ilmu
pengetahuan senantiasa turut mengikutinya. Kejahatan masa kini memang tidak
lagi selalu menggunakan cara-cara lama yang telah terjadi selama bertahun-tahun
seiring dengan perjalanan usia bumi ini. Bisa kita lihat contohnya seperti, kejahatan
dunia maya, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana korupsi dan tindak pidana
lainnya. Salah satu tindak pidana yang menjadi musuh seluruh bangsa di dunia ini.
Sesungguhnya fenomena korupsi sudah ada di masyarakat sejak lama, tetapi baru
menarik perhatian dunia sejak perang dunia kedua berakhir. Di Indonesia sendiri
fenomena korupsi ini sudah ada sejak Indonesia belum merdeka. Salah satu bukti
yang menunjukkan bahwa korupsi sudah ada dalam masyarakat Indonesia jaman
penjajahan yaitu dengan adanya tradisi memberikan upeti oleh beberapa golongan
masyarakat kepada penguasa setempat. Kemudian setelah perang dunia kedua,
muncul era baru, gejolak korupsi ini meningkat di Negara yang sedang
berkembang, Negara yang baru memperoleh kemerdekaan. Masalah korupsi ini
sangat berbahaya karena dapat menghancurkan jaringan sosial, yang secara tidak
langsung memperlemah ketahanan nasional serta eksistensi suatu bangsa. Reimon
Aron seorang sosiolog berpendapat bahwa korupsi dapat mengundang gejolak
revolusi, alat yang ampuh untuk mengkreditkan suatu bangsa. Bukanlah tidak
mungkin penyaluran akan timbul apabila penguasa tidak secepatnya menyelesaikan
masalah korupsi. Di Indonesia sendiri praktik korupsi sudah sedemikian parah dan
akut. Telah banyak gambaran tentang praktik korupsi yang terekspos ke
permukaan. Di negeri ini sendiri, korupsi sudah seperti sebuah penyakit kanker
ganas yang menjalar ke sel-sel organ publik, menjangkit ke lembaga-lembaga
tinggi Negara seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif hingga ke BUMN. Apalagi
mengingat di akhir masa orde baru, korupsi hampir kita temui dimana-mana. Mulai
dari pejabat kecil hingga pejabat tinggi.Walaupun demikian, peraturan perundang-
undangan yang khusus mengatur tentang tindak pidana korupsi sudah ada.
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN KORUPSI
Dalam ensiklopedia Indonesia disebut “korupsi” (dari bahasa Latin: corruption
sama seperti penyuapan; corruptore = merusak) gejala dimana para pejabat, badan-
badan Negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan,
pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. Adapun arti harfia dari korupsi dapat
berupa :  Kejahatan kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan
ketidakjujuran. Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan sogok
dan sebagainya.
Baharuddin Lopa mengutip pendapat dari David M. Chalmers, menguraikan arti
istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan,
yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangkut
bidang kepentingan umum. (Evi Hartanti, S.H., 2005:9)
Selain itu terdapat pengertian korupsi dalam undang-undang antara lain :
 Undang-undang nomor 3 Tahun 1971 pengertian korupsi tertuang dalam pasal
1 ayat 1 a dan b yang berbunyi :
- 1.a. “Barangsiapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu Badan, yang secara
langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau
perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa
perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara;”
- 1.b. “Barangsiapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu Badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara
langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara;
 Sementara itu dalam undang-undang nomor 31tahun 1999 definisi korupsi
tertuang dalam pasal 2 ayat 1 dan 3 yang berbunyi :
- Pasal 2
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara
dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
- Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit
Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Dari pengertian-pengertian diatas dapat kita ambil beberapa kesimpulan terutama
yang berkenaan dengan unsur-unsur korupsi antara lain :
 Perbuatan Melawan Hukum
 Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi
 Menyalahgunakan wewenang
 Menyebabkan kerugian keuangan negara atau perekonomian Negara

B. PENYEBAB KORUPSI
a) Faktor internal, merupakan penyebab korupsi yang datang dari dalam diri
pribadi.
1) Aspek perilaku individu
1. Iman yang tidak kuat
Orang-orang yang memiliki kelemahan iman, sangat mudah sekali untuk
melakukan tindakan kejahatan seperti korupsi contohnya. Apabila iman
orang tersebut kuat, mereka tidak akan melakukan tindakan korups ini.
Banyak sekali alasan yang diberikan oleh penindak korupsi ini.
2. Sifat tamak manusia
Korupsi yang dilakukan bukan karena kebutuhan primer, yaitu
kebutuhan pangan. Pelakunya adalah orang yang berkecukupan, tetapi
memiliki sifat tamak, rakus, mempunyai hasrat memperkaya diri sendiri.
Unsur penyebab tindak korupsi  berasal dari dalam diri sendiri yaitu
sifat tamak/rakus. Maka tindakan keras tanpa kompromi, wajib
hukumnya.
3. Moral yang kurang kuat
Orang yang moralnya kurang kuat mudah tergoda untuk melakukan
tindak korupsi. Godaan bisa datang dari berbagai pengaruh di
sekelilingnya, seperti atasan, rekan kerja, bawahan, atau pihak lain yang
memberi kesempatan.
4. Gaya hidup yang konsumtif
Gaya hidup di kota besar mendorong seseorang untuk berperilaku
konsumptif. Perilaku konsumtif yang tidak diimbangi dengan
pendapatan yang sesuai, menciptakan peluang bagi seseorang untuk
melakukan tindak korupsi.
2) Aspek sosial :
1. Desakan kebutuhan ekonomi
Dengan keadaan ekonomi yang sulit, semua serba sulit, berbagai
tindakan pun akan dilakukan oleh seseorang, guna untuk mempermudah
kebutuhan ekonomi seseorang, salahsatunya adalah dengan melakukan
tindakan korupsi.
b) Faktor eksternal, merupakan factor peenyebab korupsi yang berasal dari luar.
1) Aspek Sikap Masyarakat terhadap Korupsi
Dalam sebuah organisasi, kesalahan individu sering ditutupi demi menjaga
nama baik organisasi. Demikian pula tindak korupsi dalam sebuah
organisasi sering kali ditutup-tutupi. Akibat sikap tertutup ini, tindak
korupsi seakan mendapat pembenaran, bahkan berkembang dalam berbagai
bentuk. Sikap masyarakat yang berpotensi memberi peluang perilaku
korupsi antara lain:
1. Nilai-nilai dan budaya di masyarakat yang mendukung untuk terjadinya
korupsi. Misalnya masyarakat menghargai seseorang karena kekayaan
yang dimilikinya. Akibatnya masyarakat menjadi tidak kritis terhadap
kondisi, seperti dari mana kekayaan itu berasal.
2. Masyarakat menganggap bahwa korban yang mengalami kerugian
akibat tindak korupsi adalah Negara. Padahal justru pada akhirnya
kerugian terbesar dialami oleh masyarakat sendiri. Contohnya akibat
korupsi anggaran pembangunan menjadi berkuran, pembangunan
transportasi umum menjadi terbatas misalnya.
3. Masyarakat kurang menyadari bila dirinya terlibat dalam perilaku
korupsi. Setiap tindakan korupsi pasti melibatkan masyarakat, namun
masyarakat justru terbiasa terlibat dalam tindak korupsi sehari-hari
dengan cara-cara terbuka namun tidak disadari.
4. Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi dapat dicegah dan
diberantas bila masyarakat ikut aktif dalam agenda pencegahan dan
pemberantasan korupsi. Umumnya masyarakat menganggap bahwa
pencegahan dan pemberantasan korupsi adalah tanggung jawab
pemerintah.
2) Aspek Ekonomi
Aspek Ekonomi sering membuka peluang bagi seseorang untuk korupsi.
Pendapatan yang tidak dapat memenuhi kebutuhan atau saat sedang
terdesak masalah ekonomi membuka ruang bagi seseorang untuk
melakukan jalan pintas, dan salah satunya adalah korupsi.
3) Aspek Politis
Politik uang (money politics) pada Pemilihan Umum adalah contoh tindak
korupsi, yaitu seseorang atau golongan yang membeli suatu atau menyuap
para pemilih/anggota partai agar dapat memenangkan pemilu. Perilaku
korup seperti penyuapan, politik uang merupakan fenomena yang sering
terjadi. Terkait hal itu Terrence Gomes (2000) memberikan gambaran
bahwa politik uang sebagai use of money and material benefits in the
pursuit of political influence (menggunakan uang dan keuntungan material
untuk memperoleh pengaruh politik).
Penyimpangan pemberian kredit atau penarikan pajak pada pengusaha,
kongsi antara penguasa dan pengusaha, kasus-kasus pejabat Bank Indonesia
dan Menteri di bidang ekonomi pada rezim lalu dan pemberian cek
melancong yang sering dibicarakan merupakan sederet kasus yang
menggambarkan aspek politik yang dapat menyebabkan kasus korupsi
(Handoyo: 2009).
4) Aspek Organisasi
Organisasi dalam hal ini adalah organisasi dalam arti yang luas, termasuk
sistem pengorganisasian lingkungan masyarakat. Organisasi yang menjadi
korban korupsi atau di mana korupsi terjadi biasanya memberi andil
terjadinya korupsi  karena membuka peluang atau kesempatan terjadinya
korupsi (Tunggal, 2000). Aspek-aspek penyebab korupsi dalam sudut
pandang organisasi meliputi:
1. Kurang adanya sikap keteladanan Pemimpin
Pemimpin adalah panutan bagi bawahannya. Apa yang dilakukan oleh
pemimpin merupakan contoh bagi bawahannya. Apabila pemimpin
memberikan contoh keteladanan melakukan tindak korupsi, maka
bawahannya juga akan mengambil kesempatan yang sama dengan
atasannya.
2. Tidak Adanya Kultur/Budaya Organisasi yang Benar
Organisasi harus memiliki Tujuan Organisasi yang fokus dan jelas.
Tujuan organisasi ini menjadi pedoman dan memberikan arah bagi
anggota organisasi dalam melaksanakan kegiatan sesuati tugas dan
fungsinya. Tujuan organisasi menghubungkan anggotanya dengan
berbagai tat-cara dalam kelompok; juga berfungsi untuk membantu
anggotanya menentukan cara terbaik dalam melaksanakan tugas dan
melakukan suatu tindakan. Tatacara pencapaian tujuan dan pedoman
tindakan inilah kemudian menjadi kultur/budaya organisasi. Kultur
organisasi harus dikelola dengan benar, mengikuti standar-standar yang
jelas tentang perilaku yang boleh dan yang tidak boleh. Kekuatan
pemimpin menjadi penentu karena memberikan teladan bagi anggota
organisasi dalam mebentuk budaya organisasi. Peluang terjadinya
korupsi apabila dalam budaya organisasi tidak ditetapkan nilai-nilai
kebenaran, atau bahkan nilai dan norma-norma justru berkebalikan
dengan norma-norma yang berlaku secara umum (norma bahwa tindak
korupsi adalah tindakan yang salah).
3. Kurang Memadainya Sistem Akuntabilitas
Dalam sebuah organisasi perlu ditetapkan visi dan misi yang
diembannya, yang dijabarkan dalam rencana kerja dan target
pencapaiannya. Dengan cara ini penilaian terhadap kinerja organisasi
dapat dengan mudah dilaksanakan. Apabila organisasi tidak
merumuskan tujuan, sasaran, dan target kerjanya dengan jelas, maka
akan sulit dilakukan penilaian dan pengukuran kinerja. Hal ini
membuka peluang tindak korupsi dalam organisasi.
4. Kelemahan Sistem Pengendalian Manajemen
Pengendalian manajemen merupakan salah satu syarat bagi tindak
pelanggaran korupsi dalam sebuah organisasi. Semakin longgar/lemah
pengendalian manajemen sebuah organisasi semakin terbuka peluang
tindak korupsi anggota atau pegawai di dalamnya.
5. Pengawasan terbagi menjadi dua, yaitu pengawasan internal
(pengawasan fungsional dan pengawasan langsung oleh pemimpin) dan
pengawasan yang bersifat eksternal (pengawasan dari legislatif dalam
hal ini antara lain KPKP, Bawasda, dll dan masyarakat). Pengawasan ini
kurang berfungsi secara efektif karena beberapa faktor seperti tumpang
tindihnya pengawasan pada berbagai instansi, kurangnya profesional
pengawas serta kurangnya kepatuhan pada etika hukum maupun
pemerintah oleh pengawas itu sendiri.

C. KORUPSI BERDAMPAK BESAR PADA INDONESIA


Akibat yang ditimbulkan sebagai dampak dari korupsi yaitu pemborosan sumber-
sumber, modal yang lari, gangguan terhadap penanaman modal, terbuangnya
keahlian, bantuan yang lenyap, ketidakstabilan, revolusi sosial, pengambilan alih
kekuasaan oleh militer, menimbulkan ketimpangan sosial budaya, pengurangan
kemampuan aparatur pemerintah, pengurangan kapasitas administrasi, hilangnya
kewibawaan administrasi. Selanjutnya Mc Mullan (1961) menyatakan bahwa
akibat korupsi adalah ketidakefisienan, ketidakadilan, rakyat tidak mempercayai
pemerintah, memboroskan sumber-sumber negara, tidak mendorong perusahaan
untuk berusaha terutama perusahaan asing, ketidakstabilan politik, pembatasan
dalam kebijaksanaan pemerintah dan tidak represif.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan akibat-akibat
korupsi diatas adalah sebagai berikut :
- Tata ekonomi seperti larinya modal keluar negeri, gangguan terhadap
perusahaan, gangguan penanaman modal.
- Tata sosial budaya seperti revolusi sosial, ketimpangan sosial.
- Tata politik seperti pengambil alihan kekuasaan, hilangnya bantuan luar negeri,
hilangnya kewibawaan pemerintah, ketidakstabilan politik.
- Tata administrasi seperti tidak efisien, kurangnya kemampuan administrasi,
hilangnya keahlian, hilangnya sumber-sumber negara, keterbatasan
kebijaksanaan pemerintah, pengambilan tindakan-tindakan represif.
Secara umum akibat korupsi adalah merugikan negara dan merusak sendisendi
kebersamaan serta memperlambat tercapainya tujuan nasional seperti yang
tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.

D. HUKUMAN UNTUK PARA KORUPTOR


1) Pidana mati
Dapat dipidana mati karena kepada setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang nomor 31 tahun
1999 dan Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi, yang dilakukan dalam keadaan tertentu.
2) Pidana penjara
Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan Negara atau perkonomian Negara. (Pasal 2 ayat 1)
Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan/atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak satu Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang
yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan
Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3)
Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas)
tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta) bagi setiap
orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara
langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
siding pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam
perkara korupsi. (Pasal 21)
Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas)
tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) bagi
setiap orang sebagaimana dimaksud dalam pasal 28, pasal 29, pasal 35, dan
pasal 36.
3) Pidana tambahan
- Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau
barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak
pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana
korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang
tersebut.
- Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama
dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
- Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu)
tahun.
- Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh
atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh
pemerintah kepada terpidana.
- Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1
(satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk
menutupi uang pengganti tersebut.
- Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk
membayar uang pengganti maka terpidana dengan pidana penjara yang
lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai
ketentuan undang-undang nomor 31 tahun 1999 dan undang-undang nomor 20
tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan lamanya pidana
tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.

E. HUKUMAN KORUPTOR INDONESIA YANG MASIH RENDAH


Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch
(ICW) Emerson Yuntho mengatakan, berdasarkan data ICW, rata-rata koruptor
hanya divonis 2 tahun 9 bulan berdasarkan putusan Mahkamah Agung, pengadilan
tinggi, dan pengadilan negeri.
ICW melakukan pemantauan selama semester I 2014 terhadap 210 kasus korupsi
dengan 261 terpidana. ICW membagi empat kategori vonis pengadilan tipikor,
yakni vonis bebas, vonis ringan untuk hukuman 1-4 tahun, vonis sedang untuk
hukuman 4-10 tahun, dan vonis berat untuk hukuman lebih 10 tahun.
Berdasarkan data tersebut, sebanyak 73,94% koruptor divonis ringan, 16,86%
divonis sedang, 1,53% divonis berat, dan 7,67% divonis bebas (selengkapnya lihat
grafik). Karena itu, lanjut Emerson, pihaknya meminta MA untuk menunjukkan
keseriusannya dalam menindak tegas pelaku korupsi dengan membuat surat edaran
(SE) Mahkamah Agung atau instruksi Ketua MA agar hakim menjatuhkan vonis
maksimal terhadap pelaku dan pemiskinan melalui denda atau uang pengganti yang
tinggi sesuai kesalahan.
Selain itu, perlu divonis berat sebanyak pidana tambahan berupa pencabutan hak-
hak politik, dana pensiun, dan status kepegawaian bagi koruptor yang terbukti
bersalah.
Hal senada dikatakan Koordinator Badan Pekerja ICW Danang Widoyoko di
Jakarta, kemarin. Ia menilai rendahnya putusan hakim terhadap terdakwa perkara
korupsi menunjukkan kesadaran hakim, bahwa korupsi merupakan kejahatan luar
biasa dan dapat menghancurkan kehidupan berbangsa, masih rendah pula. Hal itu
dapat terjadi karena para hakim juga ”dibesarkan” atau ”dibentuk” di lingkungan
peradilan yang banyak terjadi praktik korupsi sehingga cenderung permisif
terhadap praktik korupsi.
”Kesadaran hakim bahwa korupsi itu kejahatan extraordinary belum ada sehingga
hukuman ringan-ringan saja sehingga diskriminatif dengan kejahatan biasa, seperti
pelaku pencurian atau perampokan, yang mendapat hukuman tinggi,” katanya.
Pandu mengatakan, seharusnya hakim berpikir bahwa putusannya akan membawa
efek jera terhadap tindak pidana korupsi. ”Putusan hakim yang tidak membawa
efek jera memiliki andil menjerumuskan bangsa Indonesia dalam kegelapan,”
katanya.
Pemidanaan terhadap penegak hukum yang melakukan tindak pidana korupsi, kata
pengajar Ilmu Hukum Pidana Universitas Indonesia, Ganjar Laksmana, semestinya
maksimal dan lebih berat ketimbang terhadap pelaku biasa yang bukan penegak
hukum supaya ada fungsi prevensi. ”Seorang yang dilatih melawan penjahat, ketika
menjadi penjahat, akan menjadi penjahat paling jahat,” ujarnya.
Hukum bagi para pelaku korupsi tampak berlawanan arah dengan efek jera
sebagaimana dimaksudkan adanya hukum positif di dalam UU. Salah satu
penyebabnya, dan ini sering menjadi bahan 'gerundelan' publik, adalah hukuman
yang dijatuhkan hakim bagi para koruptor dipersepsikan belum sebanding dengan
kejahatan luar biasa tersebut.
Di kalangan masyarakat, selama ini, pemahamannya merentang ke dalam dua
kutub. Pada satu kutub adalah aspek moral. Dalam perspektif moral, ringannya
hukuman ditafsirkan sebagai cerminan moralitas hakim. Hakim yang memiliki
catatan karier yang bersih diyakini berani menjatuhkan hukuman berat, sedangkan
hakim yang memiliki rekam jejak abu-abu diduga menetapkan jenis hukuman yang
enteng-enteng saja. Jadi, ketika kebanyakan hakim dipandang menghukum
terdakwa korupsi dengan sanksi ringan, secara tidak langsung itulah indikasi
memprihatinkannya moralitas sang pengadil di mata publik.
Pada kutub seberang adalah kompetensi kerja hakim. Kompetensi di sini
merupakan konstruk psikologi, bukan konstruk legal. Sebagai konstruk psikologi,
kompetensi yang saya maksud bukan kewenangan, melainkan pengetahuan,
keterampilan, dan pengalaman kerja hakim. Dalam perspektif kompetensi, hakim
dengan jam terbang tinggi akan mampu membongkar kasus secara mendalam,
sehingga percaya diri untuk “menagih” pertanggungjawaban terdakwa korupsi
lewat hukuman yang berat. Jadi, ada korelasi positif antara kompetensi kerja hakim
dan berat-ringannya hukuman bagi koruptor.
Selain itu perspektif psikologi kognitif yang menyebabkan rendahnya hukuman
bagi para koruptor yaitu :
1) Sanksi hukum terhadap koruptor kerap dibandingkan dengan hukuman bagi
maling ayam. Karena hukuman atas keduanya dinilai tidak proporsional atau
saling tumpang tindih, yakni terlalu ringan bagi koruptor dan terlalu berat bagi
maling ayam, hakim pun dianggap menistai nilai-nilai keadilan. 
Contoh kasus maling ayam, aksi tersebut lazimnya digambarkan sebagai
kejahatan tunggal yang sederhana dan dilakukan secara solo maupun
melibatkan kelompok kecil. Bingkai peristiwa kejahatan semacam itu tidak
begitu sukar dicerna oleh kognisi hakim. Pada gilirannya, dengan bingkai kasus
tersebut, hakim teryakinkan bahwa kelakuan si pencuri ayam adalah benar-
benar manifestasi dari keputusan psikologis si maling sendiri (atribusi internal).
Atribusi internal si maling membangun fondasi keyakinan hakim bahwa si
pencuri itulah, bukan pihak lain, yang harus bertanggung jawab secara pidana. 
Situasinya berbeda dengan kasus-kasus kejahatan kerah putih, di mana
masalahnya begitu kompleks hingga dapat memberikan beban yang berlebihan
terhadap kognisi hakim. Kompleksitas itu terlihat pada, misalnya, diseretnya
banyak nama oleh terdakwa, modus korupsi yang penuh konspirasi, benturan
antarlegislasi, pertikaian antarinstitusi, serta diskursus politik yang merecoki
upaya penegakan hukum. Sengkarut masalah sedemikian rupa dapat
menggelincirkan persepsi hakim. Hakim bisa jadi akan melihat faktor situasi
lebih dominan (atribusi eksternal) daripada faktor diri si terdakwa, sebagai
penyebab terjadinya peristiwa korupsi. Karena situasi merupakan penyebab
utama, maka terdakwa bukan lagi pihak yang harus paling bertanggung jawab.
Sanksi ala kadarnya, dengan demikian, menemukan “pembenaran”-nya, karena
situasi (termasuk keberadaan pihak-pihak selain terdakwa) yang sesungguhnya
harus disalahkan dan diganjar hukuman lebih berat. 
Dalam konteks itu pula pekerjaan hakim menjadi penuh dilema. Pada satu sisi,
hakim perlu “melek dunia” sehingga dapat memahami konstelasi kasus secara
lebih utuh. Namun, pada sisi lain, menerima informasi-informasi baru juga
berisiko melemahkan vitalitas kognitif hakim, termasuk mengendurkan daya
tangkalnya terhadap potensi-potensi bias.
Ini juga agenda tersendiri bagi jaksa. Dalam pergulatannya dengan penasihat
hukum, terdakwa yang terus-menerus menggiring persepsi hakim ke atribusi
eksternal, sang penuntut perlu secara ketat memagari hakim agar tetap
memandang terdakwa sebagai biang kerok sejati atas korupsi yang
dilakukannya.
2) Penerapan strategic model. Bagi sebagian orang dapat dipahami bahwa dalam
memutuskan kasus korupsi, hakim juga memperhatikan putusan-putusan yang
dihasilkan para sejawatnya dalam kasus-kasus serupa. Artinya, hakim
menjatuhkan hukuman ringan, karena memang itulah tren yang hakim
perhatikan di ruang-ruang sidang lainnya. 
Kecenderungan untuk menyeragamkan perilaku dengan sesama anggota
kelompok adalah perwujudan sisi insani hakim, dan bukan hasil
persekongkolan. Pasalnya, keseragaman sikap dan perilaku merupakan salah
satu ciri kelompok. Kelompok (korps hakim) akan terus eksis manakala para
hakim masih terus mengikat diri mereka dalam ekspektasi keseragaman
tersebut. Konsekuensinya, kemiripan dalam menentukan berat-ringannya
hukuman perlu dilakukan oleh hakim, karena itulah yang membuatnya merasa
tetap menjadi bagian dari korpsnya. Sebaliknya, membuat keputusan yang
berbeda akan memunculkan perasaan tidak “klik” dengan para sejawat,
sehingga dapat berisiko buruk bagi perjalanan karier si hakim.
3) Meski mengakibatkan kerugian yang sangat besar, korupsi kerap disebut
sebagai kejahatan tanpa korban. Bandingkan, misalnya, dengan kejahatan
terorisme. Kendati sama-sama tergolong kejahatan luar biasa, korupsi tidak
mengakibatkan genangan darah dan kehancuran bangunan secara kasatmata.
Karena sifatnya yang barbar, faktanya tidak sulit bagi hakim-hakim Indonesia
menjatuhkan hukuman mati kepada sejumlah otak dan pelaku aksi teror.
Korupsi bersih dari gambaran kebiadaban yang telanjang. Itu mempersulit
hakim saat membayangkan akibat nyata korupsi, betapapun korupsi disebut
merugikan banyak pihak. Sulit dijawab definitif: pihak mana yang dirugikan,
seberapa besar kerugiannya, dan mengapa pihak tersebut, jika benar-benar
dirugikan--tidak melaporkan pelakunya dan hadir di persidangan. 
Poin ke-3 di atas memberi alasan bagi perlunya wawasan viktimologi para hakim
tindak pidana korupsi. Hakim memang mengadili terdakwa. Namun karena pihak
yang paling berkepentingan dalam setiap persidangan pidana sesungguhnya adalah
korban, maka kehadiran korban di dalam kepala dan hati hakim, bahkan ketika
hakim berhadapan langsung dengan terdakwa dapat diharapkan berefek positif
terhadap keputusan yang hakim jatuhkan.
Jadi, menurut pendapat-pendapat diatas dapat kita simpulkan bahwa hukuman para
koruptor masih rendah dengan adanya:
1. Ketidakseriusan dalam menindak tegas pelaku korupsi
2. Rendahnya putusan hakim terhadap terdakwa perkara korupsi i karena para
hakim juga ”dibesarkan” atau ”dibentuk” di lingkungan peradilan yang banyak
terjadi praktik korupsi sehingga cenderung permisif terhadap praktik korupsi.

F. CARA MENGATASI KORUPSI


Korupsi tidak dapat dibiarkan berjalan begitu saja kalau suatu negara ingin
mencapai tujuannya, karena kalau dibiarkan secara terus menerus, maka akan
terbiasa dan menjadi subur dan akan menimbulkan sikap mental pejabat yang selalu
mencari jalan pintas yang mudah dan menghalalkan segala cara (the end justifies
the means). Untuk itu, korupsi perlu ditanggulangi secara tuntas dan bertanggung
jawab. Ada beberapa upaya penggulangan korupsi yang ditawarkan para ahli yang
masing-masing memandang dari berbagai segi dan pandangan. Caiden (dalam
Soerjono, 1980) memberikan langkah-langkah untuk menanggulangi korupsi
sebagai berikut :
1. Membenarkan transaksi yang dahulunya dilarang dengan menentukan sejumlah
pembayaran tertentu.
2. Membuat struktur baru yang mendasarkan bagaimana keputusan dibuat.
3. Melakukan perubahan organisasi yang akan mempermudah masalah
pengawasan dan pencegahan kekuasaan yang terpusat, rotasi penugasan,
wewenang yang saling tindih organisasi yang sama, birokrasi yang saling
bersaing, dan penunjukan instansi pengawas adalah saran-saran yang secara
jelas diketemukan untuk mengurangi kesempatan korupsi.
4. Bagaimana dorongan untuk korupsi dapat dikurangi ? dengan jalan
meningkatkan ancaman.
5. Korupsi adalah persoalan nilai. Nampaknya tidak mungkin keseluruhan
korupsi dibatasi, tetapi memang harus ditekan seminimum mungkin, agar
beban korupsi organisasional maupun korupsi sestimik tidak terlalu besar
sekiranya ada sesuatu pembaharuan struktural, barangkali mungkin untuk
mengurangi kesempatan dan dorongan untuk korupsi dengan adanya
perubahan organisasi.
Cara yang diperkenalkan oleh Caiden di atas membenarkan (legalized) tindakan
yang semula dikategorikan kedalam korupsi menjadi tindakan yang legal dengan
adanya pungutan resmi. Di lain pihak, celah-celah yang membuka untuk
kesempatan korupsi harus segera ditutup, begitu halnya dengan struktur organisasi
haruslah membantu kearah pencegahan korupsi, misalnya tanggung jawab
pimpinan dalam pelaksanaan pengawasan melekat, dengan tidak lupa
meningkatkan ancaman hukuman kepada pelaku-pelakunya. Persoalan korupsi
beraneka ragam cara melihatnya, oleh karena itu cara pengkajiannya pun
bermacam-macam pula. Korupsi tidak cukup ditinjau dari segi deduktif saja,
melainkan perlu ditinaju dari segi induktifnya yaitu mulai melihat masalah
praktisnya (practical problems), juga harus dilihat apa yang menyebabkan
timbulnya korupsi.
Kartono (1983) menyarankan penanggulangan korupsi sebagai berikut :
1. Adanya kesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung jawab guna
melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial, dengan bersifat acuh tak
acuh.
2. Menanamkan aspirasi nasional yang positif, yaitu mengutamakan
kepentingan nasional.
3. Para pemimpin dan pejabat memberikan teladan, memberantas dan
menindak korupsi.
4. Adanya sanksi dan kekuatan untuk menindak, memberantas dan
menghukum tindak korupsi.
5. Reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi pemerintah, melalui
penyederhanaan jumlah departemen, beserta jawatan dibawahnya
6. Adanya sistem penerimaan pegawai yang berdasarkan “achievement” dan
bukan berdasarkan sistem “ascription”.
7. Adanya kebutuhan pegawai negeri yang non-politik demi kelancaran
administrasi pemerintah.
8. Menciptakan aparatur pemerintah yang jujur.
9. Sistem budget dikelola oleh pejabat-pejabat yang mempunyai tanggung
jawab etis tinggi, dibarengi sistem kontrol yang efisien. 10. Herregistrasi
(pencatatan ulang) terhadap kekayaan perorangan yang mencolok dengan
pengenaan pajak yang tinggi.
Marmosudjono (Kompas, 1989) mengatakan bahwa dalam menanggulangi
korupsi, perlu sanksi malu bagi koruptor yaitu dengan menayangkan wajah para
koruptor di televisi karena menurutnya masuk penjara tidak dianggap sebagai
hal yang memalukan lagi. Berdasarkan pendapat para ahli diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa upaya penanggulangan korupsi adalah sebagai berikut :
a. Preventif
1. Membangun dan menyebarkan etos pejabat dan pegawai baik di instansi
pemerintah maupun swasta tentang pemisahan yang jelas dan tajam antara
milik pribadi dan milik perusahaan atau milik Negara
2. Mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji) bagi pejabat dan pegawai
negeri sesuai dengan kemajuan ekonomi dan kemajuan swasta, agar pejabat
dan pegawai saling menegakan wibawa dan integritas jabatannya dan tidak
terbawa oleh godaan dan kesempatan yang diberikan oleh wewenangnya.
3. Menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap
jabatan dan pekerjaan. Kebijakan pejabat dan pegawai bukanlah bahwa
mereka kaya dan melimpah, akan tetapi mereka terhormat karena jasa
pelayanannya kepada masyarakat dan negara.
4. Bahwa teladan dan pelaku pimpinan dan atasan lebih efektif dalam
memasyarakatkan pandangan, penilaian dan kebijakan
5. Menumbuhkan pemahaman dan kebudayaan politik yang terbuka untuk
kontrol, koreksi dan peringatan, sebab wewenang dan kekuasaan itu
cenderung disalahgunakan
6. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana menumbuhkan “sense of
belongingness” dikalangan pejabat dan pegawai, sehingga mereka merasa
peruasahaan tersebut adalah milik sendiri dan tidak perlu korupsi, dan selalu
berusaha berbuat yang terbaik.
b. Represif
1. Perlu penayangan wajah koruptor di televisi.
2. Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan pejabat.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Korupsi adalah penyalahgunaan wewenang yang ada pada pejabat atau pegawai
demi keuntungan pribadi, keluarga dan teman atau kelompoknya.
2. Korupsi menghambat pembangunan, karena merugikan negara dan merusak sendi-
sendi kebersamaan dan menghianati cita-cita perjuangan bangsa.
3. Cara penaggulangan korupsi adalah bersifat Preventif dan Represif.
Pencegahan(preventif) yang perlu dilakukan adalah dengan menumbuhkan dan
membangun etos kerja pejabat maupun pegawai tentang pemisahan yang jelas
antara miliknegara atau perusahaan dengan milik pribadi, mengusahakan perbaikan
penghasilan (gaji), menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan
diri setiap jabatan dan pekerjaan, teladan dan pelaku pimpinan atau atasan lebih
efektif dalam memasyarakatkan pandangan, penilaian dan kebijakan, terbuka untuk
kontrol, adanya kontrol sosial dan sanksi sosial, menumbuhkan rasa “sense of
belongingness” diantara para pejabat dan pegawai. Sedangkan tindakan yang
bersifat Represif adalah menegakan hukum yang berlaku pada koruptor dan
penayangan wajah koruptor di layar televisi dan herregistrasi (pencatatan ulang)
kekayaan pejabat dan pegawai.
4. Rendahnya hukuman bagi koruptor disebabkan oleh ketidakseriusan dalam
menindak tegas pelaku korupsi dan para hakim juga ”dibesarkan” atau ”dibentuk”
di lingkungan peradilan yang banyak terjadi praktik korupsi sehingga cenderung
permisif terhadap praktik korupsi.
DAFTAR ISI

 https://www.google.com/webhp?
sourceid=chromeinstant&ion=1&espv=2&ie=UTF-
8#q=hukuman+korupsi+tindak+pidana+khusus
 http://azimbae.blogspot.com/2012/08/hukum-pidana-khusus-korupsi.html
 http://iwankurniawan31.blogspot.com/2014/01/dampak-korupsi-terhadap-rakyat-
indonesia.html
 http://www.academia.edu/9378386/BAB_I_PENDAHULUAN_A._Latar_Belakag
 http://www.mediaindonesia.com/mipagi/read/2736/70-Koruptor-Dihukum-
Ringan/2014/08/04
 http://www.kpk.go.id/id/berita/berita-sub/1351-hukuman-koruptor-terlalu-ringan-
korupsi-kejahatan-luar-biasa
 https://www.facebook.com/LukasSiahaan.SH/posts/415819031776519)

Anda mungkin juga menyukai