Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH PERMASALAHAN PEREDARAN

VCD/DVD BAJAKAN YANG MELANGGAR HAK


CIPTA
MAKALAH PPKN

MUTHIA AMELIA PUTRI SUHUD


XII TKJ 2
NO. URUT 21
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT serta shalawat dan salam kami
sampaikan hanya bagi tokoh dan teladan kita Nabi Muhammad SAW. Diantara sekian banyak
nikmat Allah SWT yang membawa kita dari kegelapan ke dimensi terang yang memberi hikmah
dan yang paling bermanfaat bagi seluruh umat manusia, sehingga oleh karenanya kami dapat
menyelesaikan tugas Ppkn ini dengan baik.

Adapun maksud dan tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi salah
satu tugas yang diberikan oleh guru pada mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan (PPKN).

Keberhasilan dalam penyusunan proposal tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk
itu tak lupa penyusun mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Ermiyanti Samad selaku pembimbing mata pelajaran PPKn.


2. Teman-teman saya yang telah meberikan bantuan moril maupun materi.
3. Berbagai pihak yang telah memberikan bantuan, baik secara langsung maupun tidak
langsung.
Kami menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu segala saran
dan kritik yang membangun dari semua pihak sangat kami harapkan demi perbaikan pada tugas
selanjutnya. Harapan kami semoga tugas ini bermanfaat khususnya bagi kami dan bagi pembaca.

Makassar, 18 Oktober 2019

Tim Penulis

2
DAFTAR ISI

SAMPUL...............….......…………………………….…………………………………..1
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………….2
DAFTAR ISI…………….………………….....…………………………………………..3
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang…………………………………………………................……….4
B. Rumusan Masalah………………………….……………………............….......…5
C. Tujuan……………………………………….…………………….....…....………5
BAB II. PEMBAHASAN………………………..……………………………….........….6
A. Penyebab……………………………………………………………......................6
B. Contoh Kasus……..….………………………………………………….........….14
C. Dasar Hukum..……..…………………………………………………….......…..15
D. Solusi………………………………………………………………………....….15
BAB III. PENUTUP…………………….…………………………………………….…16

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Intellectual Property Right atau Geistiges Eigentum (bahasa Jerman) dapat
diterjemahan kedalam bahasa Indonesia yaitu Hak Atas Kekayaan Intelektual atau sering
disingkat HAKI adalah hak yang diberikan kepada orang-orang atas hasil dari buah
pikiran mereka. Biasanya hak eksklusif tersebut diberikan atas penggunaan dari hasil
buah pikiran pencipta dalam kurun waktu tertentu. Buah pikiran tersebut dapat terwujud
dalam tulisan, kreasi artistik, simbol-simbol, penamaan, citra, dan desain yang digunakan
dalam kegiatan komersil. Salah satu produk HAKI yaitu Hak Cipta. Adapun pengertian
dari Hak Cipta, yaitu hak khusus bagi pencipta untuk mengumumkan atau
memperbanyak ciptaannya.
Mungkin banyak diantara kita yang tidak sadar bahwa yang kita lakukan dalam
kegiatan sehari – hari telah melanggar hak cipta orang lain. Tidak lain dari pelanggaran
tersebut adalah kegiatan membajak. Kegiatan bajak – membajak telah diterima dan
menjadi suatu kegiatan yang dianggap halal oleh masyarakat kita. Praktek pembajakan
hak cipta di Indonesia dari tahun ke tahun cenderung meningkat drastis dan sudah sangat
memprihatinkan. Salah satu fakta yang ada di lapangan misalnya terjadi pada industri
musik. Menurut catatan Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI), pembajakan
industri musik di Indonesia menunjukkan angka yang paling signifikan. Pihak yang
paling dirugikan yaitu datang dari pihak musisi atau pencipta lagu yang hasil karyanya
dibajak. Usaha mereka dalam mencari inspirasi lagu serta pengeluaran biaya yang tidak
sedikit dalam proses produksi ternyata tidak dihargai dan dilindungi oleh negara. Hasil
karya cipta mereka dengan mudahnya dibajak dan disebarluaskan oleh orang lain untuk
kepentingan pribadi mereka. Tidak sedikit dari para artis atau musisi yang hasil karyanya
diminati oleh masyarakat ternyata tidak dapat melanjutkan karirnya karena produk
mereka yang dijual secara resmi di pasaran dianggap tidak laku.
Pihak yang paling berpengaruh dalam pembajakan adalah pihak yang mngedarkan.
Banyaknya VCD/DVD palsu di pasaran memancing masyarakat untuk membelinya
dengan harga yang lebih terjangkau. Harga satu kepingnya yaitu berkisar antara Rp
5.000,00 – Rp 6.000,00. Apabila dibandingkan dengan harga aslinya, maka akan berlipat
10x menjadi Rp 50.000,00. Inilah yang menjadi alasan mengapa masyarakat lebih
memilih untuk membeli VCD/DVD bajakan. Karena lebih murah, maka mereka
mengabaikan akan pelanggaran hak cipta yang telah mereka lakukan.
Secara yuridis, pemerintah pun telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 19
tahun 2002 tentang Hak Cipta. Undang-Undang Nomor 19 tahun 2002 yang merupakan
penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 12 tahun 1997 tentang Hak Cipta. Namun,
apakah Undang – Undang ini telah mampu menyalurkan efek jera kepada pelaku
pengedar VCD/DVD bajakan ? Sepertinya masih banyak pelaku di luar sana yang belum
merasakan efek jera dari perbuatannya, serta kesadaran akan mereka tentang pelanggaran

4
yang dilakukan pun kurang dipedulikan. Dalam hal ini, Undang – Undang tentang Hak
Cipta belum mampu mengendalikan maraknya pembajakan VCD/DVD di pasaran.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, terdapat
beberapa rumusan masalah dalam pembuatan makalah ini, diantaranya yaitu :
1. Apakah pengertian daripada Hak Cipta itu sendiri dan apa hubungannya dengan
Hak Cipta karya ?
2. Faktor – faktor apa saja yang mempengaruhi maraknya pembajakan
VCD/DVD ?
3. Bagaimana dampak dari pembajakan VCD/DVD ?
4. Bagaimana perlindungan hukum tentang pembajakan VCD/DVD di Indonesia ?
5. Bagaimana penegakkan hukum terhadap pelanggaran Hak Cipta berupa
pembajakan VCD/DVD di Indonesia berdasarkan Undang – Undang Nomor 19
Tahun 2002 ?

C. Tujuan
Adapun tujuan dasar daripada penulisan makalah tentang tindak pidana ini, yaitu
sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui definisi daripada Hak Cipta
2. Untuk mengetahui faktor – faktor yang mempengaruhi maraknya pembajakan
VCD/DVD.
3. Untuk mengetahui dampak pembajakan pajak bagi pemerintah, penjual, maupun
konsumen.
4. Untuk mengetahui perlindungan hukum atas pembajakan VCD/DVD di
Indonesia.
5. Untuk mengetahui penegakkan hukum terhadap pelanggaran Hak Cipta dalam
bentuk VCD/DVD.

5
BAB II
PEMBAHASAN

Mengapa VCD/DVD Bajakan Marak di Indonesia?

Perkembangan industri perfilman Indonesia memang unik. Bangkitnya film


nasional yang ditandai banyaknya jumlah produksi film lokal dan peningkatan penjualan
karcis bioskop, di satu sisi diwarnai proses pengeroposan besar-besaran yang
kontraproduktif bagi perkembangan kreativitas. Salah satu masalah terbesar adalah
maraknya pelanggaran hak cipta film, khususnya pembajakan.

Namun, penggandaan VCD/DVD secara ilegal tidak dapat dipandang sempit


hanya dari satu sisi negatif. Ada beberapa dimensi permisif yang menyebabkan
“penghalalan” tindakan tersebut.
 pembajakan adalah bentuk “perlawanan rakyat”, khususnya lapisan bawah
terhadap harga VCD/DVD asli yang harganya terlampau mahal sehingga
melemahkan daya beli. masyarakat berpedoman: “selama masih bisa dihemat
mengapa harus membeli yang mahal?”.
 orang membeli VCD/DVD bajakan karena VCD/DVD orisinal biasanya baru
keluar beberapa bulan setelah filmnya diputar di bioskop. Bagi masyarakat
kalangan menengah ke atas di perkotaan, akses menonton bioskop barangkali
tak menjadi masalah. Namun sebagian masyarakat golongan “tak sabaran” yang
sensitif harga dan minim akses, membeli VCD/DVD bajakan karena ingin
cepat-cepat menonton filmnya. Dan pada kenyataanya, golongan “sensitif
harga” atau “tak punya waktu ke bioskop” ini jumlahnya lebih banyak .
 VCD/DVD bajakan adalah “nyawa” bagi pedagang kakilima (beberapa
diantaranya pedangang besar dengan gerai khusus, seperti di Glodok yang
merupakan sentra pembajakan terbesar di Indonesia). Menjual VCD/DVD
bajakan bagi mereka adalah satu-satunya usaha yang dianggap mampu
menyambung hidup sehari-hari, termasuk untuk anak- istri. Sehingga
bagaimanapun pihak kepolisian yang masih melestarikan “budaya
kekeluargaan” juga mempunyai pertimbangan lain untuk menggelar razia setiap
hari.
 Produsen VCD/DVD bajakan akan melakukan eksploitasi dan komersialisasi
HAKI apabila biaya produksi marjinal untuk produk-produk film yang
bermuatan HAKI jauh lebih kecil dari harga jual. Kompetisi usaha yang tidak
sehat dan adanya permintaan dan daya beli yang tinggi, merupakan pendorong
utama dilakukannya eksploitasi dan komersialisasi HAKI.

Tak peduli film asing atau buatan dalam negeri, film tersebut sukses atau tidak,
bukan menjadi pertimbangan utama. Semuanya dibajak untuk kemudian dijual secara

6
bebas atau disewakan di rental-rental. Hasil bajakan film nasional biasanya segera
muncul beberapa hari setelah tayangan perdananya diputar di bioskop. Untuk film impor,
rata-rata sudah beredar satu bulan sebelum film aslinya diputar di bioskop. Di Jakarta
saja, menurut penelusuran Kompas,saat ini diperkirakan setiap hari beredar sekitar
1.000.000 keping VCD/DVD bajakan, atau 30 juta sebulan! Sebuah angka yang fantastis.

Meskipun produk-produk asli yang dicuri atau ditiru tersebut kebanyakan hasil
karya atau kekayaan intelektual orang asing, namun tindakan pembajakan tersebut dapat
melemahkan motivasi individu dan komunitas bisnis dalam negeri untuk melakukan
kegitan produksi dan investasi di bidang perfilman.

Ironisnya, bukan hanya film mancanegara yang dibajak, sejak lama film lokal pun
mengalami nasib sama. VCD bajakan Ada Apa dengan Cinta? misalnya tergolong sangat
laris manis dan menjadi legenda di pasar gelap negeri ini. Menurut data dari ASIREVI,
dua minggu setelah film ini dirilis ke pasaran, tepatnya mulai 21 Februari sampai 6
Maret, jumlah VCD/DVD yang berhasil digandakan oleh pembajak dalam satu hari bisa
mencapai 200.000 keping VCD/DVD ilegal (Kompas, 2 April 2002 ).

Semua kasus pelanggaran HAKI di bidang film yang terjadi di tanah air nyaris
“kebal” terhadap sentuhan hukum. Gejala ini tentu menimbulkan pertanyaan mendasar.
Apakah betul-betul sistem hukum di negara kita sangat buruk sehingga seseorang atau
sekelompok orang dapat dengan sesuka hatinya mengambil karya orang lain dan
menyebarkan seluas-luasnya tanpa ada aturan, teguran, peringatan, bahkan hukuman?
Atau bisa jadi itulah gambaran kondisi mental masyarakat yang tidak memiliki kesadaran
akan arti pentingya HAKI di bidang film?

Dalam perspektif manajemen media, pembajakan film lewat VCD/DVD


melibatkan banyak aspek. Mulai aspek produksi, distribusi, hingga konsumsi film. Proses
pembajakan menciptakan “jaring-jaring kehidupan” antara produsen, distributor, dan
konsumen. Tindakan pembajak senantiasa bermotif ekonomi. Sayangnya, hubungan
simbiosis tersebut tercipta dalam ranah ilegalitas, baik dari segi etis maupun yuridis.

Pembajakan dilihat dari aspek produksi misalnya, menyangkut teknis


penggandaan VCD/DVD dengan sarana material berupa alat-alat produksi hasil temuan
teknologi masa kini. Juga konteks sosial dan politik yang berperan di dalamnya. Law
enforcement serta regulasi produksi film yang ada aat ini belum atau bahkan tidak
maksimal sama sekali sehingga tindakan pembajakan seolah tidak pernah tersentuh oleh
peraturan normatif, dalam hal ini sanksi hukum.

Aspek distribusi misalnya, menyangkut bagaimana produsen berhubungan dengan


distributor untuk mengedarkan VCD/DVD bajakannya hingga sampai ke tangan
konsumen. Setidaknya meliputi negosiasi antara Produser-Distributor menyangkut
banyak hal seperti penentuan wilayah edar, jangka waktu edar, pola pemasaran,

7
karakteristik audiens yang dituju, hak eksplotasi dan sebagainya. Aspek pemasaran juga
melibatkan jaringan bisnis yang dibangun oleh pemasok kepada pengecer VCD/DVD
bajakan dari pusat hingga sampai ke pengecer di pinggir-pinggir jalan.

Aspek konsumsi film misalnya, menyangkut bagaimana konsumen bisa


menikmati VCD/DVD bajakan dilihat dari segi kepuasan, atau berapa banyak mereka
biasanya menghabisakan uang untuk membeli VCD/DVD ilegal tersebut. Dari gejala ini
sini muncul pola yang bisa dilihat antara lain; banyaknya niat orang yang ingin
membajak film berarti paralel dengan sifat penasaran banyak orang yang ingin melihat
film. Produsen juga mampu menciptakan permintaan pasar melalui pembentukan otoritas
yang seimbang antara produsen dengan konsumen. Otoritas ini menimbulkan mekanisme
pasar yang seimbang pula dengan ketersediaan banyak variasi dan ragam VCD/DVD
bajakan. Baik dari berbagai genre film, seperti kategorisasi VCD/DVD bajakan untuk
film anak, film seri, film box office, bahkan film seks sekalipun.

Tentunya bahasan akan menjadi semakin luas jika menyangkut elemen-elemen


lain dari perspektif filmologi. Tetapi dalam menganalisis pelanggaaran HAKI di bidang
film ini, tulisan ini tidak akan mengelaborasi semua aspek mikro secara mendalam
berdasarkan data empiris. Karena dalam analisis makro, masing-masing aspek akan
secara otomatis bersinggungan.

Barangkali sebelum bahasan dalam tulisan ini menjadi lebih jauh, penting
disepakati bersama arti verbal atas kegiatan pembajakan kreativitas yang dimaksud. Asal
kata “pembajakan” adalah “bajak”. Arti gramatikal “bajak” berubah makna setelah
mendapat awalan pe- dan akhiran -an, yaitu proses membajak. Membajak sendiri
memiliki arti alternatif; mengambil hasil ciptaan orang lain tanpa sepengetahuan atau
seizinnya.

Dari uraian gramatikal tersebut ada beberapa tindakan yang kontraproduktif,


yaitu; tidak jujur, curang, tidak sah, mencuri, menipu dan manipulasi. Dengan melihat
arti verbal dan kandungan moralitas dari sederet kata-kata sandang di atas, penegasannya
harus diikuti oleh peraturan hukum formal yang verbal pula. Untuk itulah analisis kasus
pembajakan sangat terkait dengan aspek hukum.

Jika didefinisikan secara operasioanl, HAKI adalah hak atas kekayaan yang
muncul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia. Penemuan atau karya itu
lahir atau dihasilkan oleh manusia melalui kemampuan intelektualnya, yaitu berupa daya,
cipta, rasa, dan karsa di bidang ilmu pengetahuan,seni, sastra maupun teknologi (Umar
dalam Saudi, 2001: 117) .

Pun demikian halnya HAKI di bidang film, hak itu lahir atau dihasilkan oleh
manusia melalui kemampuan intelektualnya yang berupa daya, cipta, rasa, dan karsa
dalam kaitannya dengan produk film (dari konsep hingga bentuk jadi), yang di dalamnya

8
mengandung unsur-unsur yang harus dihormati oleh orang lain. Tidak semata-mata hak
intelektual, tetapi menyangkut juga hak ekonomi yang meliputi hak cipta, hak paten, hak
merk dan sebagainmya.

Di Indonesia, sumber utama hukum HAKI adalah Undang-undang Nomor 6 tahun


1987, kemudian diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987. Yang
terakhir adalah Undang-ndang Nomor 12 Tahun 1997, yang diundangkan pada tanggal 7
Mei 1997. Sebenarnya Indonesia sudah memiliki undang-undang perfilman, yaitu
Undang-undang No. 8 tahun 1992 dan , namun seiring perkembangan kebutuhan dan
tuntutan penyelesaian permasalahan di lapangan, undang-undang tersebut terbukti tidak
mampu memberi jawaban atas berbagai persoalan. Fungsi regulasi tidak banyak bisa
diandalkan dalam menghadapi kasus-kasus pelanggaran hak cipta, seperti penggandaan
DVD secara ilegal ini.

Selain itu, terdapat dua peraturan Pemerintah sebagai pedoman pelaksanaannya,


yaitu Peraturan pemerintah Nomor 14 tahun 1986 tentang Dewan Hak Cipta, yang telah
diperbarui dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Penerjemahan
dan/atau Perbanyakan Ciptaan untuk Kepentingan Pendidikan, Ilmu Pengetahuan,
Penelitian, dan pengembangan Penelitian yang pada dasarya mengatur operasionalisasi
ketentuan mengenai lisensi wajib di bidang hak cipta.

Sebagai konsep hukum, HAKI memberikan landasan pengaturan atas pengakuan,


penghargaan, dan perlindungan terhadap hak atas karya-karya yang dihasilkan dari
kemampuan intelektualitas manusia. Jika pelanggaran terhadap HAKI dilakukan, maka
secara hukum akan dikenai sanksi kurungan dan biaya. Hal ini sangat jelas terlihat dalam
UU HAKI baik yang lama maupun baru. Dalam pasal 44 Bab VI Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1987 Tentang hak Cipta misalnya, pelanggarannya
dikatagorikan sebagai tindak pidana. Para pelanggarnya dikenai sanksi hukum kurtungan
selama maksimal tujuh tahun dan membayar denda dari Rp. 15.000.000,00 hingga
Rp.100.000.000,00

Secara internasional, Indonesia juga telah menandatangai berlakunya kesepakatan


Trade Related Aspects of Intelectual Property Rights (TRIPS) dalam persetujuan Putaran
Uruguay di Marakesh, Maroko, tahun 1994 silam. Kemudian direalisasikan sejak 1
Januari 2000 lalu (Kompas, 3 Januari 2000). Namun dalam praktik sungguh ironis, saat
diberlakuannnya undang-undang internasional tersebut, Indonesia justru mendapat
corengan muka yang boleh dikatakan sangat memalukan. Apa pasal?

Political and Economic Risk Consultancy (PERC), sebuah lembaga konsulltan


yang bermarkas di Hongkong, melakukan survei melibatkan sejumlah ekspatriat yang
bertugas di sepuluh negara Asia. Hasilnya, dalam hal kualitas sistem HAKI, skor untuk
Indonesia adalah 9,82 (skor dimulai dari angka 0 berarti terbaik hingga 10 yang berarti

9
terburuk). Untuk jaminan perlindungan HAKI, Indonesia berada di urutan ke-9 yang
berarti sering terjadi pelanggaran. Posisi yang menempatkan negara kita hanya sedikit
lebih unggul dari Cina (Kompas, 9 Januari 2000).

Sebelumnya, menurut laporan tahunan Specila 301 yang dikeluarkan oleh kantor
perwakilan perdagangan AS (United States Trade Representative/USTR), Indonesia
merupakan satu-satunyua negara anggora ASEAN yang masuk dalam priority watch list
USTR untuk kasus-kasus pelanggaran HAKI. Pelanggran tersebut terutama disebabkan
tingginya pembajakan VCD/DVD sejak tahun 1998 (Kompas, 7 Juli 1999)

Mengenai status pengawasan tersebut, selengkapnya USTR membagi menjadi


tiga kategori, yaitu watch list (daftar negara yang dipantau), priority watch list (daftar
negara yang diprioritaskan untuk diawasi), dan priority foreign country (negara yang
gerbukti bersalah sehingga perlu diberi sanksi perdagangan).

Dengan masuknya Indonesia ke dalam status priority watch list, berarti secara
empiris garfik pelanggran HAKI di Indonesia semakin meningkat. Sebelumnya Indonesia
masih termasuk dalam status watchlist (walaupun sejak tahun 1988 hal ini sudah terjadi
berkali-kali).

Banyak pengamat film memprediksi, seiring munculnya VCD/DVD bajakan


yang semakin marak dan tidak diambil langkah tegas oleh para penegak hukum, maka
tidak tertutup kemungkinan status Indonesia akan meningkat menjadi priority foreign
country.

Jika bangsa Indonesia berkomitmen untuk menerapkan sistem perlindungn HAKI


di bidang perfilman secara konsekuen, secara makro hal ini akan memberikan
keuntungan bagi pertumbuhan ekonomi nasional, terutama dari hasil produksi film dalam
negeri. Hasil positif itu antara lain:

 Meningkatkan kinerja dalam menghasilkan karya yang lebih inovatif


(empowermnet)
 Meningkatkan daya saing (competition)
 Meningkatkan pendapatan (income)
 Meningkatkan investasi (investation)

10
Lemahnya Sanksi Hukum

Lepas dari persoalan kultur dan mental, sebenarnya banyak kendala yang
melingkupi ruwetnya sistem hak cipta di Indonesia. Akar permasalahan bersumber dari
lemahnya infrastruktur yang ada, terutama sistem hukum yang nyaris tidak berjalan.
Celakanya, dalam upaya penyelesaian, kendala teknis selalu mengemuka bila
bersentuhan dengan kondisi riil bangsa yang mengalami krisis multidimensi.

Akibatnya, hampir semua keterpurukan selalu dikaitkan dengan dana yang


terbatas sehingga sulit menemukan titik temu bagaimana solusi terbaik yang seharusnya
dilakukan. Malah, bangsa kita gemar sekali mencari kambing hitam atas segala
permasalahan yang timbul, tanpa pernah mencoba dengan penuh legawa merefleksikan
kesalahan itu sebagai suatu bentuk introspeksi.

Demikian halnya dengan perlindungan terhadap hak cipta film. Ada kesan yang
seolah dibangun pemerintah bahwa penyelesaian persoalan politik jauh lebih penting dari
pada sekadar mengurusi “nasib” pembajakan. Daya beli masyarakat yang rendah akibat
krisis ekonomi juga menjadi alat justifikasi pembajakan. Mahalnya sebuah produk asli
seakan-akan mendorong masyarakat untuk berpikir “kreatif” bagaimana mendapatkan
barang yang sama dengan harga murah. Walhasil tindakan pembajakan dianggap sah.

Apalagi jika dilihat dari political will para politisi di DPR saat menerima keluhan
tentang banyaknya peredaran VCD/DVD bajakan beberapa waktu lalu. Dengan enteng
mereka menjawab bahwa kehadiran VCD/DVD bajakan telah menjadi hiburan yang
murah meriah bagi rakyat, sehingga untuk apa mengganggu kesenangan rakyat yang
sudah banyak menderita oleh banyaknya persoalan bangsa ini? Sebuah kredo yang
terdengar “manis”, tetapi sangat membahayakan bagi eksistensi kreativitas di negeri ini.

Dalam perkembangannya, pembajakan yang disupport oleh penguasa dan


dimotori oleh media dapat menciptakan budaya baru dalam masyarakat yang lazim
disebut sebagai budaya massa. Bauman (1972) mengatakan bahwa budaya massa adalah
konsekuensi yang tidak dapat ditolak dari munculnya pasar, tersedianya teknologi, dan
dominasi organisasi besar .

Parahnya, situasi ini didukung oleh pertimbangan ekonomis masyarakat yang


berpedoman; “Selama masih bisa dihemat mengapa harus membeli yang mahal?”.

Perilaku konsumsi masyarakat terhadap media, khusunya film selain dipengaruhi


oleh selera juga tergantung daya beli. Terkait dengan asas tersebut muncullah istilah
purchasing power yang mempengaruhi konsumsi film. Artinya, sebelum membeli
VCD/DVD bajakan, konsumen dihadapkan pada tiga pilihan, yaitu membeli, menunda,
atau tidak membelinya. Pada level ini digambarkan bahwa keputusan membeli berada
dalam deret pilihan pembelian produk-produk yang lain, termasuk VCD/DVD orisinal.

11
Pilihan semacam ini mendorong produsen VCD/DVD bajakan menciptakan
barang produksinya semirip mungkin dan semurah mungkin, bahkan jika bisa dengan
kualitas yang sama. Akibatnya dengan pola pikir ekonomi, ditunjang dengan daya beli
yang cenderung rendah, masyarakat lebih memilih VCD/DVD bajakan.

Disinyalir, karena pertimbangan skala prioritas itulah konsumen kadang lupa


bahwa barang yang dibeli atau disewanya adalah barang ilegal dan proses penciptaannya
telah melanggar hukum.

Begitulah, berbagai persoalan kompleks menyebabkan HAKI di bidang film


masih belum bisa dimengerti secara penuh di Indonesia. Tak heran jika VCD/DVD
bajakan masih sangat umum dan wajar di negara kita. Padahal dilihat dari sisi objektif,
pembajakan yang membudaya pada hakikatnya sangat menghambat perkembangan
kemajuan karya perfilman di tanah air.

Kerugian material akibat pembajakan film juga tidak main-main hingga mencapai
trilyunan rupiah. Belum lagi dengan adanya pembajakan tersebut telah menghambat
penerimaan negara melalui pajak dan investasi industri. Selain itu, pemabjakan
mendorong pengebirian kretivitas karena royalti yang seharusnya diterima para pembuat
film, raib entah ke mana.

Munculnya fenomena VCD/DVD bajakan tidak datang begitu saja bila tidak
dibarengi harga VCD/DVD Player yang juga semakin murah. Berbagai merek DVD
Player ditawarkan dengan harga mulai sekitar Rp 175.000 hingga jutaan rupiah. Bahkan
kadangkala pembayarannya pun bisa dicicil. Selain itu, usaha persewaan VCD/DVD
bajakan dan player pun mudah dijumpai di berbagai tempat, baik di kota besar maupun di
kota-kota kecil. Untuk menyewa VCD/DVD bajakan hanya membutuhkan biaya Rp
1.000 – Rp 3.000 perkeping judulnya.

Dilihat dari kacamata hukum HAKI, harga VCD/DVD bajakan bisa jauh lebih
murah karena konsumen tak perlu membayar royalti, berbagai pajak serta biaya
operasional lainnya. Produsen juga tak perlu berpromosi untuk melariskan barang
dagangannya.

Dalam konteks maraknya kasus pelanggaran HAKI, dapat dinilai bahwa perilaku
masayarakat kita sunguh membingungkan. Dulu, di tahun 1951, Indonesia menyatakan
keluar dari Benre Convention (sebuah konvensi tentang hak cipta) yang bertuuan agar
dapat melakukan “penjiplakan” besar-besaran dalam upayanya melakukan alih teknologi.
Ternyata peluang tersebut tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya, padahal saat itu sangat
memungkinkan, bahkan ditolerir untuk melakukan peniruan dan penjiplakan.

12
Negara-negara lain seperti Jepang dan Jerman memanfaatkan peluang tersebut
secara maksimal. Dan hasilnya, mereka sekarang menjadi sangat maju dalam menguasai
teknologi.

Selanjutnya Bagaimana?

Evaluasi tentang berhasil tidaknya Indonesia dalam perlindungan HAKI di bidang


film akan terus menjadi dialektika yang tidak usang, bukan hanya dalam pencarian
jawaban “berhasil” atau “tidak” mengadili pembajak DVD dan menjebloskan ke penjara,
tetapi berhasilnya perlindungan HAKI di bidang film di Indonesia pada konteks saat ini
sebenarnya lebih pada upaya yang terus menerus untuk mencegah terjadinya pelanggaran
HAKI lebih banyak lagi. Dengan kata lain, pembajakan atas hak kekayaan intelektual
perlu dihentikan.

Persoalan HAKI di bidang film ini sangat penting untuk dijadikan perhatian
mengingat hingga detik ini, masyarakat Indonesia belum memiliki kesadaran akan
pentingnya penghormatan atas hak atas karya intelektual orang lain sebagai konsekuensi
etis maupun yuridis. Salah satunya dapat dilihat dari carut marutnya perlakuan bangsa
kita terhadap hak cipta perfilman. Mulai dari pembajakan kelas teri alias contek-
menyontek ide hingga pembajakan kelas kakap yang sangat merugikan negara.

Karenanya, sistem hukum HAKI kita harus mampu menciptakan iklim yang
kondusif bagi eksploitasi dan komersialisasi karya-karya intelektual yang bermuatan
HAKI. Sistem HAKI di bidang film misalnya, harus mampu menekan serendah mungkin
biaya-biaya hukum (legal cost) dalam pengurusan pendaftaran dan pengalihan HAKI
maupun biaya-biya kontrak (transaction) yang berkaitan dengan lisensi (licensing), usaha
patungan (joint venture), maupun waralaba (franchaising). Prosedur impor dan hak edar
film asing misalnya harus cepat, murah, dan tidak koruptif.

13
Contoh Kasus

Pembajakan Kaset Marak, Puluhan Artis Berunjuk Rasa

Liputan6.com, Jakarta: Puluhan artis yang tergabung dalam Solidaritas Antarseniman


Indonesia, Senin (9/9), menggelar unjuk rasa di depan Markas Besar Polri Jakarta. Para
demonstran mendesak Kepala Polri Jenderal Polisi Da`i Bachtiar segera menindak para
pembajak kaset yang dianggap telah merugikan negara hingga miliaran rupiah. 

Aksi di antaranya diikuti Raja Dangdut Rhoma Irama, Rama Aiphama, dan pentolan grup Dewa
Ahmad Dani. Dalam orasinya, mereka menilai Polri tak konsisten memberantas pembajakan
kaset. Selain itu, mereka juga menanyakan sejumlah kasus pembajakan yang tak pernah sampai
ke pengadilan. Jika aspirasi ini tidak ditanggapi, para demonstran mengancam akan menggelar
aksi serupa dengan massa lebih besar.(ICH/Solikun dan Agung Nugroho)

14
Dasar Hukum Mengenai Pembajakan VCD/DVD Bajakan

 Pasal 113
o Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi
sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan secara
komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
o Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak
cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam
pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk penggunaan secara
komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
o Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang
Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan
Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
o Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang
dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat
miliar rupiah).
 Pasal 114
o Setiap orang yang mengelola tempat perdagangan dalam segala bentuknya yang
dengan sengaja dan mengetahui membiarkan penjualan dan/atau penggandaan
barang hasil pelanggaran hak cipta dan/atau hak terkait di tempat perdagangan yang
dikelolanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dipidana dengan pidana denda
paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Solusi Untuk Masalah Pembajakan VCD/DVD Bajakan

 Kesadaran masyarakat agar melindungi hak cipta seseorang.


 Penyuluhan dari pemerintah yang diperketat.

15
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Pembajakan VCD/DVD yang semakin marak memiliki sebab yang banyak, salah
satunya karena ekonomi yang terbatas dan harga original yang terlampau jauh.
Maka dari itu, hal tersebut perlu disikapi kita dengan bijak, salah satunya dengan
cara melindungi hak cipta seseorang dan menghindari tindakan pembajakan tersebut.
Tidak hanya kita sebagai masyarakat Indonesia, pemerintah pun harus ikut turun tangan
dalam mempertegas undang-undang dan hukum yang ada.

16

Anda mungkin juga menyukai