Segala puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT serta shalawat dan salam kami
sampaikan hanya bagi tokoh dan teladan kita Nabi Muhammad SAW. Diantara sekian banyak
nikmat Allah SWT yang membawa kita dari kegelapan ke dimensi terang yang memberi hikmah
dan yang paling bermanfaat bagi seluruh umat manusia, sehingga oleh karenanya kami dapat
menyelesaikan tugas Ppkn ini dengan baik.
Adapun maksud dan tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi salah
satu tugas yang diberikan oleh guru pada mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan (PPKN).
Keberhasilan dalam penyusunan proposal tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk
itu tak lupa penyusun mengucapkan terima kasih kepada :
Tim Penulis
2
DAFTAR ISI
SAMPUL...............….......…………………………….…………………………………..1
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………….2
DAFTAR ISI…………….………………….....…………………………………………..3
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang…………………………………………………................……….4
B. Rumusan Masalah………………………….……………………............….......…5
C. Tujuan……………………………………….…………………….....…....………5
BAB II. PEMBAHASAN………………………..……………………………….........….6
A. Penyebab……………………………………………………………......................6
B. Contoh Kasus……..….………………………………………………….........….14
C. Dasar Hukum..……..…………………………………………………….......…..15
D. Solusi………………………………………………………………………....….15
BAB III. PENUTUP…………………….…………………………………………….…16
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Intellectual Property Right atau Geistiges Eigentum (bahasa Jerman) dapat
diterjemahan kedalam bahasa Indonesia yaitu Hak Atas Kekayaan Intelektual atau sering
disingkat HAKI adalah hak yang diberikan kepada orang-orang atas hasil dari buah
pikiran mereka. Biasanya hak eksklusif tersebut diberikan atas penggunaan dari hasil
buah pikiran pencipta dalam kurun waktu tertentu. Buah pikiran tersebut dapat terwujud
dalam tulisan, kreasi artistik, simbol-simbol, penamaan, citra, dan desain yang digunakan
dalam kegiatan komersil. Salah satu produk HAKI yaitu Hak Cipta. Adapun pengertian
dari Hak Cipta, yaitu hak khusus bagi pencipta untuk mengumumkan atau
memperbanyak ciptaannya.
Mungkin banyak diantara kita yang tidak sadar bahwa yang kita lakukan dalam
kegiatan sehari – hari telah melanggar hak cipta orang lain. Tidak lain dari pelanggaran
tersebut adalah kegiatan membajak. Kegiatan bajak – membajak telah diterima dan
menjadi suatu kegiatan yang dianggap halal oleh masyarakat kita. Praktek pembajakan
hak cipta di Indonesia dari tahun ke tahun cenderung meningkat drastis dan sudah sangat
memprihatinkan. Salah satu fakta yang ada di lapangan misalnya terjadi pada industri
musik. Menurut catatan Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI), pembajakan
industri musik di Indonesia menunjukkan angka yang paling signifikan. Pihak yang
paling dirugikan yaitu datang dari pihak musisi atau pencipta lagu yang hasil karyanya
dibajak. Usaha mereka dalam mencari inspirasi lagu serta pengeluaran biaya yang tidak
sedikit dalam proses produksi ternyata tidak dihargai dan dilindungi oleh negara. Hasil
karya cipta mereka dengan mudahnya dibajak dan disebarluaskan oleh orang lain untuk
kepentingan pribadi mereka. Tidak sedikit dari para artis atau musisi yang hasil karyanya
diminati oleh masyarakat ternyata tidak dapat melanjutkan karirnya karena produk
mereka yang dijual secara resmi di pasaran dianggap tidak laku.
Pihak yang paling berpengaruh dalam pembajakan adalah pihak yang mngedarkan.
Banyaknya VCD/DVD palsu di pasaran memancing masyarakat untuk membelinya
dengan harga yang lebih terjangkau. Harga satu kepingnya yaitu berkisar antara Rp
5.000,00 – Rp 6.000,00. Apabila dibandingkan dengan harga aslinya, maka akan berlipat
10x menjadi Rp 50.000,00. Inilah yang menjadi alasan mengapa masyarakat lebih
memilih untuk membeli VCD/DVD bajakan. Karena lebih murah, maka mereka
mengabaikan akan pelanggaran hak cipta yang telah mereka lakukan.
Secara yuridis, pemerintah pun telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 19
tahun 2002 tentang Hak Cipta. Undang-Undang Nomor 19 tahun 2002 yang merupakan
penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 12 tahun 1997 tentang Hak Cipta. Namun,
apakah Undang – Undang ini telah mampu menyalurkan efek jera kepada pelaku
pengedar VCD/DVD bajakan ? Sepertinya masih banyak pelaku di luar sana yang belum
merasakan efek jera dari perbuatannya, serta kesadaran akan mereka tentang pelanggaran
4
yang dilakukan pun kurang dipedulikan. Dalam hal ini, Undang – Undang tentang Hak
Cipta belum mampu mengendalikan maraknya pembajakan VCD/DVD di pasaran.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, terdapat
beberapa rumusan masalah dalam pembuatan makalah ini, diantaranya yaitu :
1. Apakah pengertian daripada Hak Cipta itu sendiri dan apa hubungannya dengan
Hak Cipta karya ?
2. Faktor – faktor apa saja yang mempengaruhi maraknya pembajakan
VCD/DVD ?
3. Bagaimana dampak dari pembajakan VCD/DVD ?
4. Bagaimana perlindungan hukum tentang pembajakan VCD/DVD di Indonesia ?
5. Bagaimana penegakkan hukum terhadap pelanggaran Hak Cipta berupa
pembajakan VCD/DVD di Indonesia berdasarkan Undang – Undang Nomor 19
Tahun 2002 ?
C. Tujuan
Adapun tujuan dasar daripada penulisan makalah tentang tindak pidana ini, yaitu
sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui definisi daripada Hak Cipta
2. Untuk mengetahui faktor – faktor yang mempengaruhi maraknya pembajakan
VCD/DVD.
3. Untuk mengetahui dampak pembajakan pajak bagi pemerintah, penjual, maupun
konsumen.
4. Untuk mengetahui perlindungan hukum atas pembajakan VCD/DVD di
Indonesia.
5. Untuk mengetahui penegakkan hukum terhadap pelanggaran Hak Cipta dalam
bentuk VCD/DVD.
5
BAB II
PEMBAHASAN
Tak peduli film asing atau buatan dalam negeri, film tersebut sukses atau tidak,
bukan menjadi pertimbangan utama. Semuanya dibajak untuk kemudian dijual secara
6
bebas atau disewakan di rental-rental. Hasil bajakan film nasional biasanya segera
muncul beberapa hari setelah tayangan perdananya diputar di bioskop. Untuk film impor,
rata-rata sudah beredar satu bulan sebelum film aslinya diputar di bioskop. Di Jakarta
saja, menurut penelusuran Kompas,saat ini diperkirakan setiap hari beredar sekitar
1.000.000 keping VCD/DVD bajakan, atau 30 juta sebulan! Sebuah angka yang fantastis.
Meskipun produk-produk asli yang dicuri atau ditiru tersebut kebanyakan hasil
karya atau kekayaan intelektual orang asing, namun tindakan pembajakan tersebut dapat
melemahkan motivasi individu dan komunitas bisnis dalam negeri untuk melakukan
kegitan produksi dan investasi di bidang perfilman.
Ironisnya, bukan hanya film mancanegara yang dibajak, sejak lama film lokal pun
mengalami nasib sama. VCD bajakan Ada Apa dengan Cinta? misalnya tergolong sangat
laris manis dan menjadi legenda di pasar gelap negeri ini. Menurut data dari ASIREVI,
dua minggu setelah film ini dirilis ke pasaran, tepatnya mulai 21 Februari sampai 6
Maret, jumlah VCD/DVD yang berhasil digandakan oleh pembajak dalam satu hari bisa
mencapai 200.000 keping VCD/DVD ilegal (Kompas, 2 April 2002 ).
Semua kasus pelanggaran HAKI di bidang film yang terjadi di tanah air nyaris
“kebal” terhadap sentuhan hukum. Gejala ini tentu menimbulkan pertanyaan mendasar.
Apakah betul-betul sistem hukum di negara kita sangat buruk sehingga seseorang atau
sekelompok orang dapat dengan sesuka hatinya mengambil karya orang lain dan
menyebarkan seluas-luasnya tanpa ada aturan, teguran, peringatan, bahkan hukuman?
Atau bisa jadi itulah gambaran kondisi mental masyarakat yang tidak memiliki kesadaran
akan arti pentingya HAKI di bidang film?
7
karakteristik audiens yang dituju, hak eksplotasi dan sebagainya. Aspek pemasaran juga
melibatkan jaringan bisnis yang dibangun oleh pemasok kepada pengecer VCD/DVD
bajakan dari pusat hingga sampai ke pengecer di pinggir-pinggir jalan.
Barangkali sebelum bahasan dalam tulisan ini menjadi lebih jauh, penting
disepakati bersama arti verbal atas kegiatan pembajakan kreativitas yang dimaksud. Asal
kata “pembajakan” adalah “bajak”. Arti gramatikal “bajak” berubah makna setelah
mendapat awalan pe- dan akhiran -an, yaitu proses membajak. Membajak sendiri
memiliki arti alternatif; mengambil hasil ciptaan orang lain tanpa sepengetahuan atau
seizinnya.
Jika didefinisikan secara operasioanl, HAKI adalah hak atas kekayaan yang
muncul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia. Penemuan atau karya itu
lahir atau dihasilkan oleh manusia melalui kemampuan intelektualnya, yaitu berupa daya,
cipta, rasa, dan karsa di bidang ilmu pengetahuan,seni, sastra maupun teknologi (Umar
dalam Saudi, 2001: 117) .
Pun demikian halnya HAKI di bidang film, hak itu lahir atau dihasilkan oleh
manusia melalui kemampuan intelektualnya yang berupa daya, cipta, rasa, dan karsa
dalam kaitannya dengan produk film (dari konsep hingga bentuk jadi), yang di dalamnya
8
mengandung unsur-unsur yang harus dihormati oleh orang lain. Tidak semata-mata hak
intelektual, tetapi menyangkut juga hak ekonomi yang meliputi hak cipta, hak paten, hak
merk dan sebagainmya.
9
terburuk). Untuk jaminan perlindungan HAKI, Indonesia berada di urutan ke-9 yang
berarti sering terjadi pelanggaran. Posisi yang menempatkan negara kita hanya sedikit
lebih unggul dari Cina (Kompas, 9 Januari 2000).
Sebelumnya, menurut laporan tahunan Specila 301 yang dikeluarkan oleh kantor
perwakilan perdagangan AS (United States Trade Representative/USTR), Indonesia
merupakan satu-satunyua negara anggora ASEAN yang masuk dalam priority watch list
USTR untuk kasus-kasus pelanggaran HAKI. Pelanggran tersebut terutama disebabkan
tingginya pembajakan VCD/DVD sejak tahun 1998 (Kompas, 7 Juli 1999)
Dengan masuknya Indonesia ke dalam status priority watch list, berarti secara
empiris garfik pelanggran HAKI di Indonesia semakin meningkat. Sebelumnya Indonesia
masih termasuk dalam status watchlist (walaupun sejak tahun 1988 hal ini sudah terjadi
berkali-kali).
10
Lemahnya Sanksi Hukum
Lepas dari persoalan kultur dan mental, sebenarnya banyak kendala yang
melingkupi ruwetnya sistem hak cipta di Indonesia. Akar permasalahan bersumber dari
lemahnya infrastruktur yang ada, terutama sistem hukum yang nyaris tidak berjalan.
Celakanya, dalam upaya penyelesaian, kendala teknis selalu mengemuka bila
bersentuhan dengan kondisi riil bangsa yang mengalami krisis multidimensi.
Demikian halnya dengan perlindungan terhadap hak cipta film. Ada kesan yang
seolah dibangun pemerintah bahwa penyelesaian persoalan politik jauh lebih penting dari
pada sekadar mengurusi “nasib” pembajakan. Daya beli masyarakat yang rendah akibat
krisis ekonomi juga menjadi alat justifikasi pembajakan. Mahalnya sebuah produk asli
seakan-akan mendorong masyarakat untuk berpikir “kreatif” bagaimana mendapatkan
barang yang sama dengan harga murah. Walhasil tindakan pembajakan dianggap sah.
Apalagi jika dilihat dari political will para politisi di DPR saat menerima keluhan
tentang banyaknya peredaran VCD/DVD bajakan beberapa waktu lalu. Dengan enteng
mereka menjawab bahwa kehadiran VCD/DVD bajakan telah menjadi hiburan yang
murah meriah bagi rakyat, sehingga untuk apa mengganggu kesenangan rakyat yang
sudah banyak menderita oleh banyaknya persoalan bangsa ini? Sebuah kredo yang
terdengar “manis”, tetapi sangat membahayakan bagi eksistensi kreativitas di negeri ini.
11
Pilihan semacam ini mendorong produsen VCD/DVD bajakan menciptakan
barang produksinya semirip mungkin dan semurah mungkin, bahkan jika bisa dengan
kualitas yang sama. Akibatnya dengan pola pikir ekonomi, ditunjang dengan daya beli
yang cenderung rendah, masyarakat lebih memilih VCD/DVD bajakan.
Kerugian material akibat pembajakan film juga tidak main-main hingga mencapai
trilyunan rupiah. Belum lagi dengan adanya pembajakan tersebut telah menghambat
penerimaan negara melalui pajak dan investasi industri. Selain itu, pemabjakan
mendorong pengebirian kretivitas karena royalti yang seharusnya diterima para pembuat
film, raib entah ke mana.
Munculnya fenomena VCD/DVD bajakan tidak datang begitu saja bila tidak
dibarengi harga VCD/DVD Player yang juga semakin murah. Berbagai merek DVD
Player ditawarkan dengan harga mulai sekitar Rp 175.000 hingga jutaan rupiah. Bahkan
kadangkala pembayarannya pun bisa dicicil. Selain itu, usaha persewaan VCD/DVD
bajakan dan player pun mudah dijumpai di berbagai tempat, baik di kota besar maupun di
kota-kota kecil. Untuk menyewa VCD/DVD bajakan hanya membutuhkan biaya Rp
1.000 – Rp 3.000 perkeping judulnya.
Dilihat dari kacamata hukum HAKI, harga VCD/DVD bajakan bisa jauh lebih
murah karena konsumen tak perlu membayar royalti, berbagai pajak serta biaya
operasional lainnya. Produsen juga tak perlu berpromosi untuk melariskan barang
dagangannya.
Dalam konteks maraknya kasus pelanggaran HAKI, dapat dinilai bahwa perilaku
masayarakat kita sunguh membingungkan. Dulu, di tahun 1951, Indonesia menyatakan
keluar dari Benre Convention (sebuah konvensi tentang hak cipta) yang bertuuan agar
dapat melakukan “penjiplakan” besar-besaran dalam upayanya melakukan alih teknologi.
Ternyata peluang tersebut tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya, padahal saat itu sangat
memungkinkan, bahkan ditolerir untuk melakukan peniruan dan penjiplakan.
12
Negara-negara lain seperti Jepang dan Jerman memanfaatkan peluang tersebut
secara maksimal. Dan hasilnya, mereka sekarang menjadi sangat maju dalam menguasai
teknologi.
Selanjutnya Bagaimana?
Persoalan HAKI di bidang film ini sangat penting untuk dijadikan perhatian
mengingat hingga detik ini, masyarakat Indonesia belum memiliki kesadaran akan
pentingnya penghormatan atas hak atas karya intelektual orang lain sebagai konsekuensi
etis maupun yuridis. Salah satunya dapat dilihat dari carut marutnya perlakuan bangsa
kita terhadap hak cipta perfilman. Mulai dari pembajakan kelas teri alias contek-
menyontek ide hingga pembajakan kelas kakap yang sangat merugikan negara.
Karenanya, sistem hukum HAKI kita harus mampu menciptakan iklim yang
kondusif bagi eksploitasi dan komersialisasi karya-karya intelektual yang bermuatan
HAKI. Sistem HAKI di bidang film misalnya, harus mampu menekan serendah mungkin
biaya-biaya hukum (legal cost) dalam pengurusan pendaftaran dan pengalihan HAKI
maupun biaya-biya kontrak (transaction) yang berkaitan dengan lisensi (licensing), usaha
patungan (joint venture), maupun waralaba (franchaising). Prosedur impor dan hak edar
film asing misalnya harus cepat, murah, dan tidak koruptif.
13
Contoh Kasus
Aksi di antaranya diikuti Raja Dangdut Rhoma Irama, Rama Aiphama, dan pentolan grup Dewa
Ahmad Dani. Dalam orasinya, mereka menilai Polri tak konsisten memberantas pembajakan
kaset. Selain itu, mereka juga menanyakan sejumlah kasus pembajakan yang tak pernah sampai
ke pengadilan. Jika aspirasi ini tidak ditanggapi, para demonstran mengancam akan menggelar
aksi serupa dengan massa lebih besar.(ICH/Solikun dan Agung Nugroho)
14
Dasar Hukum Mengenai Pembajakan VCD/DVD Bajakan
Pasal 113
o Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi
sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan secara
komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
o Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak
cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam
pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk penggunaan secara
komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
o Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang
Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan
Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
o Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang
dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat
miliar rupiah).
Pasal 114
o Setiap orang yang mengelola tempat perdagangan dalam segala bentuknya yang
dengan sengaja dan mengetahui membiarkan penjualan dan/atau penggandaan
barang hasil pelanggaran hak cipta dan/atau hak terkait di tempat perdagangan yang
dikelolanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dipidana dengan pidana denda
paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
15
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pembajakan VCD/DVD yang semakin marak memiliki sebab yang banyak, salah
satunya karena ekonomi yang terbatas dan harga original yang terlampau jauh.
Maka dari itu, hal tersebut perlu disikapi kita dengan bijak, salah satunya dengan
cara melindungi hak cipta seseorang dan menghindari tindakan pembajakan tersebut.
Tidak hanya kita sebagai masyarakat Indonesia, pemerintah pun harus ikut turun tangan
dalam mempertegas undang-undang dan hukum yang ada.
16