Anda di halaman 1dari 17

Tugas Kewarganegaraan

Masalah Peredaran VCD/DVD yang Melanggar


Hak Cipta

Kelompok 1:
 Alief Arrachman
 Amia Julia Sari
 Greaces Hanania
 Pajar Dwi Anggara
Kata Pengantar

Segala puji dan syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Atas
perlindungan dan kasih karunia yang paling bermanfaat bagi seluruh umat
manusia, sehingga oleh karenanya kami dapat menyelesaikan tugas KWn ini
dengan baik. Adapun maksud dan tujuan dari pembuatan makalah ini adalah
untuk memenuhi salah satu tugas yang diberikan oleh guru pada mata pelajaran
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (KWn).Keberhasilan dalam
penyusunan proposal tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu tak lupa
kami mengucapkan terim,a kasih kepada :

1. Ibu Meibekti selaku pembimbing mata pelajaran KWn kelas 12 Mipa 1


2. Teman-teman kelompok 1 yang telah menyusun dan mengumpulkan materi
yang diperlukan

Berbagai pihak yang telah memberikan bantuan, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Kami menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu segala saran dan kritik yang membangun dari semua pihak
sangat kami harapkan demi perbaikan pada tugas selanjutnya. Harapan kami
semoga tugas ini bermanfaat khususnya bagi kami dan bagi pembaca.

Muara Bungo, 30 Agustus 2022

Tim Penulis
DAFTAR ISI
COVER DEPAN….......................................
…………………………………………………..1
KATA
PENGANTAR……………………………………………………………………
.2
DAFTAR ISI…………….………………….....
…………………………………………..3
BAB I. PENDAHULUAN.
A. LATAR BELAKANG…………………………………………………....
……….4
B. RUMUSAN MASALAH………………………….
……………………….......…5
C. TUJUAN…………………………………………………………….....
…………5
BAB II.
PEMBAHASAN………………………………………………………………….
........….6
A. PENYEBAB…………………………………………………………….....
...........6B.
B. CONTOH KASUS……..….
…………………………………………………….14C.
C. DASAR HUKUM..……..
………………………………………………………..15
BAB III.
PENUTUP………………………………………………………………………
…….…16
BAB I
PENDAHULUAN
– Latar Belakang
Intellectual Property Right atau Geistiges Eigentum (bahasa Jerman) dapat
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yaitu Hak Atas Kekayaan Intelektual
atau sering disingkat HAKI adalah hak yang diberikan kepada orang-orang atas
hasil dari buah pikiran mereka. Biasanya hak eksklusif tersebut diberikan atas
penggunaan dari hasil buah pikiran pencipta dalam kurun waktu tertentu. Buah
pikiran tersebut dapat terwujud dalam tulisan, kreasi artistik, simbol-simbol,
penamaan, citra, dan desain yang digunakan dalam kegiatan komersil. Salah
satu produk HAKI yaitu Hak Cipta. Adapun pengertian dari Hak Cipta, yaitu
hak khusus bagi pencipta untuk mengumumkan atau memperbanyak
ciptaannya.
Mungkin banyak diantara kita yang tidak sadar bahwa yang kita lakukan
dalam kegiatan sehari-hari telah melanggar hak cipta orang lain. Tidak lain dari
pelanggaran tersebut adalah kegiatan membajak. Kegiatan bajak-membajak
telah diterima dan menjadi suatu kegiatan yang dianggap halal oleh masyarakat
kita. Praktek pembajakan hak cipta di Indonesia dari tahun ke tahun cenderung
meningkat drastis dan sudah sangat memprihatinkan. Salah satu fakta yang ada
di lapangan misalnya terjadi pada industri musik. Menurut catatan Asosiasi
Industri Rekaman Indonesia (ASIRI), pembajakan industri musik di Indonesia
menunjukkan angka yang paling signifikan. Pihak yang paling dirugikan yaitu
datang dari pihak musisi atau pencipta lagu yang hasil karyanya dibajak. Usaha
mereka dalam mencari inspirasi lagu serta pengeluaran biaya yang tidak sedikit
dalam proses produksi ternyata tidak dihargai dan dilindungi oleh negara. Hasil
karya cipta mereka dengan mudahnya dibajak dan disebarluaskan oleh orang
lain untuk kepentingan pribadi mereka. Tidak sedikit dari para artis atau musisi
yang hasil karyanya diminati oleh masyarakat ternyata tidak dapat melanjutkan
karirnya karena produk mereka yang dijual secara resmi di pasaran dianggap
tidak laku.
Pihak yang paling berpengaruh dalam pembajakan adalah pihak yang
mngedarkan. Banyaknya VCD/DVD palsu di pasaran memancing masyarakat
untuk membelinya dengan harga yang lebih terjangkau. Harga satu kepingnya
yaitu berkisar antara Rp5.000,00-Rp 6.000,00. Apabila dibandingkan dengan
harga aslinya, maka akan berlipat10x menjadi Rp 50.000,00. Inilah yang
menjadi alasan mengapa masyarakat lebih memilih untuk membeli VCD/DVD
bajakan. Karena lebih murah, maka mereka mengabaikan akan pelanggaran hak
cipta yang telah mereka lakukan.
Secara yuridis, pemerintah pun telah mengeluarkan Undang-Undang
Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta. Undang-Undang Nomor 19 tahun
2002 yang merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 12 tahun
1997 tentang Hak Cipta. Namun, apakah Undang-Undang ini telah mampu
menyalurkan efek jera kepada pelaku pengedar VCD/DVD bajakan? Sepertinya
masih banyak pelaku di luar sana yang belum merasakan efek jera dari
perbuatannya, serta kesadaran akan mereka tentang pelanggaran yang dilakukan
pun kurang dipedulikan. Dalam hal ini, Undang –Undang tentang Hak Cipta
belum mampu mengendalikan maraknya pembajakan VCD/DVD di pasaran.
– Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, terdapat
beberapa rumusan masalah dalam pembuatan makalah ini, diantaranya yaitu:
1. Apakah pengertian daripada Hak Cipta itu sendiri dan apa hubungannya
dengan Hak Cipta karya?
2. Faktor–faktor apa saja yang mempengaruhi maraknya pembajakan
VCD/DVD?
3. Bagaimana dampak dari pembajakan VCD/DVD?
4. Bagaimana perlindungan hukum tentang pembajakan VCD/DVD di
Indonesia?
5. Bagaimana penegakkan hukum terhadap pelanggaran Hak Cipta berupa
pembajakan VCD/DVD di Indonesia berdasarkan Undang – Undang Nomor
19Tahun 2002?
– Tujuan
Adapun tujuan dasar daripada penulisan makalah tentang tindak pidana ini,
yaitu sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui definisi daripada Hak Cipta
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi maraknya pembajakan
VCD/DVD.
3. Untuk mengetahui dampak pembajakan pajak bagi pemerintah, penjual,
maupun konsumen.
4. Untuk mengetahui perlindungan hukum atas pembajakan VCD/DVD di
Indonesia.
5. Untuk mengetahui penegakkan hukum terhadap pelanggaran Hak Cipta
dalam bentuk VCD/DVD.
BAB 2
PEMBAHASAN
Mengapa VCD/DVD Bajakan Marak di Indonesia?
Perkembangan industri perfilman Indonesia memang unik. Bangkitnya film
nasional yang ditandai banyaknya jumlah produksi film lokal dan peningkatan
penjualan karcis bioskop, di satu sisi diwarnai proses pengeroposan besar-
besaran yang kontraproduktif bagi perkembangan kreativitas. Salah satu
masalah terbesar adalah maraknya pelanggaran hak cipta film, khususnya
pembajakan.
Namun, penggandaan VCD/DVD secara ilegal tidak dapat dipandang
sempit hanya dari satu sisi negatif. Ada beberapa dimensi permisif yang
menyebabkan “penghalalan” tindakan tersebut.
 pembajakan adalah bentuk “perlawanan rakyat”, khususnya lapisan
bawah terhadap harga VCD/DVD asli yang harganya terlampau mahal
sehingga melemahkan daya beli. masyarakat berpedoman: “selama masih
bisa dihemat mengapa harus membeli yang mahal?”.
 orang membeli VCD/DVD bajakan karena VCD/DVD orisinal biasanya
barukeluar beberapa bulan setelah filmnya diputar di bioskop. Bagi
masyarakat kalangan menengah ke atas di perkotaan, akses menonton
bioskop barangkali tak menjadi masalah. Namun sebagian masyarakat
golongan “tak sabaran” yang sensitif harga dan minim akses, membeli
VCD/DVD bajakan karena ingin cepat- cepat menonton filmnya. Dan
pada kenyataanya, golongan “sensitif harga” atau “tak punya waktu ke
bioskop” ini jumlahnya lebih banyak .
 VCD/DVD bajakan adalah “nyawa” bagi pedagang kaki lima (beberapa
diantaranya pedangang besar dengan gerai khusus, seperti di Glodok
yangmerupakan sentra pembajakan terbesar di Indonesia). Menjual
VCD/DVD bajakan bagi mereka adalah satu-satunya usaha yang
dianggap mampu menyambung hidup sehari-hari, termasuk untuk anak-
istri. Sehingga bagaimanapun pihak kepolisian yang masih melestarikan
“budaya kekeluargaan” juga mempunyai pertimbangan lain untuk
menggelar razia setiap hari.
 Produsen VCD/DVD bajakan akan melakukan eksploitasi dan
komersialisasi HAKI apabila biaya produksi marjinal untuk produk-
produk film yang bermuatan HAKI jauh lebih kecil dari harga jual.
Kompetisi usaha yang tidaksehat dan adanya permintaan dan daya beli
yang tinggi, merupakan pendorong utama dilakukannya eksploitasi dan
komersialisasi HAKI.
Tak peduli film asing atau buatan dalam negeri, film tersebut sukses atau
tidak, bukan menjadi pertimbangan utama. Semuanya dibajak untuk kemudian
dijual secara 7 bebas atau disewakan di rental-rental. Hasil bajakan film
nasional biasanya segera muncul beberapa hari setelah tayangan perdananya
diputar di bioskop. Untuk film impor,rata-rata sudah beredar satu bulan sebelum
film aslinya diputar di bioskop. Di Jakarta saja, menurut penelusuran
Kompas,saat ini diperkirakan setiap hari beredar sekitar1.000.000 keping
VCD/DVD bajakan, atau 30 juta sebulan! Sebuah angka yang fantastis.
Meskipun produk-produk asli yang dicuri atau ditiru tersebut kebanyakan
hasilkarya atau kekayaan intelektual orang asing, namun tindakan pembajakan
tersebut dapat melemahkan motivasi individu dan komunitas bisnis dalam
negeri untuk melakukan kegitan produksi dan investasi di bidang perfilman.
Ironisnya, bukan hanya film mancanegara yang dibajak, sejak lama film
lokal pun mengalami nasib sama. VCD bajakan Ada Apa dengan Cinta?
misalnya tergolong sangat laris manis dan menjadi legenda di pasar gelap negeri
ini. Menurut data dari ASIREVI, dua minggu setelah film ini dirilis ke pasaran,
tepatnya mulai 21 Februari sampai 6 Maret, jumlah VCD/DVD yang berhasil
digandakan oleh pembajak dalam satu hari bisa mencapai 200.000 keping
VCD/DVD ilegal (Kompas, 2 April 2002).
Semua kasus pelanggaran HAKI di bidang film yang terjadi di tanah air
nyaris “kebal” terhadap sentuhan hukum. Gejala ini tentu menimbulkan
pertanyaan mendasar. Apakah betul-betul sistem hukum di negara kita sangat
buruk sehingga seseorang atau sekelompok orang dapat dengan sesuka hatinya
mengambil karya orang lain dan menyebarkan seluas-luasnya tanpa ada aturan,
teguran, peringatan, bahkan hukuman?Atau bisa jadi itulah gambaran kondisi
mental masyarakat yang tidak memiliki kesadaranakan arti pentingnya HAKI di
bidang film?
Dalam perspektif manajemen media, pembajakan film lewat VCD/DVD
melibatkan banyak aspek. Mulai aspek produksi, distribusi, hingga konsumsi
film. Proses pembajakan menciptakan “jaring-jaring kehidupan” antara
produsen, distributor, dan konsumen. Tindakan pembajak senantiasa bermotif
ekonomi. Sayangnya, hubungan simbiosis tersebut tercipta dalam ranah
ilegalitas, baik dari segi etis maupun yuridis.
Pembajakan dilihat dari aspek produksi misalnya, menyangkut teknis
penggandaan VCD/DVD dengan sarana material berupa alat-alat produksi hasil
temuan teknologi masa kini. Juga konteks sosial dan politik yang berperan di
dalamnya. Law enforcement serta regulasi produksi film yang ada saat ini belum
atau bahkan tidak maksimal sama sekali sehingga tindakan pembajakan seolah
tidak pernah tersentuh oleh peraturan normatif, dalam hal ini sanksi hukum.
Aspek distribusi misalnya, menyangkut bagaimana produsen berhubungan
dengan distributor untuk mengedarkan VCD/DVD bajakannya hingga sampai
ke tangan konsumen. Setidaknya meliputi negosiasi antara Produser-Distributor
menyangkut banyak hal seperti penentuan wilayah edar, jangka waktu edar,
pola pemasaran, 8 karakteristik audiens yang dituju, hak eksplotasi dan
sebagainya. Aspek pemasaran juga melibatkan jaringan bisnis yang dibangun
oleh pemasok kepada pengecer VCD/DVD bajakan dari pusat hingga sampai ke
pengecer di pinggir-pinggir jalan.
Aspek konsumsi film misalnya, menyangkut bagaimana konsumen
bisamenikmati VCD/DVD bajakan dilihat dari segi kepuasan, atau berapa
banyak mereka biasanya menghabisakan uang untuk membeli VCD/DVD ilegal
tersebut. Dari gejala ini, muncul pola yang bisa dilihat antara lain; banyaknya
niat orang yang ingin membajak film berarti paralel dengan sifat penasaran
banyak orang yang ingin melihat film. Produsen juga mampu menciptakan
permintaan pasar melalui pembentukan otoritas yang seimbang antara produsen
dengan konsumen. Otoritas ini menimbulkan mekanisme pasar yang seimbang
pula dengan ketersediaan banyak variasi dan ragam VCD/DVD bajakan. Baik
dari berbagai genre film, seperti kategorisasi VCD/DVD bajakan untuk film
anak, film seri, film box Office.
Tentunya bahasan akan menjadi semakin luas jika menyangkut elemen-
elemen lain dari perspektif filmologi. Tetapi dalam menganalisis pelanggaaran
HAKI di bidang film ini, tulisan ini tidak akan mengelaborasi semua aspek
mikro secara mendalam berdasarkan data empiris. Karena dalam analisis makro,
masing-masing aspek akan secara otomatis bersinggungan.
Barangkali sebelum bahasan dalam tulisan ini menjadi lebih jauh, penting
disepakati bersama arti verbal atas kegiatan pembajakan kreativitas yang
dimaksud. Asal kata “pembajakan” adalah “bajak”. Arti gramatikal “bajak”
berubah makna setelah mendapat awalan pe- dan akhiran -an, yaitu proses
membajak. Membajak sendiri memiliki arti alternatif; mengambil hasil ciptaan
orang lain tanpa sepengetahuan atau seizinnya.
Dari uraian gramatikal tersebut ada beberapa tindakan yang
kontraproduktif, yaitu; tidak jujur, curang, tidak sah, mencuri, menipu dan
manipulasi. Dengan melihat arti verbal dan kandungan moralitas dari sederet
kata-kata sandang di atas, penegasannya harus diikuti oleh peraturan hukum
formal yang verbal pula. Untuk itulah analisis kasus pembajakan sangat terkait
dengan aspek hukum.
Jika didefinisikan secara operasional, HAKI adalah hak atas kekayaan yang
muncul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia. Penemuan atau karya
itu lahir atau dihasilkan oleh manusia melalui kemampuan intelektualnya, yaitu
berupa daya, cipta, rasa, dan karsa di bidang ilmu pengetahuan, seni, sastra
maupun teknologi (Umardalam Saudi, 2001: 117)
Pun demikian halnya HAKI di bidang film, hak itu lahir atau dihasilkan
oleh manusia melalui kemampuan intelektualnya yang berupa daya, cipta, rasa,
dan karsa dalam kaitannya dengan produk film (dari konsep hingga bentuk
jadi), yang di dalamnya 9 mengandung unsur-unsur yang harus dihormati oleh
orang lain. Tidak semata-mata hak intelektual, tetapi menyangkut juga hak
ekonomi yang meliputi hak cipta, hak paten, hak merk dan sebagainya.
Di Indonesia, sumber utama hukum HAKI adalah Undang-undang Nomor 6
tahun 1987, kemudian diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun
1987. Yang terakhir adalah Undang-ndang Nomor 12 Tahun 1997, yang
diundangkan pada tanggal 7 Mei 1997. Sebenarnya Indonesia sudah memiliki
undang-undang perfilman, yaitu Undang-undang No. 8 tahun 1992 dan , namun
seiring perkembangan kebutuhan dan tuntutan penyelesaian permasalahan di
lapangan, undang-undang tersebut terbukti tidak mampu memberi jawaban atas
berbagai persoalan. Fungsi regulasi tidak banyak bisa diandalkan dalam
menghadapi kasus-kasus pelanggaran hak cipta, seperti penggandaan DVD
secara ilegal ini.
Selain itu, terdapat dua peraturan Pemerintah sebagai pedoman
pelaksanaannya, yaitu Peraturan pemerintah Nomor 14 tahun 1986 tentang
Dewan Hak Cipta, yang telah diperbarui dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7
Tahun 1989 Tentang Penerjemahan dan/atau Perbanyakan Ciptaan untuk
Kepentingan Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, Penelitian, dan pengembangan
Penelitian yang pada dasarnya mengatur operasionalisasi ketentuan mengenai
lisensi wajib di bidang hak cipta.
Sebagai konsep hukum, HAKI memberikan landasan pengaturan atas
pengakuan, penghargaan, dan perlindungan terhadap hak atas karya-karya yang
dihasilkan dari kemampuan intelektualitas manusia. Jika pelanggaran terhadap
HAKI dilakukan, maka secara hukum akan dikenai sanksi kurungan dan biaya.
Hal ini sangat jelas terlihat dalam UU HAKI baik yang lama maupun baru.
Dalam pasal 44 Bab VI Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun
1987 Tentang hak Cipta misalnya, pelanggarannya dikatagorikan sebagai tindak
pidana. Para pelanggarnya dikenai sanksi hukum kurtunganselama maksimal
tujuh tahun dan membayar denda dari Rp. 15.000.000,00 hingga
Rp.100.000.000,00
Secara internasional, Indonesia juga telah menandatangai berlakunya
kesepakatan Trade Related Aspects of Intelectual Property Rights (TRIPS)
dalam persetujuan Putaran Uruguay di Marakesh, Maroko, tahun 1994 silam.
Kemudian direalisasikan sejak 1 Januari 2000 lalu (Kompas, 3 Januari 2000).
Namun dalam praktik sungguh ironis, saat diberlakuannnya undang-undang
internasional tersebut, Indonesia justru mendapat corengan muka yang boleh
dikatakan sangat memalukan.
Political and Economic Risk Consultancy (PERC), sebuah lembaga
konsultan yang bermarkas di Hongkong, melakukan survei melibatkan sejumlah
ekspatriat yang bertugas di sepuluh negara Asia. Hasilnya, dalam hal kualitas
sistem HAKI, skor untuk Indonesia adalah 9,82 (skor dimulai dari angka 0
berarti terbaik hingga 10 yang berarti 10 terburuk). Untuk jaminan
perlindungan HAKI, Indonesia berada di urutan ke-9 yang berarti sering terjadi
pelanggaran. Posisi yang menempatkan negara kita hanya sedikit lebih unggul
dari Cina (Kompas, 9 Januari 2000).
Sebelumnya, menurut laporan tahunan Specila 301 yang dikeluarkan oleh
kantor perwakilan perdagangan AS (United States Trade
Representative/USTR), Indonesia merupakan satu-satunyua negara anggora
ASEAN yang masuk dalam priority watch list USTR untuk kasus-kasus
pelanggaran HAKI. Pelanggaran tersebut terutama disebabkan tingginya
pembajakan VCD/DVD sejak tahun 1998 (Kompas, 7 Juli 1999)
Mengenai status pengawasan tersebut, selengkapnya USTR membagi
menjadi tiga kategori, yaitu watch list (daftar negara yang dipantau), priority
watch list (daftar negara yang diprioritaskan untuk diawasi), dan priority
foreign country (negara yang terbukti bersalah sehingga perlu diberi sanksi
perdagangan).
Dengan masuknya Indonesia ke dalam status priority watch list, berarti
secara empiris grafik pelanggaran HAKI di Indonesia semakin meningkat.
Sebelumnya Indonesia masih termasuk dalam status watchlist (walaupun sejak
tahun 1988 hal ini sudah terjadi berkali-kali).
Banyak pengamat film memprediksi, seiring munculnya VCD/DVD
bajakan yang semakin marak dan tidak diambil langkah tegas oleh para penegak
hukum, maka tidak tertutup kemungkinan status Indonesia akan meningkat
menjadi priority foreign country.
Jika bangsa Indonesia berkomitmen untuk menerapkan sistem perlindungan
HAKI di bidang perfilman secara konsekuen, secara makro hal ini akan
memberikan keuntungan bagi pertumbuhan ekonomi nasional, terutama dari
hasil produksi film dalam negeri. Hasil positif itu antara lain:
 Meningkatkan kinerja dalam menghasilkan karya yang lebih inovatif (empowermnet)
 Meningkatkan daya saing (competition)
 Meningkatkan pendapatan (income)
 Meningkatkan investasi (investation)

Lemahnya Sanksi Hukum


Lepas dari persoalan kultur dan mental, sebenarnya banyak kendala yang
melingkupi ruwetnya sistem hak cipta di Indonesia. Akar permasalahan
bersumber dari lemahnya infrastruktur yang ada, terutama sistem hukum yang
nyaris tidak berjalan. Celakanya, dalam upaya penyelesaian, kendala teknis
selalu mengemuka bila bersentuhan dengan kondisi riil bangsa yang mengalami
krisis multidimensi.
Akibatnya, hampir semua keterpurukan selalu dikaitkan dengan dana yang
terbatas sehingga sulit menemukan titik temu bagaimana solusi terbaik yang
seharusnya dilakukan. Malah, bangsa kita gemar sekali mencari kambing hitam
atas segala permasalahan yang timbul, tanpa pernah mencoba dengan penuh
merefleksikan kesalahan itu sebagai suatu bentuk introspeksi.
Demikian halnya dengan perlindungan terhadap hak cipta film. Ada kesan
yang seolah dibangun pemerintah bahwa penyelesaian persoalan politik jauh
lebih penting dari pada sekadar mengurusi “nasib” pembajakan. Daya beli
masyarakat yang rendah akibat krisis ekonomi juga menjadi alat justifikasi
pembajakan. Mahalnya sebuah produk asli seakan-akan mendorong masyarakat
untuk berpikir “kreatif” bagaimana mendapatkan barang yang sama dengan
harga murah. Alhasil tindakan pembajakan dianggap sah.
Apalagi jika dilihat dari political will para politisi di DPR saat menerima
keluhan tentang banyaknya peredaran VCD/DVD bajakan beberapa waktu lalu.
Dengan enteng mereka menjawab bahwa kehadiran VCD/DVD bajakan telah
menjadi hiburan yang murah meriah bagi rakyat, sehingga untuk apa
mengganggu kesenangan rakyat yang sudah banyak menderita oleh banyaknya
persoalan bangsa ini? Sebuah kredo yang terdengar “manis”, tetapi sangat
membahayakan bagi eksistensi kreativitas di negeri ini.
Dalam perkembangannya, pembajakan yang disupport oleh penguasa dan
dimotori oleh media dapat menciptakan budaya baru dalam masyarakat yang
lazim disebut sebagai budaya massa. Bauman (1972) mengatakan bahwa
budaya massa adalah konsekuensi yang tidak dapat ditolak dari munculnya
pasar, tersedianya teknologi, dan dominasi organisasi besar.
Parahnya, situasi ini didukung oleh pertimbangan ekonomis masyarakat
yang berpedoman; “Selama masih bisa dihemat mengapa harus membeli yang
mahal?”.
Perilaku konsumsi masyarakat terhadap media, khususnya film selain
dipengaruhi oleh selera juga tergantung daya beli. Terkait dengan asas tersebut
muncullah istilah purchasing power yang mempengaruhi konsumsi film.
Artinya, sebelum membeli VCD/DVD bajakan, konsumen dihadapkan pada tiga
pilihan, yaitu membeli, menunda,atau tidak membelinya. Pada level ini
digambarkan bahwa keputusan membeli berada dalam deret pilihan pembelian
produk-produk yang lain, termasuk VCD/DVD orisinal.
Pilihan semacam ini mendorong produsen VCD/DVD bajakan
menciptakan barang produksinya semirip mungkin dan semurah mungkin,
bahkan jika bisa dengan kualitas yang sama. Akibatnya dengan pola pikir
ekonomi, ditunjang dengan daya beli yang cenderung rendah, masyarakat lebih
memilih VCD/DVD bajakan.
Disinyalir, karena pertimbangan skala prioritas itulah konsumen kadang
lupa bahwa barang yang dibeli atau disewanya adalah barang ilegal dan proses
penciptaannya melanggar hukum.
Begitulah, berbagai persoalan kompleks menyebabkan HAKI di bidang
film masih belum bisa dimengerti secara penuh di Indonesia. Tak heran jika
VCD/DVD bajakan masih sangat umum dan wajar di negara kita. Padahal
dilihat dari sisi objektif, pembajakan yang membudaya pada hakikatnya sangat
menghambat perkembangan kemajuan karya perfilman di tanah air.
Kerugian material akibat pembajakan film juga tidak main-main hingga
mencapai trilyunan rupiah. Belum lagi dengan adanya pembajakan tersebut
telah menghambat penerimaan negara melalui pajak dan investasi industri.
Selain itu, pembajakan mendorong pengebirian kretivitas karena royalti yang
seharusnya diterima para pembuat film, raib entah ke mana.
Munculnya fenomena VCD/DVD bajakan tidak datang begitu saja bila
tidak dibarengi harga VCD/DVD Player yang juga semakin murah. Berbagai
merek DVD Player ditawarkan dengan harga mulai sekitar Rp 175.000 hingga
jutaan rupiah. Bahkan kadangkala pembayarannya pun bisa dicicil. Selain itu,
usaha persewaan VCD/DVD bajakan dan player pun mudah dijumpai di
berbagai tempat, baik di kota besar maupun dikota-kota kecil. Untuk menyewa
VCD/DVD bajakan hanya membutuhkan biaya Rp1.000-Rp 3.000 perkeping
judulnya.
Dilihat dari kacamata hukum HAKI, harga VCD/DVD bajakan bisa jauh
lebih murah karena konsumen tak perlu membayar royalti, berbagai pajak serta
biaya operasional lainnya. Produsen juga tak perlu berpromosi untuk melariskan
barang dagangannya.
Dalam konteks maraknya kasus pelanggaran HAKI, dapat dinilai bahwa
perilaku masayarakat kita sunguh membingungkan. Dulu, di tahun 1951,
Indonesia menyatakan keluar dari Benre Convention (sebuah konvensi tentang
hak cipta) yang bertuuan agar dapat melakukan “penjiplakan” besar-besaran
dalam upayanya melakukan alih teknologi. Ternyata peluang tersebut tidak
dimanfaatkan sebaik-baiknya, padahal saat itu sangat memungkinkan, bahkan
ditolerir untuk melakukan peniruan dan penjiplakan
Negara-negara lain seperti Jepang dan Jerman memanfaatkan peluang
tersebut secara maksimal. Dan hasilnya, mereka sekarang menjadi sangat maju
dalam menguasai teknologi.
Selanjutnya Bagaimana?
Evaluasi tentang berhasil tidaknya Indonesia dalam perlindungan HAKI di
bidang film akan terus menjadi dialektika yang tidak usang, bukan hanya dalam
pencarian jawaban “berhasil” atau “tidak” mengadili pembajak DVD dan
menjebloskan ke penjara, tetapi berhasilnya perlindungan HAKI di bidang film
di Indonesia pada konteks saat ini sebenarnya lebih pada upaya yang terus
menerus untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAKI lebih banyak lagi.
Dengan kata lain, pembajakan atas hak kekayaan intelektual perlu dihentikan.
Persoalan HAKI di bidang film ini sangat penting untuk dijadikan perhatian
mengingat hingga detik ini, masyarakat Indonesia belum memiliki kesadaran
akan pentingnya penghormatan atas hak atas karya intelektual orang lain
sebagai konsekuensi etis maupun yuridis. Salah satunya dapat dilihat dari carut
marutnya perlakuan bangsa kita terhadap hak cipta perfilman. Mulai dari
pembajakan kelas teri alias contek-menyontek ide hingga pembajakan kelas
kakap yang sangat merugikan negara.
Karenanya, sistem hukum HAKI kita harus mampu menciptakan iklim
yang kondusif bagi eksploitasi dan komersialisasi karya-karya intelektual yang
bermuatan HAKI. Sistem HAKI di bidang film misalnya, harus mampu
menekan serendah mungkin biaya-biaya hukum (legal cost) dalam pengurusan
pendaftaran dan pengalihan HAKI maupun biaya-biya kontrak (transaction)
yang berkaitan dengan lisensi (licensing), usaha patungan (joint venture),
maupun waralaba (franchaising). Prosedur impor dan hak edar film asing
misalnya harus cepat, murah, dan tidak koruptor

Contoh Kasus

Pembajakan Kaset Marak, Puluhan Artis Berunjuk Rasa


Liputan6.com, Jakarta: Puluhan artis yang tergabung dalam Solidaritas Antar
seniman Indonesia, Senin (9/9), menggelar unjuk rasa di depan Markas Besar
Polri Jakarta. Para demonstran mendesak Kepala Polri Jenderal Polisi Da`i
Bachtiar segera menindak para pembajak kaset yang dianggap telah merugikan
negara hingga miliaran rupiah.
Aksi di antaranya diikuti Raja Dangdut Rhoma Irama, Rama Aiphama, dan
pentolan grup Dewa Ahmad Dani. Dalam orasinya, mereka menilai Polri tak
konsisten memberantas pembajakan kaset. Selain itu, mereka juga menanyakan
sejumlah kasus pembajakan yang tak pernah sampai ke pengadilan. Jika aspirasi
ini tidak ditanggapi, para demonstran mengancam akan menggelar aksi serupa
dengan massa lebih besar.(ICH/Solikun dan Agung Nugroho)

Dasar Hukum Mengenai Pembajakan VCD/DVD Bajakan


 Pasal 113
o Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi
sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf untuk Penggunaan secara
komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
o Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin pencipta atau pemegang
hak cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud
dalam pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk
penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
o Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang
Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk
Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
o Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang
dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama
10(sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00
(empat miliar rupiah).
 Pasal 144
Setiap orang yang mengelola tempat perdagangan dalam segala bentuknya yang
dengan sengaja dan mengetahui membiarkan penjualan dan/atau penggandaan
barang hasil pelanggaran hak cipta dan/atau hak terkait di tempat perdagangan
yang dikelolanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dipidana dengan pidana
denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Solusi Untuk Masalah Pembajakan VCD/DVD Bajakan
 Kesadaran masyarakat agar melindungi hak cipta seseorang.
 Penyuluhan dari pemerintah yang diperketat

BAB 3
PENUTUP
Kesimpulan
Pembajakan VCD/DVD yang semakin marak memiliki sebab yang banyak,
salah satunya karena ekonomi yang terbatas dan harga original yang terlampau
jauh.
Maka dari itu, hal tersebut perlu disikapi kita dengan bijak, salah satunya
dengan cara melindungi hak cipta seseorang dan menghindari tindakan
pembajakan tersebut. Tidak hanya kita sebagai masyarakat Indonesia,
pemerintah pun harus ikut turun tangan dalam mempertegas undang-undang dan
hukum yang ada

Anda mungkin juga menyukai