Anda di halaman 1dari 10

TUGAS PENGETAHUAN BISNIS INDUSTRI FILM

Bisnis dan industri film di Indonesia pada era sinema digital saat ini

Nama: MUHAMMAD FARHAN AULIA

NIM: 06205819

PRODI TELEVISI DAN FILM

FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN ISNTITUT SENI INDONESIA

2019/2020
Bisnis dan industri film di Indonesia pada era sinema digital saat ini

Film untuk saat ini sedang banyak digemari dan minati semua kalangan dari anak kecil
hingga orang dewasa sekalipun sehingga semakin berkembangnya film-film yang ada di dunia
tak terkecuali juga untuk di Indonesia. Karena banyaknya minta masyarakat untuk menonton
sebuah film, kini banyak film di indonesia yang bermunculan bukan hanya film banyak juga
production house baru untuk mencoba bersaing di dunia industri film ini.

Tercatat hingga saat ini ada 264 juta warga negara Indonesia. Hal ini tentunya memberikan
potensi yang sangat besar di sektor sumber daya manusia yang bisa membawa efek masif
terhadap berbagai industri yang ada di Indonesia. Salah satunya adalah industri perfilman.

Industri perfilman Indonesia sempat mengalami kondisi naik-turun, bahkan sempat mengalami
titik terendah pada dekade 1990-an. Untungnya memasuki tahun 2000, geliat perfilman
Indonesia mulai menanjak pelan-pelan. Film Petualangan Sherina, Jelangkung, dan Ada Apa
Dengan Cinta? menjadi tiga film yang membuat munculnya harapan dari film-film Indonesia
untuk tahun-tahun mendatang. Dan segalanya mulai membaik sejak saat itu.

Dari film drama percintaan, film horror, hingga film action yang digarap dengan serius
semakin menjadikan perfilman Indonesia kuat di para para penonton lokal. Bahkan film-film
tersebut bisa bersaing di pentas internasional demi membuktikan kalau sineas Indonesia bisa
membuat film berkualitas.

Ketika industri perfilman Indonesia semakin menanjak naik untuk menuju ke puncak
kegemilangan, ini artinya respon dari masyarakat Indonesia sangatlah baik. Hal itu terbukti
dari film-film Indonesia yang mampu merajai bioskop yang ada di setiap kota di Indonesia.

Semakin hari, film Indonesia semakin menunjukkan tajinya. Terlihat dari film
seperti Pengabdi Setan, Dilan 1990, hingga sekuelnya Dilan 1991 yang sukses menguasai
bioskop, bahkan bisa menggusur film-film luar negeri yang rilis dalam waktu yang bersamaan.
Jangan lupakan juga rekor penonton yang terus dipecahkan.

Ketika rekor positif ini terus dipertahankan, maka ini menjadi pertanda baik. Industri perfilman
Indonesia terus tumbuh, sineas muda mulai bermunculan, dan para penonton terpuaskan
dengan karya yang mereka tonton.
Sebelum memasuki era digital, film Indonesia di produksi menggunakan pita yang di produksi
di laboratorium film, sekarang sudah masuk di era digital semua hasil shooting film selama
produksi sudah berbentuk data yang di simpan dan lebih efisien di bandingkan di zaman analog
dulu. Sehingga banyak laboratorium film yang gulung tikar.

Saat ini industri film di Indonesia nomor 2 setelah industri periklanan dan banyak investor
meng investasikan uang nya di industri film. Karena bisnis di industri film sangat maju terbukti
di bulan september 2018 perusahaan dan investor yang bergelut di dunia industri kreatif film
meraut keuntungan 10,96 % = Rp 2,5 milyar – 50 milyar

Bangkitnya film Indonesia dari mati suri ditandai dengan kemunculan film Petualangan
Sherina di tahun 2000-an. Gairah sineas Indonesia mulai bangkit lagi dan dua tahun berselang
hadir film Ada Apa Dengan Cinta yang semakin membuat pasar perfilaman Indonesia kembali
terbakar.

Animo masyarakat menyambut produksi film-film Indonesia begitu besar, secara perlahan
kondisi koma yag terjadi pada industri ini perlahan bangkit kembali, hingga saat ini. Di tahun
2017 lalu, Pengabdi Setan yang merupakan remake dari film aslinya di tahun 80-an, berhasil
merangkul jumlah penonton hingga tembus 4 juta orang. Tak hanya itu, Warkop DKI Reborn:
Jangkrik Boss! Part 2 memiliki nasib mujur yang sama.

Pendapatan yang diraih produser kedua film tersebut begitu fantastis. Rapi Films yang
menaungi produksi Pengabdi Setan meraup pendapatan Rp155,6 miliar dengan jumlah
penonton 4.206.103 orang. Sementara, Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 2 produksi
Falcon Pictures mengumpulkan Rp151 miliar melalui jumlah penonton sebanyak 4.083.109
orang.

Memasuki tahun 2018, kesuksesan diraih oleh film Dilan 1990 - produksi Falcon Pictures dan
Maxx Picture. Dalam sebulan penayangannya (25 Januari - 24 Februari 2018), film bergenre
percintaan SMA ini mencatatkan 6.001.000 penonton dan dipastikan pendapatan yang diterima
rumah produksinya akan lebih spektakuler lagi. Angka ini head to head dengan jumlah
penonton yang diraih Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 tahun 2016 yang mampu
menyedot 6.858.616 penonton dengan pendapatan Rp240,05 miliar.

Kebangkitan film Indonesia ini berhasil mencetak sejarah baru di kancah pefilman nasional.
Selain empat film di atas, film-film Indonesia yang berhasil meraih jumlah penonton di atas 2
juta orang, antara lain: Ada Apa Dengan Cinta, Laskar Pelangi, Ayat-ayat Cinta, dan Danur: I
Can See Ghost.

Melihat keberhasilan film-film Indonesia ini menjadikan potensi besar bagi perusahaan di
Indonesia untuk menjadikan industri ini sebagai ladang bisnis yang luar biasa. Melahirkan
produk-produk yang berkualitas yang sukses menyedot animo besar penonton, membuat film-
film nasional menjadi tuan di negerinya. Kebangkitan inilah yang memberikan kesempatan
pemiliki modal dalam industri perfilman untuk saling berlomba menginvestasikan uang di
industri ini.

Terlebih dengan dibukanya Daftar Negatif Investasi (DNI) menjadikan para pemiliki modal
asing dapat melakukan investasinya. Menurut Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf),
Triawan Munaf, ini menjadi kesempatan untuk membuka luas pasar dan kesempatan
mendapatkan pengalaman dari luar (asing) untuk kontribusinya kepada praktisi film dan
teknologi. “Sebelumnya hanya pemain lokal yang dominan. Hal ini tidak salah, namun kita
harus bisa lebih terbuka. Dengan dibukanya DNI, kini tidak lagi hanya 1-2% namun dapat
hingga 100% asing untuk mendapat kesempatan berinvestasi di sini,” ungkapnya.

Seperti investor Korea Selatan yang ingin melakukan ekspansi layar bioskop di Indonesia. Hal
ini cukup menggembirakan karena kesempatan bertambahnya layar bioskop dapat terwujud,
tidak lagi didominasi oleh beberapa pengusaha saja, film-filmnya juga akan masuk dengan
merata.

Keberhasilan film-film ini tak lepas dari media tontonnya bernama layar bioskop. “Kondisi ini
akan berdampak pada film nasional yang lebih banyak membutuhkan bioskop-bioskop di
daerah. Film-film ini memiliki daya tarik yang tinggi di kalangan penonton lokal dan kantong-
kantong penonton film nasional itu ada di daerah,” ungkapnya.

Hal inilah yang yang akan dilakukan pemerintah dengan mendorong pengusaha-pengusaha
dalam dan luar negeri untuk membuka bioskop-bioskop secara merata. Sehingga keberdaaan
layar bioskop yang merata juga dapat mendistribusikan film secara merata juga. Menurut
Triawan, konsumsi bioskop juga masih tinggi di era digital saat ini. “Beralihnya format digital
boleh saja terjadi, namun jumlah penonton yang ingin memiliki experience setiap akhir
minggu, menonton bersama keluarga, teman-teman, ternyata meningkatnya luar biasa,”
ujarnya.
Saat ini jumlah layar bioskop di Indonesia sekitar 1.500 layar. Komposisi idealnya minimal
sekitar 5.000 layar untuk jumlah penduduk Indonesia. Seperti Korea Selatan dengan jumlah
penduduk 60 juta memiliki hampir 3.000 layar bioskop, sedangkan Indonesia memiliki jumlah
penduduk jauh lebih besar dibanding Korsel.

Berbicara masalah produksi dan kreativitas, Bekraf dan Kemendikbud memiliki peran untuk
membangun sekolah film lebih banyak lagi. Saat ini telah ada sekitar 15 universitas yang
memiliki program tersebut, namun yang harus dimiliki adalah sekolah film khusus. “Rencana
ini didukung dengan minat anak muda yang besar dan tinggi ke arah ekonomi kreatif. Oleh
karena itu, tidak perlu ada kekhawatiran lagi untuk membuka sekolah film,” ujar Triawan.

Upaya untuk menggali peluang industri film ini, menurut orang tua dari Sherina Munaf ini,
dapat diwujudkan dengan menambah layar bioskop dan pendidikan untuk pengembangan
SDM. Baginya, penambahan layar bioskop membuat produksi tidak akan suffer, distribusi film
juga ada perimbangan jumlah layar sehingga tidak tergantung satu grup saja. “Peluang film
Indonesia sangat luar biasa, di 2015 penontonnya 16 juta, saat ini telah mencapai sekitar 42
juta di akhir tahun 2017. Ke depan yang terpenting layarnya semakin banyak maka otomatis
penonton akan lebih banyak,” ungkapnya.

Upaya Bekraf untuk menggerakan geliat perfilman Indonesia dengan menggelar Akatara
Indonesia Film Financing Forum 2017 (15-16/11/2017). Bersama Badan Perfilman Indonesia
(BPI), forum ini menjembatani kepentingan investor dan perusahaan film untuk menjaring
minat investor dalam membuka akses pendanaan perfilman nasional. Di ajang tersebut, Bekraf
dan BPI mengundang sekitar 50 investor dari dalam dan luar negeri. Tingkat

kesusksesannya industri film lebih menguntungkan dibandingkan proyek rintisan digital yang
kini sedang marak.

“Ini forum terbuka yan mempertemukan oran-orang yang memiliki ide film dengan
penyandang dana yang selama ini belum menyadari bahwa proyek film bisa sangat
menguntungkan,” kata Triawan. Target kedepannya, Bekraf akan berkordinasi dengan BKPM
(Badan Kooordinasi Penanaman Modal) untuk kebijakan investasi film. Selain itu juga
bersama Pemda karena kebijakan pajak film ada ditangan masing-masing Pemda.
Distribusi film

Distribusi film adalah langkah terakhir pada tahap produksi. Jika di sebuah industri film
hollywood dan bollywood ada sebuah lembaga tersendiri untuk mendistibusikan film-film
mereka. Berbeda di indonesia, sedangkan di Indonesia sendiri biasanya sang produser yang
mendistribusikan film itu sendiri. Film-film yang sudah di produksi dan sudah melewati pasca
produksi akan di distribusikan ke bioskop, bukan hanya ke bioskop tetapi film juga bisa di
disribusikan lewat festival dan sekarang malah ada sebuah platform digital yang sudah bisa di
dapatkan dengan mudah seperti hooq,Netflix,Iflix dan sebagainya. Distribusi film
Indonesia berjalan dalam kondisi pasar yang bisa dibilang tidak transparan, kecuali pada masa
pra Orde Baru yang menjalankan sistem pasar terbuka. Di era Orde Baru, tata niaga di tingkat
impor dan pembelian film berlangsung tanpa transparansi yang bisa diamati oleh publik. Hal
ini bahkan terjadi di level peredaran tingkat bawah. Saat itu, hanya ada dua entitas yang
bermain dalam industri film, yaitu produser dan importir. Badan khusus di bidang distribusi
praktis tidak terdengar. Hal ini terjadi karena kepemilikan perusahaan yang bergerak di bidang
impor dan penayangan bioskop adalah kelompok yang sama. Akibatnya, produser film nasional
harus berhadapan dengan satu badan raksasa yang menentukan hidup mati dari film yang
diproduksinya. Meskipun sama-sama berjalan dalam kondisi yang tidak transparan, pola
distribusi saat ini sangat berkebalikan dengan distribusi film Indonesia pada pra Orde Baru
hingga menjelang akhir Orde Baru. Saat itu, kondisi distribusi di Indonesia dapat dikatakan
masih bebas. Meskipun demikian, permasalahan distribusi tetap menjadi batu sandungan
perfilman nasional. Hal ini terlihat dari mayoritas film nasional yang telah selesai diproduksi,
tetapi gagal ditayangkan. Ada fase-fase untuk distribusi film sendiri yaitu :

Fase bebas

Era perdagangan film pra Orde Baru dinamakan era American Motion Picture Association of
Indonesia (AMPAI). Distribusi film yang berlangsung saat itu didominasi oleh sistem jual
putus dan dijalankan oleh pengedar daerah yang biasanya merangkap sebagai broker
(perantara atau calo) dan booker (orang yang melakukan pemesanan atau penjadwalan
penayangan film di bioskop). Namun, kondisi perfilman saat itu dipengaruhi oleh maneuver
politik PKI yang sangat anti-Amerika. Pada tahun 1962-1963, muncul Panitia Aksi
Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat (PAPFIAS) yang terus menerus berusaha
mengambrukkan dominasi AMPAI secara kasar bahkan sampai terjadi ancaman pembakaran
terhadap bioskop oleh PAPFIAS. Pemerintah pun akhirnya menghentikan kegiatan AMPAI
pada 17 Agustus 1964. Keadaan ini disusul dengan merosotnya produksi film nasional ke
tingkat terendah (hanya 1-2 judul)

Fase tata niaga

Hancurnya infrastruktur perfilman sejak peristiwa 1965 membuat pemerintah merasa perlu
untuk segera membangkitkan kembali industri. Oleh karena produksi dalam negeri tidak
dapat diharapkan segera bangkit, pemerintah akhirnya membuka lebar keran impor melalui
keputusan Menteri Penerangan B.M Diah. Importir film pun berduyun-duyun memasuki arus
baru ini dan tergabung dalam Gabungan Importir-Produsen Film Indonesia (GIPRODFIN).
Sebagai pemancing produksi, B.M Diah mengeluarkan SK nomor 71 tahun 1967 yang
menyatakan bahwa untuk setiap film yang diimpor, importir harus menyetor uang untuk
dihimpun sebagai biaya pembuatan film nasional. Keputusan tersebut kemudian diperbaharui
dengan memperluas penggunaan dana, tidak hanya untuk produksi, tetapi untuk perfilman
secara keseluruhan. Pada tahun 1972 sewaktu kepemimpinan Menteri Penerangan
Boediardjo, mekanisme pengaturan tata niaga mulai menuai masalah. Saat itu, Departemen
Penerangan mengedarkan surat keputusan yang menyatakan bahwa CV Asia Baru mendapat
hak tunggal memasukkan film Mandarin. Pada masa kepemimpinan Boediardjo, terdapat
kategori importir, yaitu kategori AS-Eropa, Asia dan Asia Non Mandarin. Para importir
tersebut tergabung dalam badan-badan konsorsium (BKIF).

Pemerintah mengklaim bahwa BKIF adalah aspirasi para importir untuk mencegah
persaingan tidak sehat, tetapi muncul juga pengakuan bahwa importir sebenarnya ditekan:
bergabung dengan badan-badan tersebut atau ijinnya dicabut. Pada akhirnya BKIF
dibubarkan pada tahun 1976. Lalu, saat Mashuri menjadi Menteri Penerangan, ia membentuk
empat konsorsium importir film (KIF) dengan masing-masing anggota 21 importir. Mashuri
tetap mengaitkan aktivitas impor film dengan produksi film nasional dengan menerbitkan
surat keputusan yang mewajibkan importir film merangkap menjadi produser sebagai syarat
untuk memasukkan film dari luar negeri. Meskipun mekanisme ini mampu memicu produksi
nasional, ketidakpuasan tetap muncul karena film yang dibuat dengan cara ini hanya
mengejar kewajiban dan jumlah sehingga mutunya diragukan. Selain itu, ada juga keluhan
dari aspek distribusi karena pasarnya dipenuhi oleh spekulan dan broker. Untuk membenahi
sistem edar ini, pemerintah akhirnya mengeluarkan SKB 3 Menteri (Menpen, Mendagri dan
Mendikbud) yang mewajibkan penayangan film nasional dalam jadwal yang ditentukan dan
membentuk PT Peredaran Film Indonesia (PT Perfin). Berikut ini merupakan bagan penataan
distribusi yang diupayakan pemerintah Orde Baru.

Fase transisi

Fase ini merupakan masa paling bergolak dalam sejarah distribusi film Indonesia. Hal ini
bermula pada tahun 1985 ketika terjadi penggantian ketua AIF Eropa-Amerika secara tiba-
tiba. Saat itu, posisi ketua dipegang oleh PT Citra Jaya Film di mana dalam masa
kepemimpinannnya dihasilkan film-film nasional yang kini lestari sebagai karya-karya yang
patut dikenang, seperti Doea Tanda Mata, Kembang Kertas dan Secangkir Kopi Pahit.
Namun, ditengah kepemimpinannya, PT Citra Jaya Film digantikan dengan PT Suptan tanpa
alasan yang jelas. Setelah penggantian ini, jumlah anggota AIF Eropa-Amerika mengalami
penyusutan menjadi lima importir, tiga diantaranya sama sekali baru. Dua di antara yang baru
tersebut (PT Camila Internusa Film dan PT Satrya Perkasa Estetika) memiliki keterkaitan
dengan Benny Suherman dan Sudwikatmono sebagai pemilik Suptan. Dua PT tersebut hingga
saat ini menjadi pemain utama impor film dan berada di pusat kekisruhan pajak film impor
tahun 2011. Selanjutnya, PT Suptan pelan-pelan berhasil menguasai jalur distribusi karena
daya beli mereka yang tinggi. Kuota yang sebenarnya dibagi dengan sesama importir,
akhirnya mereka kuasai. Misalnya, PT Perfini yang merupakan perusahaan film yang
didirikan oleh Usmar Ismail terpaksa meminjam uang dari Sudwikatmon untuk melakukan
kegiatan impor. Pada lini distribusi, ekspansi PT Suptan juga terasa dengan menunjuk
distributor tunggal untuk setiap daerah edar. Dengan sumber pasokan yang sudah dikuasai,
distributor tunggal di daerah-daerah ini menjadi memiliki kuasa untuk mendikte apa yang
ditayangkan di bioskop. Selain itu, untuk memuluskan arus film, ekspansi juga dilakukan
dengan menguasai jaringan bioskop di daerah. Sebagai importir tunggal yang juga menguasai
jalur distribusi dan bioskop, PT Suptan tentu akan memprioritaskan film untuk bioskopnya
sendiri. Hal ini menyebabkan bioskop di luar kelompok Suptan harus mau memutar film apa
saja yang disodorkan oleh distributor. Perubahan arus distribusi pada fase ini ditunjukkan
dengan terbentuknya integrasi vertikal antara lini importir atau pemilik film dengan lini
eksibitor sehingga menjepit keberadan distributor.
Fase status quo atau monopoli]

Fase ini merupakan fase yang paling tenang bagi jaringan 21, tetapi juga merupakan masa-
masa yang menekan bagi pelaku industri film nasional, terutama di sisi produser.
Infrastruktur distribusi yang semula kacau, kini malah tidak terekspose karena semuanya
berjalan secara internal. Ketertutupan infrastruktur distribusi terjadi karena pada fase ini
pengedar daerah berafiliasi ke arah hilir dengan jaringan PT Subentra sebagai pemilik
jaringan bioskop dan ke arah hulu dengan importir, seperti PT Satrya Perkasa Estetika dan PT
Camila Internusa Film. Selain itu, meskipun terdapat pelaku bisnis di bidang distribusi yang
berada di luar jaringan tersebut, entry barrier untuk memasuki pasar masih terlalu tinggi.
Akibatnya, pemain independen akan kewalahan membiayai distribusi film yang bertingkat ke
daerah-daerah karena ia harus berhadapan dengan jaringan yang pembiayaannya sudah saling
mendukung.

Fase distribusi internal

Dari segi distribusi, fase ini ditandai dengan fenomena yang diisi dengan produser film yang
uber capitalist. Artinya, dengan kondisi yang vakum dari dukungan pemerintah dan di tengah
pengasaan pasar distribusi film yang masih melenggang tenang, produser film berjuang
sendirian membuat film dan memasarkannya. Para produser menanggung semua risikonya
sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

https://majalah.tempo.co/read/141018/hancur-pita-di-era-digital

https://katadata.co.id/berita/2019/01/02/prospek-bisnis-film-2019-saluran-distribusi-digital-kian-
mewabah

http://www.csinema.com/tahapan-produksi-film-distribusi/

https://id.wikipedia.org/wiki/Distribusi_film_Indonesia

Andi.2018. Berinvestasi di Industri Film. Jakarta: SWAOnline

Anda mungkin juga menyukai