PENDAHULUAN
Film dahulu pada dasarnya dikenal sebagai karya visual yang dibuat sebagai
media dalam menuangkan bentuk kreativitas seseorang. Namun sekarang ini Film tidak
hanya dibuat sebagai media kreativitas saja, tetapi juga sebagai apresiasi penyampaian
pesan, tolak ukur penilaian kepada penciptanya, hingga sebagai media dalam pencarian
nafkah juga.
Dan saat ini Film Indonesia kembali terpuruk dan kalah saing dengan film-film
dari luar negeri. Dikarenakan banyaknya film luar yang di impor, dan mendominasi
bioskop-bioskop di Indonesia. Sehingga banyak dari warga Indonesia sendiri tidak
tertarik lagi dengan buah karya milik bangsa sendiri. Sedangkan dari pihak perfilman
Indonesia sendiri dinilai tidak dapat lagi menaikkan kualitas filmya. Dan banyak film
Indonesia yang sekarang ini telah ‘melenceng’ dan tidak lagi mempunyai kualitas untuk
bersaing di negeri sendiri, apalagi di ranah Internasional.
Tetapi seiring waktu, telah muncul sedikit demi sedikit film-film dari anak
bangsa yang telah berhasil ‘menarik’ warga untuk kembali mencintai karya negeri
sendriri. Dan tidak hanya di negeri sendiri, beberapa film telah berhasil mendapatkan
‘pengakuan’ dari dunia Internasional. Seperti film Denias, Laskar Pelangi, Meraih
Mimpi, Lovely Man, The Raid, dan masih banyak lagi. Dan seperti kita ketahui bahwa
beberapa film yang telah disebutkan tadi, telah berhasil meraih dan ‘menyabet’
beberapa penghargaan penting. Seperti The Best Film untuk film The Raid dalam
penghargaan Toronto International Film Festival 2011, Best Asian Feature Film untuk
film Daun di Atas Bantal dalam penghargaan Asia Pasific Festival Film, Best Film dan
1
Best Editor Film untuk film Laskar Pelangi dalam penghargaan Berlin International
Film Festival 2009, dan masih banyak yang lain.( )
Walau tidak banyak dari film-film Indonesia yang berhasil memasuki ‘pasar’
perfilman dunia, tetapi banyak juga dari beberapa film Indonesia yang mendapat
penghargaan di negeri sendiri, yaitu FFI ( Festival Film Indonesia ) dan IMA (Indonesia
Movie Award ). Karena beberapa dari film ini dinilai telah berhasil menyampaikan
pesan dan mengajarkan tentang moral kepada seluruh penonton, terutama warga
Indonesia sendiri. Seperti film Ayat-Ayat Cinta, The Witness, Habibie Ainun, dan
banyak lagi yang lain.
Sehingga kita patut berbangga kepada para sineas-sineas dari negeri kita yang
telah berhasil menciptakan film-film yang tinggi kualitasnya. Dan sudah sepatutnya kita
sebagai warga Indonesia juga ikut mendukung film-film dari anak bangsa saat ini
dengan tetap membuat karya yang mampu ‘menggerakkan’ hati warga Indonesia, tetapi
juga dunia Internasional.
Dan dari penjabaran latar belakang tersebut, penulis disini ingin mengadakan
penelitian mengenai Perkembangan Perfilman Indonesia di Ranah Internasional.
Penulis
2
1.2 Rumusan Masalah
1.2.3 Bagaimana cara dan solusi untuk membuat perfilman di Indonesia dapat
bersaing dengan film-film luar negeri yang di impor di Indonesia ?
1.3.3 Untuk mengetahui cara dan solusi untuk membuat perfilman di Indonesia
dapat bangkit kembali dan dapat bersaing film-film luar negeri.
Hasil dari penelitian ini dapat dipastikan akan berguna sebagai bahan
acuan bagi para calon pembuat film, untuk dapat memproduksi dan membuat film yang
mampu bersaing di ranah Internasional. Dan bagi para pelajar dan mahasiswa/i, hasil
penelitian ini dapat menjadi bahan pembelajaran.
Hasil dari penelitian ini dapat mengajari khalayak umum untuk mencintai
kembali film-film milik negeri sendiri, karena banyak dari film-film Indonesia yang
sebenarnya lebih bagus dan layak ditonton. Juga hasil penelitian ini dapat menjawab
keingitahuan dan memberitahukan kepada khalayak bahwa masih ada beberapa film
Indonesia yang patut kita banggakan.
3
1.5 Ruang Lingkup Masalah
Dan disini penulis akan lebih memusatkan penelitian kepada film The Raid :
Redemption untuk mengupas lebih detail salah satu film di Indonesia ini yang telah
meraih banyak penghargaan dan berhasil memasuki pasar perfilman Internasional. Dan
kemudian menganalisis faktor-faktor yang dapat meningkatkan kualitas film di
Indonesia sehingga dapat bersaing di ranah internasional.
1.6 Hipotesis
1.6.1 Perkembangan dari film Indonesia saat ini telah mengalami kemajuan
yang meningkat.
4
1.7 Sistematika Penulisan
Bab III, Metode Penelitian meliputi pengumpulan data, analisis data dan
penyajian hasil analisis data.
Bab IV, Perkembangan perfilman di Indonesia dari tahun 90-an hingga sekarang,
5
BAB II
Pernah dibahas dalam sebuah buku yang berjudul Indonesian Film Catalogue
oleh J.B Kristanto (2008) bahwa, “Perfilman di Indonesia pernah mencapai puncak
produksinya selama tahun 1950-an dengan 65 judul film pada tahun 1955. Dan di
sepanjang periode tahun 1950-an juga ditandai dengan semakin banyaknya film impor
yang masuk ke Indonesia. Hal ini mengakibatkan semakin menurunya kualitas dari
perfilman di Indonesia, karena makin sedikitnya peminat dari warga Indonesia itu
sendiri.”
Penelitian lebih dalam lagi juga dibahas oleh Haris Jauhari (1992) dalam
bukunya yang berjudul Layar Perak : 90 tahun Bioskop di Indonesia yang menjelaskan
bahwa, “Di tahun 1950-an, sebagian besar film yang di impor ke Indonesia ini adalah
film dari Amerika Serikat, Inggris, Italy, India bahkan Asia ( Malaysia dan Cina ) juga
ikut ‘meramaikan’ bioskop di Indonesia. Sedangkan di tahun 1957, perfilman Indonesia
dilanda krisis yang disebabkan oleh kondisi ekonomi dan politik yang kurang stabil
karena terjadi ketegangan antara pemerintah pusat dengan daerah. Hingga di tahun
1968, mulai diberlakukannya UU yang berisikan bahwa setiap importir film diwajibkan
untuk membeli saham produksi perfilman nasional. Hal ini bertujuan untuk
meningkatkan jumlah produksi film dalam negeri.”
Seperti yang telah di bahas sekilas tadi, dapat dipastikan bahwa sebenarnya
usaha untuk menaikkan dan meningkatkan kualitas perfilman Indonesia sendiri itu telah
dilakukan dari dulu hingga sekarang. Dan hanya sedikit dari kita yang mengetahui fakta
ini dan mencoba untuk memperbaikinya.
6
Dan disini penulis lebih memfokuskan pembahasan pada bentuk Film itu sendiri
yaitu Film The Raid : Redemption, untuk lebih menekankan pada bagaimana film
Indonesia itu dapat bangkit kembali. Maka saya mengambil contoh sampel dan
pembahasan dari beberapa majalah dan buku.
Seperti yang dikutip dalam artikel majalah Cinemags bahwa, “Banyak film-film
karya anak bangsa yang berkualitas dan menuai respon positif baik dari kritikus maupun
publik di tanah airnya maupun di mata dunia. Dan setelah di rating, terdapat 6 film
Indonesia yang dinilai dan diakui telah menjadi barometer pembangkit geliat film
nasional. Baik untuk mengawali eksistensi Indonesia di berbagai Festival Internasional
sekaligus mempromosikan kualitas akting aktor-aktornya ke ranah Mancanegara.”
“ Dan 6 dari film yang di sebutkan tadi adalah, Ada Apa Dengan Cinta (2002),
Jelangkung (2001), What They Don’t Talk When They Talk About Love (2013) yang
berhasil masuk dalam Sundance Film Festival, Postcard from Zoo (2012) dalam ajang
film Berlin Internasional Film Festival, Opera Jawa (2006) dalam Asian Film Festival,
dan The Raid (2012) dalam Toronto International Film Festival dan berhasil meraih
penghargaan Best Film dan Best Actor, dan yang hingga sekarang masih hangat
diperbincangkan karena di rencanakan akan dibuatnya versi kedua dari film ini. Yang
dikabarkan akan di beri judul The Raid : Berandal.”
Sekali lagi fakta-fakta di atas tadi telah membuktikan kepada kita bahwa
sebenarnya telah banyak film dari Indonesia yang telah memberikan pengaruh dan
kontribusinya dalam perkembangan Perfilman di Indonesia saat ini. Bahkan beberapa
dari film-film itu telah mendapatkan pengakuan dari dunia Internasional dengan
banyaknya penghargaan yang mereka peroleh di beberapa ajang festifal film
Internasional.
Sedangkan untuk solusi dalam membangkitkan film Indonesia itu sendiri telah
beberapa kali disampaikan oleh banyak pihak. Salah satunya dari beberapa Mahasiswa
dari Fakultas UM Malang bernama Sueb, Rizki, dan Aan yang menyinggung mengenai
topik ini dalam skripsinya yang berjudul Peran Film Sebagai Media Seni. Disini
dikatakan bahwa, “Sekarang ini yang dibutuhkan oleh Perfilman di Indonesia adalah
kekhasan dari Indonesia itu sendiri. Sehingga nilai kandungan dalam ceritanya tidak
tergerus oleh masukan nilai dari luar.”(2008)
7
“Dan setelah kita teliti dan analisis, sebenarnya banyak dari film Indonesia yang
dinilai telah berhasil. Baik itu dari segi pendapatan maupun penghargaan yang
diraihnya. Dan bahwa beberapa dari film ini mengangkat tema dan cerita nilai-nilai
kedaerahan dan kesenian dari Indonesia itu sendiri. Dan ini menciptakan kekhasan yang
memunculkan bahwa inilah film Indonesia.”
Dan dalam buku berjudul Film Horror dan Roman Indonesia:Sebuah Kajian
karya Amalia Syarafina (2013) yang juga menyebutkan didalamnya, bahwa “Beberapa
dari film Indonesia yang memiliki nilai kekhasan itu adalah, seperti dalam film Opera
Jawa yang menampilkan film musikal yang berbalut musik klasik jawa, film Denias
yang mengangkat nilai kehidupan di tanah Papua, film Nagabonar yang mengusung
tema Nasionalisme di Indonesia, hingga film The Raid yang menyuguhkan nilai
kedaerahan, yaitu ilmu beladiri tradisional nusantara yang kita kenal dengan nama
Pencak Silat.”
Amalia juga menyimpulkan dalam bukunya bahwa, “Yang dibutuhkan oleh film
Indonesia saat ini bukan hanya peningkatan kualitas, baik itu dalam segi cerita, alat
produksi, pemain, dan kru. Tetapi film tanah air juga membutuhkan ‘penonton’ mau
terus mendukung citra film di tanah air.”
8
2.2 Landasan Teori
Film merupakan salah satu bentuk atau alat media massa yang memiliki
kegunaan untuk menyampaikan komunikasi massa. Melalui sebuah film pesan yang
disampaikan dapat menjadi efektif melihat kondisi perfilman saat ini yang semakin
tumbuh dan berkembang dengan cukup baik. Selain itu film juga dapat
merepresentasikan setiap realitas sosial yang terjadi di masyarakat. Film dapat
mempengaruhi pikiran dan bahkan dapat merubah sikap dari setiap penontonnya
melalui pesan-pesan dalam bentuk visual yang ditunjukkan dalam sebuah film. Pada
dasarnya pesan yang digambarkan melalui media massa bersifat umum (public) karena
ditujukan kepada umum dan mengenai kepentingan umum.
9
Dalam hal ini film merupakan media yang dapat merepresentasikan
realitas yang terjadi. Oleh sebab itu di dalam sebuah film terdapat kode-kode, tanda,
simbol-simbol, dan lambang yang memiliki peluang cukup besar untuk dimaknai dan
ditafsirkan. Melalui representasi yang ditunjukkan melalui film dapat membentuk
sebuah makna baru dalam sebuah realitas yang diangkat.
10
BAB III
METODE PENELITIAN
Pengumpulan data yang penulis lakukan disini yaitu dengan cara melalui studi
pustaka dari sumber majalah, tabloid, arsip katalog, dan buku-buku. Penulis juga
mencari sumber-sumber tertulis baik sekunder maupun primer untuk mendukung
penelitian ini, yaitu data dari internet dan bahasan dari skripsi dan makalah dari
beberapa mahasiswa.
Analisis data yang dilakukan penulis adalah dengan cara kontekstual, yaitu
dengan mengumpulkan dan membandingkan data-data film Indonesia dari tahun 90-an
hingga sekarang. Analisis data secara garis besar dapat diurutkan sebagai berikut:
11
BAB IV
Pada era 1980-an hingga awal 1990-an film-film yang paling populer
masa ini adalah film-film komedi slapstick yang dibintangi oleh grup lawak legendaris,
Warkop DKI, yakni Dono, Kasino, Indro seperti Mana Tahaaan.. (1979), Setan Kredit
(1981), Tahu diri Dong (1984), Maju Kena Mundur Kena (1983) dan Sabar Dulu dong
(1989). Dengan gaya banyolan yang unik dan konyol, Warkop telah memproduksi lebih
dari 30 film dan hampir seluruhnya sukses komersil. Pada masa ini juga populer genre
horor yang dipelopori sang ratu horor, Suzanna, seperti, Sundel Bolong (1981), Malam
Jumat Kliwon (1986), dan Malam Satu Suro (1988). Film aksi fantasi sejarah, Saur
Sepuh: Satria Madangkara (1987), yang diadaptasi dari sandiwara radio populer juga
sukses besar dengan empat sekuelnya. Aktor laga, Barry Prima juga sukses dengan film
aksi sejenis melalui Jaka Sembung (1981) dengan tiga sekuelnya. Sementara film
remaja Catatan Si Boy (1987) yang dibintangi Onky Alexanderd dan Meriam Bellina,
juga sukses besar dengan empat sekuelnya.
12
sejak awal 90-an hingga tahun 1997, muncul film-film erotis berkualitas rendah yang
mengeksploitasi seks semata dengan judul-judul yang bombastis, sebut saja macam
Gadis Metropolis (1992), Ranjang yang Ternoda (1993), Gairah Malam (1993),
Pergaulan Metropolis (1994), Gairah Terlarang (1995), Akibat Bebas Sex (1996),
Permainan Erotik (1996), serta Gejolak Seksual (1997).
13
yang tengah naik daun. Film-film roman remaja yang populer antara lain Eiffel I’m in
Love (2003) karya Nasri Ceppy, Heart (2005), Inikah Rasanya Cinta? (2005), Love in
Perth (2010), Purple Love (2011), Love is U (2012). Sineas Nayato Fio Fuala dikenal
juga memproduksi film-film melodrama yang menyayat hati antara lain Cinta Pertama
(2006), The Butterfly (2007), serta My Last Love (2012). Melalui Virgin (2004) film
remaja mulai berani mengambil tema-tema yang dianggap tabu sebelumnya.
Selain film roman dan horor, film bergenre komedi juga juga sukses
besar di pasaran. Film ini rata-rata juga ditujukan untuk penonton remaja dan beberapa
diantaranya berkualitas baik. Dalam perkembangan film komedi yang berbumbu seks
juga semakin banyak diproduksi. Film-film komedi yang populer dan sukses
diantaranya Arisan! (2003) serta sekuelnya yang rilis tahun lalu, Get Married (2007)
dengan dua sekuelnya, Get Married 2 (2009), dan Get Married 3 (2011), Sekuel
Nagabonar, yaitu Naga Bonar jadi 2 (2007), Quickie Express (2007), XL :Extra Large
(2008) serta Otomatis Romantis (2008).
Film anak-anak diproduksi tidak sebanyak film roman dan horor namun
film bertema ini seringkali sukses besar di pasaran. Film umumnya berkisah tentang
perjuangan seorang anak atau sekelompok anak-anak untuk menggapai impian dan cita-
citanya. Film-film anak-anak yang populer antara lain Denias, Senandung di Atas Awan
(????) karya John De Rantau. Laskar Pelangi (2008) dan Sang Pemimpi (2009) karya
14
Riri Reza diangkat dari novel best seller karya Andrea Hirata. Laskar Pelangi (2008)
menjadi film terlaris di Indonesia dengan penonton mencapai 4.606.785. Film anak-
anak tidak jarang pula dipadukan dengan genre olah raga, seperti Garuda di Dadaku
(2009), King (2009), dan Tendangan Dari Langit (2011). Industri perfilman kita
melakukan terobosan dengan memproduksi film animasi musikal melalui Meraih Mimpi
(2009).
Film bertema religi Kiamat Sudah Dekat (2003) karya Deddy Mizwar
memang sukses komersil namun adalah Ayat-ayat Cinta (2008) karya Hanung
Bramantyo yang mengangkat genre religi menjadi populer hingga sekarang. Film religi
kental sekali dengan nuansa agama (muslim) dan kisahnya berhubungan dengan nilai-
nilai keagamaan dalam kehidupan sehari-hari dan tak jarang pula dibumbui unsur
roman. Film-film religi populer seperti Ketika Cinta Bertasbih (2009), Ketika Cinta
Bertasbih 2 (2009), Perempuan Berkalung Sorban (2009), Dalam Mihrab Cinta (2010),
Tanda Tanya (2011), hingga film religi anak-anak, Negeri 5 Menara (2012). Film religi
juga mengangkat kisah tokoh agama seperti Sang Pencerah (2010) dan yang baru dirilis
Soegija (2012). Sementara Cin(T)a (2009) serta 3 Hati Dua Dunia, Satu Cinta (2010)
mengangkat tema masalah beda agama.
Genre aksi baru mulai populer akhir dekade 90-an dan seringkali
berpadu dengan tema kriminal dan perang, seperti Serigala Terakhir (2009), Merah
Putih (2009), Darah Garuda (2010), Merantau (2009), serta yang baru saja rilis The
Raid (2012). The Raid bahkan sukses dirilis luas di Amerika dan sempat masuk 11 besar
box office mingguan disana. Selain sukses secara komersil film ini juga sukses secara
15
kritik karena adegan aksinya yang dikoreografi secara menawan. Film ini merupakan
sejarah bagi kita karena sukses komersil di mancanegara hingga menjadi perbincangan
banyak media dan pengamat film di dunia.
4.2.1 Pembagian genre film Indonesia dari tahun 1960-an s/d 2000-an
- Tahun 1960-an
30%
Drama
40%
Horror
Komedi
Horror-Komedi
5% Action
15%
10%
16
- Tahun 1990-an
20%
Drama
Horror
Komedi
Horror-Komedi
10%
60% Action
Drama-Seks
5%
2%
- Tahun 2000-an
15%
Drama
30%
Horror
10% Komedi
Horror-Komedi
Child-Drama
15%
Religi
15%
Action
5%
10%
17
Dari beberapa data statistik di atas, dapat disimpulkan bahwa perkembangan
film Indonesia tiap tahunnya. Mulai dari bertambahnya genre-genre film yang di
tayangkan, juga bertambahnya peminat/penonton di tiap genre film tersebut. Walau
dapat kita lihat juga, perkembangan film Indonesia mengalami penurunan drastis tingkat
produksi di tahun 1990-an.
Akan tetapi, seiring bertambahnya waktu, dapat di lihat juga bahwa sebenarnya
film dari dalam negeri sendiri masih memiliki peluang untuk terus berkembang dan
maju di negeri sendiri.
18
4.3 Perfilman Indonesia di ranah Internasional
Tidak hanya berkembang di negeri sendiri, tetapi perfilman Indonesia juga mulai
berkembang di ranah Internasional. Bahkan kita patut berbangga karena tidak hanya
perfilman Indonesia mampu bersaing dengan film-film dari luar di dalam negeri. Tetapi
banyak juga beberapa dari film Indonesia telah berhasil mendapat pengakuan dari dunia
Internasional, seperti mendapatkan penghargaan dari beberapa ajang festival
Internsional.
Di periode tahun 90-an, terdapat film Daun di Atas Bantal (1997) berhasil
mendapat penghargaan sebagai Best Asian Future Film dalam penghargaan Asia Pasific
Festival Film. Dan lebih banyak lagi di periode tahun 20-an, yaitu seperti film Laskar
Pelangi (2009) yang berhasil mendapatkan penghargaan sebagai Best Film dan Best
Editor Film dalam penghargaan Berlin International Film Festival, film dengan judul
Modus Anomali (2012) mendapat penghargaan dalam ajang Bucheon Awards di Korea
Selatan, dan film The Raid:Redemption (2012) mendapat penghargaan sebagai Best
Film dalam penghargaan Dublin International Film Festival.
19
BAB V
Tidak hanya dinilai berhasil di dalam negeri sendiri, tetapi film The
Raid:Redemption juga berhasil menembus pasar film Internasional dengan telah
menyabet 3 penghargaan dari ajang penghargaan Internasional. Dan sekarang penulis
akan mengulas film ini dan mencari faktor keberhasilan didalamnya. Berikut ulasan
lebih detailnya :
20
Ray Sahetapy sebagai Tama Riyadi,
gembong narkotik kejam, penguasa gedung apartemen dan antagonis utama.
Yayan Ruhian sebagai Mad Dog ("anjing gila"),
tangan kanan dan tukang pukul brutal Tama yang berkeahlian silat tinggi.
- Penghargaan :
21
- Sinopsis :
Sekelompok tim SWAT tiba di sebuah blok apartemen yang tidak terurus
dengan misi menangkap pemiliknya, seorang bndar narkotik bernama Tama. Blok ini
tidak pernah ‘digerebek’ oleh polisi sebelumnya. Sebagai tempat yang tidak pernah
terjangkau oleh pihak berwajib, gedung tersebut menjadi tempat para pembunuh,
anggota geng, pemerkosa, dan pencuri yang mencari tempat tinggal aman.
- Produksi :
Film ini adalah kerja sama kedua antara Gareth Evans dan Iko Uwais setelah
film aksi pertama mereka, Merantau, yang diluncurkan pada tahun 2009. Sama halnya
dengan Merantau, dalam proyek ini, mereka juga menonjolkan seni bela diri tradisional
Indonesia, pencak silat, dalam tata laga mereka. Penata laga untuk The Raid adalah Iko
Uwais dan Yayan Ruhian, sama seperti pada Merantau, dengan sejumlah ide dari
Gareth Evans sendiri. Proses pengerjaan film ini dikerjakan selama tiga bulan. Selain
kedua aktor laga tersebut, The Raid juga dibintangi oleh aktor kawakan diantaranya Ray
Sahetapy, Donny Alamsyah, Pierre Gruno dan atlet Judo Indonesia, Joe Taslim.
Penggarapan musik latar rilis versi asli Indonesia dikerjakan oleh komposer
Fajar Yuskemal dan Aria Prayogi. Penggarapan skoring musik The Raid yang rilis di
wilayah Amerika Utara, Amerika Latin dan Spanyol juga melibatkan musisi Mike
Shinoda, (personil Linkin Park) dan Joseph Trapanese, seorang komposer yang
menggarap musik untuk film Tron: Legacy (2010) dari Walt Disney Pictures.
22
Hak distribusi internasional dipegang oleh Nightmare Distribution. Pada saat
showcase di Festival Film Cannes 2011, Sony Pictures Classic Worldwide Acquisition
membeli hak pendistribusian film ini untuk kawasan Amerika Utara dan Amerika Latin.
Untuk kepentingan mempertinggi popularitas, Sony Pictures meminta Mike Shinoda
bersama Joseph Trapanese untuk menciptakan musik latar bagi film versi mereka ini.
Akibat permasalahan hak cipta dan rencana pembuatan trilogi, film ini dirilis di
Amerika Utara oleh Sony Pictures dengan judul The Raid: Redemption. Hak
pendistribusian untuk negara-negara lainnya juga telah dijual kepada Alliance (untuk
Kanada), Momentum (Inggris), Madman (Australia dan Selandia Baru), SND (kawasan
berbahasa Prancis), Kadokawa (Jepang), Koch (kawasan berbahasa Jerman), HGC
(Cina), dan Calinos (Turki). Kesepakatan juga telah dibuat dengan para distributor dari
Russia, Skandinavia, Benelux, Islandia, Italia, Amerika Latin, Korea Selatan, dan India
ketika film ini sedang dipertunjukkan pada Festival Film Internasional Toronto (TIFF),
Toronto, Kanada pada September 2011.
Selain pengambilan gambarnya, olahan koreografi seni bela diri film ini juga
menuai decak kagum dari para juri dan penonton di berbagai festival fim Internasional.
Film ini setelah dirilis sempat bertengger di posisi 15 besar top box office bioskop
Amerika. Di Indonesia sendiri film ini telah di tonton oleh 1.844.817 orang. Dengan
kesuksesan itu, The Raid berhasil meraup penghasilan sekitar US$ 15 juta di seluruh
dunia.
23
5.1.2 Faktor Keberhasilan
Setelah mengetahui seluk beluk dari film The Raid:Redemption ini.
Sekarang kita dapat mengambil kesimpulan dan melihat faktor-faktor keberhasilan yang
telah membawa film ini menjadi salah satu film Indonesia yang ‘mendunia’.
5.1.2.1 Kualitas Produksi
Tingginya kualitas produksi ini dapat terlihat dari :
- Keseriusan dan kedalaman dalam penggarapan film ini yang bisa dibilang
keseluruhannya hampir menghabiskan waktu (dari penyiapan naskah hingga
launching film) dalam setengah tahun.
- Sarana dan Prasarana yang digunakan adalah alat dengan kualitas tinggi
- Disponsori dan di distribusikan oleh production house ternama
5.1.2.2 Kru Terbaik
Dipilihnya beberapa kru dalam pembuatan film ini yang benar-
benar ahli dan menguasai di bidangnya masing-masing.
5.1.2.3 Pemain Terbaik
Berhasil didapatkannya beberapa pemain senior kelas atas untuk
memerankan tokoh-tokoh yang ditetapkan. Seperti Pierre Gruno yang telah lama
berkiprah di perfilman Indonesia hingga sekarang.
5.1.2.4 Kekhas-an Cerita
Tidak banyak film Indonesia yang berani mengankat cerita
dengan genre action dalam filmnya. Tetapi The Raid mampu dan berhasil
menampilkan dengan baik unsur action yang dibalut dengan ilmu beladiri
tradisional nusantara, yang lebih kita kenal dengan nama ‘Pencak Silat’.
24
5.2 Solusi Membangkitkan Film Indonesia
Solusi dan cara yang akan di jabarkan nantinya tidak hanya berpusat pada solusi
membangkitkan kembali perfilman indonesia di dalam negeri saja, tetapi penulis juga
menjabarkan solusi membangkitkan perfilman indonesia ke internasional.
Setelah banyak sebelumnya membahas segala macam dari film-film di Indonesia
yang dinilai ‘berhasil’ hingga faktor keberhasilannya. Sekarang dibahasnya cara dan
solusi untuk membangkitkan kembali perfilman di Indonesia yang sampai sekarang bisa
dibilang masih ‘awam’.
Sebenarnya telah banyak upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak dalam
masalah ini. Tetapi tidak sedikit juga beberapa upaya tersebut tidak berhasil, karena
tidak banyaknya ‘partisipan’ untuk melaksanakannya.
Berikut adalah solusi dari penulis yang didapat setelah melakukan banyak
analisis dan penelitian baik dari buku, majalah, katalog, pendapat ahli, dan internet
seputar masalah ini :
25
Tak sekadar lebih mengedepankan aspek hiburan belaka, tetapi berprinsip
merubah suasana baru menjadi pesan film yang ikut mencerdaskan kehidupan bangsa
dan mengangkat harkat dan martabat kebudayaan bangsa, bukan sifatnya mengandung
unsur kekerasa, pornografi, provokasi, penistaan dan pelecehan agama, mengundang
untuk melakukan perbuatan negatif, dan lain-ain.
26
5. Monopoli Mengekang Kreatifitas
Walaupun begitu, masih banyak pemasalahan yang menghantui industri
hiburan di Indonesia. Mulai dari ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM) sampai
sistem yang monopoli. Sistem monopoli sangat tidak menguntungkan industri budaya.
Misalkan jaringan bioskop 21 (twentyone) yang menjadi salah satu kelompok yang
memonopoli bioskop di Indonesia. Akibat monopoli ini, bioskop-bioskop lokal tutup,
tidak saja karena tak mendapat jatah film yang seharusnya bisa ditonton tetapi juga
karena kalah modal. Hiburan itu tak lagi bisa memberikan hiburan kepada masyarakat
lokal.
Artinya pula, sistem pemerintahan yang bersih dan demokratislah yang mampu
menangani masalah monopoli. Bukan hanya dalam bidang perdagangan tetapi juga
dalam distribusi industri kreatif. Semakin demokratis sebuah negara maka akan semakin
kreatif juga rakyatnya. Sehingga pada akhirnya akan ada proses yang merata dalam
pendapatan secara ekonomi yang berbasis daya cipta. Industri kreatif akan berkembang
secara merata dan tidak tersentralisasi di Jakarta saja.
Otonomi daerah yang selama ini digaungkan, bisa menjadi salah satu dasar
perkembangan industri kreatif yang lebih merata dan meluas di Indonesia ke depan.
27
ini. Selama ini, pendidikan masih sebatas pada pendidikan yang bergelut dalam bidang-
bidang yang dianggap menyerap tenaga kerja yang luas seperti ekonomi, pendidikan
dan lainnya. Padahal pendidikan dalam bidang ini juga nampaknya perlu dikembangkan
secara lebih luas. Strategi kebudayaan juga harus menyentuh aspek pendidikan yang
dicitakan akan menjadi dasar perkembangan industri kreatif. Maka butuh pemerintahan
yang mempunyai visi dan misi yang kreatif dan cerdas ke depan.
Maka dari itu nampaknya perlu kebijakan tentang kebudayaan yang juga
menyangkut pendidikan dalam bidang hiburan atau kreatif industri ini. Menteri
Kebudayaan dan Pariwisata harus mempunyai strategi besar dalam mempertahankan
industri budaya ini. Misalnya, bagaimana pengelolaan bioskop, museum, orkestra,
perpustakaan, film, penerbitan buku, panggung drama, dan lain-lain. Kalau belajar dari
Perancis maka menteri kebudayaan berperan penting dalam menangani atau mempunyai
otoritas dalam mengelola dan mempertahankan industri kreatif ini. Peran menteri
kebudayaan sangat penting misalkan dalam membuat kebijakan dalam bidang pajak.
Misalkan film-film Perancis mampu bertahan karena ada kebijakan yang mendukung
mereka dengan pajak yang masuk.
28
BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Secara rata-rata kualitas film kita masih dibawah industri film negara Asia
lainnya, seperti Jepang, Hongkong, Korea, bahkan Thailand. Secara teknis kita tidak
kalah, namun dari segi aspek cerita dan kandungan di dalamnya kita masih sangat
lemah. Sehingga para sineas dari tanah air masih harus lebih banyak belajar lagi, dan
lebih jeli untuk mencari celah untuk bisa bersaing dengan film-film dari negara lain.
Sukses film The Raid bisa menjadi secercah harapan, bahwa bukan hal mustahil film
kita bisa menembus pasar Internasional.
6.2 Saran
6.2.2 Dan untuk kita sebagai ‘penonton’, ada baiknya kita mulai menekankan
rasa bangga terhadap karya dari negeri sendiri dengan terus mendukung dan
memberikan saran.
29
DAFTAR PUSTAKA
Jauhari, Harris. 1992. Layar Perak : 90 tahun Bioskop di IndonesiaI. Jakarta: Nalar.
Syarafina, Amalia. 2013. Film Horror dan Roman Indonesia:Sebuah Kajian. Jakarta:
Gramedia
Turnock, Rob. 2007. Television and Consumer Culture, Britain and the Transformation
of Modernity. Jakarta: Gramedia.
Sueb, Rizki dkk. 2012. Peran Film Sebagai Media Seni. Universitas Malang. Fakultas
Sastra.
Internet
http://montase.blogspot.com/2010/05/sekilas-sejarah-film-indonesia.html
http://filmindonesia.or.id/movie
http://www.slideshare.net/search/slideshow?lang=%2A%2A&page=6&q=karya+ilmiah
+pertelevisian+di+indonesia&searchfrom=header&sort=relevance
http://www.info.com/statistics%20film?cb=81&cmp=2952
http://riaubisnis.com/index.php/opini-news/opini/4351-antara-film-industri-dan-tuntutan
http://perfilman.pnri.go.id/artikel/detail/201
http://wikipedia.co.id
30