Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Film dahulu pada dasarnya dikenal sebagai karya visual yang dibuat sebagai
media dalam menuangkan bentuk kreativitas seseorang. Namun sekarang ini Film tidak
hanya dibuat sebagai media kreativitas saja, tetapi juga sebagai apresiasi penyampaian
pesan, tolak ukur penilaian kepada penciptanya, hingga sebagai media dalam pencarian
nafkah juga.

Sedangkan di Indonesia sendiri, Film telah meningkat perannya sebagai media


seni. Dalam sejarahnya, perfilman Indonesia mencapai puncak produksinya selama
tahun 1980-an dan telah menghasilkan puluhan film-film yang berkualitas tinggi.
Seperti film Catatan Si Boy dan Blok M, dan masih banyak lagi yang lainnya.( )

Dan saat ini Film Indonesia kembali terpuruk dan kalah saing dengan film-film
dari luar negeri. Dikarenakan banyaknya film luar yang di impor, dan mendominasi
bioskop-bioskop di Indonesia. Sehingga banyak dari warga Indonesia sendiri tidak
tertarik lagi dengan buah karya milik bangsa sendiri. Sedangkan dari pihak perfilman
Indonesia sendiri dinilai tidak dapat lagi menaikkan kualitas filmya. Dan banyak film
Indonesia yang sekarang ini telah ‘melenceng’ dan tidak lagi mempunyai kualitas untuk
bersaing di negeri sendiri, apalagi di ranah Internasional.

Tetapi seiring waktu, telah muncul sedikit demi sedikit film-film dari anak
bangsa yang telah berhasil ‘menarik’ warga untuk kembali mencintai karya negeri
sendriri. Dan tidak hanya di negeri sendiri, beberapa film telah berhasil mendapatkan
‘pengakuan’ dari dunia Internasional. Seperti film Denias, Laskar Pelangi, Meraih
Mimpi, Lovely Man, The Raid, dan masih banyak lagi. Dan seperti kita ketahui bahwa
beberapa film yang telah disebutkan tadi, telah berhasil meraih dan ‘menyabet’
beberapa penghargaan penting. Seperti The Best Film untuk film The Raid dalam
penghargaan Toronto International Film Festival 2011, Best Asian Feature Film untuk
film Daun di Atas Bantal dalam penghargaan Asia Pasific Festival Film, Best Film dan

1
Best Editor Film untuk film Laskar Pelangi dalam penghargaan Berlin International
Film Festival 2009, dan masih banyak yang lain.( )

Walau tidak banyak dari film-film Indonesia yang berhasil memasuki ‘pasar’
perfilman dunia, tetapi banyak juga dari beberapa film Indonesia yang mendapat
penghargaan di negeri sendiri, yaitu FFI ( Festival Film Indonesia ) dan IMA (Indonesia
Movie Award ). Karena beberapa dari film ini dinilai telah berhasil menyampaikan
pesan dan mengajarkan tentang moral kepada seluruh penonton, terutama warga
Indonesia sendiri. Seperti film Ayat-Ayat Cinta, The Witness, Habibie Ainun, dan
banyak lagi yang lain.

Sehingga kita patut berbangga kepada para sineas-sineas dari negeri kita yang
telah berhasil menciptakan film-film yang tinggi kualitasnya. Dan sudah sepatutnya kita
sebagai warga Indonesia juga ikut mendukung film-film dari anak bangsa saat ini
dengan tetap membuat karya yang mampu ‘menggerakkan’ hati warga Indonesia, tetapi
juga dunia Internasional.

Dan dari penjabaran latar belakang tersebut, penulis disini ingin mengadakan
penelitian mengenai Perkembangan Perfilman Indonesia di Ranah Internasional.

Penulis

2
1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Bagaimanakah Perkembangan dari Perfilman di Indonesia saat ini ?

1.2.3 Bagaimana cara dan solusi untuk membuat perfilman di Indonesia dapat
bersaing dengan film-film luar negeri yang di impor di Indonesia ?

1.3 Tujuan Penelitian

Banyak dari penelitian dan buku-buku yang membahas perfilman Indonesia


dengan permasalahannya. Tetapi masih sedikit yang membahas mengenai prestasi dari
perfilman Indonesia, sehingga penulis disini melakukan penelitian untuk menyampaikan
hal tersebut. Dan berikut uraiannya :

1.3.1 Untuk mengetahui Perkembangan Perfilman di Indonesia dari tahun 90-


an hingga saat ini.

1.3.3 Untuk mengetahui cara dan solusi untuk membuat perfilman di Indonesia
dapat bangkit kembali dan dapat bersaing film-film luar negeri.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil dari penelitian ini dapat dipastikan akan berguna sebagai bahan
acuan bagi para calon pembuat film, untuk dapat memproduksi dan membuat film yang
mampu bersaing di ranah Internasional. Dan bagi para pelajar dan mahasiswa/i, hasil
penelitian ini dapat menjadi bahan pembelajaran.

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil dari penelitian ini dapat mengajari khalayak umum untuk mencintai
kembali film-film milik negeri sendiri, karena banyak dari film-film Indonesia yang
sebenarnya lebih bagus dan layak ditonton. Juga hasil penelitian ini dapat menjawab
keingitahuan dan memberitahukan kepada khalayak bahwa masih ada beberapa film
Indonesia yang patut kita banggakan.

3
1.5 Ruang Lingkup Masalah

Semenjak tahun 1960-an, dimana telah di ijinkannya film-film asing di impor


masuk ke Indonesia. Banyak dari film Indonesia yang kalah saing dengan film dari luar
yang dinilai kualitasnya lebih tinggi. Sehingga perfilman Indonesia pada saat itu mulai
terpuruk. Tetapi semenjak tahun 2000-an hingga sekarang, mulai banyak film Indonesia
yang bangkit kembali dan banyak mengangkat kisah dan moral bangsa. Dan beberapa
dari film ini berhasil mendapatkan penghargaan atas kerja kerasnya.

Dan disini penulis akan lebih memusatkan penelitian kepada film The Raid :
Redemption untuk mengupas lebih detail salah satu film di Indonesia ini yang telah
meraih banyak penghargaan dan berhasil memasuki pasar perfilman Internasional. Dan
kemudian menganalisis faktor-faktor yang dapat meningkatkan kualitas film di
Indonesia sehingga dapat bersaing di ranah internasional.

1.6 Hipotesis

1.6.1 Perkembangan dari film Indonesia saat ini telah mengalami kemajuan
yang meningkat.

1.6.2 Cara dan solusi untuk perfilman di Indonesia sehingga dapat


membuatnya bersaing film-film luar negeri adalah meningkatkan kualitas
dalam membuat dan memproduksi film.

4
1.7 Sistematika Penulisan

Bab I, Pendahuluan yang memuat uraian latar belakang masalah, rumusan


masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup masalah, hipotesis, dan
sistematika penulisan.

Bab II, Tinjauan Pustaka dan Landasan Teori.

Bab III, Metode Penelitian meliputi pengumpulan data, analisis data dan
penyajian hasil analisis data.

Bab IV, Perkembangan perfilman di Indonesia dari tahun 90-an hingga sekarang,

Bab V, Solusi untuk membangkitkan kembali perfilman di Indonesia.

Bab VI, Penutup meliputi kesimpulan dan saran.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA dan LANDASAN TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka

Pembicaraan dan pembahasan mengenai Perfilman sendiri sebenarnya telah


banyak ditampilkan, baik itu dalam bentuk tayangan acara televisi maupun dimuat
dalam media cetak. Seperti dalam koran, majalah, tabloid, buku serta internet. Hal yang
dibicarakan di dalamnya sendiri bermacam-macam, baik itu mengenai cara dan proses
produksi film, sarana dan prasarana, pelaku dan pembuatnya, bahkan film itu sendiri.

Pernah dibahas dalam sebuah buku yang berjudul Indonesian Film Catalogue
oleh J.B Kristanto (2008) bahwa, “Perfilman di Indonesia pernah mencapai puncak
produksinya selama tahun 1950-an dengan 65 judul film pada tahun 1955. Dan di
sepanjang periode tahun 1950-an juga ditandai dengan semakin banyaknya film impor
yang masuk ke Indonesia. Hal ini mengakibatkan semakin menurunya kualitas dari
perfilman di Indonesia, karena makin sedikitnya peminat dari warga Indonesia itu
sendiri.”

Penelitian lebih dalam lagi juga dibahas oleh Haris Jauhari (1992) dalam
bukunya yang berjudul Layar Perak : 90 tahun Bioskop di Indonesia yang menjelaskan
bahwa, “Di tahun 1950-an, sebagian besar film yang di impor ke Indonesia ini adalah
film dari Amerika Serikat, Inggris, Italy, India bahkan Asia ( Malaysia dan Cina ) juga
ikut ‘meramaikan’ bioskop di Indonesia. Sedangkan di tahun 1957, perfilman Indonesia
dilanda krisis yang disebabkan oleh kondisi ekonomi dan politik yang kurang stabil
karena terjadi ketegangan antara pemerintah pusat dengan daerah. Hingga di tahun
1968, mulai diberlakukannya UU yang berisikan bahwa setiap importir film diwajibkan
untuk membeli saham produksi perfilman nasional. Hal ini bertujuan untuk
meningkatkan jumlah produksi film dalam negeri.”

Seperti yang telah di bahas sekilas tadi, dapat dipastikan bahwa sebenarnya
usaha untuk menaikkan dan meningkatkan kualitas perfilman Indonesia sendiri itu telah
dilakukan dari dulu hingga sekarang. Dan hanya sedikit dari kita yang mengetahui fakta
ini dan mencoba untuk memperbaikinya.

6
Dan disini penulis lebih memfokuskan pembahasan pada bentuk Film itu sendiri
yaitu Film The Raid : Redemption, untuk lebih menekankan pada bagaimana film
Indonesia itu dapat bangkit kembali. Maka saya mengambil contoh sampel dan
pembahasan dari beberapa majalah dan buku.

Seperti yang dikutip dalam artikel majalah Cinemags bahwa, “Banyak film-film
karya anak bangsa yang berkualitas dan menuai respon positif baik dari kritikus maupun
publik di tanah airnya maupun di mata dunia. Dan setelah di rating, terdapat 6 film
Indonesia yang dinilai dan diakui telah menjadi barometer pembangkit geliat film
nasional. Baik untuk mengawali eksistensi Indonesia di berbagai Festival Internasional
sekaligus mempromosikan kualitas akting aktor-aktornya ke ranah Mancanegara.”

“ Dan 6 dari film yang di sebutkan tadi adalah, Ada Apa Dengan Cinta (2002),
Jelangkung (2001), What They Don’t Talk When They Talk About Love (2013) yang
berhasil masuk dalam Sundance Film Festival, Postcard from Zoo (2012) dalam ajang
film Berlin Internasional Film Festival, Opera Jawa (2006) dalam Asian Film Festival,
dan The Raid (2012) dalam Toronto International Film Festival dan berhasil meraih
penghargaan Best Film dan Best Actor, dan yang hingga sekarang masih hangat
diperbincangkan karena di rencanakan akan dibuatnya versi kedua dari film ini. Yang
dikabarkan akan di beri judul The Raid : Berandal.”

Sekali lagi fakta-fakta di atas tadi telah membuktikan kepada kita bahwa
sebenarnya telah banyak film dari Indonesia yang telah memberikan pengaruh dan
kontribusinya dalam perkembangan Perfilman di Indonesia saat ini. Bahkan beberapa
dari film-film itu telah mendapatkan pengakuan dari dunia Internasional dengan
banyaknya penghargaan yang mereka peroleh di beberapa ajang festifal film
Internasional.

Sedangkan untuk solusi dalam membangkitkan film Indonesia itu sendiri telah
beberapa kali disampaikan oleh banyak pihak. Salah satunya dari beberapa Mahasiswa
dari Fakultas UM Malang bernama Sueb, Rizki, dan Aan yang menyinggung mengenai
topik ini dalam skripsinya yang berjudul Peran Film Sebagai Media Seni. Disini
dikatakan bahwa, “Sekarang ini yang dibutuhkan oleh Perfilman di Indonesia adalah
kekhasan dari Indonesia itu sendiri. Sehingga nilai kandungan dalam ceritanya tidak
tergerus oleh masukan nilai dari luar.”(2008)

7
“Dan setelah kita teliti dan analisis, sebenarnya banyak dari film Indonesia yang
dinilai telah berhasil. Baik itu dari segi pendapatan maupun penghargaan yang
diraihnya. Dan bahwa beberapa dari film ini mengangkat tema dan cerita nilai-nilai
kedaerahan dan kesenian dari Indonesia itu sendiri. Dan ini menciptakan kekhasan yang
memunculkan bahwa inilah film Indonesia.”

Dan dalam buku berjudul Film Horror dan Roman Indonesia:Sebuah Kajian
karya Amalia Syarafina (2013) yang juga menyebutkan didalamnya, bahwa “Beberapa
dari film Indonesia yang memiliki nilai kekhasan itu adalah, seperti dalam film Opera
Jawa yang menampilkan film musikal yang berbalut musik klasik jawa, film Denias
yang mengangkat nilai kehidupan di tanah Papua, film Nagabonar yang mengusung
tema Nasionalisme di Indonesia, hingga film The Raid yang menyuguhkan nilai
kedaerahan, yaitu ilmu beladiri tradisional nusantara yang kita kenal dengan nama
Pencak Silat.”

Amalia juga menyimpulkan dalam bukunya bahwa, “Yang dibutuhkan oleh film
Indonesia saat ini bukan hanya peningkatan kualitas, baik itu dalam segi cerita, alat
produksi, pemain, dan kru. Tetapi film tanah air juga membutuhkan ‘penonton’ mau
terus mendukung citra film di tanah air.”

8
2.2 Landasan Teori

2.2.1 Film Sebagai Media Representasi

Film merupakan salah satu bentuk atau alat media massa yang memiliki
kegunaan untuk menyampaikan komunikasi massa. Melalui sebuah film pesan yang
disampaikan dapat menjadi efektif melihat kondisi perfilman saat ini yang semakin
tumbuh dan berkembang dengan cukup baik. Selain itu film juga dapat
merepresentasikan setiap realitas sosial yang terjadi di masyarakat. Film dapat
mempengaruhi pikiran dan bahkan dapat merubah sikap dari setiap penontonnya
melalui pesan-pesan dalam bentuk visual yang ditunjukkan dalam sebuah film. Pada
dasarnya pesan yang digambarkan melalui media massa bersifat umum (public) karena
ditujukan kepada umum dan mengenai kepentingan umum.

Kekuatan dan kemampuan film menjangkau banyak segmen sosial, lantas


membuat para ahli bahwa film memiliki potensi untuk mempengaruhi khalayaknya.
Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan
kemudian memproyeksikannya ke atas layar. (Irawanto dalam Sobur, 2006:127). Film
merupakan salah satu wadah atau media yang mampu merepresentasikan realitas-
realitas sosial dengan cara menyampaikannya dalam bentuk pesan yang ditujukan
kepada masyarakat umum. Makna film sebagai representasi dari realitas masyarakat,
bagi Turner, berbeda dengan film sekedar sebagai refleksi dari realitas. Sebagai refleksi
dari realitas, film sekedar “memindah” realitas ke layar tanpa mengubah realitas itu.
Sementara itu, sebagai representasi dari realitas, film membentuk dan
“menghadirkan kembali” realitas berdasarkan kode-kode, konvensi-konvensi, dan
ideologi dari kebudayaannya. (Turner dalam Sobur 2006:127). Selain itu, dalam hal ini
Sobur juga menjelaskan mengenai kemampuan sebuah film dalam mengangkat sebuah
realitas dan menghadirkannya kembali ke
atas layar, bahwa:
“Sebagai suatu alat untuk menyampaiakan berita, penilaian, atau
gambaran umum tentang banyak hal, ia mempunyai kemampuan untuk berperan
sebagai institusi yang dapat membentuk opini publik, antara lain, karena media juga
dapat berkembang menjadi kelompok penekan atas suatu atau gagasan, dan bahkan
suatu kepentingan atau citra yang ia representasikan untuk diletakkan dalam konteks
kehidupan yang lebih empiris.”

9
Dalam hal ini film merupakan media yang dapat merepresentasikan
realitas yang terjadi. Oleh sebab itu di dalam sebuah film terdapat kode-kode, tanda,
simbol-simbol, dan lambang yang memiliki peluang cukup besar untuk dimaknai dan
ditafsirkan. Melalui representasi yang ditunjukkan melalui film dapat membentuk
sebuah makna baru dalam sebuah realitas yang diangkat.

2.2.2 Pembangunan Dalam Representasi Media

Layaknya seperangkat media massa yang pada dasarnya selalu dapat


mengkonstruksikan setiap realita yang terjadi di sekeliling kita, dalam hal ini tanpa
terkecuali sebuah realita tentang pembangunan. Banyak media massa yang mengkaji
dan mengkonstruksi beberapa realita tentang pembangunan. Salah satu diantaranya
adalah film. Sejumlah film memberikan perhatian terhadap tema tentang pembangunan.
Seperti misalnya pada film-film yang bertema komedi satir yang berjudul
“Laskar Pelangi”, dan “Nagabonar Jadi 2”. Sebelum kita mengkaji hal ini lebih dalam,
peneliti berpendapat bahwa agaknya kita perlu untuk menyamakan pemahaman kita
tentang pembangunan itu sendiri terlebih dahulu. Pada dasarnya setiap pembangunan
memiliki tujuan untuk memberi perubahan bagi setiap tatanan kehidupan masyarakat
pada suatu bangsa untuk menjadi lebih baik lagi. Pembangunan sebagai proses
perubahan sosial menuju ketataran kehidupan masyarakat yang lebih baik ini, menurut
Moeljarto T :
“Bukanlah merupakan fenomena baru. Sebab, peradaban manusia tidak
akan mencapai wujudnya yang sekarang, apabila tidak terjadi proses perubahan sosial
yang terus-menerus, meskipun dengan intensitas yang bervariasi, pada masa yang lalu.
(Moeljarto, 1995:xi).

10
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang penulis lakukan disini yaitu dengan cara melalui studi
pustaka dari sumber majalah, tabloid, arsip katalog, dan buku-buku. Penulis juga
mencari sumber-sumber tertulis baik sekunder maupun primer untuk mendukung
penelitian ini, yaitu data dari internet dan bahasan dari skripsi dan makalah dari
beberapa mahasiswa.

3.2 Analisis Data

Analisis data yang dilakukan penulis adalah dengan cara kontekstual, yaitu
dengan mengumpulkan dan membandingkan data-data film Indonesia dari tahun 90-an
hingga sekarang. Analisis data secara garis besar dapat diurutkan sebagai berikut:

3.2.1 Mengidentifikasi tentang film-film di Indonesia dari tahun 90-an hingga


sekarang.

3.2.2 Menganalisis film The Raid:Redemption dan mencari faktor di dalamnya


yang menyebabkan film tersebut dapat terkenal luas.

3.2.3 Mengidentifikasi solusi untuk membangkitkan kembali perfilman di


Indonesia.

11
BAB IV

PERKEMBANGAN PERFILMAN INDONESIA

4.1 Sejarah Perfilman di Indonesia

4.1.1 Era 1980 – 1999

Pada era 1980-an hingga awal 1990-an film-film yang paling populer
masa ini adalah film-film komedi slapstick yang dibintangi oleh grup lawak legendaris,
Warkop DKI, yakni Dono, Kasino, Indro seperti Mana Tahaaan.. (1979), Setan Kredit
(1981), Tahu diri Dong (1984), Maju Kena Mundur Kena (1983) dan Sabar Dulu dong
(1989). Dengan gaya banyolan yang unik dan konyol, Warkop telah memproduksi lebih
dari 30 film dan hampir seluruhnya sukses komersil. Pada masa ini juga populer genre
horor yang dipelopori sang ratu horor, Suzanna, seperti, Sundel Bolong (1981), Malam
Jumat Kliwon (1986), dan Malam Satu Suro (1988). Film aksi fantasi sejarah, Saur
Sepuh: Satria Madangkara (1987), yang diadaptasi dari sandiwara radio populer juga
sukses besar dengan empat sekuelnya. Aktor laga, Barry Prima juga sukses dengan film
aksi sejenis melalui Jaka Sembung (1981) dengan tiga sekuelnya. Sementara film
remaja Catatan Si Boy (1987) yang dibintangi Onky Alexanderd dan Meriam Bellina,
juga sukses besar dengan empat sekuelnya.

Sementara itu muncul pula film-film drama berkualitas dari sutradara-


sutradara berpengaruh pada masa ini seperti, Doea Tanda Mata (1984) karya Teguh
Karya, Matahari-Matahari (1985) karya Arifin C Noer, Tjoet Nyak Dien (1986) karya
Eros Djarot, Kodrat (1986), karya Slamet Rahardjo Djarot, Kejarlah daku Kau
Kutangkap (1985) karya Chaerul Umam, serta Nagabonar (????) karya Deddy Mizwar.
Sementara Pengkhianatan G-30-S PKI (1982) karya Arifin C. Noer yang merupakan
film propaganda fenomenal, menjadi film terlaris era 80-an dan kelak selalu diputar di
televisi nasional tiap tahunnya selama era Orde baru.

Dimulai awal dekade 1990-an hingga awal dekade 2000-an kondisi


perfilman Indonesia mati suri dengan menurunnya jumlah produksi film nasional
terutama sekali karena munculnya TV swasta di akhir era 80-an. Sejak Tahun 1993, FFI
tidak lagi diselenggarakan karena minimnya produksi. Di tengah kondisi serba sulit ini

12
sejak awal 90-an hingga tahun 1997, muncul film-film erotis berkualitas rendah yang
mengeksploitasi seks semata dengan judul-judul yang bombastis, sebut saja macam
Gadis Metropolis (1992), Ranjang yang Ternoda (1993), Gairah Malam (1993),
Pergaulan Metropolis (1994), Gairah Terlarang (1995), Akibat Bebas Sex (1996),
Permainan Erotik (1996), serta Gejolak Seksual (1997).

Namun film-film drama berkualitas masih muncul seperti seperti Taksi


(1990) Arifin C Noer, Sri (1997) sutradara Marselli Sumarno, Telegram (1997) karya
Slamet Raharjo Djarot, serta Badut-Badut Kota (1993) karya Ucik Supra. Garin
Nugroho juga memulai debutnya dengan film-filmnya seperti Cinta Dalam Sepotong
Roti (1990), Daun di Atas Bantal (1997), dan Puisi Tak Terkuburkan (1999). Dewan
Film Nasional juga membiayai Bulan Tertusuk Ilalang (1994) karya Garin Nugroho dan
Cemeng 2005 (1995) karya sutradara N. Riantiarno untuk menggairahkan kembali
perfilman nasional seperti yang telah dilakukan pada era 60-an silam. Sementara dari
kalangan sineas independen, muncul sineas-sineas intelek muda yang kelak
berpengaruh pada dekade mendatang seperti Riri Reza, Mira Lesmana, Rizal
Mantovani, dan Nan Acnas dengan memproduksi Kuldesak (1997).

4.1.2 Era 2000 – Sekarang

Pasca reformasi dianggap sebagai momentum awal kebangkitan


perfilman nasional. Momen ini ditandai melalui film musikal anak-anak Petualangan
Serina (1999) karya Riri Reza serta diproduseri Mira Lesmana yang sukses besar di
pasaran. Selang beberapa tahun diproduksi dua film fenomenal yang sukses luar biasa
yang selanjutnya memicu produksi film-film lokal. Pertama adalah film horor
Jelangkung (2001) karya sutradara Jose Purnomo dan Rizal Mantovani dan kedua Ada
Apa Dengan Cinta? (2001) karya Sutradara Rudi Soedjarwo yang diproduseri oleh Mira
Lesmana dan Riri Reza. AADC sukses fenomenal hanya dalam tiga hari diputar di
Jakarta film ini telah meraih 62.217 penonton. Dua film ini dianggap sebagai film
pelopor yang nantinya banyak bermunculan puluhan film-film dengan tema dan genre
yang sama. Film bertema remaja dan film horor bahkan hingga kini masih membanjir
dan laris di pasaran.

Mengikuti sukses AADC film-film roman dan melodrama remaja


bermunculan dan tak jarang menggunakan bintang muda, penyanyi atau grup musik

13
yang tengah naik daun. Film-film roman remaja yang populer antara lain Eiffel I’m in
Love (2003) karya Nasri Ceppy, Heart (2005), Inikah Rasanya Cinta? (2005), Love in
Perth (2010), Purple Love (2011), Love is U (2012). Sineas Nayato Fio Fuala dikenal
juga memproduksi film-film melodrama yang menyayat hati antara lain Cinta Pertama
(2006), The Butterfly (2007), serta My Last Love (2012). Melalui Virgin (2004) film
remaja mulai berani mengambil tema-tema yang dianggap tabu sebelumnya.

Genre horor mendominasi pasar melalui film-film horor remaja yang


umumnya mengambil cerita mitos atau legenda dari sebuah tempat atau lokasi angker
yang menampilkan makhluk-makhluk gaib khas lokal, seperti kuntilanak, pocong,
genderuwo, suster ngesot, tuyul, dan sebagainya. Pengaruh horor Jepang juga seringkali
tampak dan tak jarang pula memasukkan unsur erotisme sebagai bumbu. Beberapa film
horor populer diantaranya, Tusuk Jelangkung (2002), Kuntilanak (2006), Terowongan
Casabanca (2007), Tali Pocong Perawan (2008), serta Suster Keramas (2009). Bahkan
Suzanna, sang ratu horor pun masih sempat bermain dalam Hantu Ambulance (2008).
Selain film-film horor bermunculan film-film slasher ala barat seperti Rumah Dara
(2010), Air Terjun Pengantin (2009), Pintu Terlarang (2009), hingga yang terbaru
Modus Anomali (2012). Genre horor juga sering dipadukan dengan genre komedi,
seperti Setan Budeg (2009), Poconggg Juga Pocong (2011), dan Nenek Gayung (2012).

Selain film roman dan horor, film bergenre komedi juga juga sukses
besar di pasaran. Film ini rata-rata juga ditujukan untuk penonton remaja dan beberapa
diantaranya berkualitas baik. Dalam perkembangan film komedi yang berbumbu seks
juga semakin banyak diproduksi. Film-film komedi yang populer dan sukses
diantaranya Arisan! (2003) serta sekuelnya yang rilis tahun lalu, Get Married (2007)
dengan dua sekuelnya, Get Married 2 (2009), dan Get Married 3 (2011), Sekuel
Nagabonar, yaitu Naga Bonar jadi 2 (2007), Quickie Express (2007), XL :Extra Large
(2008) serta Otomatis Romantis (2008).

Film anak-anak diproduksi tidak sebanyak film roman dan horor namun
film bertema ini seringkali sukses besar di pasaran. Film umumnya berkisah tentang
perjuangan seorang anak atau sekelompok anak-anak untuk menggapai impian dan cita-
citanya. Film-film anak-anak yang populer antara lain Denias, Senandung di Atas Awan
(????) karya John De Rantau. Laskar Pelangi (2008) dan Sang Pemimpi (2009) karya

14
Riri Reza diangkat dari novel best seller karya Andrea Hirata. Laskar Pelangi (2008)
menjadi film terlaris di Indonesia dengan penonton mencapai 4.606.785. Film anak-
anak tidak jarang pula dipadukan dengan genre olah raga, seperti Garuda di Dadaku
(2009), King (2009), dan Tendangan Dari Langit (2011). Industri perfilman kita
melakukan terobosan dengan memproduksi film animasi musikal melalui Meraih Mimpi
(2009).

Film-film bergenre drama juga banyak muncul yang biasanya berkisah


tentang perjuangan hidup, perncarian eksistensi diri, nilai-nilai moral, dan dan masalah
sosial. Beberapa diantaranya berkualitas sangat baik dan sukses di beberapa ajang
festival film intersnasional. Film-filmnya drama populer diantaranya Cau Bau Kan
(2001) dan Berbagi Suami (2006) yang keduanya karya sutradara Nia Dinata, lalu Pasir
Berbisik (2000) dan The Photograph (2007) karya Nan Achnas, Eliana, Eliana (2002),
dan Gie (2004) karya Riri Reza, Mengejar Matahari (2004) karya Rudi Soedjarwo,
Surat Kecil Untuk Tuhan (2011), dan pemenang Citra tahun lalu Sang Penari (2011)
karya Ifa Irfansyah.

Film bertema religi Kiamat Sudah Dekat (2003) karya Deddy Mizwar
memang sukses komersil namun adalah Ayat-ayat Cinta (2008) karya Hanung
Bramantyo yang mengangkat genre religi menjadi populer hingga sekarang. Film religi
kental sekali dengan nuansa agama (muslim) dan kisahnya berhubungan dengan nilai-
nilai keagamaan dalam kehidupan sehari-hari dan tak jarang pula dibumbui unsur
roman. Film-film religi populer seperti Ketika Cinta Bertasbih (2009), Ketika Cinta
Bertasbih 2 (2009), Perempuan Berkalung Sorban (2009), Dalam Mihrab Cinta (2010),
Tanda Tanya (2011), hingga film religi anak-anak, Negeri 5 Menara (2012). Film religi
juga mengangkat kisah tokoh agama seperti Sang Pencerah (2010) dan yang baru dirilis
Soegija (2012). Sementara Cin(T)a (2009) serta 3 Hati Dua Dunia, Satu Cinta (2010)
mengangkat tema masalah beda agama.

Genre aksi baru mulai populer akhir dekade 90-an dan seringkali
berpadu dengan tema kriminal dan perang, seperti Serigala Terakhir (2009), Merah
Putih (2009), Darah Garuda (2010), Merantau (2009), serta yang baru saja rilis The
Raid (2012). The Raid bahkan sukses dirilis luas di Amerika dan sempat masuk 11 besar
box office mingguan disana. Selain sukses secara komersil film ini juga sukses secara

15
kritik karena adegan aksinya yang dikoreografi secara menawan. Film ini merupakan
sejarah bagi kita karena sukses komersil di mancanegara hingga menjadi perbincangan
banyak media dan pengamat film di dunia.

Sedangkan dari para pembuat film non mainstream (non komersil)


muncul pula film-film alternatif. Beberapa diantaranya abstrak, kompleks, dan ceritanya
sulit dipahami orang awam. Tema film yang diangkat biasanya merupakan kritik dan
respon terhadap isu sosial, ekonomi, dan politik di negara ini. Garin Nugroho adalah
satu diantara sineas yang memilih di jalur ini, dan seringkali justru film-filmnya
mendapat apresiasi di festival-festival luar negeri. Film-filmnya seperti Opera Jawa
(2006), Under the Tree (2008), Generasi Biru (2008), serta Mata Tertutup (2012). Juga
film-film semi abstrak seperti Novel Tanpa Huruf R (2003) dan Identitas (2009) karya
Aria Kusumadewa.

4.2 Data Statistik Perfilman di Indonesia

4.2.1 Pembagian genre film Indonesia dari tahun 1960-an s/d 2000-an

- Tahun 1960-an

Drama Horror Komedi Horror-Komedi Action


40% 10% 15% 5% 30%

Pembagian Genre Film di Tahun 1960-an

30%
Drama
40%
Horror
Komedi
Horror-Komedi
5% Action

15%
10%

Source : Katalog Film Indonesia 1960 - 2012

16
- Tahun 1990-an

Drama Horror Komedi Horror-Komedi Action Drama-Seks


3% 20% 10% 5% 2% 60%

Pembagian Genre Film di Tahun 1990-an


3%

20%
Drama
Horror
Komedi
Horror-Komedi
10%
60% Action
Drama-Seks
5%
2%

Source : Katalog Film Indonesia 1960 - 2012

- Tahun 2000-an

Drama Horror Komedi Horror-Komedi Child-Drama Religi Action


30% 15% 10% 5% 15% 10% 15%

Pembagian Genre Film di Tahun 2000-an

15%
Drama
30%
Horror
10% Komedi
Horror-Komedi
Child-Drama
15%
Religi
15%
Action
5%
10%

Source : Katalog Film Indonesia 1960 - 2012

17
Dari beberapa data statistik di atas, dapat disimpulkan bahwa perkembangan
film Indonesia tiap tahunnya. Mulai dari bertambahnya genre-genre film yang di
tayangkan, juga bertambahnya peminat/penonton di tiap genre film tersebut. Walau
dapat kita lihat juga, perkembangan film Indonesia mengalami penurunan drastis tingkat
produksi di tahun 1990-an.

4.2.2 Perkembangan Perfilman di Indonesia dari tahun 1960-an s/d Sekarang

Tahun Film Indonesia Film Luar Negeri


1960 43% 40%
1990 25% 70%
2000 50% 60%
2010-
45% 80%
Sekarang

Perkembangan Film di Indonesia


90%
80% 80%
70% 70%
60% 60%
50% 50%
45% Film Indonesia
43%
40% 40%
Film Luar Negeri
30%
25%
20%
10%
0%
1960 1990 2000 2010-Sekarang
Source : Katalog Film Indonesia 1960 - 2012

Dari data statistik di atas, dapat disimpulkan bahwa perkembangan dari


perfilman di Indonesia tiap tahunnya mengalami pasang surut dan diperkirakan akan
masih mengalami perkembangan lagi. Walau dapat kita lihat, film ki0ta sendiri masih
kalah pamor di bandingkan film luar negeri yang di impor di negeri kita.

Akan tetapi, seiring bertambahnya waktu, dapat di lihat juga bahwa sebenarnya
film dari dalam negeri sendiri masih memiliki peluang untuk terus berkembang dan
maju di negeri sendiri.

18
4.3 Perfilman Indonesia di ranah Internasional

Tidak hanya berkembang di negeri sendiri, tetapi perfilman Indonesia juga mulai
berkembang di ranah Internasional. Bahkan kita patut berbangga karena tidak hanya
perfilman Indonesia mampu bersaing dengan film-film dari luar di dalam negeri. Tetapi
banyak juga beberapa dari film Indonesia telah berhasil mendapat pengakuan dari dunia
Internasional, seperti mendapatkan penghargaan dari beberapa ajang festival
Internsional.

Film-film yang berhasil meraih penghargaan di ajang Internasional itu


diantaranya adalah. Film dari tahun lawas, yaitu Tjoet Nja’ Dhien (1988) yang
mendapatkan penghargaan sebagai Best Internasional Film dalam penghargaan Cannes
Film Festival dan Lewat Djam Malam (1954) di ajang penghargaan yang sama.

Di periode tahun 90-an, terdapat film Daun di Atas Bantal (1997) berhasil
mendapat penghargaan sebagai Best Asian Future Film dalam penghargaan Asia Pasific
Festival Film. Dan lebih banyak lagi di periode tahun 20-an, yaitu seperti film Laskar
Pelangi (2009) yang berhasil mendapatkan penghargaan sebagai Best Film dan Best
Editor Film dalam penghargaan Berlin International Film Festival, film dengan judul
Modus Anomali (2012) mendapat penghargaan dalam ajang Bucheon Awards di Korea
Selatan, dan film The Raid:Redemption (2012) mendapat penghargaan sebagai Best
Film dalam penghargaan Dublin International Film Festival.

Dengan mulai banyaknya film-film Indonesia yang berhasil mencapai pasar


Internasional, tidak menutup kemungkinan bahwa nantinya pasti akan muncul lagi
beberapa film dari ranah tanah air yang akan mulai menyusul.

19
BAB V

SOLUSI MEMBANGKITKAN PERFILMAN INDONESIA

5.1 Faktor Keberhasilan dalam film The Raid:Redemption

Tidak hanya dinilai berhasil di dalam negeri sendiri, tetapi film The
Raid:Redemption juga berhasil menembus pasar film Internasional dengan telah
menyabet 3 penghargaan dari ajang penghargaan Internasional. Dan sekarang penulis
akan mengulas film ini dan mencari faktor keberhasilan didalamnya. Berikut ulasan
lebih detailnya :

5.1.1 The Raid : Redemption

- Sutradara : Gareth Evans


- Durasi : 101 menit
- Pemain :

 Iko Uwais sebagai Rama,


anggota tim Polisi elit penyerbu dengan agenda tersembunyi
 Donny Alamsyah sebagai Andi,
tangan kanan dan otak bisnis narkoba Tama dan juga kakak dari Rama
 Pierre Gruno sebagai Letnan Wahyu,
senior kepolisian yang memerintahkan operasi penyerbuan.

20
 Ray Sahetapy sebagai Tama Riyadi,
gembong narkotik kejam, penguasa gedung apartemen dan antagonis utama.
 Yayan Ruhian sebagai Mad Dog ("anjing gila"),
tangan kanan dan tukang pukul brutal Tama yang berkeahlian silat tinggi.

 Joe Taslim sebagai Sersan Jaka,


pemimpin operasi penyerbuan.
 Tegar Satrya sebagai Bowo,
anggota tim Polisi elit penyerbu yang keras kepala.
 Eka "Piranha" Rahmadia sebagai Dagu,
anggota tim Polisi elit penyerbu.
 Iang Darmawan sebagai Gofar,
satu-satunya penghuni apartemen yang taat pada hukum.
 Verdi Solaiman sebagai Budi,
anggota tim Polisi elit penyerbu

- Penghargaan :

 The Cadillac People's Choice Midnight Madness Award, TIFF 2011


 Salah satu dari 11 film yang menjadi Spotlight dalam Festival Film Sundance
2012
 Terpilih menjadi penutup sesi FrightFest dalam Festival Film Glasgow 2012
 Audience Award dan Dublin Film Critics Circle Best Film dalam Festival Film
Internasional Dublin Jameson 2012
 Prix du Public dalam 6ème Festival Mauvais Genre di Tours, Prancis
 Sp!ts Silver Scream Award pada Festival Film Imagine ke-28 di Amsterdam,
Belanda
 Aktor Pembantu Terbaik : di menangkan oleh Ray Sahetapy dan Yayan Ruhian
hanya sebagai nominasi di Indonesian Movie Awards 2013
 Nominasi Pasangan Terbaik : Iko Uwais dengan Donny Alamsyah di Indonesian
Movie Awards 2013
 Nominasi Film Terfavorit : The Raid di Indonesian Movie Awards 2013

21
- Sinopsis :

Sekelompok tim SWAT tiba di sebuah blok apartemen yang tidak terurus
dengan misi menangkap pemiliknya, seorang bndar narkotik bernama Tama. Blok ini
tidak pernah ‘digerebek’ oleh polisi sebelumnya. Sebagai tempat yang tidak pernah
terjangkau oleh pihak berwajib, gedung tersebut menjadi tempat para pembunuh,
anggota geng, pemerkosa, dan pencuri yang mencari tempat tinggal aman.

Mulai beroperasi di pagi-buta, kelompok SWAT diam-diam masuk ke dlam


gedung dan mengendalikan setiap lantai yang mereka naiki dengan mantap. Tetapi
ketika mereka terlihat oleh pengintai Tama, penyerangan merekapun terbongkar. Dari
penthouse suitenya, Tama menginstruksikan untuk mengunci gedung apartemen dengan
memadamkan lampu dan menutup semua jalan keluar.

Terjebak di lantai 6 tanpa komunikasi dan diserang oleh penghuni apartemen


yang diperintah oleh Tama, tim SWAT harus berjuang melewati setiap lantai dan setiap
ruangan untuk menyelesaikan misi mereka sekaligus bertahan hidup dan keluar dari
tempat itu.

- Produksi :

Film ini adalah kerja sama kedua antara Gareth Evans dan Iko Uwais setelah
film aksi pertama mereka, Merantau, yang diluncurkan pada tahun 2009. Sama halnya
dengan Merantau, dalam proyek ini, mereka juga menonjolkan seni bela diri tradisional
Indonesia, pencak silat, dalam tata laga mereka. Penata laga untuk The Raid adalah Iko
Uwais dan Yayan Ruhian, sama seperti pada Merantau, dengan sejumlah ide dari
Gareth Evans sendiri. Proses pengerjaan film ini dikerjakan selama tiga bulan. Selain
kedua aktor laga tersebut, The Raid juga dibintangi oleh aktor kawakan diantaranya Ray
Sahetapy, Donny Alamsyah, Pierre Gruno dan atlet Judo Indonesia, Joe Taslim.

Penggarapan musik latar rilis versi asli Indonesia dikerjakan oleh komposer
Fajar Yuskemal dan Aria Prayogi. Penggarapan skoring musik The Raid yang rilis di
wilayah Amerika Utara, Amerika Latin dan Spanyol juga melibatkan musisi Mike
Shinoda, (personil Linkin Park) dan Joseph Trapanese, seorang komposer yang
menggarap musik untuk film Tron: Legacy (2010) dari Walt Disney Pictures.

22
Hak distribusi internasional dipegang oleh Nightmare Distribution. Pada saat
showcase di Festival Film Cannes 2011, Sony Pictures Classic Worldwide Acquisition
membeli hak pendistribusian film ini untuk kawasan Amerika Utara dan Amerika Latin.
Untuk kepentingan mempertinggi popularitas, Sony Pictures meminta Mike Shinoda
bersama Joseph Trapanese untuk menciptakan musik latar bagi film versi mereka ini.
Akibat permasalahan hak cipta dan rencana pembuatan trilogi, film ini dirilis di
Amerika Utara oleh Sony Pictures dengan judul The Raid: Redemption. Hak
pendistribusian untuk negara-negara lainnya juga telah dijual kepada Alliance (untuk
Kanada), Momentum (Inggris), Madman (Australia dan Selandia Baru), SND (kawasan
berbahasa Prancis), Kadokawa (Jepang), Koch (kawasan berbahasa Jerman), HGC
(Cina), dan Calinos (Turki). Kesepakatan juga telah dibuat dengan para distributor dari
Russia, Skandinavia, Benelux, Islandia, Italia, Amerika Latin, Korea Selatan, dan India
ketika film ini sedang dipertunjukkan pada Festival Film Internasional Toronto (TIFF),
Toronto, Kanada pada September 2011.

Selain pengambilan gambarnya, olahan koreografi seni bela diri film ini juga
menuai decak kagum dari para juri dan penonton di berbagai festival fim Internasional.
Film ini setelah dirilis sempat bertengger di posisi 15 besar top box office bioskop
Amerika. Di Indonesia sendiri film ini telah di tonton oleh 1.844.817 orang. Dengan
kesuksesan itu, The Raid berhasil meraup penghasilan sekitar US$ 15 juta di seluruh
dunia.

23
5.1.2 Faktor Keberhasilan
Setelah mengetahui seluk beluk dari film The Raid:Redemption ini.
Sekarang kita dapat mengambil kesimpulan dan melihat faktor-faktor keberhasilan yang
telah membawa film ini menjadi salah satu film Indonesia yang ‘mendunia’.
5.1.2.1 Kualitas Produksi
Tingginya kualitas produksi ini dapat terlihat dari :
- Keseriusan dan kedalaman dalam penggarapan film ini yang bisa dibilang
keseluruhannya hampir menghabiskan waktu (dari penyiapan naskah hingga
launching film) dalam setengah tahun.
- Sarana dan Prasarana yang digunakan adalah alat dengan kualitas tinggi
- Disponsori dan di distribusikan oleh production house ternama
5.1.2.2 Kru Terbaik
Dipilihnya beberapa kru dalam pembuatan film ini yang benar-
benar ahli dan menguasai di bidangnya masing-masing.
5.1.2.3 Pemain Terbaik
Berhasil didapatkannya beberapa pemain senior kelas atas untuk
memerankan tokoh-tokoh yang ditetapkan. Seperti Pierre Gruno yang telah lama
berkiprah di perfilman Indonesia hingga sekarang.
5.1.2.4 Kekhas-an Cerita
Tidak banyak film Indonesia yang berani mengankat cerita
dengan genre action dalam filmnya. Tetapi The Raid mampu dan berhasil
menampilkan dengan baik unsur action yang dibalut dengan ilmu beladiri
tradisional nusantara, yang lebih kita kenal dengan nama ‘Pencak Silat’.

24
5.2 Solusi Membangkitkan Film Indonesia
Solusi dan cara yang akan di jabarkan nantinya tidak hanya berpusat pada solusi
membangkitkan kembali perfilman indonesia di dalam negeri saja, tetapi penulis juga
menjabarkan solusi membangkitkan perfilman indonesia ke internasional.
Setelah banyak sebelumnya membahas segala macam dari film-film di Indonesia
yang dinilai ‘berhasil’ hingga faktor keberhasilannya. Sekarang dibahasnya cara dan
solusi untuk membangkitkan kembali perfilman di Indonesia yang sampai sekarang bisa
dibilang masih ‘awam’.
Sebenarnya telah banyak upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak dalam
masalah ini. Tetapi tidak sedikit juga beberapa upaya tersebut tidak berhasil, karena
tidak banyaknya ‘partisipan’ untuk melaksanakannya.
Berikut adalah solusi dari penulis yang didapat setelah melakukan banyak
analisis dan penelitian baik dari buku, majalah, katalog, pendapat ahli, dan internet
seputar masalah ini :

1. Ditegaskannya UU mengenai Perfilman


Dalam Pasal 51 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman
seakan-akan memberikan pencerahan terhadap kemajuan dunia perfilman di Indonesia.
Dimana, dalam Pasal 51 menyebutkan, pemerintah berkewajiban memfasilitasi
pengembangan dan kemajuan perfilman, memfasilitasi pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi perfilman, memberikan bantuan pembiayaan apresiasi film
dan pengarsipan film.
Diharapkan, dengan adanya pengakomodasian dari kepentingan
pemerintah, dunia perfilman bisa memanfaatkan peluang besar ini untuk
mengembangkan dunia perfilman di Indonesia lebih kreatif dan inovatif serta
mempunyai pesan positif dalam setiap karya film diproduksi, sehingga pada akhirnya
film-film yang ditonton bisa ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa.

2. Berusaha untuk meningkatkan kualitas produksi


Para sineas perfilman, produser serta orang-orang berkepentingan di
dalamnya harus sepakat agar hasil karya film yang ditampilkan adalah lebih
mengedepankan sisi informatif pendidikan, hiburan, budaya, akhlak, dan sisi positif
lainnya yang mampu membuat semangat hidup.

25
Tak sekadar lebih mengedepankan aspek hiburan belaka, tetapi berprinsip
merubah suasana baru menjadi pesan film yang ikut mencerdaskan kehidupan bangsa
dan mengangkat harkat dan martabat kebudayaan bangsa, bukan sifatnya mengandung
unsur kekerasa, pornografi, provokasi, penistaan dan pelecehan agama, mengundang
untuk melakukan perbuatan negatif, dan lain-ain.

3. Meningkatkan kreativitas yang memunculkan kekhas-an dan Tetap


memasukkan unsur dan budaya dalam negeri
Seluruh proses kegiatan perfilman tidak bisa dilepaskan dari kebebasan
berkreasi, berinovasi, dan berekspresi. Kesemuanya merupakan sikap untuk
meningkatkan upaya memajukan perfilman Indonesia. Bangsa kita cukup menghargai
kebebasan seseorang untuk berekspresi, namun tetap dalam koridor etika dan budaya
bangsa.
Bangsa kita memiliki cara-cara yang khas untuk mengekspresikan
kreativitasnya, bukan dengan cara mengumbar aurat. Budaya dan agama juga sangat
ketat memberikan peluang kepada kita dalam tuntunan hidup dan aturan bermasyarakat
agar setiap orang memahami tujuan hidup yang benar.

4. Menumbuhkan minat dari penonton


Karya film yang diproduksi dibutuhkan masyarakat saat ini adalah, karya
yang dapat memberikan harapan pemenuhan kebutuhan manusia modern serta inovatif
menjadi karya yang memiliki identitas baru bagi mereka. Kita tahu, kalau perfilman
merupakan sarana komunikasi massa yang gampang dikonsumsi di tengah era
globalisasi. Tentunya, tuntutan dalam karya film adalah karya yang bisa berperan
sebagai alat pencerdasan bangsa, membangkit semangat hidup dan potensi diri,
bercerita tentang peningkatan akhlak baik.

Sepatutnya, perkembangan dunia perfilman di Indonesia adalah yang bisa


merubah sarana tontotan dan hiburan rakyat yang berbasis kepada nilai pendidikan,
sosial dan budaya etis. Makanya, maraknya industri perfilman saat ini, tidak sekadar
ditilik dari sektor karya seni peran dan komersialnya semata, melainkan, bagaimana bisa
membuat metode baru dalam membangkitkan dunia perfilman ini sebagai sarana
menjawab tantangan masa depan yang lebih mendidik.

26
5. Monopoli Mengekang Kreatifitas
Walaupun begitu, masih banyak pemasalahan yang menghantui industri
hiburan di Indonesia. Mulai dari ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM) sampai
sistem yang monopoli. Sistem monopoli sangat tidak menguntungkan industri budaya.
Misalkan jaringan bioskop 21 (twentyone) yang menjadi salah satu kelompok yang
memonopoli bioskop di Indonesia. Akibat monopoli ini, bioskop-bioskop lokal tutup,
tidak saja karena tak mendapat jatah film yang seharusnya bisa ditonton tetapi juga
karena kalah modal. Hiburan itu tak lagi bisa memberikan hiburan kepada masyarakat
lokal.

Artinya pula, sistem pemerintahan yang bersih dan demokratislah yang mampu
menangani masalah monopoli. Bukan hanya dalam bidang perdagangan tetapi juga
dalam distribusi industri kreatif. Semakin demokratis sebuah negara maka akan semakin
kreatif juga rakyatnya. Sehingga pada akhirnya akan ada proses yang merata dalam
pendapatan secara ekonomi yang berbasis daya cipta. Industri kreatif akan berkembang
secara merata dan tidak tersentralisasi di Jakarta saja.

Otonomi daerah yang selama ini digaungkan, bisa menjadi salah satu dasar
perkembangan industri kreatif yang lebih merata dan meluas di Indonesia ke depan.

6. Pendidikan Sektor Creative Industries yang Minim


Untuk sumber daya manusia, masih banyak dibutuhkan sarjana-sarjana
yang handal dalam bidang komunikasi, entertainment, film, dan lain-lain yang
berhubungan dengan industri kreatif hiburan. Sampai saat ini jurusan-jurusan yang
terkait dengan industri kreatif hiburan masih sangat sedikit dan juga tersentralkan di
Jawa. Sampai tahun 2007 jumlah sekolah film di Indonesia masih satu yaitu Institut
Kesenian Jakarta dengan perbandingan 250 juta jiwa penduduk Indonesia. India
mempunyai 30 sekolah film, Korea Selatan mempunyai tujuh sekolah film, Filipina
mempunyai lima sekolah film, dan Iran mempunyai dua sekolah film. Maka ke depan
pendidikan dalam bidang film adalah sebuah keharusan untuk melahirkan sebuah
indutri kreatif yang kuat.
Disaat resesi dunia saat ini terbukti bahwa industri kreatiflah yang mampu
bertahan. Banyak negara yang bertahan dengan kemampuan industri kreatif ini,
misalkan India, Kolombia, Iran dan negara-negara lain. Maka nampaknya perlu
diperhatikan akan pengembangan pendidikan dalam industri budaya atau industri kreatif

27
ini. Selama ini, pendidikan masih sebatas pada pendidikan yang bergelut dalam bidang-
bidang yang dianggap menyerap tenaga kerja yang luas seperti ekonomi, pendidikan
dan lainnya. Padahal pendidikan dalam bidang ini juga nampaknya perlu dikembangkan
secara lebih luas. Strategi kebudayaan juga harus menyentuh aspek pendidikan yang
dicitakan akan menjadi dasar perkembangan industri kreatif. Maka butuh pemerintahan
yang mempunyai visi dan misi yang kreatif dan cerdas ke depan.

7. Kebijakan Kebudayaan yang Lemah

Maka dari itu nampaknya perlu kebijakan tentang kebudayaan yang juga
menyangkut pendidikan dalam bidang hiburan atau kreatif industri ini. Menteri
Kebudayaan dan Pariwisata harus mempunyai strategi besar dalam mempertahankan
industri budaya ini. Misalnya, bagaimana pengelolaan bioskop, museum, orkestra,
perpustakaan, film, penerbitan buku, panggung drama, dan lain-lain. Kalau belajar dari
Perancis maka menteri kebudayaan berperan penting dalam menangani atau mempunyai
otoritas dalam mengelola dan mempertahankan industri kreatif ini. Peran menteri
kebudayaan sangat penting misalkan dalam membuat kebijakan dalam bidang pajak.
Misalkan film-film Perancis mampu bertahan karena ada kebijakan yang mendukung
mereka dengan pajak yang masuk.

28
BAB VI

PENUTUP

6.1 Kesimpulan

Dari kesimpulan diatas, dapat disimpulkan bahwa Perkembangan Perfilman di


Indonesia, baik itu perkembangan di dalam negeri maupun perkembangan hingga ke
luar negeri. Dari masa ke masa ialah terlihat dinamis, atau akan terus berkembang.
Hingga saat ini film-film di tanah air masih berjuang mencari bentuknya menuju
industri film yang lebih mapan.

Secara rata-rata kualitas film kita masih dibawah industri film negara Asia
lainnya, seperti Jepang, Hongkong, Korea, bahkan Thailand. Secara teknis kita tidak
kalah, namun dari segi aspek cerita dan kandungan di dalamnya kita masih sangat
lemah. Sehingga para sineas dari tanah air masih harus lebih banyak belajar lagi, dan
lebih jeli untuk mencari celah untuk bisa bersaing dengan film-film dari negara lain.
Sukses film The Raid bisa menjadi secercah harapan, bahwa bukan hal mustahil film
kita bisa menembus pasar Internasional.

6.2 Saran

6.2.1 Sebaiknya bagi ‘pencipta’ sebuah film haruslah mulai meningkatkan


dengan baik kualitas filmnya agar lebih menarik minat ‘penonton’ di tanah air apalagi
luar negeri.

6.2.2 Dan untuk kita sebagai ‘penonton’, ada baiknya kita mulai menekankan
rasa bangga terhadap karya dari negeri sendiri dengan terus mendukung dan
memberikan saran.

29
DAFTAR PUSTAKA

Kristanto, J.B. 2007. Katalog Film IndonesiaI 1926-2012. Jakarta: Nalar.

Jauhari, Harris. 1992. Layar Perak : 90 tahun Bioskop di IndonesiaI. Jakarta: Nalar.

Syarafina, Amalia. 2013. Film Horror dan Roman Indonesia:Sebuah Kajian. Jakarta:
Gramedia

Turnock, Rob. 2007. Television and Consumer Culture, Britain and the Transformation
of Modernity. Jakarta: Gramedia.

Majalah dan Koran

Cinemagz. Edisi 171 Tahun 2013, 10

Jawa Pos. Merawat Industri Kreatif. 30 Juni 2009

Makalah dan Skripsi

Sueb, Rizki dkk. 2012. Peran Film Sebagai Media Seni. Universitas Malang. Fakultas
Sastra.

Prayoga, Winu A. 2009. Kebijakan Pemerintah Terhadap Perfilman Indonesia.


Universitas Indonesia. Fakultas Ilmu Budaya.

Internet

http://montase.blogspot.com/2010/05/sekilas-sejarah-film-indonesia.html

http://filmindonesia.or.id/movie

http://www.slideshare.net/search/slideshow?lang=%2A%2A&page=6&q=karya+ilmiah
+pertelevisian+di+indonesia&searchfrom=header&sort=relevance

http://www.info.com/statistics%20film?cb=81&cmp=2952

http://riaubisnis.com/index.php/opini-news/opini/4351-antara-film-industri-dan-tuntutan

http://perfilman.pnri.go.id/artikel/detail/201

http://wikipedia.co.id

30

Anda mungkin juga menyukai