Anda di halaman 1dari 19

HUKUMAN YANG MASIH RENDAH BAGI PARA

KORUPTOR

Kelompok 4

XII MIPA 1

Penyusun:

1. Bagas Hartawijaya
2. Giver Petra Ivolala Bidaya
3. Keira Inayah Maharani
4. Maria Frances Angelika
5. Naufal Abiyyi Rahmani
6. Nur Aisati
7. Shaquila Lubis

DINAS PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


SMA NEGERI 10 TANGERANG
2023
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Akhir-akhir ini di Indonesia sering sekali terdengar berbagai macam masalah
yang berkaitan dengan korupsi. Parahnya, korupsi bukan lagi hal yang tabu tapi
merupakan sesuatu yang wajar dan merupakan momok bagi petinggi Negara.
Pemberantasan pun juga telah dilaksanakan tetapi tetap saja korupsi masih merajalela di
masyarakat. Hukum di Indonesia seolah seperti pedang yang ‘runcing ke bawah dan
tumpul ke atas’ sehingga para koruptor dengan mudahnya merampas harta tanpa
mendapatkan hukuman yang setimpal. Sehingga, hukuman yang rendah inilah yang
merupakan masalah terbesar di Indonesia yang harus segera diselesaikan.
Perkembangan peradaban dunia semakin sehari seakan-akan berlari menuju
modernisasi, seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti
perkembangan jaman dan bertransformasi dalam bentuk-bentuk yang semakin canggih
dan beranekaragam. Kejahatan dalam bidang teknologi dan ilmu pengetahuan
senantiasa turut mengikutinya, pada masa kini kejahatan memang tidak lagi selalu
menggunakan cara-cara lama yang telah terjadi selama bertahun-tahun seiring dengan
perjalanan usia bumi ini. Bisa kita lihat contohnya seperti kejahatan dunia maya, tindak
pidana pencucian uang, tindak pidana korupsi dan tindak pidana lainnya. Di Indonesia
sendiri fenomena korupsi ini sudah ada sejak Indonesia belum merdeka, salah satu bukti
yang menunjukkan bahwa korupsi sudah ada dalam masyarakat Indonesia jaman
penjajahan yaitu dengan adanya tradisi memberikan upeti oleh beberapa golongan
masyarakat kepada penguasa setempat. Kemudian setelah perang dunia kedua, muncul
era baru, gejolak korupsi ini meningkat di Negara yang sedang berkembang, Negara
yang baru memperoleh kemerdekaan.
Masalah korupsi ini sangat berbahaya karena dapat menghancurkan jaringan
sosial, yang secara tidak langsung memperlemah ketahanan nasional serta eksistensi
suatu bangsa. Reimon Aron seorang sosiolog berpendapat bahwa korupsi dapat
mengundang gejolak revolusi, alat yang ampuh untuk mengkreditkan suatu bangsa.
Bukanlah tidak mungkin penyaluran akan timbul apabila penguasa tidak secepatnya
menyelesaikan masalah korupsi. Di Indonesia sendiri praktik korupsi sudah sedemikian
parah dan akut. Telah banyak gambaran tentang praktik korupsi yang terekspos ke
permukaan. Di negeri ini sendiri, korupsi sudah seperti sebuah penyakit kanker ganas
yang menjalar ke sel-sel organ publik, menjangkit ke lembaga-lembaga tinggi Negara
seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif hingga ke BUMN. Apalagi mengingat di akhir
masa orde baru, korupsi hampir kita temui dimana-mana. Mulai dari pejabat kecil
hingga pejabat tinggi.Walaupun demikian, peraturan perundang-undangan yang khusus
mengatur tentang tindak pidana korupsi sudah ada.
Itulah sebabnya, penanganan masalah ini pun harus secara luar biasa agar dapat
memberikan efek jera bagi pelaku dan dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Aparat penegak hukum, baik penyidik, jaksa penuntut umum, maupun hakim
semestinya mengungkap semua kasus korupsi hingga tuntas. Indonesia Corruption
Watch (ICW) menilai putusan atau vonis yang diberikan hakim terhadap para pelaku
tindak kejatahan korupsi tidak membuahkan efek jera bagi mereka. Korupsi telah
menjadi salah satu penyakit kronis bangsa. Kejahatan ini bahkan sudah menjadi borok
yang menjangkiti negeri ini secara sistematis dan seolah-olah tidak menunjukkan tanda-
tanda akan berakhir. Korupsi sudah dianggap sebagai kejahatan yang luar biasa (extra
ordinary crime) dan penanganannya juga harus luar biasa. Lahirnya Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) pascareformasi diharapkan bisa “mengobati" borok
tersebut. KPK bahkan menjadi magnet sorotan dan mendapat tempat tersendiri di hati
publik yang menghendaki penegakan hukum bagi tindak pidana korupsi di negeri ini.
Banyak pihak berharap agar para koruptor mendapat hukuman setimpal dengan apa
yang telah diperbuatnya, yaitu hukuman yang berat. Harapan tersebut tentu tidak
berlebihan, karena akibat ulah para koruptor itu, tidak hanya negara yang dirugikan,
tapi juga publik secara umum.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang dapat diambil
antara lain:
1. Apa itu korupsi?
2. Apa itu penyebab korupsi?
3. Apa hukuman untuk para koruptor?
4. Mengapa di Indonesia, hukuman koruptor masih rendah?
5. Bagaimana cara mengatasi para koruptor di Indonesia?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini yang dapat diambil dari rumusan
masalah di atas, yaitu:
1. Untuk mengetahui pengertian dari korupsi
2. Untuk mengetahui apa penyebab dari korupsi
3. Untuk mengetahui hukuman apa yang dapat diberikan kepada para koruptor
4. Untuk mengetahui alasan dari hukuman koruptor yang masih rendah di negara
Indonesia
5. Untuk mengetahui bagaimana caranya mengatasi para koruptor di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Korupsi
Dalam ensiklopedia Indonesia disebut “korupsi” (dari bahasa Latin: corruption
sama seperti penyuapan; corruptore = merusak) gejala di mana para pejabat, badan-
badan Negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan
serta ketidakberesan lainnya. Adapun arti harfia dari korupsi dapat berupa: Kejahatan,
kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan ketidakjujuran. Perbuatan yang
buruk seperti penggelapan uang, penerimaan sogok dan sebagainya.
Baharuddin Lopa mengutip pendapat dari David M. Chalmers, menguraikan arti
istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan,
yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang
kepentingan umum. (Evi Hartanti, S.H., 2005:9)
Selain itu terdapat pengertian korupsi dalam undang-undang antara lain:
1. Undang-undang nomor 3 Tahun 1971 pengertian korupsi tertuang dalam pasal 1
ayat 1 a dan 1 b yang berbunyi :
 1.a. “Barangsiapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu Badan, yang secara
langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau
perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa
perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara;”
 1.b. “Barangsiapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu Badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara
langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara;
2. Sementara itu dalam undang-undang nomor 31tahun 1999 definisi korupsi
tertuang dalam pasal 2 ayat (1) dan dan pasal 3 yang berbunyi :
 Pasal 2 ayat (1)
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara
dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling
sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
 Pasal 3
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling
sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
Dari pengertian-pengertian diatas dapat kita ambil beberapa kesimpulan
terutama yang berkenaan dengan unsur-unsur korupsi antara lain:
1. Perbuatan Melawan Hukum
2. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi
3. Menyalahgunakan wewenang
4. Menyebabkan kerugian keuangan negara atau perekonomian Negara

B. Penyebab Korupsi
1. Faktor Internal, merupakan penyebab korupsi yang datang dari dalam diri pribadi.
a) Aspek perilaku individu
 Iman yang tidak kuat
Orang-orang yang memiliki kelemahan iman, sangat mudah sekali untuk
melakukan tindakan kejahatan seperti korupsi contohnya. Apabila iman
orang tersebut kuat, mereka tidak akan melakukan tindakan korups ini.
Banyak sekali alasan yang diberikan oleh penindak korupsi ini.
 Sifat tamak manusia
Korupsi yang dilakukan bukan karena kebutuhan primer, yaitu kebutuhan
pangan. Pelakunya adalah orang yang berkecukupan, tetapi memiliki sifat
tamak, rakus, mempunyai hasrat memperkaya diri sendiri. Unsur penyebab
tindak korupsi berasal dari dalam diri sendiri yaitu sifat tamak/rakus.
Maka tindakan keras tanpa kompromi, wajib hukumnya.
 Moral yang kurang kuat
Orang yang moralnya kurang kuat mudah tergoda untuk melakukan tindak
korupsi. Godaan bisa datang dari berbagai pengaruh di sekelilingnya,
seperti atasan, rekan kerja, bawahan, atau pihak lain yang memberi
kesempatan.
 Gaya hidup yang konsumtif
Gaya hidup di kota besar mendorong seseorang untuk berperilaku
konsumptif. Perilaku konsumtif yang tidak diimbangi dengan pendapatan
yang sesuai, menciptakan peluang bagi seseorang untuk melakukan tindak
korupsi.
b) Aspek sosial
 Desakan kebutuhan ekonomi
Dengan keadaan ekonomi yang sulit, semua serba sulit, berbagai tindakan
pun akan dilakukan oleh seseorang, guna untuk mempermudah kebutuhan
ekonomi seseorang, salahsatunya adalah dengan melakukan tindakan
korupsi.

2. Faktor Eksternal, merupakan factor peenyebab korupsi yang berasal dari luar.
a) Aspek Sikap Masyarakat terhadap Korupsi
Dalam sebuah organisasi, kesalahan individu sering ditutupi demi menjaga
nama baik organisasi. Demikian pula tindak korupsi dalam sebuah organisasi
sering kali ditutup-tutupi. Akibat sikap tertutup ini, tindak korupsi seakan
mendapat pembenaran, bahkan berkembang dalam berbagai bentuk. Sikap
masyarakat yang berpotensi memberi peluang perilaku korupsi antara lain:
 Nilai-nilai dan budaya di masyarakat yang mendukung untuk terjadinya
korupsi. Misalnya masyarakat menghargai seseorang karena kekayaan
yang dimilikinya. Akibatnya masyarakat menjadi tidak kritis terhadap
kondisi, seperti dari mana kekayaan itu berasal.
 Masyarakat menganggap bahwa korban yang mengalami kerugian akibat
tindak korupsi adalah Negara. Padahal justru pada akhirnya kerugian
terbesar dialami oleh masyarakat sendiri. Contohnya akibat korupsi
anggaran pembangunan menjadi berkuran, pembangunan transportasi
umum menjadi terbatas misalnya.
 Masyarakat kurang menyadari bila dirinya terlibat dalam perilaku korupsi.
Setiap tindakan korupsi pasti melibatkan masyarakat, namun masyarakat
justru terbiasa terlibat dalam tindak korupsi sehari-hari dengan cara-cara
terbuka namun tidak disadari.
 Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi dapat dicegah dan
diberantas bila masyarakat ikut aktif dalam agenda pencegahan dan
pemberantasan korupsi. Umumnya masyarakat menganggap bahwa
pencegahan dan pemberantasan korupsi adalah tanggung jawab
pemerintah.
b) Aspek Ekonomi
Aspek Ekonomi sering membuka peluang bagi seseorang untuk korupsi.
Pendapatan yang tidak dapat memenuhi kebutuhan atau saat sedang terdesak
masalah ekonomi membuka ruang bagi seseorang untuk melakukan jalan
pintas, dan salah satunya adalah korupsi.
c) Aspek Politis
Politik uang (money politics) pada Pemilihan Umum adalah contoh tindak
korupsi, yaitu seseorang atau golongan yang membeli suatu atau menyuap
para pemilih/anggota partai agar dapat memenangkan pemilu. Perilaku korup
seperti penyuapan, politik uang merupakan fenomena yang sering terjadi.
Terkait hal itu Terrence Gomes (2000) memberikan gambaran bahwa politik
uang sebagai use of money and material benefits in the pursuit of political
influence (menggunakan uang dan keuntungan material untuk memperoleh
pengaruh politik).
d) Aspek Organisasi
Organisasi dalam hal ini adalah organisasi dalam arti yang luas, termasuk
sistem pengorganisasian lingkungan masyarakat. Organisasi yang menjadi
korban korupsi atau di mana korupsi terjadi biasanya memberi andil terjadinya
korupsi karena membuka peluang atau kesempatan terjadinya korupsi
(Tunggal, 2000). Aspek-aspek penyebab korupsi dalam sudut pandang
organisasi meliputi:
 Kurang adanya sikap keteladanan Pemimpin
Pemimpin adalah panutan bagi bawahannya. Apa yang dilakukan oleh
pemimpin merupakan contoh bagi bawahannya. Apabila pemimpin
memberikan contoh keteladanan melakukan tindak korupsi, maka
bawahannya juga akan mengambil kesempatan yang sama dengan
atasannya.
 Tidak Adanya Kultur/Budaya Organisasi yang Benar
Organisasi harus memiliki Tujuan Organisasi yang fokus dan jelas. Tujuan
organisasi ini menjadi pedoman dan memberikan arah bagi anggota
organisasi dalam melaksanakan kegiatan sesuati tugas dan fungsinya.
Tujuan organisasi menghubungkan anggotanya dengan berbagai tat-cara
dalam kelompok; juga berfungsi untuk membantu anggotanya menentukan
cara terbaik dalam melaksanakan tugas dan melakukan suatu tindakan.
Tatacara pencapaian tujuan dan pedoman tindakan inilah kemudian
menjadi kultur/budaya organisasi. Kultur organisasi harus dikelola dengan
benar, mengikuti standar-standar yang jelas tentang perilaku yang boleh
dan yang tidak boleh. Kekuatan pemimpin menjadi penentu karena
memberikan teladan bagi anggota organisasi dalam mebentuk budaya
organisasi. Peluang terjadinya korupsi apabila dalam budaya organisasi
tidak ditetapkan nilai-nilai kebenaran, atau bahkan nilai dan norma-norma
justru berkebalikan dengan norma-norma yang berlaku secara umum
(norma bahwa tindak korupsi adalah tindakan yang salah).
 Kurang Memadainya Sistem Akuntabilitas
Dalam sebuah organisasi perlu ditetapkan visi dan misi yang diembannya,
yang dijabarkan dalam rencana kerja dan target pencapaiannya. Dengan
cara ini penilaian terhadap kinerja organisasi dapat dengan mudah
dilaksanakan. Apabila organisasi tidak merumuskan tujuan, sasaran, dan
target kerjanya dengan jelas, maka akan sulit dilakukan penilaian dan
pengukuran kinerja. Hal ini membuka peluang tindak korupsi dalam
organisasi.
 Kelemahan Sistem Pengendalian Manajemen
Pengendalian manajemen merupakan salah satu syarat bagi tindak
pelanggaran korupsi dalam sebuah organisasi. Semakin longgar/lemah
pengendalian manajemen sebuah organisasi semakin terbuka peluang
tindak korupsi anggota atau pegawai di dalamnya.
 Pengawasan terbagi menjadi dua, yaitu pengawasan internal
(pengawasan fungsional dan pengawasan langsung oleh pemimpin) dan
pengawasan yang bersifat eksternal (pengawasan dari legislatif dalam hal
ini antara lain KPKP, Bawasda, dll dan masyarakat). Pengawasan ini
kurang berfungsi secara efektif karena beberapa faktor seperti tumpang
tindihnya pengawasan pada berbagai instansi, kurangnya profesional
pengawas serta kurangnya kepatuhan pada etika hukum maupun
pemerintah oleh pengawas itu sendiri.

C. Hukuman Untuk Para Koruptor


1. Pidana mati
Dapat dipidana mati karena kepada setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang nomor 31 tahun
1999 dan Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi, yang dilakukan dalam keadaan tertentu.
2. Pidana penjara
Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan Negara atau perkonomian Negara. (Pasal 2 ayat 1)
Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan/atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak satu Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang
yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara
atau perekonomian Negara (Pasal 3)
Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas)
tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta) bagi setiap
orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara
langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding
pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara
korupsi. (Pasal 21)
Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas)
tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) bagi
setiap orang sebagaimana dimaksud dalam pasal 28, pasal 29, pasal 35, dan
pasal 36.
3. Pidana tambahan
- Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau
barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak
pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana
korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-
barang tersebut.
- Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama
dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
- Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1
(satu) tahun.
- Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh
atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh
pemerintah kepada terpidana.
- Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1
(satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk
menutupi uang pengganti tersebut.
- Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk
membayar uang pengganti maka terpidana dengan pidana penjara yang
lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai
ketentuan undang-undang nomor 31 tahun 1999 dan undang-undang nomor
20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan lamanya
pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.

D. Hukuman Koruptor Indonesia yang Masih Rendah


Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption
Watch (ICW) Emerson Yuntho mengatakan, berdasarkan data ICW, rata-rata koruptor
hanya divonis 2 tahun 9 bulan berdasarkan putusan Mahkamah Agung, pengadilan
tinggi, dan pengadilan negeri. ICW melakukan pemantauan selama semester I 2014
terhadap 210 kasus korupsi dengan 261 terpidana. ICW membagi empat kategori vonis
pengadilan tipikor, yakni vonis bebas, vonis ringan untuk hukuman 1-4 tahun, vonis
sedang untuk hukuman 4-10 tahun, dan vonis berat untuk hukuman lebih 10 tahun.
Berdasarkan data tersebut, sebanyak 73,94% koruptor divonis ringan, 16,86% divonis
sedang, 1,53% divonis berat, dan 7,67% divonis bebas (selengkapnya lihat grafik).
Karena itu, lanjut Emerson, pihaknya meminta MA untuk menunjukkan keseriusannya
dalam menindak tegas pelaku korupsi dengan membuat surat edaran (SE) Mahkamah
Agung atau instruksi Ketua MA agar hakim menjatuhkan vonis maksimal terhadap
pelaku dan pemiskinan melalui denda atau uang pengganti yang tinggi sesuai kesalahan.
Hal senada dikatakan Koordinator Badan Pekerja ICW Danang Widoyoko di
Jakarta, kemarin. Ia menilai rendahnya putusan hakim terhadap terdakwa perkara
korupsi menunjukkan kesadaran hakim, bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa
dan dapat menghancurkan kehidupan berbangsa, masih rendah pula. Hal itu dapat
terjadi karena para hakim juga ”dibesarkan” atau ”dibentuk” di lingkungan peradilan
yang banyak terjadi praktik korupsi sehingga cenderung permisif terhadap praktik
korupsi. Hukum bagi para pelaku korupsi tampak berlawanan arah dengan efek jera
sebagaimana dimaksudkan adanya hukum positif di dalam UU. Salah satu
penyebabnya, dan ini sering menjadi bahan 'gerundelan' publik, adalah hukuman yang
dijatuhkan hakim bagi para koruptor dipersepsikan belum sebanding dengan kejahatan
luar biasa tersebut.
Di kalangan masyarakat, selama ini, pemahamannya merentang ke dalam dua
kutub. Pada satu kutub adalah aspek moral. Dalam perspektif moral, ringannya
hukuman ditafsirkan sebagai cerminan moralitas hakim. Hakim yang memiliki catatan
karier yang bersih diyakini berani menjatuhkan hukuman berat, sedangkan hakim yang
memiliki rekam jejak abu-abu diduga menetapkan jenis hukuman yang enteng-enteng
saja. Jadi, ketika kebanyakan hakim dipandang menghukum terdakwa korupsi dengan
sanksi ringan, secara tidak langsung itulah indikasi memprihatinkannya moralitas sang
pengadil di mata publik.
Pada kutub seberang adalah kompetensi kerja hakim. Kompetensi di sini
merupakan konstruk psikologi, bukan konstruk legal. Sebagai konstruk psikologi,
kompetensi yang saya maksud bukan kewenangan, melainkan pengetahuan,
keterampilan, dan pengalaman kerja hakim. Dalam perspektif kompetensi, hakim
dengan jam terbang tinggi akan mampu membongkar kasus secara mendalam, sehingga
percaya diri untuk “menagih” pertanggungjawaban terdakwa korupsi lewat hukuman
yang berat. Jadi, ada korelasi positif antara kompetensi kerja hakim dan berat-ringannya
hukuman bagi koruptor.
Selain itu perspektif psikologi kognitif yang menyebabkan rendahnya hukuman bagi
para koruptor yaitu :
1. Sanksi hukum terhadap koruptor kerap dibandingkan dengan hukuman bagi
maling ayam. Karena hukuman atas keduanya dinilai tidak proporsional atau
saling tumpang tindih, yakni terlalu ringan bagi koruptor dan terlalu berat bagi
maling ayam, hakim pun dianggap menistai nilai-nilai keadilan.
Contoh kasus maling ayam, aksi tersebut lazimnya digambarkan sebagai
kejahatan tunggal yang sederhana dan dilakukan secara solo maupun melibatkan
kelompok kecil. Bingkai peristiwa kejahatan semacam itu tidak begitu sukar
dicerna oleh kognisi hakim. Pada gilirannya, dengan bingkai kasus tersebut,
hakim teryakinkan bahwa kelakuan si pencuri ayam adalah benar-benar
manifestasi dari keputusan psikologis si maling sendiri (atribusi internal). Atribusi
internal si maling membangun fondasi keyakinan hakim bahwa si pencuri itulah,
bukan pihak lain, yang harus bertanggung jawab secara pidana.
Situasinya berbeda dengan kasus-kasus kejahatan kerah putih, di mana
masalahnya begitu kompleks hingga dapat memberikan beban yang berlebihan
terhadap kognisi hakim. Kompleksitas itu terlihat pada, misalnya, diseretnya
banyak nama oleh terdakwa, modus korupsi yang penuh konspirasi, benturan
antarlegislasi, pertikaian antarinstitusi, serta diskursus politik yang merecoki
upaya penegakan hukum. Sengkarut masalah sedemikian rupa dapat
menggelincirkan persepsi hakim. Hakim bisa jadi akan melihat faktor situasi lebih
dominan (atribusi eksternal) daripada faktor diri si terdakwa, sebagai penyebab
terjadinya peristiwa korupsi. Karena situasi merupakan penyebab utama, maka
terdakwa bukan lagi pihak yang harus paling bertanggung jawab. Sanksi ala
kadarnya, dengan demikian, menemukan “pembenaran”-nya, karena situasi
(termasuk keberadaan pihak-pihak selain terdakwa) yang sesungguhnya harus
disalahkan dan diganjar hukuman lebih berat.
2. Penerapan strategic model. Bagi sebagian orang dapat dipahami bahwa dalam
memutuskan kasus korupsi, hakim juga memperhatikan putusan-putusan yang
dihasilkan para sejawatnya dalam kasus-kasus serupa. Artinya, hakim
menjatuhkan hukuman ringan, karena memang itulah tren yang hakim perhatikan
di ruang-ruang sidang lainnya.
Kecenderungan untuk menyeragamkan perilaku dengan sesama anggota
kelompok adalah perwujudan sisi insani hakim, dan bukan hasil persekongkolan.
Pasalnya, keseragaman sikap dan perilaku merupakan salah satu ciri kelompok.
Kelompok (korps hakim) akan terus eksis manakala para hakim masih terus
mengikat diri mereka dalam ekspektasi keseragaman tersebut. Konsekuensinya,
kemiripan dalam menentukan berat-ringannya hukuman perlu dilakukan oleh
hakim, karena itulah yang membuatnya merasa tetap menjadi bagian dari
korpsnya. Sebaliknya, membuat keputusan yang berbeda akan memunculkan
perasaan tidak “klik” dengan para sejawat, sehingga dapat berisiko buruk bagi
perjalanan karier si hakim.
3. Meski mengakibatkan kerugian yang sangat besar, korupsi kerap disebut sebagai
kejahatan tanpa korban. Bandingkan, misalnya, dengan kejahatan terorisme.
Kendati sama-sama tergolong kejahatan luar biasa, korupsi tidak mengakibatkan
genangan darah dan kehancuran bangunan secara kasatmata. Karena sifatnya yang
barbar, faktanya tidak sulit bagi hakim-hakim Indonesia menjatuhkan hukuman
mati kepada sejumlah otak dan pelaku aksi teror.
Korupsi bersih dari gambaran kebiadaban yang telanjang. Itu mempersulit hakim
saat membayangkan akibat nyata korupsi, betapapun korupsi disebut merugikan
banyak pihak. Sulit dijawab definitif: pihak mana yang dirugikan, seberapa besar
kerugiannya, dan mengapa pihak tersebut, jika benar-benar dirugikan--tidak
melaporkan pelakunya dan hadir di persidangan.
Jadi, menurut pendapat-pendapat diatas dapat kita simpulkan bahwa hukuman para
koruptor masih rendah dengan adanya:
1. Ketidakseriusan dalam menindak tegas pelaku korupsi
2. Rendahnya putusan hakim terhadap terdakwa perkara korupsi i karena para hakim
juga ”dibesarkan” atau ”dibentuk” di lingkungan peradilan yang banyak terjadi
praktik korupsi sehingga cenderung permisif terhadap praktik korupsi.

E. Cara Mengatasi Korupsi


Korupsi tidak dapat dibiarkan berjalan begitu saja kalau suatu negara ingin
mencapai tujuannya, karena kalau dibiarkan secara terus menerus, maka akan terbiasa
dan menjadi subur dan akan menimbulkan sikap mental pejabat yang selalu mencari
jalan pintas yang mudah dan menghalalkan segala cara (the end justifies the means).
Untuk itu, korupsi perlu ditanggulangi secara tuntas dan bertanggung jawab. Ada
beberapa upaya penggulangan korupsi yang ditawarkan para ahli yang masing-masing
memandang dari berbagai segi dan pandangan. Caiden (dalam Soerjono, 1980)
memberikan langkah-langkah untuk menanggulangi korupsi sebagai berikut :
1. Membenarkan transaksi yang dahulunya dilarang dengan menentukan sejumlah
pembayaran tertentu.
2. Membuat struktur baru yang mendasarkan bagaimana keputusan dibuat.
3. Melakukan perubahan organisasi yang akan mempermudah masalah
pengawasan dan pencegahan kekuasaan yang terpusat, rotasi penugasan,
wewenang yang saling tindih organisasi yang sama, birokrasi yang saling
bersaing, dan penunjukan instansi pengawas adalah saran-saran yang secara
jelas diketemukan untuk mengurangi kesempatan korupsi.
4. Bagaimana dorongan untuk korupsi dapat dikurangi ? dengan jalan
meningkatkan ancaman.
5. Korupsi adalah persoalan nilai. Nampaknya tidak mungkin keseluruhan korupsi
dibatasi, tetapi memang harus ditekan seminimum mungkin, agar beban korupsi
organisasional maupun korupsi sestimik tidak terlalu besar sekiranya ada
sesuatu pembaharuan struktural, barangkali mungkin untuk mengurangi
kesempatan dan dorongan untuk korupsi dengan adanya perubahan organisasi.
Cara yang diperkenalkan oleh Caiden di atas membenarkan (legalized) tindakan
yang semula dikategorikan kedalam korupsi menjadi tindakan yang legal dengan
adanya pungutan resmi. Di lain pihak, celah-celah yang membuka untuk kesempatan
korupsi harus segera ditutup, begitu halnya dengan struktur organisasi haruslah
membantu kearah pencegahan korupsi, misalnya tanggung jawab pimpinan dalam
pelaksanaan pengawasan melekat, dengan tidak lupa meningkatkan ancaman hukuman
kepada pelaku-pelakunya. Persoalan korupsi beraneka ragam cara melihatnya, oleh
karena itu cara pengkajiannya pun bermacam-macam pula. Korupsi tidak cukup ditinjau
dari segi deduktif saja, melainkan perlu ditinaju dari segi induktifnya yaitu mulai
melihat masalah praktisnya (practical problems), juga harus dilihat apa yang
menyebabkan timbulnya korupsi.
Kartono (1983) menyarankan penanggulangan korupsi sebagai berikut :
1. Adanya kesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung jawab guna melakukan
partisipasi politik dan kontrol sosial, dengan bersifat acuh tak acuh.
2. Menanamkan aspirasi nasional yang positif, yaitu mengutamakan kepentingan
nasional.
3. Para pemimpin dan pejabat memberikan teladan, memberantas dan menindak
korupsi.
4. Adanya sanksi dan kekuatan untuk menindak, memberantas dan menghukum
tindak korupsi.
5. Reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi pemerintah, melalui
penyederhanaan jumlah departemen, beserta jawatan dibawahnya
6. Adanya sistem penerimaan pegawai yang berdasarkan “achievement” dan bukan
berdasarkan sistem “ascription”.
7. Adanya kebutuhan pegawai negeri yang non-politik demi kelancaran
administrasi pemerintah.
8. Menciptakan aparatur pemerintah yang jujur.
9. Sistem budget dikelola oleh pejabat-pejabat yang mempunyai tanggung jawab
etis tinggi, dibarengi sistem kontrol yang efisien. 10. Herregistrasi (pencatatan
ulang) terhadap kekayaan perorangan yang mencolok dengan pengenaan pajak
yang tinggi.
Marmosudjono (Kompas, 1989) mengatakan bahwa dalam menanggulangi korupsi,
perlu sanksi malu bagi koruptor yaitu dengan menayangkan wajah para koruptor di
televisi karena menurutnya masuk penjara tidak dianggap sebagai hal yang memalukan
lagi. Berdasarkan pendapat para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa upaya
penanggulangan korupsi adalah sebagai berikut :
a) Preventif
1. Membangun dan menyebarkan etos pejabat dan pegawai baik di instansi
pemerintah maupun swasta tentang pemisahan yang jelas dan tajam antara
milik pribadi dan milik perusahaan atau milik Negara
2. Mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji) bagi pejabat dan pegawai negeri
sesuai dengan kemajuan ekonomi dan kemajuan swasta, agar pejabat dan
pegawai saling menegakan wibawa dan integritas jabatannya dan tidak
terbawa oleh godaan dan kesempatan yang diberikan oleh wewenangnya.
3. Menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap
jabatan dan pekerjaan. Kebijakan pejabat dan pegawai bukanlah bahwa
mereka kaya dan melimpah, akan tetapi mereka terhormat karena jasa
pelayanannya kepada masyarakat dan negara.
4. Bahwa teladan dan pelaku pimpinan dan atasan lebih efektif dalam
memasyarakatkan pandangan, penilaian dan kebijakan
5. Menumbuhkan pemahaman dan kebudayaan politik yang terbuka untuk
kontrol, koreksi dan peringatan, sebab wewenang dan kekuasaan itu
cenderung disalahgunakan
6. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana menumbuhkan “sense of
belongingness” dikalangan pejabat dan pegawai, sehingga mereka merasa
peruasahaan tersebut adalah milik sendiri dan tidak perlu korupsi, dan selalu
berusaha berbuat yang terbaik.
b) Represif
1. Perlu penayangan wajah koruptor di televisi.
2. Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan pejabat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah diberrikan di atas, maka kesimpulan yang dapat
diambil dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Korupsi adalah penyalahgunaan wewenang yang ada pada pejabat atau pegawai
demi keuntungan pribadi, keluarga dan teman atau kelompoknya.
2. Korupsi menghambat pembangunan, karena merugikan negara dan merusak
sendi-sendi kebersamaan dan menghianati cita-cita perjuangan bangsa.
3. Cara penaggulangan korupsi adalah bersifat Preventif dan Represif.
Pencegahan(preventif) yang perlu dilakukan adalah dengan menumbuhkan dan
membangun etos kerja pejabat maupun pegawai tentang pemisahan yang jelas
antara miliknegara atau perusahaan dengan milik pribadi, mengusahakan
perbaikan penghasilan (gaji), menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut
kehormatan diri setiap jabatan dan pekerjaan, teladan dan pelaku pimpinan atau
atasan lebih efektif dalam memasyarakatkan pandangan, penilaian dan kebijakan,
terbuka untuk kontrol, adanya kontrol sosial dan sanksi sosial, menumbuhkan rasa
“sense of belongingness” diantara para pejabat dan pegawai. Sedangkan tindakan
yang bersifat Represif adalah menegakan hukum yang berlaku pada koruptor dan
penayangan wajah koruptor di layar televisi dan herregistrasi (pencatatan ulang)
kekayaan pejabat dan pegawai.
4. Rendahnya hukuman bagi koruptor disebabkan oleh ketidakseriusan dalam
menindak tegas pelaku korupsi dan para hakim juga ”dibesarkan” atau ”dibentuk”
di lingkungan peradilan yang banyak terjadi praktik korupsi sehingga cenderung
permisif terhadap praktik korupsi.
SUMBER

 https://www.google.com/webhp?
sourceid=chromeinstant&ion=1&espv=2&ie=UTF-
8#q=hukuman+korupsi+tindak+pidana+khusus
 http://azimbae.blogspot.com/2012/08/hukum-pidana-khusus-korupsi.html
 http://iwankurniawan31.blogspot.com/2014/01/dampak-korupsi-terhadap-
rakyat-indonesia.html
 http://www.academia.edu/9378386/
BAB_I_PENDAHULUAN_A._Latar_Belakag
 http://www.mediaindonesia.com/mipagi/read/2736/70-Koruptor-Dihukum-
Ringan/2014/08/04
 http://www.kpk.go.id/id/berita/berita-sub/1351-hukuman-koruptor-terlalu-
ringan-korupsi-kejahatan-luar-biasa
 https://www.facebook.com/LukasSiahaan.SH/posts/415819031776519)

Anda mungkin juga menyukai