PERTEMUAN 9
KORUPSI
Pengertian Korupsi
Korupsi berasal dari bahasa Latin “corruptio” atau “corruptus” yang kemudian dikenal
istilah “corruption, corrupt” dalam bahasa Inggris dan “corruptie/korruptie” dalam
bahasa Belanda. Berikut beberapa pengertian tentang korupsi.
I. Pengertian Korupsi Secara Harfiah
Secara harfiah kata korupsi memiliki arti kebusukan, keburukan, kebejatan,
ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, dan peyimpangan dari kesucian.
II. Pengertian Korupsi dalam Kamus Umum Arab-Indonesia
Dalam kamus ini terdapat kata “risywah” yang artinya sama dengan korupsi.
Secara etimologis “risywah” (suap) secara etimologis berarti pemberian yang
diberikan seseorang kepada hakim atau lainnya untuk memenangkan
perkaranya dengan cara yang tidak dibenarkan atau untuk memperoleh
kedudukan.
III. Pengertian Korupsi dalam Perbendaharaan Kata Bahasa Indonesia
Korupsi adalah kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan
dan ketidakjujuran (S. Wojowasito-WJS Poerwadarminta: 1978). Korupsi adalah
perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan
sebagainya (WJS Poerwadarminta: 1976).
IV. Pengertian Korupsi Menurut Muhammad Ali
Menurut Muhammad Ali (1998) korup, korupsi, dan koruptor adalah:
1. Korup artinya busuk, suka menerima uang suap/sogok, memakai kekuasaan
untuk kepentingan sendiri dan sebagainya;
2. Korupsi adalah perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan
uang sogok, dan sebagainya; dan
3. Koruptor adalah orang yang melakukan korupsi.
V. Pengertian Korupsi Menurut Subekti dan Tjitrosoedibio
Corruptie adalah korupsi, perbuatan curang, tindak pidana yang merugikan
keuangan negara.
VI. Pengertian Menurut Oxford Dictionary
Korupsi adalah penyimpangan atau perusakan integritas dalam pelaksanaan
tugas-tugas public dengan penyuapan atau balas jasa.
VII. Pengertian Menurut The World Bank
Corruption is the abuse of public power for private gain.
Simpulannya, korupsi adalah sesuatu yang busuk, jahat, dan merusak serta
menyangkut sesuatu yang bersifat amoral, sifat dan keadaan yang busuk, menyangkut
RANSELKU TIRAMISU 2020 1
ETIKA DAN ANTI KORUPSI
Bentuk-Bentuk Korupsi
Menurut Buku Saku yang dikeluarkan oleh KPK bentuk bentuk korupsi terbagi menjadi
tujuh (Buku Pendidikan Antikorupsi untuk Perguruan Tinggi: p.25):
I. Kerugian Keuangan Negara
II. Suap Menyuap
III. Penggelapan dalam Jabatan
IV. Pemerasan
V. Perbuatan Curang
VI. Benturan Kepentingan dalam Pengadaan
VII. Gratifikasi
melakukan suatu perubahan kecil yang berani dalam lingkungan keluarga ini
seperti tidak melanggar peraturan lalu lintas dan menegur ayah yang sering
melanggar peraturan tersebut, tidak menggunakan barang bajakan dan
menegur anggota keluarga yang menggunakan barang tersebut, dan berani
bertanya asal usul penghasilan orang tuanya, maka mahasiswa tersebut ketika
terjun ke masyarakat akan selamat melewati berbagai hal yang mengarah
kepada tindak korupsi.
II. Lingkungan Kampus
Keterlibatan mahasiswa dalam gerakan anti-korupsi di lingkungan ini terbagi ke
dalam dua hal, yaitu untuk individu mahasiswa itu sendiri dan untuk komunitas
mahasiswa. Dalam konteks individu, mahasiswa diharapkan dapat mencegah
agar dirinya sendiri tidak berperilaku koruptif dan tidak korupsi. Dalam konteks
komunitas, mahasiswa diharapkan dapat mencegah agar rekan-rekannya di
kampus tidak berperilaku koruptif dan tidak korupsi.
Tapi sebelum itu, mahasiswa harus mempunyai nilai-nilai anti-korupsi dan
memahami korupsi serta prinsip-prinsip anti-korupsi. Hal-hal tersebut dapat
diperoleh dari mengikuti kegiatan sosialisasi, kampanye, seminar, dan kuliah
pendidikan anti-korupsi. Nilai-nilai dan prinsip-prinsip tersebut harus
diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Kegiatan kampanye, sosialisasi,
seminar, pelatihan, kaderisasi, dan lain-lain merupakan beberapa contoh
kegiatan yang dapat dilakukan untuk menanamkan nilai-nilai gerakan anti-
korupsi. Kantin kejujuran juga salah satu contoh kegiatan lain yang dapat
dijadikan alternatif untuk menanamkan nilai-nilai tersebut.
III. Masyarakat Sekitar
Beberapa peran mahasiswa di masyarakat sekitar dapat dilakukan dengan
melakukan beberapa pengamatan seperti:
1. Apakah kantor-kantor pemerintah menjalankan fungsi pelayanan kepada
masyarakatnya dengan sewajarnya: pembuatan KTP, SIM, KK, laporan
kehilangan, pelayanan pajak? Adakah biaya yang diperlukan untuk
pembuatan surat-surat atau dokumen tersebut? Wajarkah jumlah biaya dan
apakah jumlah biaya tersebut resmi diumumkan secara transparan sehingga
masyarakat umum tahu?
2. Apakah infrastruktur kota bagi pelayanan publik sudah memadai? Misalnya:
kondisi jalan, penerangan terutama di waktu malam, ketersediaan fasilitas
umum, rambu-rambu penyeberangan jalan, dsb.
3. Apakah pelayanan publik untuk masyarakat miskin sudah memadai?
Misalnya: pembagian kompor gas, Bantuan Langsung Tunai, dsb.
4. Apakah akses publik kepada berbagai informasi mudah didapatkan?
IV. Tingkat Lokal/Nasional
Dalam konteks nasional, keterlibatan seorang mahasiswa dalam gerakan anti
korupsi bertujuan agar dapat mencegah terjadinya perilaku koruptif dan tindak
lewat fakta sosial yang dipelajarinya melalui pendidikan dan lingkungan. Karena
watak manusia yang pasif maka norma dan nilai masyarakatlah yang
mengendalikan mereka (Angha: 2002). Menurut pandangan teori ini masyarakat
mempunyai pengaruh yang lebih besar dalam membentuk prilaku individu dari
pada lingkungannya. Dalam konteks korupsi, itu berarti dalam masyarakat yang
system budaya dan lembaganya korup akan membentuk individu yang korup
seberapa besarpun kesalehan individu.
III. GONE
Teori GONE diperkenalkan oleh Jack Bologne (Bologne : 2006). Ilustrasi GONE
Theory terkait dengan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kecurangan
atau korupsi yang meliputi Greeds (keserakahan), Opportunities (kesempatan),
Needs (kebutuhan) dan Exposure (pengungkapan).
Greed, terkait keserakahan dan kerakusan para pelaku korupsi. Koruptor adalah
orang yang tidak puas akan keadaan dirinya. Opportuniy, merupakan sistem
yang memberi peluang untuk melakukan korupsi, yang bisa diperluas keadaan
organisasi atau masyarakat yang sedemikian rupa sehingga terbuka
kesempatan bagi seseorang untuk melakukan kecurangan. Needs, yaitu sikap
mental yang tidak pernah merasa cukup, selalu sarat dengan kebutuhan yang
tidak pernah usai. Exposure, hukuman yang dijatuhkan kepada para pelaku
korupsi yang tidak memberi efek jera pelaku maupun orang lain.
IV. Fraud Triangle Theory
Teori fraud triangle merupakan suatu gagasan yang meneliti tentang penyebab
terjadinya kecurangan. Gagasan ini diperkenalkan oleh Donald R. Cressey (1953)
dalam literatur profesional pada SAS No. 99, yang dinamakan fraud triangle
atau segitiga kecurangan.
Fraud triangle menjelaskan tiga faktor yang hadir dalam setiap situasi fraud,
yaitu :
1. Pressure (tekanan), yaitu adanya insentif/tekanan/kebutuhan untuk
melakukan fraud. Tekanan dapat mencakup hampir semua hal termasuk
gaya hidup, tuntutan ekonomi, dan lain-lain termasuk hal keuangan dan non
keuangan. Empat jenis kondisi yang umum terjadi pada pressure yang dapat
mengakibatkan kecurangan: financial stability, external pressure, personal
financial need, dan financial targets.
2. Opportunity (kesempatan), yaitu situasi yang membuka kesempatan untuk
memungkinkan suatu kecurangan terjadi. Biasanya terjadi karena
pengendalian internal perusahaan yang lemah, kurangnya pengawasan dan
penyalahgunaan wewenang.
3. Rationalization (rasionalisasi), merupakan sikap, karakter, atau sistem nilai
yang digunakan oleh pelaku dengan cara mencari pembenaran atas
perbuatan curangnya. Dua aspek pembenaran dalam fraud yang dilakukan
oleh pelaku kecurangan, yaitu:
PERTEMUAN 10:
Dari pernyataan ini dapat dipahami bahwa sangat penting untuk menghubungkan
strategi atau upaya pemberantasan korupsi dengan melihat karakteristik dari berbagai
pihak yang terlibat serta lingkungan di mana mereka bekerja atau beroperasi. Tidak ada
jawaban, konsep atau program tunggal untuk setiap negara atau organisasi. Ada begitu
banyak strategi, cara atau upaya yang kesemuanya harus disesuaikan dengan konteks,
masyarakat maupun organisasi yang dituju. Setiap negara, masyarakat mapun organisasi
harus mencari cara mereka sendiri untuk menemukan solusinya.
II. Upaya Penanggulangan Kejahatan (Korupsi) dengan Hukum Pidana
Kebijakan penanggulangan kejahatan atau yang biasa dikenal dengan istilah politik
kriminal atau criminal policy oleh G. Peter Hoefnagels dibedakan sebagai berikut:
1. Kebijakan penerapan hukum pidana (criminal law application);
2. Kebijakan pencegahan tanpa hukum pidana (prevention without punishment);
3. Kebijakan untuk mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan
pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on crime and
punishment /mass media) atau media lainnya seperti penyuluhan, pendidikan, dan
lain-lain.
Upaya penanggulangan kejahatan dapat dibagi menjadi 2 jalur:
1. Jalur penal
Jalur ini menanggulangi kejahatan dengan menggunakan hukum pidana dan lebih
menitikberatkan pada sifat repressive (penumpasan/penindasan/pemberantasan)
sesudah kejahatan terjadi.
2. Jalur non-penal
Jalur ini menyelesaikan kejahatan di luar hukum pidana dengan saran-saran non-
penal dan menitikberatkan pada sifat preventif (pencegahan).
Keterbatasan dan Kelemahan Sarana Penal:
• Secara dogmatis, sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling tajam dalam
bidang hukum, sehingga harus digunakan sebagai ultimum remedium (opsi
terakhir);
• Secara fungsional/pragmatis, operasionalisasi dan aplikasinya menuntut biaya
yang tinggi;
• Sanksi pidana mengandung sifat kontradiktif/paradoksal yang mengandung efek
sampingan yang negatif. (e.g. Overload lapas)
• Penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan
‘kurieren am symptom’ (menyembuhkan gejala), hanya pengobatan simptomatik
bukan pengobatan kausatif karena sebab-sebab kejahatan kompleks dan berada
di luar jangkauan hukum pidana;
• Hukum pidana hanya merupakan bagian kecil (sub sistem) dari sarana kontrol
sosial lainnya yang tidak mungkin mengatasi kejahatan sebagai masalah
kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat kompleks;
• Sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan individual/personal; tidak bersifat
struktural atau fungsional;
• Efektivitas pidana (hukuman) bergantung pada banyak faktor dan masih sering
diperdebatkan oleh para ahli.
III. Berbagai Strategi dan/atau Upaya Pemberantasan Korupsi
Jenis kebijakan pemberantasan korupsi:
1. Mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap kekuasaan negara terutama
dari pejabat publik dalam berbagai bidang kehidupan misalnya dengan deregulasi
ekonomi, mengurangi monopoli negara untuk memberikan pelayanan, dan
reformasi pajak.
2. Menciptakan pemerintahan yang transparan dan akuntabel serta mengurangi
diskresi yang sering dilakukan oleh pejabat publik
3. Menciptakan situasi di mana masyarakat bisa memilih kemana meminta berbagai
jenis pelayanan publik. Dengan memberikan kesempatan masyarakat untuk
memilih, maka berbagai modus suap-menyuap dapat dikurangi. Pra kondisi untuk
hal ini adalah pemberian gaji atau upah yang tinggi pada pejabat atau pelayan
public agar tidak menerima suap.
4. Reformasi hukum dan peradilan. Reformasi ini dilaksanakan dengan merancang
peraturan perundang-undangan yang dapat memberikan kepastian bahwa
mereka yang melakukan korupsi akan dihukum, meningkatkan profesionalisme
aparat penegak hukum, memastikan bahwa peradilan harus bebas dari campur
PERTEMUAN 11:
▪ Dinyatakan dalam Kongres PBB ke-10 bahwa perhatian perlu ditekankan pada apa
yang dinamakan Top-Level Corruption.
Top-level corruption adalah jenis atau tipe korupsi yang paling berbahaya.
Kerusakan yang sangat besar dalam suatu negara dapat terjadi karena jenis
korupsi ini. Ia tersembunyi dalam suatu network atau jejaring yang tidak terlihat
secara kasat mata yang meliputi penyalahgunaan kekuasaan, konflik kepentingan,
pemerasan, nepotisme, tribalisme, penipuan dan korupsi. Tipe korupsi yang
demikian sangat mempengaruhi perkembangan ekonomi suatu negara, terutama
negara berkembang.
2. TIRI
▪ TIRI (Making Integrity Work) didirikan dengan keyakinan bahwa dengan integritas,
kesempatan besar untuk perbaikan dalam pembangunan berkelanjutan dan
merata di seluruh dunia akan dapat tercapai.
▪ Misi dari TIRI adalah memberikan kontribusi terhadap pembangunan yang adil dan
berkelanjutan dengan mendukung pengembangan integritas di seluruh dunia.
▪ Salah satu program yang dilakukan TIRI adalah dengan membuat jejaring dengan
universitas untuk mengembangkan kurikulum Pendidikan Integritas dan/atau
Pendidikan Anti Korupsi di perguruan tinggi. Jaringan ini di Indonesia disingkat
dengan nama I-IEN yang kepanjangannya adalah Indonesian-Integrity Education
Network. TIRI berkeyakinan bahwa dengan mengembangkan kurikulum
Pendidikan Integritas dan/atau Pendidikan Anti Korupsi, mahasiswa dapat
mengetahui bahaya laten korupsi bagi masa depan bangsa.
b) Kriminalisasi
➢ Hal penting lain yang diatur dalam konvensi adalah mengenai kewajiban
negara untuk mengkriminalisasi berbagai perbuatan yang dapat
dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi termasuk mengembangkan
peraturan perundang-undangan yang dapat memberikan hukuman (pidana)
untuk berbagai tindak pidana korupsi.
➢ Hal ini ditujukan untuk negara-negara yang belum mengembangkan aturan ini
dalam hukum domestik di negaranya.
➢ Perbuatan yang dikriminalisasi tidak terbatas hanya pada tindak pidana
penyuapan dan penggelapan dana publik, tetapi juga dalam bidang
perdagangan, termasuk penyembunyian dan pencucian uang (money
laundring) hasil korupsi.
➢ Konvensi juga menitikberatkan pada kriminalisasi korupsi yang terjadi di
sektor swasta.
agar tersangka tidak melarikan diri keluar negeri. ICAC merupakan lembaga pertama di dunia
yang merekam menggunakan video terhadap investigasi semua tersangka korupsi. Strategi
yang ditempuh ICAC Hongkong dalam memberantas korupsi dijalankan melalui tiga cabang
kegiatan, yaitu penyelidikan, pencegahan, dan pendidikan. Melalui pendidikan diharapkan
masyarakat semakin paham peran mereka bahwa keikutsertaan mereka dalam memerangi
korupsi merupakan kunci utama keberhasilan pemberantasan korupsi (Nugroho : 2011).
PERTEMUAN 12
Delik- Delik Tindak Pidana Korupsi
❖ Delik
I. Definisi
Kata delik berasal dari bahasa latin yaitu “delictum” yang berarti “kesalahan / kegagalan /
kerusakan”. Dalam KBBI, delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan
pelanggaran terhadap undang-undang tindak pidana.
• Moeljatno (Rusli Effendy, 1980:47), delik adalah perbuatan yang dilarang dan diancam
dengan pidana, barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
• Tresna (Rusly Effendy, 1980: 53) merumuskan peristiwa pidana yaitu perbuatan atau
rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan Undang-Undang atau
peraturan perundang-undangan lainnya terhadap perbuatan diadakan tindakan
pemidanaan.
Dapat disimpulkan bahwa delik adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang
karena merupakan perbuatan yang merugikan kepentingan umum dan pelakunya dapat
dikenakan pidana.
III. Latar Belakang
Tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang adalah satu dari beberapa
tindak pidana yang bersifat luar biasa atau extra ordinary crime, yang karenanya
pemberantasannya membutuhkan cara-cara yang luar biasa.
Ciri-ciri extra ordinary crime yaitu sebagai berikut:
1. Berpotensi dilakukan oleh siapa saja;
2. Random target / random victim;
3. Kerugiannya besar dan meluas (snowball / domino effect);
4. Terorganisasi atau oleh organisasi;
5. Bersifat lintas Negara.
III. Suap-Menyuap
• Penyuapan merupakan istilah yang dituangkan dalam undang-undang
sebagai suatu hadiah atau janji (giften/beloften) yang diberikan atau diterima
meliputi penyuapan aktif dan penyuapan pasif.
• Unsur yang esensial dari delik suap yaitu:
1. Menerima hadiah atau janji;
2. Berkaitan dengan kekuasaan yang melekat pada jabatan;
• Diatur dalam pasal 12 huruf i UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001.
• Contoh kasus: Bupati Nganjuk yang menjadi tersangka KPK.
V. Perbuatan Curang
• Pasal 7 ayat 1 huruf a, b, c, d.
Pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 7 tahun. Pidana denda
paling sedikit Rp100.000.000 dan paling banyak Rp350.000.000.
a. Pemborong berbuat curang
b. Pengawas proyek membiarkan perbuatan curang
c. Rekanan TNI atau POLRI berbuat curang
d. Pengawas rekanan TNI/POLRI membiarkan perbuatan curang
• Pasal 7 ayat 2 : penerimaan barang TNI/POLRI membiarikan perbuatan
curang.
• Pasal 12 huruf h : Pegawai Negeri menyerobot tanah negara sehingga
merugikan orang lain.
• Contoh kasus: Korupsi anggaran pembangunan jembatan di Desa Bamba,
Kecamatan Batulappa, Kabupaten Pinrang, sebesar Rp2,377 miliar.
VII. Gratifikasi
• Arti gratifikasi dapat diperoleh dari penjelasan pasal 128 Undang-Undang No. 20
Tahun 2001, yaitu pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang,
barang, rabat / diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas
penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya,
baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dapat
dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
• Gratifikasi sebenarnya bermakna pemberian yang bersifat netral. Suatu
pemberian menjadi gratifikasi yang dianggap suap jika terkait dengan jabatan dan
bertentangan dengan kewajiban atau tugas penerima.
• Diatur dalam pasal 12 huruf b dan c UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20
Tahun 2001.
• Gratifikasi tidak dianggap sebagai suap saat dilaporkan paling lambat 20 hari kerja
sejak gratifikasi tersebut diterima.
RANSELKU TIRAMISU 2020 26
ETIKA DAN ANTI KORUPSI
PERTEMUAN 13
SUAP, GRATIFIKASI, DAN PROGRAM PENGENDALIAN
GRATIFIKASI
❖ SUAP
I. Definisi Pelayanan Publik
Suap merupakan bentuk pemberian yang dilakukan oleh korporasi atau pihak
swasta berupa pemberian barang, uang, janji, dan bentuk lainnya yang bertujuan
untuk mempengaruhi pengambilan keputusan dari pihak penerima suap.
❖ Gratifikasi
I. Definisi Etika Bisnis
Gratifikasi adalah semua pemberian yang diterima oleh Pegawai Negeri atau
Penyelenggara Negara (Pn/PN). Pemberian dalam arti luas, yakni uang, barang rabat
(diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan
wisata, pengobatan cuma-Cuma, dan fasilitas lainnya, hak yang diterima di dalam negeri
maupun luar negeri, yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa
sarana elektronik.
Sanksi pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 tahun, dan
pidana denda paling sedikit Rp200juta dan paling banyyak Rp1milyar.
11. Penerimaan hadiah atau tunjangan yang ada kaitannya dengan peningkatan prestasi
kerja yang diberikan oleh pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
12. Diperoleh dari kompensasi atau profesi di luar kedinasan, yang tidak terkait dengan
tugas pokok dan fungsi dari pejabat/pegawai, tidak memiliki konflik kepentingan dan
tidak melanggar aturan internal instansi pegawai.
berikut: www.kws.kpk.go.id.
Penyerahan barang gratifikasi:
• Kewajiban penyerahan uang atau barang gratifikasi adalah 7 hari kerja terhitung sejak
tanggal penetapan status kepemilikan oleh KPP (tanggal SK).
• KPK akan menindaklanjuti dan menetapkan status kepemilikannya menjadi milik
negara atau milik penerima dalam waktu 30 hari kerja.
Pelapor gratifikasi berhak mendapatkan perlindungan dari berbagai bentuk tekanan akibat
laporan yang disampaikan. Perlindungan dilakukan oleh KPK mulai dari perlindungan
kerahasiaan informasi pelapor (identitas pelapor) dan dapat bekerjasama dengan LPSK atau
institusi lain yang berwenang.
Pemberi gratifikasi tidak semua diberikan sanksi, kecuali memenuhi unsur tindak pidana
suap.
Barang gratifikasi akan disetorkan KPK jika dalam bentuk uang ke rekening kas negara dan
dicatat sebagai penerimaan negara. Jika berupa barang, KPK menyerahkan kepada
Kementrian Keuangan melalui Direktorat Jendral Kekayaan Negara (DJKN) untuk di lelang,
hasil lelang dicatat sebagai penerimaan negara.
❖ Pengendalian Gratifikasi
I. Latar Belakang
Peraturan Menteri Keuangan No. 7/PMK.09/2017 tentang Pedoman Pengendalian
Gratifikasi di Lingkungan Kementrian Keuangan.
Kementrian keuangan telah menjalankan Program Pengendalian Gratifikasi dengan
terbitnya:
1. SE-10/MK.01/2013 tentang Program Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan
Kementrian Keuangan.
2. PMK No. 83/PMK.01/2015 tentang Program Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan
Kementrian Keuangan.
Berdasarkan hasil evaluasi atas pelaksanaa PNK No. 83/PMK.01/2015 tersebut, dan dalam
rangka menyelaraskan dengan Peraturan Ketua KPK No. 02 Tahun 2014 tentang Pedoman
Pelaporan dan Penetapan Status Gratifikasi, telah ditetapkan PMK No. 7/PMK/09/2017
tentang Pedoman Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Kementrian Keuangan.
UPG Koordinator
UPGkoordinator ditetapkan dengan keputusan Inspektur Jendral.
Fungsi : Mengoordinasikan pelaksanaan pengendalian gratifikasi di lingkungan Kementrian
Keuangan.
Kedudukan : Inspektorat Jendral
Tugas dan Tanggung Jawab :
• Mengoordinasikan perencanaan dan pelaksanaan pengendalian gratifikasi di
lingkungan Kementrian Keuangan;
• Menyampaikan laporan semesteran pengendalian gratifikasi kepada menteri;
• Melaksanakan koordinasi, konsultasi, dan surat menyurat dengan KPK atas nama
menteri dalam pelaksanaan ketentuan pengendalian gratifikasi; dan
• Menyiapkan dan mengoordinasikan pelaporan gratifikasi melalui aplikasi.
• Laporan gratifikasi selain oleh penerima gratifikasi dan/atau orang lain yang mendapat
kuasa secara tertulis, disampaikan kepada unit yang menangani pengaduan dan/atau
whistleblowing system untuk diproses sebagaimana yang berlaku.
Barang Gratifikasi
Ketentuan umum terkait barang gratifikasi:
• Barang gratifikasi harus disimpan oleh penerima gratifikasi sampai dengan penetapan
status barang gratifikasi oleh KPK.
• Penerima gratifikasi bertanggung jawab dalam hal barang rusak dan/atau hilang.
Status barang gratifikasi:
• Milik Negara
PERTEMUAN 14
NILAI DAN PRINSIP ANTI KORUPSI, INTEGRITAS TOKOH BANGSA
I. Penyebab Korupsi
• Penyebab korupsi terdiri atas faktor internal dan faktor eksternal.
• Faktor internal merupakan penyebab yang datangnya dari diri pribadi atau
individu
• Faktor eksternal berasal dari lingkungan atau sistem.
• Pencegahan korupsi dapat dilakukan dengan menghilangkan, atau setidaknya
mengurangi, kedua faktor penyebab tersebut.
• Faktor internal sangat ditentukan oleh kuat tidaknya nilai-nilai anti korupsi
tertanam dalam diri setiap individu.
• Nilai-nilai anti korupsi itu perlu diterapkan oleh setiap individu untuk dapat
mengatasi faktor eksternal agar korupsi tidak terjadi.
• Untuk mencegah terjadinya faktor eksternal, selain memiliki nilai-nilai anti
korupsi, setiap individu perlu memahami dengan mendalam prinsip-prinsip anti
korupsi
2. Transparansi
• Prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk
memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan, yakni
informasi tentang kebijakan proses pembuatan dan pelaksanaanya serta hasil-
3. Kewajaran
• Ditujukan untuk mencegah terjadinya manipulasi (ketidakwajaran) dalam
penganggaran.
• Considering everything that has an effect on a situation, so that a fair judgment
can be made (Cambridge dictionary)
• Sifat-sifat prinsip kewajaran ini terdiri dari lima hal penting yaitu komprehensif
dan disiplin, fleksibilitas, terprediksi, kejujuran, dan informatif.
4. Kebijakan
• Kebijakan berperan untuk mengatur tata interaksi agar tidak terjadi
penyimpangan yang dapat merugikan negara dan masyarakat.
• Rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan dasar rencana dalam
pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak.
• Aspek-aspek kebijakan terdiri dari isi kebijakan, pembuat kebijakan, pelaksana
kebijakan, kultur kebijakan.
• Kebijakan anti-korupsi akan efektif apabila di dalamnya terkandung unsur-
unsur yang terkait dengan persoalan korupsi dan kualitas dari isi kebijakan
tergantung pada kualitas dan integritas pembuatnya.
5. Kontrol Kebijakan
• Upaya agar kebijakan yang dibuat betul-betul efektif dan mengeliminasi
semua bentuk korupsi
• Kontrol kebijakan:
✓ partisipasi yaitu melakukan kontrol terhadap kebijakan dengan ikut serta
dalam penyusunan dan pelaksanaannya
✓ evolusi/oposisi yaitu mengontrol dengan menawarkan alternatif kebijakan
baru yang dianggap lebih layak
✓ reformasi yaitu mengontrol dengan mengganti kebijakan yang dianggap
tidak sesuai
-Sjarifudin Prawiranegara-
RANSELKU TIRAMISU 2020 41
ETIKA DAN ANTI KORUPSI
PERTEMUAN 15
PERAN MAHASISWA DALAM GERAKAN ANTI KORUPSI
• Niat adalah unsur setiap tindak pidana yang lebih terkait dengan individu
manusia, misalnya perilaku dan nilai-nilai yang dianut oleh seseorang.
• Kesempatan lebih terkait dengan sistem yang ada.
• Kewenangan yang dimiliki seseorang akan secara langsung memperkuat
kesempatan yang tersedia.
Meskipun muncul niat dan terbuka kesempatan tetapi tidak diikuti oleh
kewenangan, maka korupsi tidak akan terjadi. Dengan demikian, korupsi tidak akan
terjadi jika ketiga faktor tersebut, yaitu niat, kesempatan, dan kewenangan tidak ada
dan tidak bertemu. Upaya memerangi korupsi pada dasarnya adalah upaya untuk
menghilangkan atau setidaknya meminimalkan ketiga faktor tersebut.
2. Lingkungan keluarga
➢ Apakah dalam mengendarai kendaraan bermotor bersama ayahnya atau
anggota keluarga yang lain, peraturan lalin dipatuhi? Misalnya: tidak
berbelok/berputar di tempat dimana ada tanda larangan berbelok/ berputar,
tidak menghentikan kendaraan melewati batas marka jalan tanda berhenti di
saat lampu lalu lintas berwarna merah, tidak memarkir/menghentikan
kendaraan di tempat dimana terdapat tanda dilarang parkir/berhenti, dsb.
➢ Apakah ketika berboncengan motor bersama kakaknya atau anggota keluarga
lainnya, tidak menjalankan motornya di atas pedestrian dan mengambil hak
pejalan kaki? Tidak mengendarai motor berlawanan arah? Tidak mengendarai
motor melebihi kapasitas (misalnya satu motor berpenumpang 3 atau bahkan
4 orang? Dsb).
➢ Apakah penghasilan orang tua tidak berasal dari tindak korupsi? Apakah orang
tua tidak menyalahgunakan fasilitas kantor yang menjadi haknya?
➢ Apakah ada diantara anggota keluarga yang menggunakan produk-produk
bajakan (lagu, film, software, tas, sepatu, dsb.)
3. Lingkungan kampus
Keterlibatan mahasiswa dalam gerakan anti-korupsi di lingkungan kampus
dapat dibagi ke dalam dua wilayah, yaitu: untuk individu mahasiswanya sendiri,
dan untuk komunitas mahasiswa. Untuk konteks individu, seorang mahasiswa
diharapkan dapat mencegah agar dirinya sendiri tidak berperilaku koruptif dan
tidak korupsi. Sedangkan untuk konteks komunitas, seorang mahasiswa
diharapkan dapat mencegah agar rekan-rekannya sesama mahasiswa dan
organisasi kemahasiswaan di kampus tidak berperilaku koruptif dan tidak korupsi.
Berbagai bentuk kegiatan dapat dilakukan untuk menanamkan nilai-nilai anti
korupsi kepada komunitas mahasiswa dan organisasi kemahasiswaan. Kegiatan
kampanye, sosialisasi, seminar,pelatihan, kaderisasi, dan lain-lain dapat dilakukan
untuk menumbuhkan budaya anti korupsi. Kegiatan kampanye ujian bersih atau
anti mencontek misalnya, dapat dilakukan untuk menumbuhkan antara lain nilai-
nilai kerja keras, kejujuran, tanggung jawab, dan kemandirian. Kantin kejujuran
adalah contoh lain yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan nilai-nilai kejujuran
dan tanggung jawab.
4. Masyarakat sekitar
Hal yang sama dapat dilakukan oleh mahasiswa atau kelompok mahasiswa
untuk mengamati lingkungan di lingkungan masyarakat sekitar, misalnya:
➢ Apakah kantor-kantor pemerintah menjalankan fungsi pelayanan kepada
masyarakatnya dengan sewajarnya: pembuatan KTP, SIM, KK, laporan
kehilangan, pelayanan pajak? Adakah biaya yang diperlukan untuk pembuatan
surat-surat atau dokumen tersebut? Wajarkah jumlah biaya dan apakah jumlah
biaya tersebut resmi diumumkan secara transparan sehingga masyarakat
umum tahu?
➢ Apakah infrastruktur kota bagi pelayanan publik sudah memadai? Misalnya:
kondisi jalan, penerangan terutama di waktu malam, ketersediaan fasilitas
umum, rambu-rambu penyeberangan jalan, dsb
➢ Apakah pelayanan publik untuk masyarakat miskin sudah memadai? Misalnya:
pembagian kompor gas, Bantuan Langsung Tunai, dsb
➢ Apakah akses publik kepada berbagai informasi mudah didapatkan?
5. Tingkat lokal/nasional
Dalam konteks nasional, keterlibatan seorang mahasiswa dalam gerakan anti
korupsi bertujuan agar dapat mencegah terjadinya perilaku koruptif dan tindak
korupsi yang masif dan sistematis di masyarakat. Mahasiswa dengan kompetensi
yang dimilikinya dapat menjadi pemimpin (leader) dalam gerakan massa anti
korupsi baik yang bersifat lokal maupun nasional. Berawal dari kegiatan-kegiatan
yang terorganisir dari dalam kampus, mahasiswa dapat menyebarkan perilaku
anti korupsi kepada masyarakat luas, dimulai dari masyarakat yang berada di
sekitar kampus kemudian akan meluas ke lingkup yang lebih luas.
-Stephen R Covey-