Anda di halaman 1dari 9

FILSAFAT POLITIK

POLYBIUS DAN CICERO

Oleh:

Fitri Ayu Pakpahan 12/335865/FI/03720


I Made Raditya S.S 12/329326/FI/03657
M. Adriansyah Akbar 12/335823/FI/03704
Nur Halimah 12/338480/FI/03743
Puspa Dwi Lestari 12/335978/FI/03735
Rizka Dwi Rahayu 12/335528/FI/03679

FAKULTAS FILSAFAT
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2014
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Negara merupakan suatu wilayah yang dihuni sekelompok masyarakat


tertentu yang kekuasaannya baik politik, militer, ekonomi, sosial maupun
budayannya dipimpin oleh pemerintahan yang berdaulat. Pembahasan
mengenai negara telah berkembang sejak zaman Yunani dan Romawi. Hal ini

1
disebabkan adanya pengembangan gagasan-gagasan politik dan hukum yang
berpijak pada rasionalitas sebagai dasar di zaman tersebut. Namun, kedua
zaman tersebut juga memiliki perbedaan besar yang saling melengkapi.
Yunani identik dengan hal yang teoritis dan Romawi identik dengan hal
praktis. Hal ini sesuai dengan motto orang Romawi, yaitu acta on verba
(perbuatan bukan perkataan).

Perkembangan dunia hukum bangsa Romawi berangkat dari


pengembangan akan gagasan-gagasan pemikirin Yunani tentang hukum dan
dikembangkan oleh bangsa Romawi menjadi undang-undang yang pragmatis
yang menjamin kepastian hukum bagi tiap warga negara. Kemudian,
tercetuslah yuridis praktis yang terdiri dari hukum privat dan hukum publik
yang menjadikan Roma sangat termasyhur diseluruh dunia. Selain itu,
dengan di mahkotainya hukum dalam negara, para filsuf-raja pun tersingkir
oleh hakim-hakim.

Dalam proses perkembangan ilmu tentang negara tersebut, tentunya


tidak terlepas dari pemikiran tokoh-tokoh besar yang kritis pada masa itu.
Salah satu tokoh yang sangat berperan adalah Polybius dengan Cyclus
Theory dan Cicero dengan pemkirannya tentang negara yang berdasarkan
rasio murni.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep negara menurut pemikiran Polybius dan Cicero ?

C. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang telah diajukan dalam rumusan masalah, yaitu :
1. Mengetahui Konsep negara menurut pemikiran Polybius dan Cicero.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Bangsa Romawi

Ketika kekaisaran Romawi mencapai puncak kejayaannya, wilayahnya


telah meliputi seluruh dunia yang beradab, kecuali wilayah dari kerajaan-
kerajaan kecil yang tak begitu dikenal rakyat di Timur jauh. Romawi awalnya
adalah sebuah negara kecil di daerah Italia. Pada Tahun 600-575 SM, negara
Romawi terbentuk dengan bentuk pemerintahan monarki. Raja pertamanya
adalah Romulus. (Rapar, 1989: 5-9)

Pada tahun 509-31 SM, sesudah Tarquinius Superbus turun tahta,


Romawi berubah menjadi Republik. Republik Romawi di pimpin oleh dua
orang konsul yang dipilih oleh rakyat dan memiliki masa jabatan dua tahun.
Selain itu dibentuk juga majelis permusyawaratan yang anggotanya terdiri dari
golongan bangsawan dan rakyat jelata. Golongan rakyat jelata memiliki hak
veto guna melindungi golongannya karena pada saat itu kepemimpinan negara
didominasi golongan bangsawan. Tujuan dibangunnya republik ini adalah
menumpas korupsi dan prostitusi. (Rapar. 1989:11-20)

3
Bentuk republik ini memiliki konsekuensi bahwa dalam keadaan darurat
kekuasaan negara dipusatkan pada satu orang yang dinamakan diktator. Dalam
perkembangannya, bangsa Romawi mampu mencapai puncak perkembangan
sistem ketatanegaraannya menjadi suatu imperium (kerajaan dunia). Namun di
dalam mencapai perkembangannya, ada akibat yang harus ditanggung karena
semakin berkembang dan meluasnya negara Romawi. Pada akhirnya
pemerintahan tidak dapat dilakukan secara terpusat lagi dan untuk mengatasi
dampak tersebut akhirnya bangsa Romawi menemukan sistem tanpa
penekanan azas-azas kesusilaan (mengenai kepentingan negara).

Dengan adanya permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam sistem


ketatanegaraan bangsa Romawi, muncullah para pemikir besar seperti
Polybius dan Cicero yang membahas mengenai konsep negara.

B. Konsep Negara Menurut Tokoh


1. Polybius (204-122 SM)

Polybius adalah seorang ahli sejarah yang berkebangsaan Yunani.


Tetapi karena suatu hal ia pernah dipenjarakan di Romawi. Dia adalah
seorang ahli yang rajin, tekun dan cakap, ini terbukti meskipun ia di
penjarakan tetapi selama di penjara itu ia sempat dan dapat mengadakan
penelitian tentang sistem dan tata kenegaraan di Romawi (Soehino, 1986:
38). Dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan, ia menghasilkan suatu
teori kenegaraan yang mengagumkan, antara lain teori tentang perubahan
bentuk-bentuk negara dan ajarannya disebut dengan nama cyclus theory.

Alasan Polybius menyebut teorinya dengan sebutan cylus theory


adalah karena menurut Polybius bentuk negara atau pemerintahan yang
satu sebenarnya merupakan akibat daripada bentuk negara yang lain, yang
telah ada mendahuluinya. Bentuk negara yang terakhir itu kemudian
menjadi sebab daripada bentuk negara-negara yang berikutnya.
Demikianlah seterusnya sehingga nanti bentuk-bentuk negara itu dapat
terulang kembali. Jadi, diantara berbagai bentuk negara itu terdapat

4
hubungan sebab akibat. Bentuk-bentuk negara itu berubah-ubah
sedemikian rupa, sehingga perubahannya merupakan suatu lingkaran,
suatu siklus, maka dengan itu teorinya disebut cyclus theory.

Menurut pemikiran Polybius, bentuk-bentuk negara itu dapat


digolongkan menjadi tiga golongan besar, yang kemudian masing-masing
golongan itu dibedakan lagi menjadi dua jenis. Dalam hal ini pemikiran
Polybius memiliki persamaan dengan Aristoteles dan Plato yaitu tentang
hubungan sebab akibat, hanya saja dalam hubungan kausal antara bentuk
pemerintahan dengan bentuk negara yang satu dengan yang lain dalam
ajaran Aristoteles belum dikatakan dengan tegas seperti halnya dalam
ajaran Polybius.

Sejalan dengan pemikiran Arietoteles, Polybius berpendapat bahwa


pemerintahan suatu negara umumnya diawal dengan bentuk kerajaan atau
monarki, dimana seorang raja/ratu yang memerintah sebagai penguasa
tunggal demi kesejahteraan rakyat. Namum bentuk pemerintahan semacam
ini lama-kelamaan merosot menjadi tirani ketika raja yang bersangkutan
atau raja-raja keturunannya tidak lagi memikirkan kepentingan umum,
melainkan, hanya mengejar kepentingannya sendiri dengan cara yang
sewenang-wenang. Hal itu mendorong terbentuknya bentuk pemerintahan
Aristokrasi.

Pemerintah Aristokrasi adalah muncul akibat sekelompok bangsawan


yang menggerakkan perjuangan, sehingga negara akan diperintah oleh
sekelompok bangsawan yang berupaya mensejahterakan rakyat. Namun
hal ini juga disalahgunakan. Pemerintahan kaum bangsawan yang baik
(kaum Aristokrat) lama-kelamaan mengalami kemerosotan menjadi
permerintahan yang hanya memperjuangkan kepentingan kaum
bangsawan itu sendiri. Dengan kata lain Aristokrasi berubah menjadi
pemerintahan Oligarki yang menindas rakyat.

5
Kemudian rakyat melakukan perlawanan dengan mendirikan
pemerintahan demokrasi, yaitu dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat
yang merupakan hasil pemberontakan dari situasi yang telah ada. Akan
tetapi lama-kelamaan negara akan jatuh dikarenakan terjadinya kekacauan,
korupsi, yang mengakibatkan adanya sikap untuk mementingkam dirinya
sendiri (okhlokrasi). Polybius meramalkan adanya kemunculan seorang
pemberani yang kuat yang muncul karena kekacauan yang telah ada, guna
mengembalikan kehidupan negara yang tertib dan damai. Pemerintah
kembali dikendalikan oleh seseorang yang berkuasaan penuh, yaitu raja
(monarki).

Dengan perubahan-perubahan yang terjadi, Soehino (1986:40) maka


Polybius mengajukan pemikirannya, bahwa untuk dapat mencegah
keadaan yang harus didirikan bentuk pemerintahan baru di mana di
dalamnya tergabung unsur-unsur yang lebih baik. Dengan cyclus theory
Polybius dapat dilihat bahwa dalam pemerintahan yang baik di dalamnya
telah mengandung akses yang buruk, yang kemudian melahirkan bentuk
negara yang buruk begitu juga sebaliknya.

2. Cicero (106-43 SM)


Cicero adalah seorang ahli pemikiran terbesar tentang negara dan
hukum dari Romawi. Cicero ahli dalam bidang kesusastraan dan ahli
pidato, serta pernah menjadi advokat. Cicero memiliki dua karangan buku
yang terilhami dari karya-karya karangan para sarjana Yunani yang
berjudul De Republika (tentang negara) dan De Legibus (tantang hukum
dan undang-undang) (Schmid, 1988:45).
Pada abad pertama sebelum Masehi, pemikiran tentang negara dan
hukum telah ada. Hal itu terjadi pada masa kerajaan Romawi yang
menderita kerana adanya persengketaan partai antara golongan optimat
dan golongan demokrat yang muncul pada saat abad sebelumnya.
Persengketaan tersebut terjadi karena perekonomian di negara yang
bersifat agraris menjadi negara dagang yang besar, sedangkan dari
provinsi-provinsi didatangkan budak-budak untuk mengelola tanah milik

6
orang-orang besar sehingga timbullah pemberontakan dari penduduk yang
diusir dari tanahnya dan membuat golongan proletar.
Akibat kejadian tersebut, terjadilah pertarungan antara pemimpin-
pemimpin golongan proletar dengan partai senat untuk merebut kekuasaan
negara. Karana pertarungan antara saudara itu Cicero mengemukakan
pemikiran tentang pemahamannya mengenai sifat-sifat yang sebenarnya
ada dalam negara dan undang-undang, karena menurutnya negara dan
undang-undang tersebut telah dilanggar oleh orang-orang yang telah
merusak hubungan dan keseimbangan yang telah berkembang dari dulu.
Dalam bukunnya De Republika yang membahas tentang negara,
meyiratkan bahwa pemikiran Cicero sejalan dengan kaum Stoa, (Schmid,
1988:46) Cicero mengganggap negara perlu adanya dan harus didasarkan
pada budi (ratio) manusia. Ratio atau budi yang dimaksud oleh Cicero
adalah ratio yang murni, yaitu yang berdasarkan hukum alam kodrat.
Tidak seperti kaum Epicurus, yang menganggap negara itu sebagai buatan
untuk kegunaan bagi anggota-angotanya.
Bentuk pemerintahan yang baik menurut Cicero adalah suatu bentuk
yang merupakan gabungan dari ketiga bentuk pemerintahan. Tiga bentuk
pemerintahan tersebut adalah monarki, aristrokasi, dan republik. Tetap
meskipun tiap-tiap orang itu dapat mengambil bagian dalam pemerintahan,
kiranya Demokrasi adalah merupakan lawan daripada bentuk gabungan
ketiga bentuk pemerintahan tersebut.
Dalam bukunya, Ceciro menjelaskan bahwa ia menyukai
pemerintahan dengan lembaga-lembaga kenegaraan yang lama dan
menyukai hal-hal yang tidak tertulis yang berkembang dalam masyarakat.
Hukum alam mengajarkan bahwa dasar-dasar tentang hukum dan keadilan
adalah abadi dan berakar dalam alam. Cicero mengatakan bahwa hukum
yang baik adalah hukum yang didasarkan atas rasio/akal murni.
Dalam bukunya yang berjudul De Legibus, Cicero membicarkan
hubungan antara hukum alam dengan hukum positif. Hukum positif harus
didasarkan pada asas-asas hukum alam. Jika tak demikian halnya dan
hukum positif bertentangan dengan hukum alam, maka ia tidak
mempunyai kekuatan undang-undang. Cicero sendiri telah membuat

7
sebuah kitab undang-undang yang didasarkan pada hukum alam ( Von
Schmid, 1988:47).
Mengenai pendapatnya bahwa hukum yang baik adalah hukum yang
berdasarkan pada ratio yang murni, dan oleh karena itu hukum positif
berdasarkan atas dalil-dalil atau azaz-azaz hukum kodrat, jika tidak maka
hukum positif tidak mempunyai kekuatan yang memikat. Menurut Cicero
hukum adalah satu-satunya ikatan dalam negara, sedangkan keadilan
hanya dapat dicari untuk keperluan keadilan itu sendiri tanpa dicampuri
pamrih tertentu. Akan tetapi hukum alam dengan kesusilaan atau moral
yang berdasarkan alam kodrat tidak dapat diisahkan satu dengan yang
lainnya (Soehino, 1986:42).

3. Relevansi konsep Polybius & Cicero terhadap Bangsa Indonesia


Perjalanan atau mungkin dapat dikatakan suatu peradaban panjang
Bangsa Indonesia dalam menemukan suatu kesejahteraan di dalam
maupun di luar dan secara keseluruhan. Perjalanan tersebut merupakan
sebuah proses, mulai dari kerajaan-kerajaan, aristokrasi, kolonialisme,
hingga kemerdekaan (cyclus theory). Sebuah sebab akibat memang
sulit untuk dirumuskan karena hal tersebut menyangkut tentang
bagaimana sikap rakyat Indonesia jaman dulu dan sekarang. Tentu ada
perubahan-perubahan yang secara teratur mengantarkan kita dalam
keadaan sekarang ini. Indonesia terus berusaha belajar untuk menjadi
negara yang lebih baik lagi. Polybius menganggap ada sosok
pemberani dalam melakukan perubahan secara besar-besaran agar
suatu negara dapat lebih baik. Hal ini sedang dialami Indonesia tatkala
pada tahun 2014 ini pemilihan presiden akan dilangsungkan. Seperti
Polybius kami juga menunggu adanya sosok yang benar-benar
pembrani untuk Indonesia yang lebih baik. Kemudian, jika beribicara
tentang moralitas dalam suatu negara, pemikiran Cicero mungkin
dapat kita refleksikan bersama. Suatu rasio murni memang dibutuhkan
dalam proses sebuah negara. Dimana akal sehat harus masih ada dalam
dasar hukum yang berlaku di Indonesia.

8
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Negara menurut Polybius terbentuk dengan pola Cyclus Theory yang


artinya bentuk negara atau pemerintahan yang satu sebenarnya merupakan
akibat daripada bentuk negara yang lain, yang telah ada mendahuluinya.
Bentuk negara yang terakhir itu kemudian menjadi sebab daripada bentuk
negara-negara yang berikutnya. Demikianlah seterusnya sehingga nanti
bentuk-bentuk negara itu dapat teulang kembali.
Sementara menurut Cicero, negara didalamnya mengandung hukum yang
terikat. Keadilan hanya dapat dicari untuk keperluan keadilan itu sendiri
tanpa dicampuri pamrih tertentu. Akan tetapi hukum alam dengan kesusilaan
atau moral yang berdasarkan alam kodrat tidak dapat dipisahkan satu dengan
yang lainnya.

Daftar Pustaka

Rapar, J. H. 1989. Filsafat Politik Agustinus. Jakarta: CV. Rajawali.


Schmid, J. J. Von. 1988. Ahli-Ahli Pikir Besar Tentang Negara dan
Hukum:Dari Plato Sampai Kant. Jakarta: Pembangunan.
Soehino, 1986. Ilmu Negara. Yogyakarta : Liberty

Anda mungkin juga menyukai