Disusun oleh:
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah
ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka
kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah
ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi
terhadappembaca.
Penyusun
Pancasila Dalam Konteks Kekinian
Adiyana Slamet, M.Si1
Tidak ada bangsa yang mencapai kebesaran jika bangsa itu tidak percaya kepada sesuatu,
dan jika tidak sesuatu yang dipercaya itu memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang
peradaban besar
(John Gardener, 1992)2
sebagai falsafah dan dasar negara ( philosopishe groundslag),yang berisikan hal-hal yang
menurut sifat dan berlakunya adalah universal. Pasalnya, di dalamnya mengatur tentang relasi
antar warga bangsa dalam konteks antar individu, warga bangsa dengan Negara sebagai
pengikat dengan organisasi yang mengaturnya dan warga bangsa dengan pencipta-Nya. Yang
dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sehingga kalau interaksi masyarakat, maupun Negara maka
Pancasila yang berarti lima dasar atau lima asas, adalah nama dasar Negara kita,
Negara Republik Indonesia. Pancasila sebagai ideologi berhakikat sebagai sistem nilai
bangsa. Sistem nilai seperti ini dipandang oleh studi filsafat yang secara historik digali pada
budaya bangsa dan ditempa oleh penjajahan, yang kemudian diterapkan pada wilayah
Indonesia melalui siding Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18
Agustus 1945.
1
2
Pancasila juga dikenal sebagai jatidiri bangsa Indonesia. Kedudukan dan fungsi
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia, sebagai dasar filsafat Negara Republik
Indonesia, sebagai ideologi bangsa dan Negara Indonesia. Seluruh kedudukan dan fungsi
Pancasila itu bukanlah berdiri sendiri secara sendiri-sendiri namun bilamana dikelompokkan
maka akan kembali pada dua kedudukan dan fungsi Pancasila yaitu sebagai dasar filsafat
Pancasila pada hakikatnya adalah sistem nilai (value system) yang merupakan
kristalisasi nilai-nilai luhur kebudayaan bangsa Indonesia sepanjang sejarah, yang berakar
dari unsur-unsur kebudayaan luar yang sesuai sehingga secara keseluruhannya terpadu
menjadi kebudayaan bangsa Indonesia. Nilai-nilai itu adalah sebuah hasil pikiran-pikiran dan
gagasan-gagasan dasar bangsa Indonesia tentang kehidupan yang dianggap baik. Mereka
menciptakan tata nilai yang mendukung tata kehidupan sosial dan tata kehidupan
keharmonian bangsa yang member corak, watak dan cirri masyarakat dan bangsa Indonesia
Pandangan yang diyakini kebenarannya itu menimbulkan tekad bagi bangsa Indonesia
untuk mewujudkan dalam sikap dan tingkah laku serta perbuatannya. Disisi lain, pandangan
itu menjadi motor penggerak bagi tindakan dan perbuatan dalam mencapai tujuannya. Dari
pandangan inilah maka dapat diketahui cita-cita yang ingin dicapai bangsa, gagasan kejiwaan
apa saja yang akan coba diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Filsafat Pancasila adalah refleksi kritis dan rasional tentang Pancasila sebagai dasar
Negara dan kenyataan budaya bangsa dengan tujuan untuk mendapatkan pokok-pokok
pengertian secara mendasar dan menyeluruh. Pembahasan filsafat dapat dilakukan secara
deduktif (dengan mencari hakikat Pancasila serta menganalisis dan menyusunnya secara
sistematis menjadi keutuhan pandangan yang komprehensif), dan secara induktif (dengan
mengamati gejala-gejala sosial budaya masyarakat, merefleksikannya dan menarik arti dan
makna yang hakiki dari gejala-gejala tersebut). Dengan demikian, filsafat Pancasila akan
Bangsa Indonesia berjuang untuk menemukan jati dirinya sebagai bangsa yang
merdeka dan memiliki suatu prinsip yang tersimpul dalam pandangan hidup serta filsafat
hidup, di dalamnya tersimpul cirri khas, sifat karakter bangsa yang berbeda dengan bangsa
lain. Oleh para pendiri bangsa kita (the founding father) dirumuskan secara sederhana namun
Dalam era kekinian bangsa Indonesia harus memiliki visi dan pandangan hidup yang
kuat (nasionalisme) agar tidak terombang-ambing di tengah masyarakat internasional. Hal ini
dapat terlaksana dengan kesadaran berbangsa yang berakar pada sejarah bangsanya sendiri.
Membumikan Pancasil Dalam Kepungan Zaman
Pancasila adalah sebuah karya bersama, hasil pemikiran, perenungan yang mendalam
dari beberapa tokoh nasional Indonesia yang berisi ajaran, falsafah yang memuat nilai-nilai
lurhur dari Bangsa Indonesia. Lepas dari semua usaha-usaha untuk mempolitisi keberadaan
Pancasilaa baik secara dasar Negara, pandangan hidup maupun ideology Bangsa Indonesia,
kita masih mengakui bahwa Pancasila masih menjadi Dasar Negara Indonesia.
Indonesia mengalami berbagai macam interpretasi dan manipulasi politik sesuai dengan
kepentingan penguasa demi kokoh dan tegaknya kekuasaan yang berlingdung dibalik
legitimasi ideologi Negara Pancasila. Dengan kata lain, dalam kedudukan yang seperti ini
Pancasila tidak lagi diletakkan sebagai dasar filsafat serta pandangan hidup bangsa dan
Negara Indonesia melainkan direduksi, dibatasi dan dimanipulasi demi kepentingan politik
Dalam kondisi kehidupan bermasyarakat dan berbangsa yang sedang dilanda oleh
arus krisis dan disintegrasi maka Pancasila tidak terhindar dari berbagai macam gugatan,
sinisme, serta pelecehan terhadap kredibilitas dirinya sebagai dasar Negara ataupun ideology,
namun demikian perlu segera kita sadari bahwa tanpa suatu platform dalam format dasar
Negara atau ideology makna suatu bangsa mustahil akan dapat survive dalam menghadapi
Monopoli Pancasila demi kepentingan kekuasaan oleh penguasa inilah yang harus
segera diakhiri, dan menjadi tugas dari dunia pendidikkan tinggi untuk mengkaji dan
memberikan pengetahuan kepada semua mahasiswa maupun murid disekolah untuk benar-
lampau, dewasa ini banyak kalangan elit politik serta sebagian masyarakat beranggapan
bahwa Pancasila merupakan label politik Orde Baru. Sehingga mengembangkan serta
Benarkah dan masihkah dewasa ini bangsa Indonesia memposisikan Pancasila sebagai
Dasar Negara dan sebagai Pandangan Hidup (way of life) manusia yang mengaku sebagai
rakyat Indonesia? Pertanyaan tentang eksistensi Pancasila seperti ini memang terkesan
ekstrim, tetapi melihat kehidupan sehari-hari baik dalam kehidupan bernegara maupun
Betapa tidak? Bangsa Indonesia setiap hari dimedia massa disuguhi tontonan
bagaimana Pancasila itu sudah tidak dianggap penting lagi dan prilaku Bangsa ini jauh dari
nilai-nilai Pancasila, meskipun Pancasila tetap dianggap sebagai Dasar dan Pandangan Hidup
Bangsa Indonesia. Para elit politik saling bersilat lidah dengan berbagai argumentasinya
untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan tanpa etika yang mencerminkan nilai-nilai
Pancasila. Sikap dan tindakan dari para elit dan masyarakat jauh dari nilai Pancasila, jauh dari
menjadikan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa. Sudah waktunya
kita merevitalisasi Pancasila dalam bentuk mendudukkan Pancasila menjadi hal yang sangat
penting, bukan hanya sebatas kalimat-kalimat emas yang sering diungkapkan dalam bahasa
retorika saja. Sudah waktunya seluruh bangsa Indonesia baik itu elit politik maupun rakyat
mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila. Setiap sikap dan tindakan seyogyanya mengacu dan
efektif agar pancasila mampu menjkadi spirit bangkitnya Negara Bangsa Indonesia pada
konteks kekinian sehingga bukan hanya menghayati tetapi mengamalkan nilai Pancasila. ”
Ke- Tuhanan Yang Berkebudayaan
Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu,
menyatakan: bahwa prinsip kelima daripada negara kita ialah ke-Tuhanan yang
berkebudayaan, ke- Tuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, ke-Tuhanan yang hormat-
(sekuler) berbanrengan dengan pudarnya pengaruh agama. Dibagian dunia yang lain. Seperti
Asia, ketika nasionalisme “bergerak dan menyelimuti wilayah-wilayah ini, isu agama juga
Dalam lintasan sejarah Nusantara, agama tidak pernah sekadar mengurusi urusan
pribadi, tetapi juga terlibat dalam urusan publik. Masyarakat kepulauan ini pun tidak pernah
berpengalaman sepahit Eropa dalam hal keterlibatan agama di wilayah politik. Lebih dari itu,
penyemaian sekularisasi politik oleh rezim kolonial berjalan secara simultan dengan peran
masyarakat Nusantara telah melewati ribuan tahun pengaruh agama-agama lokal, (sekitar) 14
abad pengaruh Hinduisme dan Budhisme, (sekitar) 7 abad pengaruh Islam, dan (sekitar) 4
Nusantara telah mengembangkan sistem kepercayaan tersendiri, yang secara umum bisa
dikategorikan bercorak animisme dan dinamisme. Animisme (dari bahasa Latin anima atau
‘roh’) adalah kepercayaan bahwa setiap benda di bumi ini (seperti petir, pohon, kawasan
tertentu, pokok atau batu besar), mempunyai jiwa yang mesti dihormati agar roh di balik
benda tersebut tidak mengangg manusia, malah membantu mereka dari roh jahat dalam
menjalani kehidupan sehari-hari. Selain percaya adanya jiwa dan roh yang mendiami benda
atau tempat tertentu, animisme juga mempercayai bahwa roh orang yang telah mati bisa
masuk ke dalam tubuh hewan. Kepercayaan animisme ini biasanya bertaut dengan
dinamisme, yakni kepercayaan bahwa segala sesuatu mempunyai tenaga atau kekuatan yang
hidupnya.
dan budi pekerti yang luhur. Dalam mengamalkan komitmen etis Ketuhanan ini, Pancasila
berpotensi mengatur sistem keyakinan, sistem peribadatan, sistem norma, dan identitas
keagamaan dalam ranah privat dan ranah komunitas agama masing-masing Ketuhan dalam
kerangka Pancasila menyerupai konsepsi “agama sipil” (civic religion), yang bisa melibatkan
nilai-nilai moral universal agama-agama, namun juga secara jelas dapat dibedakan dari
muliagama, tanpa menjadikan salah satu agama (unsur keagamaan) mendikte negara.
Ketuhanan dalam kerangka Pancasila merupakan usaha pencarian titik temu dalam
semangat gotong-royong untuk menyediakan landasan moral yang kuat bagi kehidupan
politik berdasarkan moralitas Ketuhanan. Dalam kerangka pencarian titik-temu ini, Indonesia
bukanlah negara sekuler yang ekstrem, yang berpretensi menyudutkan agama ke ruang privat
karena sila pertama Pancasila (sebagai konsensus publik) jelas-jelas menghendaki agar nilai-
nilai Ketuhanan mendasari kehidupan politil-politik. Negara juga diharapkan melindungi dan
nilai etis dalam kehidupan publik. Namun demikian, Pancasila pun tidak menghendaki
perwujudan negara agama, yang mempresentasikan salah satu aspirasi kelompok keagamaan.
Karena, hal itu akan membawa tirani keagamaan yang mematikan pluralitas kebangsaan, dan
menjadi pengikut agama lain sebagai warga negara kelas dua. Implementasi dari Ketuhanan
Yang Maha Esa ini tertuang dalam pasal 29 (2) UUD 1945 “Negara menjadi kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut
Mensheid, kemanusiaan memang dari dulu ada. Rasa peri-kemanusiaan adalah hasil dari
pertumbuhan rohani, hasil dari pertumbuhan kebudayaan, hasil pertumbuhan dari alam
Sila per sila dalam Pancasila merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan,
begitupun sila ke dua, Kemanusiaan yang adil dan beradaab sebagai pengenjawantahan dari
sila pertama dan berkaitan dengan sila-sila selanjutnya. Sebagai bangsa yang ber Ketuahanan
Yang Maha Esa, maka kemanusiaan adalah suatu hal yang dimiliki oleh seluruh umat
manusia yang berdasarkan nilai-nilai yang diberikan Tuhan, bahwa manusia mempunyai rasa
pri-kemanusiaan sebagai wujud bahwa manusia adalah makhluk yang paling sempurna yang
diciptakan Tuhan di alam raya, pada dasarnya kemanusiaan adalah bawaan kodrat manusia,
Perkataan Kemanusiaan dalam sila kedua ini, berarti sifat-sifat manusia yang
menunjukan ciri-ciri khas atau identitasnya manusia itu sendiri. Seperti sifat manusia sebagai
makhluk yang berakal dan berbudi, yang memiliki kemampuan cipta, rasa, dan karsa yang
diberikan Tuhan Yang Maha Esa. Kemanusiaan tidak hanya harus dimiliki oleh seluruh
entitas anak bangsa Indonesia, tetapi memang secara kodrati seluruh umat manusia yang ada
dimuka bumi yang ikut serta dalam wilayah negara bangsa memiliki sifat kemanusiaan,
namun kemanusiaan Indonesia merupakan cerminan kemanusiaan yang digali dari nilai-nilai
3
Ir. Soekarno, /Raharjo, pamoe, Revolusi Indonesia :Nasionalisme, Marhaen dan Pancasila, 2002, hlm 168
keIndonesiaan, nilai-nilai keIndonesiaan itu merupakan suatu adab yang dihasilkan dari
merupakan kemanusiaan yang adil dan beradab, bahwa kemanusiaan yang adil dan beradab
juga tidak hanya kemanusiaan yang sempit, kemanusiaan yang sempit adalah suatu
kemanusiaan yang hanya melihat nilai-nilai kemanusiaan dari dalam (hubungan manusia
dengan manusia sesama entitas negara bangsa Indonesia) bahwa kemanusiaan Indonesia juga
harus mencerminkan kemanusiaan secara global, yang artinya bahwa kemanusiaan yang
tercipta tidak semata-mata sama-sama sebangsa dan setanah air, melainkan kemanusiaan
atau kemanusiaan universal adalah konsekwensi logis karena Indonesia tidak hanya negara
bangsa yang hidup sendiri, tetapi Indoensia juga berada dalam pergumulan dengan bangsa-
bangsa lain.
Kemanusiaan Indoensia yang terdapat pada sila kedua tidak cukup hanya dengan
kemanusiaan, bahwa kemanusiaan harus diimbangi dengan adil dan beradab, adil berarti
memberikan kepada orang atau bangsa lain apa yang menjadi haknya dan tahu apa haknya
sendiri, beradab artinya mempunyai adab, mempunyai sopan santun, mempunyai susila,
artinya bahwa saling hormat menghormati antar sesama umat manusia dan bangsa-bangsa
lain, maka dari itu wujud nyata kemanusiaan yang adil dan beradab bisa di intepretasikan
sebagai berikut:
kemanusiaan itu terlebih dahulu harus mengakar kuat dalam lingkungan pergaulan
kebangsaan yang lebih dekat, sebelum menjangkau pergaulan dunia yang lebih jauh. Dalam
ungkapan Bung Karno, “internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar
dalam kesilaman. Dalam ungkapan Clifford Geertz (1963), Indonesia ibarat anggur tua dalam
botol baru, alias gugusan masyarakat lama dalam negara baru. Nama Indonesia sebagai
1920-an. Akan tetapi, ia tidaklah muncul dari ruang hampa, melainkan berakar pada tanah air
beserta elemen-elemen sosial-budaya yang telah ribuan bahkan jutaan tahun lamanya hadir di
Nusantara.
Sebagai proyek nasionalisme politik, Mohammad Hatta pernah mengatakan, “Bagi
kami, Indonesia menyatakan suatu tujuan politik, karena dia melambangkan dan mencita-
citakan suatu tanah air pada masa depan dan untuk mewujudkannya, setiap orang Indonesia
Indonesia adalah sebuah bangsa besar yang mewadahi warisan kejayaan peradaban
Nusantara dan kerajaan-kerajaan bahari terbesar di muka bumi. Jika di tanah dan air yang
kurang lebih sama, nenek moyang bangsa Indonesia pernah menorehkan tinta keemasannya,
tidak ada alasan bagi manusia baru Indonesia untuk tidak dapat mengukir kegemilangan. Bila
mampu membangun bangsa yang sesuai dengan jatidirinya, harkat bangsa ini di pentas dunia
Secara konsepsional, Indonesia telah memiliki prinsip dan visi kebangsaan yang kuat,
yang bukan saja dapat mempertemukan kemajemukan masyarakat dalam kebaruan komunitas
politik bersama, tetapi juga mampu member kemungkinan bagi keragaman komunitas untuk
ke pintu kemerdekaannya. Namun demikian, jika kemerdekaan itu sekadar jembatan emas
menuju perwujudan citaa-cita dan tujuan nasional, yang diperlukan bukan hanya suatu
nasionalisme negative – yang cuma bersandar pada apa yang bisa dilawan, tetapi yang lebih
penting lagi adalah mengembangkan nasionalisme progesif, yang menekankan pada apa yang
Persatuan disini sesuai dengan hakikat Satu. Kata satu merupakan sesuatu yang
diibaratkan dengan bulat dan tidak dapat dipecah-pecah. Jelas sekali bahwa persatuan
Indonesia pada hakikatnya bahwa bangsa Indonesia yang berjumlah jutaan jiwa dan
mempunyai adat istiadat, agama, kebudayaan dan berbeda-beda sehingga itu merupakan satu
kesatuan Indonesia. Oleh karena itu, sila ini dapat diimplementasikan didalam pergaulan baik
dilingkungan masyaarakat, kita harus dapat menunjukkan rasa persatuan dan kesatuan
baangsa dan ber-bhineka tunggal ika. Hal ini dapat diwujudkan dengan adanya kegiatan
upacara disekolah setiap hari senin, untuk menunjukkan bahwa kita sebagai siswa harus
memiliki kesadaran dan berbangga hati bahwa kita berpijak di tanah air satu yaitu tanah air
Demokrasi Permusyawaratan
Negara Indonesia bukan satu Negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu
golongan walaupun golongan kaya. Tetapi, kita mendirikan negara “semua untuk semua”,
“satu buat semua, semua buat satu”
Saya yakin, bahwa syarat mutlak untuk kuatnya Negara Indonesia ialah permusyawaratan,
perwakilan. Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi
permusyawaratan yang memberi hidup...
(Soekarno, 1 Juni 1945)
Negara persatuan dari kebangsaan multikultur bisa bertahan lebih kokoh jika berdiri
pemenuhan prinsip kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan, yang berlaku bagi segenap
warga dan elemen kebangsaan. Yang dituntut bukan hanya pemenuhan hak-hak individu
(individual rights) dan kelompok masyarakat (collective rights), melainkan juga kewajiban
bisa dijelaskan dengan fakta bahwa setiap warga negara, bahkan jika dipandang sebagai
subjek hukum, bukanlah individu-individu abstrak yang tercerabut dari akar-akar sosialnya.
Pengakuan terhadap hak-hak budaya kelompok etnis, terutama golongan minoritas, perlu
diberikan sebagai prakondisi menuju pembentukan individu warga negara yang bisa
melampaui identitas etniknya (post ethnic condition). Cita-cita kedaulatan rakyat dalam
semangat kekeluargaan yang member ruang bagi multikulturalisme ini bergema kuat dalam
sanubari bangsa Indonesia sebagai pantulan dari pengalaman pahit penindasan kolonial dan
pemakaian imbuhan “bung”. Kata ini bisa berarti ‘saudara’, menyerupai kemunculan instilah
‘citizen’ dari revolusi Perancis atau ‘comrade’ dari Revolusi Rusia. Sapaan ‘bung’
dan dikriminasi colonial berdasarkan pengelompokan etnis dan agama harus diakhiri dengan
Cita-cita persaudaraan dalam kesederajatan kewargaan ini memiliki akar yang kuat
keragaman telah lama diterima sebagai kewajaran oleh penduduk kepulauan Nusantara yang
telah lama bersemi dalam masyarakat desa di Nusantara. Perjuangan kemerdekaan Indonesia
juga member pengalaman bagi para pelopor kebangsaan dan pelbagai latar budaya untuk
menjalin kerjasama.
Menurut Hatta, setidaknya ada tiga sumber yang menghidupkan cita-cita demokrasi
dalam kalbu bangsa Indonesia, terutama di lingkungan para pemimpin pergerakan. Pertama,
tradisi kolektivisme dari permusyawaratan desa. Kedua, ajaran Islam yang menuntut
kebenaran dan keadilan Ilahi dalam masyarakat serta persaudaraan antarmanusia sebagai
makhluk Tuhan. Ketiga, paham sosialis Barat, yang menarik perhatian para pemimpin
Demokrasi sebagai bentuk pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat,
memang merupakan fenomena baru ni negeri ini, yang muncul sebagai ikutan dari formasi
feudal, yang dikuasai oleh raja-raja auktorat. Mesikipun demikian, nilai-nilai demokrasi
hingga taraf tertentu telah berkembang dalam budaya Nusantara, dan dipraktikkan setidaknya
dalam unit politik kecil, seperti desa di Jawa, nagari di Sumatera Barat, banjar di Bali, dan
lain sebagainya.
Dalam pandangan Tan Malaka, paham kedaulatan rakyar sebenarnya sudah tumbuh
sejak lama di bumi Nusantara. Di alam minangkabau, misalnya pada abad 14 sampai 16
kekuasaan raja dibatasi oleh ketundukannya pada keadilan dan kepatutan. Ada istilah yang
cukup terkenal di masa itu bahwa “Rakyat ber-raja pada Penghulu, Penghulu ber-raja pada
Mufakat, dan Mufakat ber-raja pada alur dan patut”. Dengan demikian, menurutnya, raja
sejati didalam kultur Minangkabau ada pada alur (logika) dan patut (keadilan). Alur dan
patut-lah yang menjadi pemutus terakhir sehingga keputusan seorang raja akan ditolah bila
bertentangan dengan pikiran akal sehat dan prinsip-prinsip keadilan (Malaka, 2005:15-16).
merupakan usaha sadar dari para pendiri bangsa untuk melakukan apa yang disebut Putnam
“making democracy work”, atau apa yang disebut Sward ‘mengakar’ (to take root), dalam
konteks keindonesiaan. Dalam ungkapan Soekarno : ‘Demokrasi yang harus kita jalankan
adalah demokrasi Indonesia, membawa kepribadian Indonesia sendiri. Jika tidak bisa berpikir
demikian itu, kita nanti tidak dapat menyelenggarakan apa yang menjadi amanat penderitaan
Demokrasi dalam alam pikiran Indonesia bukan sekedar alat teknis, melainkan juga
cerminan alam kejiwaan, kepribadian, dan cita-cita nasional. Dalam pandangan Soekarno,
jika demokrasi sekadar alat teknis, pada dasarnya tidaklah berbeda dengan nasional-
sosialisme (fasisme), maupun diktatur proletariat, yakni, sekadar alat untuk mencapai bentuk
masyarakat yang dicita-citakan, entah masyarakat kapitalis, sosialitis, maupun yang lain.
Bahkan dengan mengutip pandangan seorang ahli sosiolog Karl Steuerman, Soekarno
menyatakan bahwa ‘demokrasi, apalagi yang dikenal oleg kita dengan parlementaire
democratie itu adalah ideology dari suatu periode saja’. Parlementaire democratie adalah
ideologi politik dari kapitalisme yang sedang naik (Kapitaslimus in Ausfstieg); adapun
fasisme adalah ideologi politik dari kapitalisme yang sedang menurun (Kapitalismus in
manusia yang bertempat tinggal di suatu Negara. Hakikat rakyat menunjukkan keseluruhan.
Keseluruhan makhluk sosial yang berdarah daging Indonesia. Meskipun terdiri dari individu-
individu yang berbeda, tetapi merupakan suatu keseluruhan yang memiliki tujuan bersama.
Kita sebagai rakyat yang memiliki tanggung jawab layaknya masyarakat berbangsa haruslah
memiliki tanggung jawab untuk mewujudkan cita-cita bersama dengan bergotong royong
memajukan sekolah yang dipimpin oleh hikmah dan kebijaksanaan sehingga terbentuk sifat
kekeluarga dilingkungan.
Keadilan Sosial
Prinsip No. 4 sekarang saya usulkan ... Yaitu prinsip kesejahterahan.
Prinsip: tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka
(Soekarno, 1 Juni 1945
Visi keadilan dan kesejahteraan rakyat yang diidealisasikan oleh para pemimpin
pergerakan kebangsaan itu kemudian mewarnai diskusi tentang dasar falsafah negara dalam
persidangan BPUPK. Sebelum dinyatakan Soekarno dalam Pidato pada 1 Juni 1945, gagasan
Pada 29 Mei, Muhammad Yamin pada poin kesepuluh dari pidatonya, menyebutkan
mengenai kehidupan ekonomi dan sosial sehari-hari yang mengenai dari putra-putra negeri”.
Pada hari yang sama, Soekarno menyatakan bahwa salah satu yang dikehendaki oleh negara
baru nanti adalah bahwa negara tersebut harus ‘subur dan makmur’. Untuk mencapai negara
yang subur dan makmur itu, menurutnya, ‘membutuhkan perekonomian ini berhubungan erat
dengan keadaan rakyat jelata, maka seharusnya kita pandang lebih dahulu keadaan rakyat
pada dewasa ini’. Untuk itu, menurutnya selain perlu mengatasi “kerendahan penghidupan”,
yang amat penting diperhatikan dalam kaitan dengan kesejahteraan rakyat adalah ‘kesehatan’.
menyatakan: “Maka oleh karena itu, jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat,
mencintai rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip sociale rechvaardigheid ini, yaitu
bukan saja persamaan politiek, saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita
Pencapaian tugas luhur itu tidak dipercayakan pada laisse-fair yang berbasis
politik dan pemiskinan ekonomi yang ditimbulkan oleh kolonisme; sementara, kolonisme itu
pada individualisme – kapitalisme, Soekarno menyatakan bahwa sila keadilan sosial adalah
menjunjung tinggi asas persamaan dan kebebasan individu, namun dengan penekanan bahwa
yang mengedepankan tanggung jawab dan solidaritas sosial bagi kebajikan kolektif. Dalam
sistem sosialisme ini diandaikan bahwa seluruh penghasilan diatur menurut keperluan dan
maslahat masyarakat masyarakat untuk menghindari krisis karena persaingan. Dalam kaitan
ini, Sutan Sjahrir menyatakan, “Sekali-kali, tidaklah boleh kepentingan golongan rakyat
banyak yang miskin. Keadilan yang kita kehendaki adalah keadilan bersama yang didasarkan
Sila “keadilan sosial” merupakan perwujudan yang paling konkret dari prinsip-prinsip
Pancasila. Satu-satunya sila Pancasila yang dilukiskan dalam Pembukaan UUD 1945 dengan
menggunakan kata kerja “mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Daftar Pustaka
Latif, Yudi, 2011, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan aktualitas Pancasila.
Sokarno, Pidato Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945. Simpatisan Pembela Pancasila. 2008
Soekarno, Ir, Editor: Rahardjo Pamoe. Revolusi Indonesia: Nasionalisme, Marhaen dan