Anda di halaman 1dari 17

Confessions of an Economic Hit Man (Pengakuan seorang Preman

Ekonomi) : Indonesia Target Penghancuran

Fadli Zon  : munculnya buku karya Perkins ini menunjukkan bahwa teori konspirasi
yang selama ini dianggap isapan jempol, khususnya di Indonesia, menjadi suatu
kenyataan.

Buah karya dari negeri Paman Sam itu, ternyata ludes, bak kacang goreng. Dua ratus
eksemplar yang dimasukkan Trisera dari AS, setelah dibagi keempat toko buku yang
masih satu grup dengan Gramedia, habis hanya dalam waktu satu hari. Padahal, harganya
tergolong “wah” bagi kebanyakan orang Indonesia, yakni dua ratus tujuh puluh tujuh
ribu lima ratus rupiah per buku.

Buku ini sempat menghebohkan dunia, terutama di AS. Isinya, pengakuan Perkins
tentang sepak terjangnya saat menghancurkan negara-negara dunia. Teori konspirasi
bukan lagi isapan jempol, tapi suatu kenyataan.

Buku yang kini sedang menjadi buah bibir masyarakat dunia itu tak lain adalah
Confessions of an Economic Hit Man  buah pena John Perkins. Berrett-Koehler
Publisher Inc , sebuah penerbit buku-buku ternama yang menerbitkan buku ini mengaku
tidak memiliki sangkut paut apapun dengan korporasi besar dan pemerintah AS saat
menerbitkannya.

“Sekarang sudah habis. Tapi kalau mau beli, tunggu sebulan lagi. Kalau tidak ada
hambatan, buku itu baru ada lagi bulan September. Bahkan kemungkinan besar pada
bulan itu sudah ada buku terjemahannya,” kata salah seorang karyawan Trisera, saat
ditelepon SABILI. Beruntung SABILI mendapatkan buku tersebut dari seseorang yang
membelinya di salah satu toko buku di Singapura beberapa waktu lalu.

Tak ada yang membantah bahwa buku adalah salah satu referensi utama dalam menulis,
tak terkecuali bagi SABILI. Untuk kebutuhan referensi itulah, pekan lalu, SABILI
mengontak toko buku Trisera, salah satu anak perusahaan Gramedia Grup. Dengan
menelepon langsung toko buku yang menjual buku terbitan Berrett-Koehler Publishers
Inc, San Fransisco, Amerika Serikat (AS) yang jadi best seller itu, SABILI berharap bisa
memperolehnya.

“Independensi ini menyebabkan Berrett-Koehler tidak terafiliasi dengan pihak-pihak


yang bisa menekan kami untuk keep quiet,” kata Senior Managing Editor Berrett-
Koehler, Jeevan Sivasubramaniam, menjawab pertanyaan melalui e-mail sebuah harian
yang terbit di Jakarta.

Buku yang membuat heboh dunia ini terbilang unik. Jika kebanyakan buku ditulis oleh
para pengamat atau orang ketiga, namun buku ini langsung ditulis oleh seorang “pelaku”
atau “pemain” nya sendiri. Isinya pun terbilang “luar biasa”: mengungkap pengakuan
tentang sepak terjang Perkins sebagai economic hit man (EHM) yang berusaha
menghancurkan negara-negara lain selama lima belas tahun.

Pada 1971, Perkins direkrut Chas T Main, sebuah firma konsultan asal Boston. Di firma
itu, jebolan fakultas ekonomi ini, diangkat sebagai kepala ekonomi yang memimpin 50
orang staf. Chas T Main sendiri memiliki sekitar dua ribu orang pegawai.

Perkins dan sejumlah temannya memiliki sebutan sebagai economic hit man atau
pembunuh ekonomi. Mereka bertugas di bawah Pengawasan Dewan Keamanan Nasional
atau National Security Agency (NSA), salah satu lembaga keamanan dan intelijen
terkemuka di AS.

Ia seorang konsultan “istimewa“. Posisinya tidak hanya sekadar mengegolkan


kesepakatan bisnis negara-negara berkembang atau dunia ketiga dengan AS, tapi juga
membangun kerajaan imperium AS di dunia. Perkins berusaha menciptakan situasi,
dimana semakin banyak sumber penghasilan mengalir ke AS atau ke perusahaan-
perusahaan milik AS.

Buku ini juga menceritakan, imperium itu dibangun bukan melalui persaingan yang sehat
dan jujur, tapi dengan cara-cara yang kotor. Mereka melakukannya melalui manipulasi
ekonomi, kecurangan, penipuan, seks, merayu orang untuk mengikuti cara hidup
Amerika dan lainnya.

Tugas utama Perkins adalah membuat kesepakatan untuk memberi pinjaman ke negara
lain, jauh lebih besar dari yang negara itu sanggup bayar. Ia mengaku pernah
menjalankan kebijakan ini di sejumlah negara dunia, seperti Indonesia dan Ekuador.

Dalam kesepakatan antarnegara itu, ia berusaha menekan negara-negara lain agar


memberikan 90 persen dari pinjamannya kepada perusahaan-perusahaan AS, seperti
Halliburton atau Bechtel. Kemudian perusahaan-perusahaan AS tersebut akan masuk
membangun sistem listrik, pelabuhan, jalan tol dan lainnya di negara-negara
berkembang.

Masih dalam buku itu, setelah mendapatkan utang, AS akan memeras negara tersebut
sampai tak bisa membayarnya. Dengan alasan itu, barulah AS akan mendesak negara-
negara lain untuk menyerahkan sumber kekayaan alamnya, seperti minyak, gas, kayu,
tembaga dan lainnya ke AS. Bagaimana jika negara-negara itu menolak? Perkins
menyatakan, mereka bisa saja dibunuh. Ini bukan isapan jempol. Dua tokoh dunia, yakni
Presiden Panama Omar Torijos dan Presiden Ekuador Jaime Rojos dibantai karena
menolak kerja sama dengan AS.

Perkins meyakini, jatuhnya pesawat yang ditumpangi Torijos tahun 1981, dilakukan
Jackals, satuan dari dinas intelijen CIA, disebabkan Torijos menolak proposal proyek
pembangunan Terusan Panama dari Bechtel. Untuk proyek tersebut, Torijos ternyata
lebih memilih kontraktor asal Jepang ketimbang Bechtel.
Terbitnya buku Confession of an Economic Hit Man karya Perkins ini sontak
mengundang komentar kritis dari para pengamat politik dan ekonomi Indonesia. Satu di
antaranya datang dari pakar ekonomi asal Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta
Revrisond Baswir .

Pengamat ekonomi yang berada di garda terdepan dalam mendorong ekonomi kerakyatan
itu menganggap, buku ini semakin mempertegas tesisnya selama ini bahwa utang
(pinjaman) luar negeri hanyalah alat negara-negara besar, seperti AS untuk menjajah
negara-negara lain. “Sebelum membaca buku ini, saya sudah banyak menulis makalah,
baik di seminar atau surat kabar bahwa utang luar negeri dipakai negara-negara pemberi
utang untuk menjalankan politik imperialisme kepada negara lain,” tuturnya.

Pinjaman luar negeri di mata Revrisond tidak lain sebagai akal bulus negara-negara besar
kepada negara lain. Nawaitu memberikan utang kepada negara lain, menurutnya, bukan
untuk membantu pembangunan, tapi untuk mengeruk kekayaan alam negara-negara lain,
seperti Indonesia. “Tak ada ceritanya utang luar negeri untuk membantu pembangunan
negara. Hal ini tak lain merupakan proses pembohongan publik,” ujarnya, prihatin
dengan sikap pemerintah yang terus menerus mengandalkan utang asing untuk
pembangunan infrastruktur negara.

Bahkan, jika dilihat cara-caranya, politik imperialisme negara-negara besar, terutama AS,
menurut Revrisond mirip dan sebangun dengan politik imperialisme yang dibangun
kolonial Belanda saat menjajah Indonesia dulu. Spirit dan tujuannya sama, namun
komoditasnya saja yang berbeda. “Dulu Belanda mau berdagang rempah-rempah, tapi ia
mencoba menguras Indonesia dengan mengambil keuntungan dari bisnis rempah-
rempah, seperti gula dan perkebunan. Tapi AS, sejak tahun 1960-an lebih berorientasi ke
sumber daya alam,” katanya.

Meski merasa gerah dengan politik kotor negara-negara besar, seperti AS, kepada
negara-negara lain, namun ia meminta seluruh masyarakat jangan lengah terhadap orang-
orang yang cenderung menjadi kaki tangan negara-negara besar yang beroperasi di
Indonesia.

Ia berpendapat, negara-negara besar tidak akan berhasil “menjajah” Indonesia jika tidak
ada orang-orang yang mendukungnya di Indonesia. “Karena kerja sama itu dilakukan
dengan berbagai cara, jadi pejabat-pejabat yang terlibat dalam pembuatan utang luar
negeri perlu diwaspadai,” ujarnya keras mengritik para pengamat ekonomi yang menjadi
kaki tangan asing di Indonesia.

Pandangan Direktur Eksekutif Institut for Policy Studies (IPS) Fadli Zon  nampaknya
layak disimak. Menurutnya, munculnya buku karya Perkins ini menunjukkan bahwa
teori konspirasi yang selama ini dianggap isapan jempol, khususnya di Indonesia,
menjadi suatu kenyataan.

“Ini bukan isapan jempol, tapi menjadi pembenaran terhadap teori konspirasi tersebut,”
tegasnya, sambil menyatakan percaya bahwa peristiwa politik yang terjadi selama ini,
khususnya di Indonesia tidak lepas dari peran serta negara-negara besar, seperti AS
dalam rangka melanggengkan hegemoninya.

Sebagai pengamat politik yang terus mencermati tren politik global, terbitnya buku karya
John Perkins ini tentu saja menggembirakan, sekaligus membenarkan asumsinya selama
ini. Berdasarkan pengamatannya selama ini, setiap proses perkembangan ekonomi
negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, banyak sekali jebakannya, terutama
jebakan utang hingga Indonesia tidak mampu membayar pinjaman. Itu membuat mereka
mengambil proyek-proyek strategis. “Ini adalah traps (jebakan) yang mereka buat,”
ujarnya.

Meski Perkins menceritakan adanya tahapan pembunuhan bagi pemimpin yang tidak
menaati kesepakatan dengan negara-negara besar, namun Fadli Zon berpendapat, di
Indonesia policy mereka belum sampai ke tahap pembunuhan, apalagi invasi militer.

Keengganan mereka melakukan pembunuhan dan invasi militer, menurut Fadli Zon,
karena pemimpin Indonesia sangat kooperatif. Mereka tidak menjalankan politik
konfrontatif dengan negara-negara besar. Bahkan dalam koridor internasional, sering kali
Indonesia mengekor policy mereka.

“Yang terjadi di Indonesia baru economic hit man. Negara-negara besar belum perlu
menjalankan policy pembunuhan atau invasi militer. Namun hanya dengan tahap pertama
itu, mereka sudah bisa mengeliminir peran para pemimpin Indonesia untuk tunduk pada
kebijakan mereka,” katanya, prihatin dengan sikap para pemimpin Indonesia yang
lembek dan menurut saja pada kemauan negara-negara besar dunia.

Buah karya Perkins ini sebenarnya merupakan komplementer dari buku-buku karya
penulis dunia lain, seperti Josep Stiglitz. Dalam berbagai bukunya, ekonom dunia ini
acap kali menghantam kebijakan lembaga-lembaga keuangan dunia, seperti International
Monetary Fund (IMF) dan World Bank yang dianggap tidak jujur saat melakukan
kesepakatan dengan negara berkembang atau negara dunia ketiga.

Dalam bukunya yang telah tersebar ke berbagai penjuru dunia tersebut, Stiglitz menilai
bahwa kebijakan-kebijakan imperialisme negara-negara besar terhadap negara lain tidak
lepas dari kebijakan IMF, World Bank dan lembaga keuangan dunia lainnya. Bahkan ia
pun mengritik kebijakan AS yang menurutnya sering ikut campur kepentingan negara-
negara lain.

Sampai tulisan ini selesai dibuat, SABILI belum mendapatkan konfirmasi dari pihak
Kedutaan Besar AS perihal buku ini. Saat SABILI mengajukan permohonan wawancara
kepada Dubes AS B Lynn Pascoe, Atase Pers Kedubes AS Max Kwak mengirim surat
yang isinya permohonan maaf bahwa Pascoe belum dapat memenuhi permohonan
SABILI.

Jika dicermati secara teliti, apa yang ditulis Perkins dalam bukunya tersebut, banyak
kemiripannya dengan kasus yang terjadi di Indonesia. Tak cukup mengendalikan politik,
AS juga merampas kekayaan Indonesia. Jika konspirasi itu yang sedang terjadi, maka
bukan tidak mungkin saat ini Indonesia sedang berada di ambang kehancuran.

Siapa pun dia, tentu saja tidak akan rela jika negaranya dijajah bangsa lain. Agar terlepas
dari cengkeraman itu, bangsa Indonesia harus berani menolak utang negara-negara besar
yang bertujuan menghancurkan Indonesia. Selain itu, masyarakat juga harus berani
“membersihkan” orang-orang yang menjadi kaki-tangan asing di Indonesia. (Sabili)
Rivai Hutapea

Simak beberapa artikel dibawah ini


referensi berbagai sumber
 

Sinopsis

Dalam cerita pribadi yang memukau ini, Perkins menceritakan perjuangan pribadinya
dari seorang pelayan kerajaan menjadi pejuang yang gigih untuk hak asasi manusia dan
orang-orang tertindas. Seebagai hasil rekutmen terselubung oleh United States National
Security Agency dan tercantum sebagai penerima gaji dari perusahaan konsulatan
internasional, dia berkelana ke berbagai pelosok dunia - ke Indonesia, Panama, Ekuador,
Kolumbia, Saudi Arabia, Iran dan negara strategis lainnya.

Pekerjaannya adalah menerapkan kebijakan yang mempromosikan kepentingan


korporatokrasi (Koalisi pemerintah, bank dan korporasi) Amerika Serikat, sambil
menyatakan minat mengurangi kemiskinan - suatu kebijakan yang sebenarnya
mengasingkan berbagai bangsa serta meyebabkan peristiwa 11 September dan
meningkatkan Anti-Amerika.

Daftar Isi

BAGIAN I: 1963 -1971


BAB 1 Seorang Economic Hit Man Lahir……1
BAB 2 "Untuk Seumur Hidupmu"………….. 12
BAB 3 Indonesia: Pelajaran untuk Seorang EHM ……….22
BAB 4 Menyelamatkan Sebuah Negara dari Komunisme………..26
BAB 5 Menjual Jiwaku ………………32
BAGIAN II: 1971- 1975
BAB 6 Peranku Sebagai Penyelidik ……….41
BAB 7 Mengadili Peradaban……………. , 46
BAB 8 Yesus, Dilihat Secara Berbeda…………. 52
BAB 9 Kesempatan Seumur Hidup………………. 57
BAB 10 Presiden dan Pahlawan Panama ………….64
BAB 11 Perompak di Zona Terusan ………………70
BAB 12 Prajurit dan Pelacur …………………………74
BAGIAN III ; 1975 - 1981
BAB 17 Negosiasi Terusan Panama dan Graham Green……..113
BAB 18 Raja Diraja Iran …………….122
BAB 19 Pengakuan Seorang Laki-Laki yang Dianiaya…………..128
BAGIAN IV : 1981 - Sekarang
BAB 26 Kematian Presiden Ekuador ………………..175
BAB 27 Panama : Kematian Presiden Lain……181
BAB 28 Perusahaan Energiku, Enron dan George W. Bush…………..185

Kutipan dari Kompas……

Pengakuan Perkins

Namanya John Perkins, warga Amerika Serikat yang mengungkapkan jaringan


corporatocracy. Inilah ilmu tentang mencari untung sebanyak- banyaknya dengan
memeras habis negara yang mudah dikelabui, seperti Indonesia.

Lewat bukunya, Confessions of An Economic Hit Man (2004), ia mengaku salah dan
menyesali mengapa para pemimpin negaranya belum berubah. Ah, tak apa-apa karena di
sini juga belum ada perubahan kok.

Perkins adalah economic hit man (EHM) untuk sebuah perusahaan konsultan MAIN di
Boston, AS. Cara kerja mereka mirip dengan mafia karena menggunakan segala
cara—termasuk membunuh atau mempekerjakan pelacur—untuk mencapai tujuan
politik dan ekonomi.

Ia menulis bahwa EHM bertanggung jawab atas terbunuhnya Presiden Panama Omar
Torrijos dan Presiden Ekuador Jaime Roldos. Dua kepala negara di Amerika Latin ini
mesti dilenyapkan karena menentang ilmu cari untung itu, yang dijalani Gedung Putih
dan para eksekutif eksklusif.

Kita melakukan pekerjaan kotor. Tak ada yang tahu apa yang kamu lakukan, termasuk
istrimu. Kamu mau ikut atau tidak? Kalau mau, kamu dilarang keluar dari kantor ini
sampai mati,” kata sang bos Perkins yang suatu hari tiba-tiba raib ibarat hantu.

Tugas pertama Perkins membuat laporan fiktif agar lembaga- lembaga bantuan (Perkins
menyebut IMF, Bank Dunia, dan USAID) mau mengeluarkan utang. Dana itu disalurkan
ke proyek-proyek infrastruktur yang dikerjakan berbagai perusahaan top AS, seperti
Bechtel dan Halliburton.

Tugas kedua, Perkins harus membangkrutkan negeri penerima utang. Setelah tersandera
utang setinggi gunung, barulah si negara penerima dijadikan kuda yang dikendalikan
sang kusir.

Presiden negara pengutang akan ditekan supaya, misalnya, memberikan voting pro-AS di
Dewan Keamanan PBB atau memberikan lokasi untuk pangkalan militer AS. Bisa juga
Washington menekan agar negeri pengutang menjual ladang minyak atau kekayaan alam
lainnya.

Selama tiga bulan di tahun 1971 Perkins keliling Indonesia menyiapkan dongeng tentang
pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita (GNP) kita. Angka-angka itu
digelembungkan setinggi mungkin mendekati langit ketujuh.

Angka-angka catutan itu dilaporkan kepada Bank Dunia atau IMF. Para eksekutif di situ
juga tukang-tukang ngibul yang serentak menganggukkan kepala sambil berdecak
kagum, ”Wow, Indonesian economy is going to be great, yes?”

Bos Perkins bilang, Presiden AS Richard Nixon ingin Indonesia diperas sampai kering
seperti kain pel habis dipakai melantai. Negeri ini ibarat real estat terbesar di dunia yang
tak boleh jatuh ke tangan Uni Soviet atau China. ”Berbicara tentang minyak bumi, kita
tahu bagaimana negara kita tergantung darinya. Indonesia bisa menjadi sekutu kuat kita
dalam soal itu,” kata bos Perkins, Charlie Illingworth, suatu kali di Bandung.

Corporatocracy antara elite politik dan bisnis AS itu disambut hangat para pejabat kita.
Paling penting, rekening bank para pejabat itu tak boleh sampai tinggal keraknya doang
seperti tungku penanak beras.

Maka orang-orang Gedung Putih, Bechtel, Halliburton, lembaga-lembaga bantuan,


MAIN, dan para pejabat itu saling tersenyum dan mengedipkan mata. Proyek
”pembangkrutan” (bukan pembangunan) Indonesia pun dimulai.

Maka dimulailah lingkaran setan utang luar negeri yang dielu-elukan oleh ideologi
pembangunan. Bukan cuma mau bangun prasarana, baru bangun tidur pun para pejabat
kita langsung kabur mau ngutang dulu ke kantor perwakilan IMF atau Bank Dunia.

Nah, persekutuan antara corporatocracy AS dan cleptocracy (penyakit klepto) yang


diderita elite Orde Baru itu berjalan mesra selama puluhan tahun. Rakyat Indonesia
bengong saja seperti obat nyamuk yang menemani orang lagi pacaran.

Tujuan rahasia pembangunan proyek-proyek infrastruktur itu, keuntungan sebanyak-


banyaknya untuk Bechtel, Halliburton, dan sejumlah perusahaan AS. Tujuan rahasia
lainnya, memperkaya penguasa dan keluarganya di sini agar loyal kepada jaringan
corporatocracy tersebut.

Semakin banyak utang yang dipinjamkan ke Indonesia, semakin baik. Selama tiga bulan
keliling Indonesia, Perkins menjadi EHM yang andal meskipun kadang kala terganggu
hati nuraninya menyaksikan kemiskinan di sini.

Berkat pengalaman pertamanya di Indonesia, Perkins berkali-kali dipercaya melakukan


tugasnya sebagai ”hit man” di berbagai negara. Secara diam-diam dia menyiapkan
buku Confessions yang dia tulis antara lain sebagai ungkapan minta maaf.

Setelah peristiwa 11 September 2001 terjadi di New York City (AS), Perkins menjadi
salah seorang warga AS yang berani bersikap kontroversial. Dia bilang, tak usah terkejut
tragedi tersebut terjadi karena itu salahnya jaringan corporatocracy yang dulu
”bermain api” dengan menjadikan Osama bin Laden sebagai sekutu.

Bin Laden didukung jaringan corporatocracy untuk mendongkel rezim di Afganistan


yang pro-Uni Soviet. Perkins mengungkapkan pula bagaimana dirinya menyiapkan
seorang pelacur kelas tinggi di AS untuk melayani kebutuhan seorang pangeran Arab
Saudi sebagai bagian dari tugasnya di MAIN.

Anda sebaiknya membaca buku Perkins. Semoga ada penerbit di sini yang mau membeli
hak penerbitan sekaligus menerjemahkannya supaya dibaca anak-anak dan cucu-cucu
kita.

Setelah membaca buku Perkins, hati menggumamkan Siapa Suruh Datang Jakarta, lagu
Manado yang tenar di kalangan demonstran. Sapa suruh jual Blok Cepu/Sapa suruh jual
Blok Cepu/Sandiri suka sandiri rasa….

Confessions of an Economic Hit Man (Pengakuan seorang Preman


Ekonomi)

John Perkins
Penerbit : Berrett-Koehler Publishers, Inc., San Francisco
ISBN : 1-57675-301-8
2004 250 hlm

Secara sederhana, judul buku berbahasa Inggris ini bisa diterjemahkan sebagai
“Pengakuan seorang Preman Ekonomi” -- mungkin terdengar kurang ilmiah, atau kurang
mengikuti peristilahan formal ilmu ekonomi. Dalam bahasa Inggris, Economic Hit Man
—atau dalam buku ini disingkat menjadi EHM—juga tidak dikenal wacana ekonomi
umum. Di sinilah letaknya keunikan buku ini: melalui pengakuannya ini, John Perkins
menguak tabir rahasia yang menutupi berbagai rekayasa politik ekonomi serta strategi
korporatis yang kini dikenal sebagai globalisasi.

Buku ini menceritakan pengalaman penulis sendiri yang pada tahun 1970an dan 1980an
bekerja sebagai konsultan ekonomi, khususnya membuat prediksi perekonomian
(economic forecaster), pada P.T. MAIN, perusahaan yang bergerak di bidang perlistrikan
dan pada tahun 1970an awal (jadi pada awal berdirinya Orde Baru di bawah Soeharto)
membuka kerjasama dengan Perusahaan Listrik Negara Indonesia. Perkins sendiri
direkrut oleh perusahaan tersebut untuk memulai kariernya sebagai EHM dengan
penugasan pertama ke Indonesia untuk membangun sistem perlistrikan baru untuk
melayani bidang perindustrian (ringan) yang sedang dirancang. Barangkali isu yang
paling penting dalam buku ini ialah bagaimana berbagai proyek pembangunan—dan
terutama pembangunan infrastruktur yang saat ini sedang melejit lagi—menjadi sarana
untuk menjerat negara-negara yang sedang membangun dalam libatan hutang tanpa
ujung, hutang yang menyengsarakan rakyat sambil menambah kekayaan korporasi.

Di Amerika, si penulis mengalami kesulitan mencari penerbit. Kalangan penerbit


mainstream rata-rata menolak menerbitkan naskahnya. Penerbit yang berminat
mengatakan bisa menerbitkan kalau diterbitkan sebagai karya fiksi, bukan sebagai
laporan kenyataan, apalagi sebagai pengakuan. Akhirnya, buku ini diterbitkan oleh pers
alternatif kecil di San Francisco yang tidak dimiliki korporasi internasional. Keresahan
penerbit yang menolaknya dapat dibayangkan dari pembukaan buku ini:

“Economic hit men (EHMs—Preman Ekonomi) adalah profesional2 dengan bayaran


tinggi yang melakukan penipuan bernilai trilyunan dollar terhadap negara-negara di
seantero bumi. Mereka menyalurkan uang dari Bank Dunia (World Bank), U.S. Agency
for International Development (USAID-Badan Amerika Serikat untuk Pembangunan
Internasional, sebuah badan pemerintah), dan organisasi2 “bantuan” lainnya supaya
masuk ke pundi2 korporasi2 besar dan kocek segelintir keluarga kaya yang
mengendalikan sumberdaya alam seluruh planit bumi. Alat-alatnya termasuk laporan2
keuangan palsu, pemilihan umum yang direkayasa, uang sogok, sumbangan2 paksa, sex,
dan pembunuhan. Mereka memainkan sebuah permainan yang sudah setua imperium,
tetapi yang sekarang telah mempunyai dimensi2 baru yang sangat mengerikan dalam
masa globalisasi ini.

Sudah sepantasnya saya tahu; saya sendiri seorang EHM.”

Buku tersebut didedikasikan penulis kepada presiden dari dua negara yang pernah
menjadi kliennya: Jaime Roldos, presiden Ecuador, dan Omar Torrijos, presiden Panama,
yang keduanya tewas dalam kecelakaan kendaraan. Menurut penulis, kematian mereka
bukan kecelakaan; mereka sebenarnya dibunuh karena menentang konspirasi korporasi,
pemerintah dan kepala2 bank yang bertujuan mendirikan imperium global. Karena para
EHM sendiri tidak berhasil mengubah haluan politik ekonomi Roldos dan Torrijos, maka
pembunuh2 yang direstui CIA mengambil alih tugas mereka.

Kutipan di atas ditulis untuk pertama kali pada tahun 1982, tetapi setiap kali, si penulis
menerima ancaman atau sogokan besar untuk menghentikan pekerjaannya itu. Seorang
penerbit mainstream sangat tertarik pada buku itu tetapi ia terpaksa menolaknya karena ia
tahu bahwa ia tidak bisa mengambil risiko menerbitkan buku itu karena kepala-kepala
eksekutifnya tidak akan menyetujuinya.

Si penulis bercerita bagaimana pelatihnya (seorang perempuan bernama Claudine)


mengatakan, “Tugasku ialah untuk membentukmu menjadi seorang preman ekonomi.
Tidak seorang pun yang boleh mengetahui keterlibatanmu, bahkan isterimu tidak boleh.”
Cerita mengenai Claudine ini membeberkan cara2 rekayasa yang dipakai dalam
rekrutmen dan pelatihan EHM: “Ia cantik dan pandai, dan sangat efektif; ia memahami
kelemahan2ku dan menggunakannya sebagai peluang besar. … Claudine tidak
menggambarkan tugas2ku dengan halus. Tugasku, katanya, ialah ‘untuk mendorong
supaya pemimpin2 dunia menjadi bagian dari jaringan luas yang memajukan
kepentingan ekonomi AS. Pada akhirnya, pemimpin2 itu akan terjerat dalam libatan
hutang dan ini menjamin loyalitas mereka. Kami akan bisa menggunakan mereka kapan
saja kami inginkan—untuk memenuhi kebutuhan2 politik, ekonomi atau militer kami.
Sebaliknya, mereka memperkuat posisi politik mereka dengan cara memberi zona2
industri modern, pembangkit tenaga listrik, dan lapangan terbang kepada rakyat mereka.
Pemilik2 perusahaan engineering/konstruksi AS akan menjadi amat sangat kaya.”

Lanjut Perkins,

“Sekarang ini kita melihat hasil2 sistem ini yang sudah mengamuk tanpa batasan. Para
eksekutif di perusahaan2 kami yang paling dihormati menyewa orang dengan upah mirip
dengan upah hamba untuk bekerja dalam kondisi tak manusiawi di gudang2 keringat
Asia. Perusahaan2 minyak semau-maunya membuang limbah racunnya ke dalam sungai2
hutan, dengan sadar membunuh manusia, hewan dan tanaman, dan melakukan genosida
terhadap kebudayaan2 kuno. Industri pharmaci menolak memberikan obat2an yang
menyelamatkan kepada berjuta orang Afrika yang kena HIV. Duabelas juta keluarga di
Amerika Serikat sendiri kekurangan pangan. Industri enerji mencipta Enron. Industri
akuntansi mencipta Anderson. Rasio pendapatan 1/5 penduduk dunia di negara2 terkaya
dengan pendapatan 1/5 penduduk dunia termiskin melejit dari 30 banding 1 pada tahun
1960 menjadi 74 banding 1 pada tahun 1995. Amerika Serikat mengeluarkan lebih dari
$87 milyar untuk berperang di Irak, sementara PBB memperkirakan bahwa dengan
jumlah yang tidak sampai separuh jumlah itu, kita bisa menyediakan air bersih, gizi yang
layak, layanan sanitasi, dan pendidikan dasar bagi setiap manusia di bumi.”

Dan Perkins bertanya: “Dan kami heran kenapa kami diserang teroris?”

Sebagai seorang preman ekonomi, Perkins bertanggungjawab untuk membuat forecast


ekonomi untuk proyek besar (di Indonesia, proyek listrik) yang mendukung proyek
pembangunan tersebut. Segala hal yang tidak mendukung, tidak boleh dimasukkan,
terutama dampak negatif bagi penduduk yang sudah miskin. Perkins bercerita bagaimana
seorang forecaster ekonomi senior Amerika dipecat karena hanya membuat “load
forecast” (untuk menghitung proyeksi kebutuhan beban listrik) sebesar 8% per tahun.
“Delapan persen setahun. Itulah load forecast yang dibuatnya. Percayakah anda? Dalam
negara yang begitu potensial seperti Indonesia!” (hal. 52). Lanjutnya, “Charlie
Illingworth mengatakan bahwa forecast ekonomi anda tepat sekali dan akan
membenarkan pertumbuhan beban listrik antara 17 dan 20%. Tepatkah itu?’
“’Saya mengatakan itu tepat.

Ia berdiri dan menjabat tanganku. ‘Congratulations. Kamu baru mendapat promosi.’”


(hal 53).

Setelah itu si penulis bekerja keras untuk menghasilkan forecast yang dibutuhkan. “Saya
memusatkan perhatian pada penulisan laporan mengenai ekonomi Indonesia dan
mengubah forecast beban Howard (ekonomi yang dipecat). Saya menghasilkan jenis
studi yang diinginkan para boss saya: pertumbuhan pada permintaan listrik rata2 19
percent per tahun sepanjang 12 tahun setelah sistem baru diselesaikan, menurun menjadi
17 persen selama 8 tahun berikutnya, kemudian stabil pada tingkat 15 persen untuk sisa
masa proyeksi yang seluruhnya berjangka 25 tahun.” Ketika ia sendiri mengalami
keraguan, ia mengingat nasehat yang pernah diberi Claudine: “Siapa yang bisa melihat
25 tahun ke depan?...Tebakanmu sama sahnya dengan tebakanku. Percaya diri adalah
segala-galanya.” Dengan modal percaya diri ini, laporannya diterima dan menentukan
pembangunan infrastruktur listrik untuk Indonesia. Dan siklus jerat hutang bermilyar
dollar yang masih mengancam kehidupan warganegara sampai hari ini. Subsidi BBM
dicabut, pendidikan umum dan kesehatan diswastakan. Masalah2 besar ini yang
sesungguhnya merupakan ancaman terbesar yang membuat masyarakat resah dan merasa
tak aman.

Buku ini juga bercerita mengenai keterlibatan penulis dalam proyek2 pembangunan di
Arab Saudi, keterlibatan para EHM di Iran dan di negara2 Amerika Tengah dan Selatan.
Kadang2 memang terasa menjadi sangat pribadi, tapi justru kelihaian yang merekrut
preman2 ini ialah menggunakan kerinduan2 pribadi, kerinduan akan kasih sayang, akan
nama terhormat, akan kekayaan.

Confessions of an Economic Hit Man

Barangkali Anda tertarik dengan teori konspirasi, terutama yang ada kaitannya dengan
bisnis global dan ekonomi dunia. Teori ini, meskipun saya pribadi menganggap "biasa-
biasa" saja, tetapi mungkin cukup menarik untuk dibaca dan direnungkan. Dan ya,
berikut saya kutipkan transkrip wawancara dengan John Perkins, mantan anggota
"perusak ekonomi" (economic hit men) yang baru saja merilis buku berjudul Confessions
of an Economic Hit Man.

Kami mewawancarai John Perkins, mantan anggota terhormat komunitas bankir


internasional. Dalam bukunya Confessions of an Economic Hit Man, ia menjelaskan
bagaimana sebagai seorang profesional yang dibayar mahal, ia membantu Amerika
mencurangi dan menipu negara-negara miskin di dunia dengan trilyunan dolar,
meminjamkan mereka utang yang melebihi kemampuan mereka untuk membayar, dan
kemudian menguasainya. Berikut transrip wawancaranya.

John Perkins menceritakan dirinya sebagai mantan "anggota perusak ekonomi"


(economic hit men) - seorang profesional yang dibayar mahal untuk mencurangi negara-
negara di dunia dengan triliunan dolar. (Sebenarnya) 20 tahun yang lalu Perkins telah
memulai menulis buku dengan judul, Conscience of an Economic Hit Men.

Perkins menulis, "Buku ini didedikasikan untuk presiden di dua negara, mereka yang
telah menjadi klien dan saya sangat respek pada spirit kebaikannya, yaitu Jaime Roldós
(presiden Ekuador) dan Omar Torrijos (presiden Panama). Keduanya terbunuh dalam
kecelakaan yang mengerikan. Kematian mereka bukan karena kecelakaan. Mereka
dibunuh karena mereka menolak bekerjasama dengan perusahaan, pemerintahan, dan
pimpinan perbankan yang mempunyai tujuan menjadi imperium dunia (Amerika). Kami
para perusak ekonomi (economic hit men), telah gagal mempengaruhi Roldós dan
Torrijos, dan para perusak "jenis yang lain" yaitu CIA-"serigala pengeksekusi" yang
selalu di belakang kita, kemudian melakukan tindakan.

John Perkins meneruskan: "Saya dibujuk untuk menghentikan menulis buku itu. Saya
telah memulainya empat kali selama dua puluh tahun ini. Pada tiap kejadian besar dunia,
hal itu selalu mempengaruhi saya untuk menulis lagi: invasi Amerika ke Panama tahun
1980, Perang Teluk pertama, Somalia, dan kebangkitan Osama bin Laden. Tetapi,
ancaman atau sogokan selalu membuat saya berhenti."

Tapi kini, Perkins akhirnya mempublikasikan kejadian yang dialaminya. Buku ini diberi
judul Confessions of an Economic Hit Man. John Perkins bersama kami di studio
Firehouse.

AMY GOODMAN John Perkins bergabung dengan kami di studio Firehouse. Selamat
datang di Democracy Now!

JOHN PERKINS Terima kasih Amy. Senang sekali bisa di sini.

AMY GOODMAN Ini sebuah keberuntungan, membuat Anda bersama kami. Oke,
jelaskan makna kata ini, "economic hit man" EHM., seperti halnya Anda
menamakannya.

JOHN PERKINS Pada dasarnya apa yang dilatih kepada kami dan apa pekerjaan kami
adalah untuk membangun imperium Amerika. Membawa, merekayasa situasi dimana
berbagai sumberdaya (dunia) sebisa mungkin keluar dan menuju negara ini (Amerika),
menuju berbagai perusahaan kita, dan menuju pemerintahan kita, dan nyatanya kami
telah mengerjakan dengan begitu berhasil. Kami telah membangun imperium terbesar
dalam sejarah dunia. Ini dikerjakan lebih dari 50 tahun sejak Perang Dunia II, dengan
kekuatan militer yang benar-benar sangat kecil. Hanya suatu kejadian yang amat jarang,
yaitu Irak, dimana serbuan kekuatan militer sebagai tindakan paling akhir. Imperium ini,
tidak seperti berbagai sejarah lain dunia, telah dibangun terutama melalui manipulasi
ekonomi, melalui pencurangan, melaui penipuan, melalui bujukan sehingga mereka
mengikuti jalan kita, melalui para economic hit men. Saya adalah salah satu bagian
utama dari hal itu.

AMY GOODMAN Bagaimana Anda bisa terlibat? Untuk siapa Anda bekerja?

JOHN PERKINS Saya direkrut ketika saya kuliah bisnis di akhir 1960-an oleh Badan
Keamanan Nasional (National Security Agency, NSA), institusi terbesar Amerika dan
jarang dipahami sebagai organisasi mata-mata, tetapi sepenuhnya saya bekerja pada
perusahaan swasta. Economic hit man yang pertama telah pulang kembali pada awal
1950-an, dimana Kermit Roosevelt (cucu dari Teddy) berhasil menumbangkan
pemerintahan Iran. Sebuah pemerintahan yang terpilih secara demokratis, yaitu
pemerintahan Mossadegh. Majalah Times pernah menjadikan Mossadegh sebagai sosok
terpilih dunia (person of the year). Roosevelt telah melakukan begitu sukses, tanpa ada
darah yang tumpah -atau mungkin sedikit- tapi tanpa intervensi militer, hanya
mengeluarkan jutaan dolar dan telah bisa mengganti Mossadegh dengan seorang Shah
dari Iran.

Pada situasi itu, kami memahami bahwa tujuan economic hit man sangatlah baik. Kami
tidak perlu khawatir ancaman perang dengan Rusia, jika kami berhasil melakukan hal
seperti itu. Persoalannya adalah, Roosevelt agen CIA. Ia adalah pejabat pemerintahan.
Jika ia tertangkap, ia akan mendatangkan banyak kesulitan. Ini pasti akan sangat
memalukan. Lalu, dengan mempertimbangkan ini, keputusan yang diambil kemudian
adalah menggunakan organisasi seperti CIA dan NSA untuk merekrut orang-orang
potensial menjadi economic hit man, seperti saya. Kemudian, mengirim kami untuk
bekerja pada perusahaan konsultan swasta, perusahaan rekayasa (engineering),
perusahaan konstruksi, jadi kalau kami tertangkap, maka tak ada hubungannya dengan
pemerintah.

AMY GOODMAN Oke. Jelaskan perusahaan tempat Anda bekerja.

JOHN PERKINS Perusahaan tempat saya bekerja adalah perusahaan Chas. T. Main di
Boston, Massachusetts. Di sana ada 2.000 pekerja, dan saya menjadi pimpinan ekonom.
Saya mempunyai staf 50 orang. Tapi pekerjaan saya yang utama adalah pembuat
transaksi (deal-making). Yaitu memberikan hutang pada negara lain, hutang raksasa, jauh
lebih besar dari kemampuan mereka mengembalikan. Salah satu persyaratan dalam
hutang itu —katakanlah dengan utang sebesar satu miliar dolar, kepada negara seperti
Indonesia atau Ecuador— negara-negara itu akan memberikan kepada kita 90% dari
hutang itu, kembali kepada sebuah perusahaaan Amerika, atau beberapa perusahaan
Amerika, untuk membangun infrastruktur. Ada beberapa (perusahaan) yang sangat besar
(Halliburton atau Bechtel). Perusahaan-perusahaan besar itu kemudian membangun
sistem kelistrikan atau pelabuhan atau jalan tol, dan itu semua pada dasarnya hanya
melayani (diakses) sebagian kecil penduduk, yaitu para orang-orang kaya di negara-
negara itu. Rakyat miskin di negara-negara itu akan tetap saja terus berkubang, hidup
dengan hutang raksasa yang tak mungkin dapat dibayar. Negara seperti Ekuador harus
membayar hutang dengan 70% dari budget nasional mereka. Ini benar-benar terlalu berat
bagi mereka. Lalu, kita meminta kompensasi minyak. Jadi, ketika kita ingin minyak, kita
ke Ekuador dan tinggal menuntut, "Lihat, kamu tidak bisa membayar utangmu, maka
berikan perusahaan-perusahaan minyakmu, hutan tropis Amazonmu yang dipenuhi
minyak." Dan kini kita telah menguasai dan menghancurkan hutan tropis Amazon,
menekan Ekuador untuk memberikannya kepada kita, karena mereka mempunyai hutang
raksasa yang terakumulasi. Jadi kita buat hutang raksasa itu, sebagian besar akan kembali
ke Amerika, sementara negeri itu (Ekuador) akan mendapat beban utang dengan bunga
yang besar, dan menjadi pelayan kita, menjadi budak kita. Ini (Amerika) adalah sebuah
imperium. Tak ada yang mengalahkannya. Ini adalah imperium raksasa. Ini benar-benar
keberhasilan luar biasa.

AMY GOODMAN Kita sedang berwawancara dengan John Perkins, penulis buku
Confessions of an Economic Hit Man. Anda mengatakan karena sogokan dan alasan lain
Anda tidak menulis buku ini dalam waktu lama. Apa maksud Anda? Siapa yang
menyogok Anda atau siapa— apakah sogokan itu Anda terima?

JOHN PERKINS Iya, saya menerima sogokan setengah juta dolar tahun 90-an untuk
tidak menulis buku ini.

AMY GOODMAN Dari?

JOHN PERKINS Dari sebuah perusahaan besar rekayasa konstruksi.

AMY GOODMAN Yang mana?

JOHN PERKINS Bicara secara legal, ini bukanlah.. — Stoner-Webster. Bicara secara
legal ini bukanlah sebuah sogokan, ini adalah.. - saya dibayar atas nama sebagai seorang
konsultan. Ini semua legal. Tapi sebenarnya saya tak mengerjakan apa-apa. Saya sama
sekali tak mengerjakan apa-apa. Ini sangat mudah dimengerti, seperti saya jelaskan
dalam Confessions of an Economic Hit Man, itu adalah - saya adalah - itu mudah
dimengerti ketika saya menerima uang itu sebagai konsultan mereka, saya tidak
melakukan kerja berarti, tapi saya dilarang menulis buku apapun terkait dengan topik itu
(pencurangan), ketika mereka mengetahui bahwa saya dalam proses penulisan buku ini,
yang pada saat itu saya beri judul Conscience of an Economic Hit Man. Dan saya harus
mengatakan pada kamu Amy, bahwa, kamu tahu, ini adalah kisah yang luar biasa - ini
nyaris mirip cerita James Bond, betul-betul, dan maksud saya –

AMY GOODMAN Tentu, itulah tentunya isi buku itu.

JOHN PERKINS Iya, dan saat itu,… kamu tahu? Dan ketika saya direkrut NSA, mereka
memeriksa saya seharian dengan mesin penguji kebohongan. Mereka menemukan semua
kelemahan saya dan kemudian membujuk saya. Mereka menggunakan sarana yang
paling kuat dalam kebudayaan kita yaitu seks, kekuasaan, dan uang, untuk mengalahkan
saya. Saya berasal dari keluarga Inggris yang sangat tua, Calvinis, tertanam begitu kuat
nilai-nilai moral. Saya pikir, kamu tahu, saya adalah orang yang baik sepenuhnya, dan
saya pikir kisah tentang saya benar-benar memperlihatkan bagaimana kuatnya sistem itu
dan begitu kuatnya pengaruh "candu" seks, uang, dan kekuasaan, sehingga dapat
membujuk rayu, karenanya saya begitu terbuai dan terbujuk. Dan jika saya tidak
mengalami sendiri sebagai economic hit man, saya pikir saya akan sangat sulit
mempercayai, ada yang melakukan hal itu. Dan inilah mengapa saya menulis buku ini,
karena negara kita (Amerika) betul-betul harus dimengerti, jika masyarakat dari bangsa
ini memahami bagaimana sebenarnya kebijakan luar negeri kita, apa arti hutang luar
negeri sebenarnya, bagaimana perusahaan-perusahaan kita bekerja, kemana uang pajak
kita digunakan, saya tahu kita akan menuntut perubahan.

AMY GOODMAN Kita sedang mewawancarai John Perkins. Pada buku Anda, Anda
mengatakan bagaimana Anda membantu menjalankan sebuah rencana rahasia
menyalurkan miliaran dolar ke Arab Saudi lalu petro-dolar (Arab) kembali ke ekonomi
Amerika, dan kemudian mengikat hubungan antara Pemerintahan Arab dan pemerintahan
Amerika berturut-turut. Jelaskan.

JOHN PERKINS Ya, ini adalah suatu waktu yang mencengangkan. Saya mengingatnya
dengan baik, kamu (Amy) mungkin terlalu muda untuk mengingatnya, tapi saya
mengingatnya dengan baik. Di awal 70-an OPEC menggenggam kekuasaan itu, dan
memotong suplai minyak. Mobil-mobil kita antre begitu panjang di pompa-pompa
bensin. Negara ini (Amerika) takut akan mengalami lagi kejadian seperti tahun 1929
-depresi besar ekonomi- ini sama sekali tidak bisa diterima. Lalu, mereka - Departemen
Keuangan (Treasury Department) menyewa saya dan beberapa economic hit men yang
lain. Kami kemudian pergi ke Arab Saudi. Kami ..

AMY GOODMAN Anda benar-benar yang dinamakan economic hit men, EHM.

JOHN PERKINS Ya, itu adalah julukan bagi kami. Secara legal, saya adalah pimpinan
ekonom. Kami menjuluki kami sendiri EHM. Ini sepertinya tak seorangpun yang bakal
mempercayainya jika kami mengungkapkannya, kamu tahu? Dan, lalu, kami pergi ke
Arab Saudi di awal 70-an. Kami tahu Arab Saudi adalah kunci untuk melepaskan kita
dari ketergantungan, atau mengontrol situasi. Dan kami bekerja menyelesaikannya
dimana Kerajaan Arab menyetujui mengirimkan hampir semua petro-dolar mereka
(minyak/emas hitam) dan mereka menginvestasikan pada sekuritas-sekuritas
pemerintahan Amerika (U.S. Government Securities). Departeman Keuangan
menggunakan bunga dari sekuritas-sekuritas itu untuk menyewa perusahaan-perusahaan
Amerika untuk membangun Arab Saudi-kota-kota baru, infrastruktur baru- dan kita
mengerjakannya. Dan kerajaan Arab menyetujui untuk menjaga harga minyak dalam
batas kemampuan jangkauan kita (Amerika), mereka telah melakukannya bertahun-
tahun, dan kami menyetujui menjaga kekuasaan Kerajaan Arab selama mereka
melakukan hal yang kita inginkan, kami telah berhasil melakukannya.

Inilah salah satu alasan kita menyerang Irak. Pertama kalinya, di Irak kita mencoba
menjalankan straegi yang sama, yang begitu berhasil di Arab Saudi, tapi Saddam
Hussein tidak mau tunduk. Ketika skenario economic hit men ini gagal, langkah lain
yang dilakukan adalah yang kita namakan "serigala-serigala" (the jackals). "Serigala-
serigala" itu adalah CIA, dengan mengirimkan orang-orang "masuk" (Irak) dan mencoba
menggerakkan sebuah kudeta atau revolusi. Jika ini tidak berhasil, mereka melakukan
operasi pembunuhan atau mencobanya. Pada kasus Irak, mereka tak mampu menjangkau
Saddam Hussein. Ia mempunyai—- pasukan penjaganya (bodyguards) terlalu tangguh,
berlapis-lapis. Mereka (CIA) tak dapat menjangkaunya. Lalu mereka melakukan langkah
ketiga "pertahanan", jika economic hit men dan the jackals gagal, langkah lain
"pertahanan" itu adalah orang-orang kita dikirimkan untuk terbunuh dan membunuh,
inilah yang nyata-nyata telah kita kerjakan di Irak.

AMY GOODMAN Terangkan bagaimana Torrijos terbunuh?

JOHN PERKINS Omar Torrijos adalah Presiden Panama. Omar Torrijos telah
menandatangani Perjanjian Kanal (Canal Treaty) dengan Carter — dan, kamu tahu, ini
hanya melalui persetujuan satu orang anggota Senat/Kongres. Ini adalah isu tingkat
tinggi. Dan Torrijos kemudian juga pergi dan bernegosiasi dengan Jepang untuk
membangun sebuah kanal-laut di Panama. Jepang berkeinginan membiayai dan
membangun kanal-laut di Panama itu. Perundingan Torrijos ini membuat sangat marah
Perusahaan Bechtel, waktu itu direkturnya adalah George Schultz dan senior council
adalah Casper Weinberger. Ketika Carter terdepak (dan terdapat cerita yang menarik- apa
sebenarnya yang terjadi), ketika ia kalah dalam pemilihan, dan Reagan terpilih, lalu
Schultz menjadi menteri luar negeri dari Bechtel, serta Weinberger dari Bechtel juga
menjadi menteri pertahanan, mereka benar-benar marah pada Torrijos - mencoba
menegosiasi kembali Perjanjian Kanal dan untuk tidak berhubungan dengan Jepang. Ia
(Torrijos) tetap tak bergeming, menolak.

Ia adalah sosok yang punya prinsip. Ia memang punya persoalan dalam dirinya, tapi ia
adalah seorang yang punya prinsip. Ia adalah orang yang mengagumkan, si Torrijos itu.
Dan kemudian, ia terbunuh dalam kecelakaan pesawat yang mengerikan, dimana ini
berhubungan dengan tape recorder yang meledak bersamanya, dimana —- Saya ada di
sana (Panama). Saya sedang bekerja sama dengan dia. Saya tahu, kami (economic hit
men) telah gagal. Saya tahu para "serigala-serigala" (the jackals) sedang mendekati dia,
dan kemudian, pesawatnya meledak dengan sebuah tape recorder dengan bom
didalamnya. Saya tak meragukan sama sekali bahwa ini adalah "sanksi" dari CIA, dan
sebagian besar - para investigator Amerika Latin mempunyai kesimpulan yang sama.
Tentu saja, kita tak pernah tahu tentang hal ini di negara kita (Amerika).

AMY GOODMAN Lalu, dimana - kapan Anda mengubah pandangan Anda?

JOHN PERKINS Saya merasa sangat bersalah sepanjang waktu, tapi saya dibujuk rayu.
Kekuatan obat-obatan, seks, kekuasaan, dan uang, sungguh terlalu sangat kuat bagi saya.
Dan, tentu saja, saya melakukannya sebagai seorang yang tepat. Saya adalah pimpinan
ekonom. Saya melakukan sesuatu yang Robert McNamara (Presiden Bank Dunia)
inginkan dan begitu juga kelanjutannya.

AMY GOODMAN Bagaimana dekat Anda dengan Bank Dunia?

JOHN PERKINS Sangat, sangat dekat dengan Bank Dunia. Bank Dunia menyediakan
hampir semua biaya yang digunakan economic hit men, ia (Bank Dunia) dan IMF. Tapi
ketika terjadi 11 September (WTC ditabrak pesawat), saya berubah pandangan.

Saya tahu cerita kejadian ini harus diungkapkan karena apa yang terjadi pada 11
September adalah akibat langsung dari apa yang economic hit men lakukan. Dan hanya
dengan jalan bahwa kita merasa aman pada negara ini kembali, dengan adanya rasa
kebaikan tentang kita, dimana kita menggunakan sistem kita untuk melakukan perubahan
positif di berbagai belahan dunia. Dan saya percaya kita dapat melakukannya. Saya
percaya bahwa Bank Dunia dan institusi lain dapat diubah dan melakukan apa yang
sebenarnya harus dilakukan, yaitu merekonstruksi bagian-bagian yang luluh-lantak di
dunia. Menolong, sungguh-sungguh menolong orang-orang miskin. Ada 24 ribu manusia
mati kelaparan tiap hari di dunia. Kita dapat merubah itu.

AMY GOODMAN John Perkins, saya mengucapkan terima kasih sekali Anda telah
bersama kami. John Perkins seorang yang telah menulis Confessions of an Economic Hit
Man.

——-
[1] Diterjemahkan secara bebas oleh Setyo Budiantoro (Bina Swadaya), dari wawancara
John Perkins dengan kantor berita Democracy Now (Amerika).

Warning: Apapun yang anda baca, lihat, dan dengar, haruslah dicerna dan disikapi
dengan sebaik-baiknya, serta ditimbang dengan logika dan rasio yang wajar, tanpa
prasangka dan praduga. Jaga pikiran anda agar tetap terbuka dan bersikaplah dewasa.
Apapun yang Anda baca adalah tanggungjawab Anda sendiri untuk memilahnya. Karena
apa yang belum pernah Anda baca, fakta ataupun sekedar issue, seringkali sangat
menakutkan.

 
 

Anda mungkin juga menyukai