Anda di halaman 1dari 6

MAKALAH

KARAKTERISTIK HIDUP SAHABAT RASULULLAH

1. ABDULLAH BIN UMAR

Kita tentu telah mengetahui, sosok sahabat Rasulullah yang sangat ditakuti kaum
Quraisy karena kekuatannya, yaitu Umar bin Khatthab r.a. Dalam bimbingannya, tumbuhlah
seorang anak yang cepat matang kepribadiannya. Dalam usia yang masih sangat muda, sang
anak telah berkeinginan untuk menyertai ayahandanya dalam Perang Badar, dengan harapan
akan memperoleh tempat dalam barisan para pejuang. Meski keinginannya itu ditolak,
disebabkan usianya yang masih sangat muda (13 tahun), tetapi sejak saat itulah hubungannya
dengan Rasulullah dan Islam telah mulai terjalin.

Bapaknya, Umar bin Khatthab r.a., telah menjadi suri tauladan dalam kehidupan
kesehariannya. Berbagai macam kebaikan dipelajarinya dari bapaknya. Ia pun mempelajari
berbagai macam kebaikan dan kebesaran Rasulullah. Hal yang demikian itu telah membawanya
pada keimanan yang baik terhadap Alloh dan Rasul-Nya. Bahkan, kesetiaannya mengikuti jejak
langkah Rasulullah merupakan suatu hal yang menakjubkan. Pernah suatu waktu, Rasulullah
melakukan shalat di suatu tempat, ia pun melakukan hal yang sama di tempat itu. Ketika di
tempat lain, Rasulullah berdo’a sambil berdiri, ia pun melakukannya sambil berdiri. Ummul
Mu’minin ‘Aisyah r.a. sampai mengatakan bahwa tidak ada seorang pun yang mengikuti jejak
langkah Rasulullah di tempat-tempat pemberhentian beliau, sebagaimana yang dilakukan
olehnya.

Dialah Abdullah Ibnu Umar r.a., seorang sahabat yang memiliki kecintaan teramat
dalam pada Rasulullah, seseorang yang memiliki kebulatan tekad dan keteguhan pendirian.
Oleh sebab itulah, Ibnu Umar bersikap sangat hati-hati dalam menyampaikan hadits dari
Rasulullah. Dalam berfatwa, ia juga bersikap sangat hati-hati dan lebih suka menjaga diri. Ia
tidak hendak berijtihad untuk memberikan fatwa, karena takut akan berbuat kesalahan.
Meskipun ia paham bahwa Alloh akan memberikan satu pahala bagi orang-orang yang bersalah
dan dua pahala bagi yang benar hasil ijtihadnya, tetapi demi menghindari berbuat dosa
menyebabkannya tidak berani untuk berfatwa.

Dalam suatu kesempatan, pada masa Khalifah Utsman bin ‘Affan r.a., Ibnu Umar diminta
kesediaannya untuk menjadi seorang hakim (qadli), yang merupakan jabatan tertinggi dalam
jabatan kenegaraan. Namun Ibnu Umar menolak dengan alasan yang jelas. Ia tidak bermaksud
menyerahkan jabatan itu pada orang-orang yang tidak berwenang, sebab ia tahu benar bahwa
masih banyak sahabat-sahabat Rasulullah yang shalih dan wara’ yang juga pantas memegang
jabatan tsb. Dengan kondisi Islam saat itu, dimana daya tarik harta dan kedudukan sangat
mempesona hati umat Islam, Ibnu Umar malah mengibarkan bendera perlawanan terhadap
godaan tsb. Ia telah menjadi suri teladan dalam zuhud dan keshalihan, menjauhi kedudukan-
kedudukan tinggi, serta mengatasi fitnah dan godaannya.

Ibnu Umar adalah seorang yang tekun beribadah dan mendekatkan diri kepada Alloh.
Rasulullah menta’birkan mimpi Ibnu Umar - ketika ia masih remaja - bahwa qiyamul lail akan
menjadi campuran tumpuan citanya, tempat tersangkutnya kesenangan dan kebahagiannya.
Mimpi itu diceritakan oleh Hafshah, saudara Ibnu Umar, yang merupakan istri Rasulullah. Sejak
saat itu hingga akhir hayatnya, Ibnu Umar tidak pernah meninggalkan qiyamul lail dalam kondisi
apapun. Ia senantiasa mengisi waktunya dengan shalat, membaca al-Qur’an, dan banyak
berdzikir. Sebagaimana bapaknya, airmatanya pun bercucuran bila mendengar ayat-ayat
peringatan dari al-Qur’an. Hal itu diungkapkan oleh sahabatnya, ‘Ubeid bin ‘Umeir.

Ibnu Umar juga seorang yang dermawan, memiliki sifat zuhud terhadap dunia. Ia
termasuk orang yang hidup makmur karena kejujurannya dalam berdagang, penghasilannya
banyak, dan merupakan orang yang sukses/berhasil dalam sebagian besar kehidupannya. Ia
tidak khawatir menjadi miskin karena kedermawanannya, ia seorang zahid, tidak berminat
terhadap dunia. Adapun barang-barang yang didermakannya merupakan barang halal karena ia
seorang yang wara’ atau shalih. Baginya, dunia hanyalah tempat untuk mampir, ia menyadari
bahwa dirinya adalah seorang tamu atau musafir. Ia cemas akan dihadapkan pada hari kiamat
dengan pertanyaan tentang waktu hidup di dunia yang hanya dihabiskan untuk bersenang-
senang saja. Oleh karenanya, ia tidah suka hidup mewah dan tidak senang menyimpang dari
kebenaran dan keshalihan dalam menempuh hidup di dunia. Diantara sekian banyak
kedermawanannya, sebagaimana diceritakan oleh Ayub bin Wa’il ar-Rasibi, yaitu bahwa suatu
hari Ibnu Umar menerima uang empat ribu dirham dan sehelai baju dingin. Namun tidak sampai
malam hari, uang itu telah habis didermakannya dan baju dinginnya telah ia berikan pada
seorang miskin. Dan karenanya, ia tidak mampu membeli makanan untuk hewan
tunggangannya sehingga dengan terpaksa ia membayar secara berhutang. Kedermawanannya
telah menjadi bukti bahwa ia bukanlah budak atau hamba harta. Harta yang melimpah ruah
selalu datang kepadanya, tetapi ia hanya sekedar lewat atau mampir. Seorang sahabat yang
lain, Maimun bin Mahran, menaksir harga barang-barang yang ada di rumah Ibnu Umar. Ia
mendapati harga semua barang-barang itu tidak sampai seratus dirham. Yang demikian itu
bukanlah karena kemiskinan sebab Ibnu Umar seorang yang kaya, bukan pula karena
kebakhilan sebab ia seorang dermawan. Kebahagiaan dan kesenangan dunia dihindari karena ia
telah bersepakat atas suatu perkara dengan sahabat-sahabatnya, dan ia khawatir jika
menyalahi janjinya maka ia takkan bertemu lagi dengan sahabat-sahabatnya itu untuk selama-
lamanya. Oleh karena kedermawanannya itu, fakir miskin merasakan sifat santun dan budi
baiknya sehingga mereka berkumpul di sekelilingnya bagai sekumpulan lebah yang
mengerumuni bunga untuk menghisap sari madunya.

Mengenai sikap zuhudnya terhadap dunia, sebagaimana ia pernah ditawari untuk


menjadi hakim, ia pun telah berkali-kali menolak jabatan sebagai Khalifah. Hasan r.a. bercerita
bahwa sepeninggal Utsman bin ‘Affan, orang-orang mendesaknya untuk menjadi Khalifah sebab
ia adalah seorang pemimpin. Mereka pun hendak berbai’at kepadanya. Namun semakin keras
penawaran itu, semakin teguh pendiriannya dan semakin keras penolakannya atas penawaran
itu. Ia menolak jabatan tsb disebabkan bai’at itu dipaksakan oleh sebagian atas lainnya di
bawah ancaman pedang. Ia bersedia memikul amanah dan tanggung jawab sebagai Khalifah
apabila ia dipilih oleh seluruh kaum muslimin dengan kemauan sendiri tanpa dipaksa. Ketika
Ibnu Umar telah menjadi seorang tua yang berusia lanjut, ia masih saja menjadi harapan kaum
muslimin untuk jabatan itu. Bahkan hingga masa Bani Umayah, dimana masa kelonggaran tak
dapat dielakkan dalam segala hal dan corak kehidupan mengalami perubahan-perubahan yang
drastis, Ibnu Umar tetap bertahan dengan segala keutamaannya. Satu hal yang ia sesali dalam
masa hidupnya adalah ketika ia menolak berperang di pihak Ali r.a. dalam memerangi golongan
pendurhaka. Ia berpegang teguh pada pendiriannya karena ia tidak menyetujui perang saudara
antara sesama umat beriman dan menentang tindakan seorang muslim yang memerangi
muslim lainnya. Ia menyesali sikapnya itu sebab ia tahu bahwa Ali r.a. sebenarnya
mempertahankan yang haq dan berada di pihak yang benar. Dengan logika dan alasan itulah
Ibnu Umar menghindari peperangan yang terjadi bukan antara muslim dengan musyrik, tetapi
antara sesama kaum muslimin. Ia tidak setuju dengan semua perselisihan dan fitnah itu. Jadi,
hal yang demikian itu dilakukannya bukan dengan maksud hendak lari atau menyelamatkan
diri. Allohua’lam bi shawab.

Ibnu Umar meninggal pada usia yang sangat lanjut, ia merupakan tokoh teladan terakhir
yang mewakili zaman wahyu di Mekah dan Madinah, sebelum sahabat Anas bin Malik r.a.
menyusulnya. Ibnu Umar tumbuh dan berkembang dengan tempaan langsung dari sang maha
guru, Rasulullah, dan bapaknya, Umar bin Khatthab r.a. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan
jika kedermawanan, sikap zuhud, dan wara’ telah membuktikan secara gamblang bahwa
Abdullah bin Umar bin Khatthab r.a. adalah seorang putera teladan dan seorang pengikut yang
terpercaya…
2. KHUBAIB BIN ‘ADI

Khubaib bin ‘Adi r.a. adalah salah seorang sahabat Rasulullah dari kalangan Anshar. Ia
mengejar hidayah Islam lewat Rasulullah sejak beliau hijrah ke Madinah dan sejak saat itulah ia
menyatakan imannya pada Alloh dan Rasul-Nya. Ketika berkecamuk Perang Badar, ia turut serta
mendampingi Rasulullah dalam memerangi musuh Islam. Dengan keberaniannya, banyak
orang-orang musyrik yang tewas lewat ujung pedangnya. Demikian gagah perkasanya ia
berperang, hingga salah seorang pemimpin Quraisy, Al-Harits bin ‘Amr bin Naufal, tewas pula
akibat sabetan pedangnya. Seusai pertempuran itu, orang-orang musyrik menghafalkan dengan
baik nama pemuda yang telah menewaskan salah seorang pemimpin mereka. Tidak lain ialah
sahabat Khubaib bin ‘Adi r.a.

Adapun kaum muslimin, seusai Perang Badar segera kembali ke Madinah dan
meneruskan pembinaan masyarakat. Hasan bin Tsabit menggambarkan Khubaib sebagai
seorang pahlawan yang kedudukannya sebagai teras bagi orang-orang Anshar. Ia adalah
seorang yang lapang dada, tetapi tegas dan teguh pendirian. Ia juga seorang yang bersih
jiwanya, bersifat terbuka, dan berhati mulia. Lebih dari itu, Khubaib adalah seorang yang taat
beribadah dan benar-benar membawakan sifat dan watak seorang ‘abid. Karena keutamaannya
itu, Rasulullah memilihnya sebagai salah satu dari sepuluh sahabat beliau untuk menyelidiki
rahasia orang-orang Quraisy hingga dapat diketahui tujuan gerakan mereka dan langkah
persiapan apa saja yang telah dilakukan untuk peperangan yang baru. Sebagai pemimpin
rombongan tsb, Rasulullah mengangkat ‘Ashim bin Tsabit r.a. Mereka segera berangkat ke
tujuan dan berhenti di antara Osfan dan Mekah. Namun sayang, upaya mereka telah diketahui
orang-orang dari kampung Hudzail. Orang-orang itu segera menyusul para sahabat dengan
seratus orang pemanah mahir. Hampir saja pasukan musuh kehilangan jejak, tetapi kembali
mereka menemukan petunjuk jejak para sahabat melalui buah kurma yang tercecer di atas
pasir. Kurma itu diamati dan diyakini berasal dari Yatsrib (Madinah). Dengan dasar itulah,
pasukan musuh mengikuti jejak tsb hingga mereka dapat mengejar dan dengan segera
mengepung para sahabat yang telah menaiki suatu puncak bukit yang tinggi. Para pengepung
meminta para sahabat untuk menyerahkan diri dengan jaminan bahwa mereka tidak akan
dianiaya. Namun sang pemimpin, ‘Ashim, tidak bersedia turun dan mengemis perlindungan
pada orang musyrik. Segera dapat dipastikan, pasukan pengepung menghujani mereka dengan
anak panah. Sang pemimpin bersama enam sahabat yang lain pun gugur sebagai syahid.
Adapun Khubaib dan dua orang sahabat yang lain bersedia turun menghadap para pengepung.
Namun ternyata para pengepung mengingkari janji mereka. Khubaib dan seorang sahabatnya
diikat dengan tali temali yang kencang. Melihat pengkhianatan tsb, sahabatnya yang lain
memutuskan secara nekad sebagaimana yang dilakukan ketujuh sahabatnya sehingga ia pun
syahid seperti yang diinginkannya.
Demikianlah salah satu peristiwa yang mengharukan terjadi, delapan orang sahabat
dengan keimanan yang paling tebal, paling teguh dalam menepati janji, dan paling setia dalam
melaksanakan tugas kewajibannya terhadap Alloh dan Rasul-Nya, telah syahid di jalan Alloh.

Khubaib dan seorang sahabat yang lain lagi, Zaid bin Ditsinnah r.a., berusaha
melepaskan ikatan mereka, tetapi sia-sia saja. Keduanya dibawa menuju Mekah hingga orang-
orang Quraisy mengetahuinya. Keluarga Harits bin ‘Amir, yang sangat hafal nama Khubaib sejak
Perang Badar itu, segera membeli Khubaib sebagai budak. Sebenarnya mereka hanya ingin
melampiaskan dendam padanya, disebabkan kebencian di dada mereka akibat perbuatan
Khubaib menewaskan salah satu keluarga mereka. Penduduk Mekah lainnya yang memiliki
dendam yang sama, merundingkan siksaan seperti apa yang pantas diberikan pada Khubaib.
Sementara itu, Zaid telah dibunuh oleh musyrik lainnya dengan cara yang kejam, yaitu ditusuk
dari dubur hingga tembus ke bagian atas badannya. Zaid pun telah syahid menyusul kedelapan
sahabatnya.

Adapun Khubaib, ia masih dipenjara dalam sebuah rumah tahanan dekat rumah Harits.
Khubaib telah menyerahkan diri sepenuhnya, semua urusan dan akhir hayatnya hanya kepada
Alloh. Dengan khusyuk, ia curahkan perhatiannya hanya untuk beribadah dengan jiwa yang
teguh, keberanian yang tangguh, disertai dengan ketenangan yang dilimpahkan Alloh
kepadanya hingga hancurlah segala rasa takut pada makhluk. Alloh selalu bersamanya,
sedangkan ia senantiasa bersama Alloh. Pernah diceritakan suatu keajaiban perihal Khubaib,
bahwasanya suatu ketika putri Harits melihat Khubaib menggenggam setangkai besar anggur
sambil memakannya padahal ia terikat pada besi, dan juga telah banyak diketahui bahwa di
Mekah tidak ada sebiji anggur pun. Putri Harits menyangka bahwa itu rizqi dari Alloh yang
diberikan pada Khubaib, dan memang demikianlah adanya. Alloh akan memberikan rizqi
kepada siapa yang dikehendaki-Nya dengan tidak berhingga (QS 3:37).

Orang-orang musyrik dengan segera member rasa takut pada Khubaib perihal Zaid yang
telah syahid mendahuluinya. Namun itu semua tidak menggentarkan jiwanya. Alloh telah
merangkulnya dengan sakinah dan rahmat-Nya. Khubaib tidak terbuai oleh bujuk rayu mereka
untuk mengubah keyakinannya dan berpaling dari jalan Alloh dan Rasul-Nya. Akhirnya, ia pun
siap dieksekusi, tubuhnya disalib di suatu tempat bernama Tan’im. Sebelumnya, ia telah
meminta waktu untuk melaksanakan shalat dua raka’at. Jika saja ia tidak khawatir apabila
disangka takut mati, ia ingin sekali melanjutkan shalatnya. Namun demikian, segera setelah ia
shalat dan melantunkan pantun yang menandakan keteguhan tekadnya, orang-orang musyrik
segera menyalibnya. Dalam kondisi demikian, mereka segera melepaskan anah panah tepat di
tubuhnya dengan cara yang kejam dan buas. Kekejaman itu sengaja dilakukan secara perlahan,
tetapi ia tak pernah kehilangan sakinah itu, cahaya pun tetap memancar dari wajahnya. Bahkan
ketika pemimpin Quraisy, Abu Sofyan - yang ketika itu belum masuk Islam -, mengatakan:
“Sukakah engkau, Muhammad menggantikanmu, dan engkau sehat wal’afiat bersama
keluargamu?”. Kontan, Khubaib bersemangat kembali lalu mengatakan: “Demi Alloh, tak sudi
aku bersama anak istriku selamat menikmati kesenangan dunia, sedang Rasulullah kena
musibah walau oleh sepotong duri…!”. Demikian dalam kecintaannya pada Alloh dan Rasul-Nya.
Kata-kata yang sama terucap dari bibir Zaid ketika ia menjemput syahidnya hingga Abu Sofyan
menghentikan penyiksaan itu dengan menepuk kedua tangannya, sembari mengatakan: “Demi
Alloh, belum pernah kulihat manusia yang lebih mencintai manusia lain, seperti halnya sahabat-
sahabat Muhammad terhadap Muhammad..”.

Orang-orang musyrik telah kembali ke Mekah dan sesaat sebelum syahid menjemput
Khubaib, ia menghadapkan muka ke arah langit sembari berdo’a: “Ya Alloh, kami telah
menyampaikan tugas dari Rasul-Mu maka mohon disampaikan pula kepadanya esok, tindakan
orang-orang itu terhadap kami…”.

Alloh mengabulkan do’anya hingga sewaktu Rasul di Madinah, Alloh memberitahukan


bahwa para sahabatnya telah syahid, serta terbayanglah tubuh salah seorang mereka, yaitu
tubuh Khubaib, tergantung di awing-awang. SubhanAlloh, tubuh Khubaib tidak sedikitpun
disentuh atau bahkan disantap oleh burung-burung bangkai. Seolah-olah burung-burung itu
dengan perasaan dan nalurinya mencium jasad seorang yang shalih yang berdekat diri kepada
Alloh dan menyebarkan baunya yang harum dari tubuh yang tersalib itu. Demikianlah adanya
sehingga burung-burung itu pun malu dan segan untuk mendekatinya.

Rasulullah segera memerintahkan utusannya, Miqdad bin Amar dan Zubair bin Awwam,
untuk membawa jasad Khubaib dari tempat yang dimaksud berkat petunjuk Alloh. Segera
jasadnya dikebumikan di bumi Alloh dan ditutupi dengan tanah yang lembab penuh berkah. Ia
pun selalu terkenang sebagai sahabat yang syahid di atas kayu shalib.

Padang, Mei 2009

Penyusun,

Nurindah Aristi S.

Anda mungkin juga menyukai