Nabi Muhammad saw. Tidak meninggalkan wasiat mengenai siapa yang akan
menggantikan beliau sebagai pemimpin politik umat Islam setelah beliau wafat.
Beliau tampaknya menyerahkan persoalan itu kepada kaum Muslimin untuk
menentukannya sendiri. Kaena itu, tidak lama setelah beliau wafat; belum lagi
jenazahnya dimakamkan, sejumlah tokoh Muhajirin dan Ashor Berkumpul di
balaikota Bani Sa’dah, Madinah.
Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib adalah Khalifah keempat setelah Khalifah
Usman Ibnu Affan. Nama lengkap beliau adalah Ali Ibnu Abi Thalib Ibnu Abdul
Muthalib Ibnu Hasyim Ibnu Abdi Manaf. Beliau lahir 32 tahun setelah kelahiran
Rosulullah Saw. Dan beliaupun termasuk anak asuh Nabi Muhammad Saw. Khalifah
Ali Ibnu Abi Thalib boleh dibilang tangan kanan Nabi Muhammad Saw, saat di
Madinah.
Yang menjadi catatan bagi sosok khalifah seperti Ali Bin Abi Thalib adalah
pribadinya yang pernah menolak jadi Pemimpin Islam sebagaimana dikutif pada
uraian di atas. Olehnya itu, jika dibawa pada konteks kekinian, maka sangat sulit
kita mendapatkan sosok manusia yang menolak jadi pemimpin, bahkan yang terjadi
saat ini adalah kecenderungan untuk bersaing dan saling merebut kekuasaan hingga
pertumpahan dara atau menjual aqidah demi kekuasaan.
Ali Bin Abu Thalib bin Abdul Muththalib, bin Hasyim, bin Abdi Manaf, bin
Qushayy. Ibunya adalah: Fathimah binti Asad, bin Hasyim, bin Abdi Manaf.
Saudara-saudara kandungnya adalah: Thalib, 'Uqail, Ja'far dan Ummu Hani.
Dengan demikian, jelaslah, Ali adalah berdarah Hasyimi dari kedua ibu-
bapaknya. Keluarga Hasyim mempunyai sejarah yang cemerlang dalam masyarakat
Mekkah. Sebelum datangnya Islam, keluarga Hasyim terkenal sebagai keluarga
yang mulia, penuh kasih sayang, dan pemegang kepemimpinan masyarakat. Ibunya
adalah Fathimah binti Asad, yang lalu menamakannya Haidarah. Haidarah adalah
salah satu nama singa, sesuai dengan nama ayahnya: Asad (singa). Fathimah adalah
salah seorang wanita yang terdahulu beriman dengan Risalah Nabi Muhammad Saw.
Ia pula-lah yang telah mendidik Nabi Saw, dan menanggung hidupnya, setelah
meninggalnya bapak-ibu beliau, Abdullah dan Aminah. Beliau lalu membalas jasanya,
dengan menanggung kehidupan Ali, untuk meringankan beban pamannya, Abu Thalib,
pada saat mengalami kesulitan ekonomi. Saat Fathimah meninggal dunia, Rasulullah
Saw yang mulai mengkafaninya dengan baju qamisnya, meletakkannya dalam
kuburnya, dan menangisinya, sebagai tangisan seorang anak atas ibunya. Dan sebab
penghormatan beliau kepadanya, maka beliau menamakan anaknya yang tersayang
dengan namanya: Fathimah. Darinyalah lalu mengalir nasab beliau yang mulia, yaitu
anak-anaknya: Hasan, Husein, Zainab al Kubra dan Ummu Kultsum. Haidarah adalah
nama Imam Ali yang dipilihkan oleh ibunya. Namun ayahnya menamakannya dengan
Ali, sehingga ia terkenal dengan dua nama itu, walaupun nama Ali lalu lebih terkenal.
Anak-anaknya adalah: Hasan, Husein, Zainab, Ummu Kultsum, dari Fathimah binti
Muhammad saw., seorang isteri yang tidak pernah diperlakukan buruk oleh Ali r.a.
selama hidupnya. Bahkan Ali tetap selalu mengingatnya setelah kematiannya. Dia
juga mempunyai beberapa orang anak dari isteri-isterinya yang lain, yang dia kawini
setelah wafatnya Fathimah r.a. Baik isteri dari kalangan wanita merdeka atau
hamba sahaya. Yaitu: Muhsin, Muhammad al Akbar, Abdullah al Akbar, Abu Bakar,
Abbas, Utsman, Ja'far, Abdullah al Ashgar, Muhammad al Ashghar, Yahya, Aun,
Umar, Muhammad al Awsath, Ummu Hani, Maimunah, Rahmlah ash Shugra, Zainab
ash Shugra, Ummu Kaltsum ash Shugra, Fathimah, Umamah, Khadijah, Ummu al
Karam, Ummu Salmah, Ummu Ja'far, Jumanah, dan Taqiyyah.
Setelah ‘Utsman ra. syahid, Ali ra. diangkat menjadi khalifah ke-4. Awalnya
beliau ra. menolak, namun akhirnya beliau ra. menerimanya. Imam Ahmad
meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Muhammad bin Al-Hanafiyah berkata:
.....Sementara orang banyak datang di belakangnya dan menggedor pintu dan segera
memasuki rumah itu. Kata mereka: "Beliau (Utsman ra.) telah terbunuh, sementara
rakyat harus punya khalifah, dan kami tidak mengetahui orang yang paling berhak
untuk itu kecuali anda (Ali ra.)". Ali ra. berkata kepada mereka: "Janganlah kalian
mengharapkan saya, sebab saya lebih senang menjadi wazir (pembantu) bagi kalian
daripada menjadi Amir". Mereka menjawab: "Tidak, demi Allah, kami tidak
mengetahui ada orang yang lebih berhak menjadi khalifah daripada engkau". ‘Ali ra.
menjawab: "Jika kalian tidak menerima pendapatku dan tetap ingin membaiatku,
maka baiat itu hendaknya tidak bersifat rahasia, tetapi aku akan pergi ke masjid,
maka siapa yang bermaksud membaiatku maka berbaiatlah kepadaku". Pergilah ‘Ali
ra. ke masjid dan orang-orang berbaiat kepadanya.
Dalam Tarikh Al-Ya’qubi dikatakan: ‘Ali bin Abi Thalib (ra.) menggantikan
‘Utsman sebagai khalifah... dan ia (ra.) dibaiat oleh Thalhah (ra.), Zubair (ra.), Kaum
Muhajirin dan Anshar (radhiyaLlahu anhum). Sedangkan orang yang pertama kali
membaiat dan menjabat tangannya adalah Thalhah bin Ubaidillah (ra.).
Imam Ahmad, Abu Daud dan At-Tirmidzy mentakhrij hadits berasal dari
Safinah ra., dia berkata: Aku mendengar RasuluLlah saw. bersabda: Kekhilafahan
berlangsung selama 30 tahun dan setelah itu adalah kerajaan.” Safinah ra. berkata:
“Mari kita hitung, Khilafah Abu Bakar ra. berlangsung 2 tahun, Khilafah ‘Umar ra.
10 tahun, Khilafah ‘Utsman ra. 12 tahun, dan Khilafah ‘Ali ra. 6 tahun.” Ali ra.
bekerja keras pada masa kekhilafahannya guna mengembalikan stabilitas dalam
tubuh umat setelah sebelumnya Ibnu Saba’dan Sabaiyahnya melancarkan konspirasi
dan provokasinya guna menghancurkan Islam dari dalam. Pada masa kekepemimpinan
Ali ra. ini, Ibnu Saba dan Sabaiyah nya pun kembali melancarkan konspirasi dan
makar mereka, sehingga membuat keadaan menjadi semakin rumit. Diriwayatkan
bahwa pada akhirnya ‘Ali ra. membakar banyak dari pengikut Sabaiyah ini dan juga
mengasingkan Ibnu Saba’ ke Al-Madain.
Sejak masih berumur 6 tahun, Ali telah bersama dan menjadi pengikut setia
Rasulullah. Sejarah kelak mencatat bahwa Ali terbukti berkomitmen pada
kesetiaannya. Dia telah hadir bersama Rasulullah sejak awal dan baru berakhir saat
Rasulullah menghembuskan nafasnya yang terakhir. Ali ada disaat yang lain tiada.
Ali adalah tameng hidup Rasulullah dalam kondisi kritis atau dalam berbagai
peperangan genting, saat diri Rasulullah terancam. Kecintaan Ali pada Rasulullah,
dibalas dengan sangat manis oleh Rasulullah. Pada sebuah kesempatan dia
menghadiahkan kepada Ali sebuah kalimat yang begitu melegenda, yaitu : "Ali,
engkaulah saudaraku...di dunia dan di akhirat..."
Ali, adalah pribadi yang istimewa. Dia adalah remaja pertama di belahan
bumi ini yang meyakini kebenaran yang disampaikan oleh Rasulullah. Konsekuensinya
adalah, dia kemudian seperti tercerabut dari kegermerlapan dunia remaja. Disaat
remaja lain berhura-hura. Ali telah berkenalan dengan nilai-nilai spiritual yang
ditunjukkan oleh Rasulullah, baik melalui lisan atau melalui tindak-tanduk beliau.
"Aku selalu mengikutinya (Rasulullah SAWW) sebagaimana anak kecil selalu
membuntuti ibunya. Setiap hari dia menunjukkan kepadaku akhlak yang mulai dan
memerintahkanku untuk mengikuti jejaknya", begitu kata Ali mengenang masa-masa
indah bersama Rasulullah tidak lama setelah Rasulullah wafat.
Perang Badar adalah perang spiritual. Di sinilah, para sahabat terdekat dan
pertama-tama Rasulullah menunjukkan dedikasinya pada apa yang disebut dengan
iman. Mulanya, jumlah lawan yang sepuluh kali lipat jumlahnya menggundahkan hati
para sahabat. Namun, doa pamungkas Rasulullah menjadi penyelamat dari jiwa-jiwa
yang gundah. Sebuah doa, semirip ultimatum, yang setelah itu tidak pernah lagi
diucapkan Rasulullah..."Ya Allah, disinilah sisa umat terbaikmu berkumpul...jika
Engkau tidak menurunkan bantuanmu, Islam takkan lagi tegak di muka bumi ini..."
Dalam berbagai siroh, disebutkan bahwa musuh lalu melihat jumlah pasukan muslim
seakan tiada batasnya, padahal jumlah sejatinya tidaklah lebih dari 30 gelintir.
Pasukan berjubah putih berkuda putih seperti turun dari langit dan bergabung
bersama pasukan Rasulullah. Itulah, kemenangan pasukan iman. Dan Ali, menjadi
bintang lapangannya hari itu.
Tak hanya Badar, banyak peperangan setelahnya menjadikan Ali sebagai
sosok yang disegani. Di Uhud, perang paling berdarah bagi kaum muslim, Ali menjadi
penyelamat sebab dialah yang tetap teguh mengibarkan panji Islam setelah satu
demi satu para sahabat bertumbangan. Dan yang terpenting, Ali melindungi
Rasulullah yang kala itu terjepit hingga gigi RAsulullah bahkan rompal dan darah
mengalir di mana-mana. Teriakan takbir dari Ali menguatkan kembali semangat
bertarung para sahabat, terutama setelah melihat Rasululah dalam kondisi kritis.
Perubahan drastis ditunjukkan Ali setelah Rasulullah wafat. Dia lebih suka
menyepi, bergelut dengan ilmu, mengajarkan Islam kepada murid-muridnya. Di fase
inilah, Ali menjadi sosok dirinya yang lain, yaitu seorang pemikir. Keperkasaannya
yang melegenda telah diubahnya menjadi sosok yang identik dengan ilmu. Ali benar-
benar terinspirasi oleh kata-kata Rasulullah, "jika aku ini adalahkota ilmu, maka Ali
adalah pintu gerbangnya". Dari pakar pedang menjadi pakar kalam (pena). Ali begitu
tenggelam didalamnya, hingga lalu ia 'terbangun' kembali ke gelanggang untuk
menyelesaikan 'benang ruwet', sebuah nokta merah dalam sejarah Islam. Sebuah
fase di mana sahabat harus bertempur melawan sahabat.
Diantara strategi Ali Bin Abi Thalib dalam menegakkan kekhalifaan adalah
memeranig Khawarij. Untuk kepentingan agama dan negara, Ali Bin Abi Thali juga
menggukan potensi dalam usaha pengembangan Islam, baik perkembangan dalam
bidang Sosial, politik, Militer, dan Ilmu Pengetahuan. Berikut ini akan diuraikan
mengenai strategi itu;
1. Ali Bin Abi Thalib Memerangi Khawarij Semula orang-orang yang kelak
dikenal dengan khawarij ini turut membaiat ‘Ali ra., dan ‘Ali ra. tidak
menindak mereka secara langsung mengingat kondisi umat belumlah kembali
stabil, di samping para pembuat makar yang berjumlah ribuan itu pun telah
berbaur di Kota Madinah, hingga dapat mempengaruhi hamba sahaya dan
orang-orang Badui. Jika Ali ra. bersegera mengambil tindakan, maka bisa
dipastikan akan terjadi pertumpahan darah dan fitnah yang tidak kunjung
habisnya. Karenanya Ali ra, memilih untuk menunggu waktu yang tepat,
setelah kondisi keamanan kembali stabil, untuk menyelesaikan persoalan
yang ada dengan menegakkan qishash. Kaum khawarij sendiri pada akhirnya
menyempal dari Pasukan Ali ra. setelah beliau melakukan tahkim dengan
Muawiyah ra. setelah beberapa saat terjadi perbedaan ijtihad di antara
mereka berdua ra. (Ali ra. dan Muawiyah ra.). Orang-orang khawarij menolak
tahkim seraya mengumandangkan slogan: “Tidak ada hukum kecuali hukum
Allah. Tidak boleh menggantikan hukum Allah dengan hukum manusia. Demi
Allah! Allah telah menghukum penzalim dengan jalan diperangi sehingga
kembali ke jalan Allah.””Ungkapan mereka: ‘Tiada ada hukum kecuali hukum
Allah, dikomatahari oleh Ali: “Ungkapan benar, tetapi disalahpahami. Pada
akhirnya ‘Ali ra. memerangi khawarij tsb., dan berhasil menghancurkan
mereka di Nahrawan, di mana nyaris seluruh dari orang Khawarij tsb
berhasil dibunuh, sedangkan yang terbunuh di pihak Ali ra. hanya 9 orang
saja.
4. Perkembangan di Bidang Ilmu Bahasa Pada masa Khalifah Ali Ibnu Abi
Thalib, wilayah kekuasaan Islam telah sampai Sungai Efrat, Tigris, dan Amu
Dariyah, bahkan sampai ke Indus. Akibat luasnya wilayah kekuasaan Islam
dan banyaknya masyarakat yang bukan berasal dari kalangan Arab, banyak
ditemukan kesalahan dalam membaca teks Al-Qur'an atau Hadits sebagai
sumber hukum Islam. Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib menganggap bahwa
kesalahan itu sangat fatal, terutama bagi orang-orang yang akan
mempelajari ajaran islam dari sumber aslinya yang berbahasa Arab.
Kemudian Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib memerintahkan Abu Al-Aswad Al-
Duali untuk mengarang pokok-pokok Ilmu Nahwu ( Qawaid Nahwiyah ).
Dengan adanya Ilmu Nahwu yang dijadikan sebagai pedoman dasar dalam
mempelajari bahasa Al-Qur'an, maka orang-orang yang bukan berasal dari
masyarakat Arab akan mendaptkan kemudahan dalam membaca dan
memahami sumber ajaran Islam.