Anda di halaman 1dari 18

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb.
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Syukur
Alhamdulillah Penulis ucapkan dari lubuk hati Penulis kehadirat Allah yang telah
memberikan kesempatan untuk menyelesaikan tugas ini dengan baik. Sholawat serta
salam Penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Makalah yang berjudul “Negara Islam” ini semoga dapat menambah pengetahuan
bagi para pembaca.
Kami menyadari bahwa yang kami tulis ini masih banyak kekurangan dan
kesalahan. Dan oleh sebab itu, kami sangat mengharapkan adanya masukan dari para
pembaca, baik berupa kritikan ataupun saran yang sifatnya membangun demi
kesempurnaan makalah ini, supaya lebih baik untuk masa yang akan datang.
Dan terima kasih atas semua bantuan dari semua pihak yang terkait dalam
penyusunan ini baik secara langsung maupun tidak langsung.
Kemudian kepada Allah kami bertaubat dan kepada manusia kami memohon maaf
atas kesalahan dan kekhilafan dalam penulisan makalah ini.
Wassalamu’alaikum wr.wb.

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………............................................................. i
DAFTAR ISI........................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah....................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Negara Islam: Fakta Normatif dan Empiris.......................... 2
B. Sistem Politik Negara Islam.................................................. 2
C. Tujuan Negara Islam............................................................. 8
D. Pandangan Pemikiran Politik Islam Terhadap Negara Islam12
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan........................................................................... 14
B. Saran...................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA............................................................................. 15

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Negara adalah sebutan bagi sebuah wilayah yang didiami oleh segolongan
manusia yang berlaku sebagai masyarakat wilayah tersebut, yang mana tunduk pada
pemerintahannya sebagai ikatan politis antara mereka. Bila dikaitkan dengan Islam
sebagai pasangan kata-kata negara, maka ketiga unsur pokok suatu negara yaitu;
Teritorial wilayah, rakyat, dan ikatan politis belum cukup, nilai ke-Islaman juga perlu
dimasukkan sebagai dimensi moral yang juga menjadi naungan unsur-unsur pokok
negara tersebut. Inilah yang membedakannya dibandingkan negara-negara ‘biasa’
lainnya. Lalu, bagaimana kedudukan Islam dalam memobilisasi sebuah negara? Karena
dimensi moral berbeda dimensi dengan dimensi fisik.
Mendirikan suatu negara Islam adalah suatu cita-cita bagi setiap muslim , namun
bergantung sepenuhnya pada masyarakat-nya sendiri . Negara Islam belum bisa terbentuk
selama rakyatnya yang muslim belum sepenuhnya berpegang pada Al-Qur'an dan As-
Sunnah , sebagai dasar dari ke-iman-an dan ke-Islam-an. Beberapa pemikir islam, ajaran
Isam tidak menyetujui penyekatan antara agama dan politik. islam ingin meaksanakan
politik selaras dengan tuntunan yang teah diberikan agama dan menggunakan negara
sebagai sarana melayani Allah.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah di Alqur’an dan Sunnah mewajibkan mendirikan Negara Islam ?
2. Bagaimana sistem politik di Negara Islam?
3. Apakah tujuan dari Negara Islam ?
4. Adakah Non-Muslim dalam suatu negara Islam dan bagai mana perlakuaanya
terhadap Non-muslim ?
5. Bagaimana pandangan pemikiran Politik Islam terhadap Negara Islam itu
sendiri ?
6. Bagaimana pandangan Islam terhadap konsep negara , yang erat kaitannya dengan
Negara Islam ?

BAB II

3
PEMBAHASAN

A. Negara Islam: Fakta Normatif dan Empiris


Ada sebagian intelektual yang menyatakan, bahwa Alquran dan Sunah tidak
pernah mewajibkan untuk mendirikan negara Islam. Bahkan, ada yang menyatakan,
bahwa Alquran dan Sunah juga tidak pernah menyebut Negara Islam. Pernyataan seperti
ini bisa terjadi karena dua kemungkinan. Pertama, karena merasa tertuduh, terutama
ketika negara Islam telah menjadi monster yang menakutkan, sehingga takut. Seperti
yang dinyatakan, sebut saja Said Aqil Siraj, Mustofa Ya'qub, Amidhan, dan segelintir
orang yang lain. Kedua, karena tidak tahu atau tidak menemukan, bahwa negara Islam
tersebut memang ada di dalam Al-quran dan Sunah.
Tentu, baik karena kemungkinan yang pertama maupun kedua, sama-sama tidak
mewakili Islam. Bahkan, pandangan yang muncul dari keduanya sama-sama tidak
mempunyai nilai apapun dalam ajaran Islam. Apalagi, masalah negara ini merupakan
masalah ma'lum[un] min ad-din bi ad-dharurah (perkara agama yang sudah
diyakini/diketahui kepentingannya). Karena itu, adanya negara ini hukumnya wajib.
Kewajibannya pun telah disepakati oleh para ulama, baik Ahlussunnah, Syi'ah,
Khawarij maupun Muktazilah1. Raudhatu at-Thalibin wa 'Umdatu al-Muftin
menyatakan, bahwa mendirikan imamah hukumnya fardhu kifayah. Jika hanya ada
satu orang (yang layak), maka dia wajib diangkat. Jika tidak ada yang mengajukannya,
maka imamah itu wajib diusahakan. Imamah yang dimaksud oleh Imam an-Nawawi
di sini tak lain adalah khilafah, atau negara Islam.

B. Sistem Politik Negara Islam


Di setiap negara pasti mempunyai sistem politik di dalamnya. Berbicara tentang
sistem politik di Negara Islam, Sistem Politik Islam merupakan sistem politik yang khas
dan diyakini merupakan sistem politik yang unggul. Hal ini terkait dengan Islam itu
sendiri. “Islam itu unggul dan tidak ada yang dapat mengunggulinya (Al Islâmu ya’lu wa
lâ yu’la ‘alaihi),” kata Nabi.

4
Berbicara tentang sistem politik berarti berbicara tentang proses, struktur, dan fungsi.
Proses adalah pola-pola yang mengatur hubungan antar manusia satu sama lain. Struktur
mencakup lembaga-lembaga formal dan informal seperti majelis umat, partai politik,
khalifah, dan jaringan komunikasi. Adapun fungsi dalam sistem politik menyangkut
pembuatan berbagai keputusan kebijakan yang mengikat alokasi nilai. Keputusan
kebijakan ini diarahkan pada tercapainya kepentingan masyarakat. Proses, struktur, dan
fungsi dalam sistem politik Islam semuanya berdasarkan pada ajaran Islam yang
bersumber dari wahyu. Karena itu, sistem politik Islam, termasuk konsep kenegaraannya,
menjadi sistem yang unggul karena bersumber dari Allah Swt., Zat Yang Mahaagung. Di
antara keunggulan sistem politik Islam adalah:

Istiqamah
Sistem politik Islam memiliki karakter istiqamah; artinya bersifat langgeng,
kontinu, dan lestari di jalannya yang lurus. Dalam sistem demokrasi, misalnya, sistem
politik bergantung pada kehendak manusia. Perubahan nilai dan inkonsistensi pun terjadi.
Hal yang sama bisa berlaku untuk orang lain, tetapi tidak untuk negara tertentu.
Misalnya, Iran tidak boleh memiliki nuklir, tetapi AS dan Israel tidak mengapa; setiap
negara tidak boleh mencampuri urusan negara lain, kecuali AS dan sekutunya yang dapat
menerapkan pre emptive. Sistem seperti ini tidaklah istiqamah. Betapa tidak; semuanya
bergantung pada kehendak dan tolok ukur manusia yang senantiasa berubah-ubah,
bahkan dapat saling bertolak belakang. Sekarang benar, nanti salah; atau sekarang terpuji
lain waktu tercela.
Berbeda dengan itu, sistem politik Islam berdiri tegar tak lekang ditelan zaman. Ini
karena sistem politik Islam bukan lahir dari logika dan kepentingan sesaat manusia,
namun jalan lurus yang berasal dari Allah Swt. untuk kemaslahatan manusia 2[4]. Dalam
konteks kenegaraan, sistem politik Islam dibangun di atas landasan yang istiqamah,
yakni:
a. Kedaulatan ada di tangan syariah;
b. Kekuasaan ada di tangan rakyat;
c. Wajib hanya memiliki satu kepemimpinan dunia; dan
d. Hanya khalifah yang berhak melegalisasi perundang-undangan dengan bersumber
dari Islam berdasarkan ijtihad. Jika terdapat perselisihan di antara negara dengan
2

5
rakyat atau antar pelaku politik maka harus dikembalikan tolok ukurnya kepada Allah
dan Rasul; kepada al-Quran dan as-Sunnah. Inilah tolok ukur sekaligus landasan yang
tetap, tidak berubah. Ini pulalah yang menjamin keistiqamahan sistem politik Islam.

Mewujudkan ketenteraman secara kontinu.


Di antara fungsi sistem politik adalah mewujudkan ketenteraman. Setiap warga
negara harus terjamin ketenteramannya. Tanpa ketenteraman, kehidupan tak akan
nyaman. Ketenteraman merupakan syarat mutlak (conditio sine qua non) bagi
keberlangsungan kehidupan masyarakat.Islam sangat memperhatikan hal ini. Salah satu
ajaran penting Islam adalah mewujudkan keamanan di tengah-tengah masyarakat. Sejarah
menunjukkan bagaimana saat Islam diterapkan, warga negaranya, baik Muslim maupun
non-Muslim, hidup dalam keamanan. Hal ini terwujud melalui pendekatan multidimensi.
Pertama: sistem politik Islam mengaitkan aspek keamanan dengan aspek ruhiah. Rasul
berkali-kali menegaskan bahwa di antara ciri Muslim yang baik adalah Muslim yang
tetangganya selamat dari lisan dan tangannya. Bahkan, siapa saja yang menyakiti kafir
zimmi diibaratkannya sebagai menyakiti beliau. Penjagaan keamanan dikaitkan dengan
pahala dan siksa. Akibatnya, muncullah dorongan takwa dalam diri individu untuk
senantiasa mewujudkan keamanan, baik bagi diri, masyarakat, maupun negara. Kekuatan
internal inilah yang mengokohkan terwujudnya keamanan. Landasan ruhiah seperti ini
tidak ditemukan pada sistem lain. Sistem selain Islam hanya menyandarkan aspek
keamanan pada kepentingan.
Kedua: mengharuskan masyarakat untuk menjaga keamanan dan bersikap keras
kepada perusak keamanan. Setiap kemungkaran yang ada, termasuk gangguan tehadap
keamanan, diperintahkan untuk dihilangkan oleh siapapun yang melihatnya; baik dengan
kekuatan, lisan, ataupun dengan hati melalui sikap penolakan. Bahkan, membiarkan
kerusakan yang ada diumpakan Nabi saw. sebagai menenggelam-kan seluruh masyarakat.
Masyarakat diibaratkan Rasul sebagai sekumpulan orang yang sedang menumpangi kapal
di lautan. Jika sebagian mereka melakukan kejahatan dengan melobangi kapal tersebut
tanpa dicegah, maka semua penumpangnya akan karam. Bahkan, mati mempertahankan
keamanan harta, kehormatan, dan nyawa dari para perusak keamanan dipandang sebagai
syahid. Hal demikian tidak dimiliki oleh sistem di luar Islam.

6
Ketiga: makna kebahagiaan yang khas. Allah Swt. Telah menetapkan makna
kebahagiaan adalah tercapainya ridha Allah. Berbagai limpahan materi hanyalah
kepedihan jika jauh dari ridha Allah. Untuk apa memiliki kekuasaan jika digunakan untuk
menjauhkan diri dan masyarakat dari ridha Allah. Walhasil, mafhûm kebahagiaan
demikian mendorong setiap orang untuk mengejar ridha Allah dengan menaati-Nya.
Salah satunya adalah memberikan keamanan bagi orang lain.
Keempat: menutup pintu kriminal. Salah satu pintu datangnya gangguan
keamanan adalah tindak kriminal. Dalam konteks ini, Islam mencegahnya dengan jitu.
Allah Swt. melarang tindak kriminal dengan motif apapun, termasuk untuk kepentingan
politik. Sistem politik Islam tidak mengenal paham machiavelis (menghalalkan segala
cara). Siapapun diharamkan mencuri, merampok, membunuh, merampok harta negara,
korupsi, mengintimidasi rakyat, dll. Islam juga mengharamkan zina dan perkosaan. Tidak
ada cerita dalam Islam yang mentoleransi menggunakan perempuan sebagai umpan dan
modal dalam transaksi ekonomi maupun bargaining politik. Hal ini berbeda secara
diametral dengan sistem politik sekular. Penutupan pintu kriminal tersebut ditempuh
dengan landasan ruhiah, dengan menanamkan mafhûm qanâ’ah dan ridha. Setiap orang
menerima dan ridha terhadap rezeki yang diberikan Allah, sedikit ataupun banyak. Selain
itu, sistem Islam memiliki seperangkat aturan yang menjamin pemenuhan kebutuhan
pokok dan kebutuhan seksual. Nabi saw. mencontohkan bahwa kebutuhan pokok setiap
warga dijamin oleh negara. Adapun pemenuhan kebutuhan sekunder dan tersier
diserahkan kepada produktivitas dan kemampuan masing-masing. Negara hanya
memfasilitasi siapapun hingga memiliki peluang untuk mendapatkan sumberdaya
informasi, dana, dan kesempatan. Ketika kondisi keamanan telah diciptakan, jaminan
kebutuhan pokok pun dijamin, maka jika masih tetap ada pihak yang melakukan tindak
kriminal, hukum Islam pun ditegakkan pada mereka. Hukum Islam menghasilkan efek
jera. Siapa yang tidak akan jera dengan adanya aneka ragam jenis hukum seperti denda,
penjara, pengasingan, cambuk, potong tangan, bahkan hukuman mati. Jelaslah, mulai dari
keyakinan, kondisi sosial, dan hukum diatur oleh Islam untuk mencegah tindak kriminal.
Selain melalui pendekatan keamanan, ketenteraman pun ditempuh melalui jaminan
pemenuhan kebutuhan pokok secara kontinu dan sempurna. Sering alasan ketidakstabilan
masyarakat adalah masalah ekonomi. Lagi-lagi, Rasulullah saw. mencontohkan jaminan

7
kebutuhan pokok ini dilakukan secara kontinu dan sempurna. Masyarakat tenang dan
tenteram karena ada jaminan terpenuhinya kebutuhan pokok individual (sandang, pangan,
dan papan), serta kebutuhan pokok kolektif (pendidikan, keamanan, dan kesehatan).

Menciptakan hubungan ideologis penguasa dengan rakyat.


Hubungan penguasa dengan rakyat dalam sistem politik Islam adalah hubungan
ideologis. Kedua belah pihak saling berakad dalam baiat untuk menerapkan syariat Islam.
Penguasa bertanggung jawab dalam penegakkannya. Sebaliknya, rakyat membantu
penguasa sekuat tenaga, taat kepadanya, selama tidak menyimpang dari Islam.
Berdasarkan hubungan ideologis inilah penguasa akan melakukan pengurusan (ri’ayah)
terhadap umatnya melalui:
(a) Penerapan sistem Islam secara baik;
(b) Selalu memperhatikan kemajuan masyarakat di segala bidang; dan
(c) Melindungi rakyat dari ancaman.
Nabi saw. bersabda (yang artinya): Sesungguhnya seorang imam (pemimpin) itu
merupakan pelindung. Dia bersama pengikutnya memerangi orang kafir dan orang
zalim serta memberi perlindungan kepada orang-orang Islam (HR al-Bukhari).
Pada sisi lain, rakyat tidaklah tinggal diam. Di pundak mereka terdapat kewajiban
terhadap pemimpin dan negaranya sesuai dengan akad baiat. Karenanya, rakyat berperan
untuk:
a. Melaksanakan kebijakan penguasa yang sesuai dengan syariat demi kepentingan
rakyat;
b. Menjaga kelangsungan pemerintahan dan semua urusan secara syar’i;
c. Memberikan masukan kepada penguasa; mengontrol dan mengoreksi penguasa.
Dengan adanya hak sekaligus kewajiban warga negara untuk memberikan nasihat,
pelurusan (tashih), dan koreksi terhadap penguasa (muhasabah al-hukkam) akan
terjamin penerapan sistem Islam secara baik di dalam negeri.
Merujuk pada hal tersebut, hubungan rakyat dengan penguasa dalam sistem politik Islam
adalah hubungan antara sesama hamba Allah Swt. yang sama-sama menerapkan
kewajibannya dalam fungsi yang berbeda. Hubungan antara keduanya merupakan
hubungan sinergis, fokus, dan saling mengokohkan untuk penerapan syariah demi

8
kemaslahatan rakyat. Sungguh, pemandangan demikian amat sulit ditemukan dalam
sistem politik selain selain Islam.
Mendorong kemajuan terus-menerus dalam pemikiran, sains teknologi, dan kesejahteraan
hidup.
Sejarah telah membuktikan hal ini. Kemajuan sains, teknologi, dan pemikiran merupakan
keniscayaan dalam Islam karena:
a. Islam mendorong umat untuk terus berpikir, merenung untuk menguatkan iman dan
menambah pengetahuan tentang makhluk. Ada 43 ayat al-Quran yang memerintahkan
berpikir.
b. Melebihkan ulama daripada orang jahil.
c. Allah telah menundukkan alam untuk manusia agar diambil manfaatnya. Realitas ini
mengharuskan umat untuk mengkaji alam itu. Artinya, realitas menuntut umat untuk
mengembangkan sains dan teknologi.
d. Islam mendorong inovasi dan penemuan. Dalam masalah jihad, misalnya, Rasulullah
saw. mengembangkan persenjataan dabâbah saat itu. Kini, berarti umat harus
mengungguli sains dan teknologi negara besar. Begitu juga ijtihad; harus terus
dikembangkan. Betapa tidak, banyak sekali perkara baru bermunculan, padahal dulu
belum dibahas oleh para ulama.
Bukan hanya itu, kemajuan ekonomi pun akan tercapai karena:
a) ada konsep kepemilikan dan pengelolaannya secara jelas;
b) kewajiban ri’âyah mengharuskan adanya perhatian secara terus menerus atas urusan
dan kemajuan;
c) perlindungan terhadap milik pribadi dan pemanfaatannya dalam batas syariat; dan
d) adanya pengumpulan harta untuk kaum miskin dan lemah. Konsekuensi dari hal ini
bukanlah sebatas dana menetes ke bawah (tricle down effect), melainkan menggelontor
ke segala penjuru. Hal ini berbeda dengan sistem Kapitalisme yang membiarkan manusia
menjadi serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus).
C. Tujuan Negara Islam
Untuk memberi gambaran lebih rinci, aktifitas memelihara agama (hifdhu d-din)
yang menjadi tugas dan tujuan Negara Islam meliputi pekerjaan-pekerjaan berikut:
a. Menyebarkan dan mendakwahkan Islam dengan pena, lidah dan pedang.

9
Dakwah merupakan pekerjaan pertama yang dilakukan para nabi sebelum pekerjaan
yang lain. Hal ini disebabkan dakwah mengambil sasaran perbaikan tashawwur
(pemahaman) terhadap syariat Allah dari berbagai noda jahiliyah. Utamanya
pemurnian tauhid dari buih syirik. Lalu memberi bimbingan bagi masyarakat dalam
melaksanakan agamanya secara praktek (amal). Dengan demikian, dakwah mencakup
perbaikan ilmu dan amal.
Dakwah merupakan sarana, bukan tujuan. Sarana untuk menyiarkan dan menyebarkan
Islam ke seluruh muka bumi. Dahulu dakwah lebih banyak dilakukan dengan lisan. Tapi
kini dakwah berkembang dengan menggunakan berbagai media. Ada yang menggunakan
lisan, pena, media elektronik dan lain-lain.
Hukum melakukan dakwah adalah fardhu kifayah. Yaitu suatu kewajiban yang menjadi
beban semua umat Islam yang tergolong mukallaf (terkena beban hukum), tapi jika sudah
ada salah satu pihak yang melaksanakannya sesuai tuntunan syari’at dan tuntutan realitas,
maka kewajiban itu gugur bagi yang lain. Kepentingan dari suatu perintah yang disebut
fardhu kifayah adalah wujud pelaksanaannya, bukan siapa yang melaksanakan. Siapanya
tidak penting, yang penting terlaksana dengan standar syariat dan tuntutan realitas.
Allah berfirman:
‫ولتكن منكم أمة يدعون إلى الخير ويأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر وأولئك هم المفلحون‬
Artinya: Dan hendaklah ada satu golongan dari kamu yang melakukan dakwah kepada
kebaikan (kebenaran), memerintahkan kepada yang makruf dan melarang dari yang
munkar. Dan mereka itulah orang yang beruntung. (QS. 3/Ali Imran: 104)
Selain dakwah dengan lisan dan pena, ada aktifitas lain yang bertujuan menyebarkan
Islam yaitu dakwah dengan pedang. Kata pedang biasa digunakan untuk kiasan makna
kekuatan fisik dan senjata. Kedengarannya aneh, tapi Islam tidak tabu disebarkan dengan
pedang, hanya ungkapan kalimatnya yang harus akurat yaitu Islam disebarkan dengan
pedang setelah diawali dengan pendekatan lisan atau pena.
Ketika penjelasan secara lisan tentang Islam tidak membuahkan hasil, maka seorang
muslim tidak menjadi bebas dari tugas menyebarkan Islam, apalagi ia seorang amirul
mukminin. Tapi ia harus beralih menggunakan alat dakwah lain yaitu pedang.
Gambarannya sama dengan seorang montir. Jika ia tidak berhasil melepas baut dengan

10
hentakan tangan, ia menggunakan palu untuk memaksanya berputar. Jika tak mempan
juga, maka digunakan gergaji atau las untuk mencopotnya secara paksa.

Dakwah bukan hanya mengajarkan dan memahamkan suatu materi keislaman dengan
senyum yang terus mengembang. Tapi juga mengancam dengan kekerasan jika tawaran
masuk Islam (dakwah baik-baik) menemui jalan buntu. Ini bukan ajaran yang aneh.
Sesuatu yang wajar, selaras dengan sunnatullah atau hukum alam Allah.
Diantara tugas sulthon membentuk pasukan bersenjata dan menegakkan kewajiban jihad
untuk mengangkat panji Allah. Sebab Allah tidak memberinya kekuasaan atas umat Islam
untuk menjadi bos yang hanya makan, minum dan istirihat, tapi untuk membela agama
ini dan meninggikannya. Diantara tanggung-jawabnya, tidak boleh membiarkan orang-
orang kafir dengan leluasa mengumbar kekafirannya dan tidak mau beriman kepada
Allah dan rasul-Nya.
Daulah Islamiyah dengan dipimpin seorang imam berkewajiban menyiapkan berbagai
cara dalam ragka menyebarkan agama Allah. Bagi yang belum tahu, diberitahu. Bagi
yang masih keliru memahami Islam, diluruskan. Bagi yang menentang dakwah, diberi
ancaman perang atau dipaksa tunduk kepada kekuasaan Islam agar tangannya tidak usil
mengganggu.
Dengan tersedianya berbagai alat dan cara untuk menyebarkan agama ini, setiap orang
punya kesempatan melihat dan mempertimbangkan Islam dengan jernih, lalu memilihnya
dengan sepenuh kesadaran. Sebab jika niatnya masuk Islam hanya untuk mencari
keselamatan, itu bukan pilihan tunggal. Ia masih bisa mendapatkan keselematan dan
keamanan asal mau membayar pajak ketundukan.
Dengan demikian Islam tetap memiliki harga diri di hadapan para penentangnya, dengan
adanya kemampuan mengancam untuk memerangi. Tapi ketegasan ini tidak sampai jatuh
pada pemaksaan untuk masuk Islam, karena masih memberi toleransi bagi yang masih
tetap ingin mempertahankan keyakinannya, dengan memberinya jaminan keamanan
asalkan bersedia membayar bukti ketundukan. Dalam bingkai seperti ini ayat la ikroha
fiddin… (QS. 2/Al-Baqarah: 256) dan wa qotiluhum hatta la takuna fitnah… (QS. 2/Al-
Baqarah:193 & 8/Al-anfal:39) serta hadits umirtu an uqotilannasa hatta yashadu an la
ilaha illallah…. dapat kita pahami.

11
b. Membasmi syubhat (pemikiran rusak), bid’ah dan segala bentuk kebatilan
Negara Islam harus mengambil fungsi membasmi syubuhat pemikiran, bid’ah dan
segala wacana dan praktek kebatilan lain. Sebab seorang amirul mukminin memiliki
kewenangan luas untuk melakukan nahi munkar di tengah masyarakat. Amirul
mukminin paling bertanggung-jawab terhadap masalah ini karena ia didukung
setidaknya oleh dua barisan; ulama dan prajurit. Tidak ada orang lain yang memiliki
kekuatan sebesar itu.
Syubuhat pemikiran menjadi tugas ulama untuk mengoreksinya hingga tuntas agar
masyarakat tidak terkotori pikirannya dengan paham-paham sesat. Hal ini disebabkan
kemunkaran yang bersumber dari akal pikiran hanya bisa dibongkar oleh ulama.
Demikian juga dengan bid’ah dan takhayul. Yang dibutuhkan dari penguasa (negara
Islam) adalah dukungan kekuaatannya, agar ulama bisa melaksanakan perannya tersebut
dengan maksimal.
Adapun kebatilan dan kemunkaran yang nyata dan dikenali oleh masyarakat awam,
negara Islam bertugas mengarahkan dan mendorong mereka untuk membasminya,
dengan cara menegakkan supremasi hukum.
c. Menjaga keutuhan umat dan mengawal perbatasan dari serangan musuh.
Kepala negara (Islam) bertanggung jawab mewujudkan rasa aman bagi masyarakat agar
bisa bebas melaksanakan semua aktifitas ibadah dan memakmurkan dunia. Rasa aman
bisa diraih jika gangguan internal dan eksternal negara bisa diatasi. Oleh sebab itu,
negara harus memiliki kekuatan yang tangguh. Dan merupakan pengaturan Ilahi yang
Maha Sempurna, Islam memberi solusi terhadap kebutuhan ini dengan syari’at yang
bernama ribath dan jihad fi sabilillah. Suatu kombinasi sempurna; mendapatkan imbalan
secara akhirat berupa syurga, sekaligus menjadi alat yang logis untuk menjaga negara
Islam dari rongrongan musuh.
.Ribath bersifat pasif, seperti pekerjaan satpam yang hanya menjaga. Meski demikian,
Rasulullah saw memberi motivasi dan penghargaan yang tinggi terhadap aktifitas ini,
dalam sabdanya:
‫رباط يوم فى سبيل ا خير من الدنيا وما عليها‬
Artinya: Ribath fi sabilillah satu hari adalah lebih baik dari dunia seisinya.

12
Jihad fi sabilillah artinya berperang melawan musuh Allah dan musuh umat Islam. Jihad
bisa bermakna ofensif bisa pula defensif, tergantung kebutuhan. Rasulullah saw pernah
melakukannya, baik bermakna defensif maupun ofensif.
Jika kepala negara (Islam) dengan kekuasaan di tangannya tidak melaksanakan ribath dan
jihad, ia gagal menjalankan fungsinya. Dalam waktu yang tidak lama musuh-musuh
Islam akan berebut “menyantap hidangan” umat Islam karena tidak ada penjaganya,
seperti yang kita alami saat ini. Tapi karena kita tidak memiliki kepala negara (Islam)
yang syar’i yang berfungsi melaksanakan peran ini, maka beban kesalahan ditanggung
oleh semua umat Islam.

4. Eksistensi Non-Muslim dalam sutu Negara Islam


Mereka disebut sebagai " Mu'ahad" . Mereka ini adalah orang-orang yang bukan
muslim , yang telah berjanji setia kepada negara Islam , yaitu golongan minoritas dalam
negara Islam . Dan Allah SWT menjamin hak atas keselamatan jiwa mereka,
Dari Abdullah bin Amru r.a. dari Nabi saw. beliau bersabda : " Siapa yang membunuh
seorang mu'ahad tidak akan membaui bau surga, sedang baunya itu tercium sejauh
perjalanan empat puluh tahun " . (H.R. Bukhori)
Islam tidak membenarkan pengrusakan , kerusuhan , apalagi pembunuhan , kecuali
terhadap mereka yang terlebih dahulu melakukan penyerangan karena ke-Islam-an kita ,
dan mengusir kita dari negeri kita :
Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orang-orang yang
kamu musuhi di antara mereka. Dan Allah adalah Maha Kuasa. Dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.(Q.S. Al Mumtahanah Ayat 7)

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang
yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.(Q.S. Al Mumtahanah ayat
8)

Dari Abu Hurairah r.a. : Rasulullah s.a.w. bersabda : " Siapa yang merusak nama baik
atau harta benda orang lain , maka minta maaflah kepadanya sekarang ini , sebelum

13
datang hari dimana mata uang tidak laku lagi . Kalau ia mempunyai amal baik ,
sebahagian dari amal baiknya itu akan diambil , sesuai dengan kadar aniaya yang telah
dilakukannya . Kalau ia tidak mempunyai amal baik , maka dosa orang lain itu diambil
dan ditambahkan kepada dosanya. " (H.R. Bukhori)

Dari Abi Syuraih r.a. : Nabi saw. berkata : " Demi Allah , ia tidak beriman ! . Demi
Allah , ia tidak beriman ! . Demi Allah , ia tidak beriman !" . Orang bertanya : "Siapa itu
, ya Rasulullah ?" . Rasul menjawab : "Orang yang kejahatannya tidak pernah memberi
rasa aman kepada para tetangganya ."(H.R. Bukhori)

D. Pandangan Pemikiran Politik Islam Terhadap Negara Islam


Selanjutnya perlu pula mengkaji istilah-istilah dalam kajian politik Islam seperti
daulah, khalifah, imamah dan kesultanan yang seringkali dikonotasikan dengan istilah
negara :
a. Daulah.
Istilah daulah berasal dari bahasa Arab yang bermakna bergilir, beredar dan
berputar (rotate, alernate, take turns or Occur priodically. menurut Olaf Schuman istilah
“daulah” sama dengan “dinasti atau wangsa” yang berarti sistem kekuasaan yang
berpuncak pada seorang pribadi dan didukung oleh keluarganya atau clanya. Jadi dalam
konteks sekarang istilah tersebut bisa diartikan negara, selain itu Paham ini juga erat
dengan paham Dar al-Islam yang bermakna bahwa kekuasaan tertinggi terletak di tangan
seorang penguasa muslim yang memberlakukan Hukum Islam sebagai hukum utama di
dalam wilayahnya.
Menurut sejarah istilah ini pertama kali digunakan dalam politik Islam ketika masa
kemenangan kekhalifahan dinasti Abbasiyyah pada pertengahan abad delapan.[xlii]
Kalau memang istilah ini pernah ada, berarti masa itu terdapat pada daullah Umayyah
yang kemudian begilir pada keluarga Bani Abbas (Daulah Abbasiyyah).
b. Khilafah.
Istilah “Khilafah” berasal dari bahasa arab yang bermakna perwakilan atau pergantian.
Dalam perspektif politik sunni, khilafah didasarkan pada dua rukun, yaitu: konsensus elit
politik (ijma‘) dan pemberian legitimasi (Bay‘ah). Oleh sebab itu sudah menjadi hal yang

14
lazim dalam pemilihan pemimpin Islam bahwa pemilihan pemimpin ditetapkan oleh elit
politik melalu ijma‘ kemudian baru di Bay‘ah , menurut Harun Nasution sistem ini
menyerupai dengan sistem republik daripada sistem kerajaan, karena pemimpin dalam
hal ini dipilih bukan merupakan sistem monarkhi yang bersifat turun-temurun.
Sistem khilafah ini pertama kali digunakan dalam politik Islam setelah Nabi Muhammad
wafat, yaitu pada masa khalifah Abu Bakar, dalam pidato inagurasinya Abu Bakar
menyatakan dirinya sebagai Khalifah Rasul Allah dalam artian sebagai “Pengganti
Rasulullah” yang bertugas meneruskan misi-misinya. Sedangkan menurut Bernard Lewis
istilah khalifah muncul pertama kali pada masa pra-Islam abad ke-6 Masehi dalam suatu
prasasti Islam di Arabia.
c. Imamah.
Selain kedua istilah di atas, “imamah” dalam kajian Islam juga sering digunakan sebagai
teori yang menyerupai makna negara. Menurut Mawardi, imam bisa dimaknai khalifah,
raja, sultan atau kepala negara, dengan demikian menurut Munawir Sjadzali, Mawardi
memberikan ruang bagi agama suatu jabatan politik yaitu kepala negara. Sementara
menurut Taqiyuddin an-Nabhani, imamah dan khilafah merupakan dua istilah yang sama
maknanya, karena khilafah adalah suatu kepemimpinan yang berlaku secara umum bagi
seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syari’at dan
mensyiarkan Islam ke seluruh penjuru dunia.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Kajian tentang Negara Islam bagi umat Islam merupakan tantangan. Sebab, umat
Islam yang menentang konsep negara modern yang dapat disebut sebagai negara

15
demokrasi liberal atau negara hukum-demokrastis belum memiliki konsep alternatif yang
dapat dipahami dan diterima oleh masyarakat modern yang plural. Dengan perkataan
lain, Negara Islam masih merupakan suatu ilusi.
Negara Islam, melihat dari beberapa wacana yang telah berkembang, dapat
disebut telah, sedang dan akan terus ada, tergantung pada sejauh mana menilai sebuah
negara itu disebut Negara Islam, karena pada dasarnya setiap negara yang didiami oleh
umat Islam adalah negara yang memiliki dimensi moral Islam, sesekuler apapun negara
tersebut dan (lebih radikal lagi) sesekuler apapun rakyatnya. Karena Islam atau tidaknya
seseorang pun hanya sesederhana dua kalimat syahadat yang diyakini. Begitu juga
dengan negara Islam yang ideal pada dasarnya dikembalikan pada umat Islam itu sendiri
dalam mengembangkan kreatifitas peradaban mereka, namun tetap dalam koridor
keislaman. Sebagai contoh kecil, bila suatu komunitas masyarakat Islam atau umat Islam
di suatu wilayah mangangkat seorang pemimpin diantara mereka, dapat dsesuaikan
dengan kehendak mereka atas masa depan kehidupan politis masyarakat tersebut, tanpa
mengharuskan seorang pemimpin yang benar-benar sempurna agamanya, namun dapat
dipercaya mampu mengurus negara dengan baik, tanpa melupakan perintah Al-Qur’an
yang mewajibkan seorang mulim untuk memilih pemimpim yang muslim pula, namun
bila umat Islam Islam telah berada di bawah suatu kekuasaan kafir sekalipun maka
ketaatan terhadap pemimpin adalah merupakan kewajiaban juga, dengan beberapa
pengecualian yang bisa dirujuk pada asas-asas hukum umat Islam sendiri. Sebagaimana
dalam hadist nabi SAW, bahwa sebuah negara hancur karena kezaliman pemimpinnya,
dan tidak hancur karena kekafirannya.

B. Saran
Dalam kenyataannya yang terjadi sepanjang perkembangan Daulah Islamiyah
(kekuasaan Islam) adalah doktrin-doktrin politik yang despotik-otoriter, kemajuan Dunia
Islam hanya bisa terjadi apabila para pemikir Islam terbabas terlebih dahulu dari
belenggu despotisme yang didasarkan pada dogmatisme keagamaan. Tidak bisa
terjadinya proses demokratisasi di Dunia Islam adalah karena para pemikir Muslim

16
umumnya bekerja dalam rezim monarki absolut yang justru mendapat legitimasi
keagamaan yang dilakukan oleh para ulama. Para pemikir yang gagasannya dinilai
bertentangan dengan kekuasaan khalifah, umumnya masuk penjara atau mengungsi dari
ibu kota ke daerah yang sepi politik.
Jika konsep negara itu digambarkan oleh konstitusinya, maka dalam sejarah
Islam, model Negara Islam yang paling awal adalah Negara Madinah yang didasarkan
pada Konstitusi Madinah, sebagai kesepakatan sosial yang dipimpin langsung oleh
Rasulullah. Dalam konsep Konstitusi Madinah, maka berbagai kelompok agama dan suku
adalah merupakan satu bagian dari yang disebut “al ummah al wahidah” atau umat yang
satu, sehingga umat yang satu itu adalah suatu ke-bhinneka-tunggal-ika-an. Pada waktu
itu umat Islam baru merupakan 13% saja dari keseluruhan umat. Walaupun merupakan
minoritas, namun pimpinan negara berada di tangan tokoh-tokoh Muslim dan bahkan
kepala negaranya adalah Rasulullah sendiri. Sebagai agama yang Rahmatan Lil Alamin
semoga Islam berjaya selama-lamanya maupun sebagai sebuah Negara Islam

DAFTAR PUSTAKA

Armstrong, Karen. 2001. Perang Suci dari Perang Salib hingga Perang Salib. Jakarta:.

PT.Ikrar Mandiriabadi

17
Fulcher dari Chartres, A History of the Expedition to Jerusalem, 1095-1127,terj. Dan ed.
Oleh Frances Rita Ryan (Knoxville, 1969), hal.66.

Robert the Monk, Historia Iherosolimitana, dikutip oleh August C. Krey, The First
Crusade: The Accounts of Eye-Witnesses and Participants (Princeton dan
London,1921), hal.30.

18

Anda mungkin juga menyukai