Disusun Oleh :
BOGOR
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada kehadirat allah swt. Yang maha kuasa yang telah
memberikan rahmat serta karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah
ini tepat pada waktunya meskipun dalam bentuk dan isinya yang sangat sederhana. Harapan
kami semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk, maupun
pedoman, juga untuk menambah pengetahuan dan juga pengalaman yang bermanfaat bagi para
pembaca, sehingga kedepannya kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini dengan
menjadi lebih baik.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan
makalah ini. Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan
serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir semoga Allah yang Maha Kuasa
senantiasa meridhai segala urusan kita. Aamiin.
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II PEMBAHASAN
3.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
Kaidah Kesukaran itu dapat menarik kemudahan artinya kesukaran menyebabkan adanya suatu
kemudahan. hukum yang dipraktiknya menyulitkan mukallaf dan pada diri dan sekitarnya
terdapat kesukaran, maka syariat memudahkannya sehingga beban tersebut berada di bawah
kemampuan mukallaf tanpa kesukaran. Hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan
kesukaran dan kesulitan bagi mukallaf (subjek hukum), maka syariah memudahkannya sehingga
mukkalaf mampu melaksanakannya tanpa kesukaran dan kesulitan.
Adapun secara istilah para ulama’, maka kaedah ini berarti : Hukum-Hukum Syar’i yang
dalam prakteknya menimbulkan kesulitan dan kepayahan serta kerumitan bagi seorang mukallaf
(orang yang di beri beban syar’i), maka syariat islam meringankannya agar bisa di lakukan
dengan mudah dan ringan.
Dua ayat disajikan secara seimbang: ayat pertama dan kedua berisi tentang keringanan dan
kemudahan, sedangkan ayat ketiga dan keempat berisi tentang kesulitan.
Sesungguhnya syari’at Islam dibangun di atas kelembutan, kasih sayang dan kemudahan. Allah
Ta’ala berfirman :
“ Dia telah memeilih kamu, dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama..” [QS.
Al Hajj : 78].
“Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikma-Nya bagimu..,”
2. Hadits
ُ بُ ِع ْث
ت بِال َحنَفِيَّ ِة ال َّس َم َح ِة
“Aku diutus dengan membawa ajaran yang benar dan mudah” (HR.Ahmad dan Ibnu Abbas)
Imam Ahmad At-Tabrani, dan Al- Bazzar meriwayatkan dari Ibn Abbas ra yang bertanya kepada
Nabi Muhammad SAW, tentang agama yang paling dicintai Allah. Nabi Muhammad SAW
menjawab :
“Agama yang benar dan mudah” Hadits riwayat Bukhori dan Muslim
ِ اِنَّ َما بُ ْعثِتُ ْم ُميَ ِّسي ِْر ْينَ َولَ ْم تَ ْب َعثوا ُم َعس
َِّر ْين
“Kalian diutus untuk memberikann kemudahan (manusia) bukan untuk memyulitkan”. Masih
riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Aisyah ra bahwa ia berkata :
َما َّخيَ َر رسول هللا صلى هللا عليه وسلم بَ ْينَ َش ْيئَ ْي ِن اِاَّل اِ ْختَ َر اَ ْي َس َرهُ َما َما لَ ْم يَ ُكن اِ ْث َما
“Ketika memilih dau hal; Rasulullah SAW memilih yang termudah selama tidak termasuk
perbuatan dosa”.Hadits riwayat Ali Haidar.
Dari akumulasi ayat dan hadits di atas, maka tercetuslah sebuah kaidah ال َم َشقَةُ تَجْ لِبُ التَّ ْي ِسيْر yang
oleh Ali Haidar dijelaskan bahwa kesulitan yang terdapat pada sesuatu menjadi penyebab adanya
kemudahan dan keringanan, yang pada intinya menekankan besarnya apresiasi syari’at pada
bentuk-bentuk kemudahan dan keringanan hukum.
Kaidah ini, adalah kaidah yang dibuat oleh asy-Syafii. Maksud dari kaidah ini adalah bahwa
apabila sesuatu itu ada kesempitan/kesukaran dalam menjalankannya, maka dalam keadaan yang
demikian ini “wilayah-wilayah”yang semula dilarang menjadi diperbolehkan. Contohnya
seorang laki-laki dewasa diharamkan memegang tubuh perempuan dewasa yang bukan
mahromnya, namun apabila di suatu daerah hanya terdapat satu orang yang ahli dalam urut
tulang dan dia laki-laki, sementara ada perempuan yang tulangnya harus diurut, maka laki-laki
yang bukan mahromnya itu boleh menolong (menyentuh dan melihat aurat) perempuan tersebut.
Kebalikan dari kaidah ini adalah:
Kaidah ini menunjukkan fleksibilitas hukum Islam yang bisa diterapkan secara tepat pada setiap
keadaan. Contohnya apabila perempuan yang patah tulang telah sembuh karena mendapat
pengobatan urut tulang dari laki-laki, maka tukang urut laki-laki tersebut tidak boleh lagi
menyentuh dan melihat auratnya.
Contohnya: Seseorang yang meminjam barang kepunyaan orang yang dikenalnya, (seperti :
Kipas angin, kompor, buku, tipe-X, pulpen, mobil, dan lain-lain) kemudian benda tersebut telah
rusak atau hilang sehingga tidak mungkin dikembalikan kepada pemiliknya, maka penggantinya
adalah barang yang sama mereknya, ukurannya, atau diganti dengan harga barang tersebut
dengan harga di pasaran.
Contoh lain seperti orang yang sulit mendapatkan air maka diperbolehkan bertayamum.
“Apa yang tidak mungkin menjaganya (menghindarkannya), maka hal itu dimaafkan”
Contohnya : Seorang laki-laki yang berprofesi sebagai pedagang, maka seringkali yang membeli
dagangannya adalah perempuan yang terbuka auratnya, maka dalam kondisi yang demikian tidak
mungkin terhindar.
Kaidah ini dikaitkan untuk menjaga kemudahan-kemudahan di dalam hukum tidak disalah
gunakan untuk melakukan maksiat (kejahatan atau dosa). Contohnya seperti orang yang
bepergian untuk niat yang buruk seperti ketempat prostitusi misalnya dengan jarak yang bisa
dilakukan untuk mengqosor sholat atau membatalkan puasa wajib. Maka dia tidak dipandang
sebagai orang yang menggunakan rukhsah, karena kemudahan yang diberikan tidak digunakan
untuk suatu yang baik. Dia mengqosor sholat dan membatalkan puasa karena untuk maksiat.
Berbeda dengan orang yang bepergian dengan tujuan yang dibolehkan seperti untuk usaha yang
halal, bersilaturahmi, atau menuntut Ilmu. Kemudian dipertengahan jalan kehabisan uang serta
tidak ada makanan kecuali yang diharamkan, maka memakannya diperbolehkan dengan sekedar
menghilangkan rasa lapar yang membahayakan jiwa.
“Apabila suatu kata sulit diartikan dengan arti yang sesungguhnya, maka kata tersebut berpindah
artinya kepada arti kiasannya”
Contoh : Haji Syarkawi berkata “Saya wakafkan tanah saya kepada anak Haji Ishaq”. Padahal
semua orang mengetahui bahwa anak Haji Ishaq sudah lama meninggal, yang ada hanyalah
cucunya bernama Sarifudin. Maka dalam hal ini, kata anak harus diartikan cucunya, yaitu kata
kiasannya, bukan kata sesungguhnya. Sebab, tidak mungkin mewakafkan harta kepada orang
yang sudah meninggal.
Contohnya : Seseorang yang menuntut warisan dan dia mengaku saudara sekandung dari si
mayit, kemudian setelah di teliti dari kartu keluarga, ternyata si mayit tidak memiliki saudara.
Maka perkataan orang tersebut ditinggalkan dalam arti tidak diakui perkataannya.
يُ ْغتَفَ ُر فِي ال َّد َو ِام َما اَل يُ ْغتَفَ ُر فِ ْي ا ِإل ْبتِدَا ِء
“Bisa dimaafkan pada kelanjutan perbuatan dan tidak bisa dimaafkan pada permulaannya”
Contohnya : Mahasiswa yang menyewa kost atau barak maka diharuskan membayar uang muka
oleh pemilik kost atau barak. Apabila sudah habis pada waktu penyewaan dan dia ingin
melanjutkan sewaan berikutnya, maka dia tidak perlu membayar uang muka lagi.
Contohnya : Seseorang yang baru masuk Islam dan tidak tahu bahwa judi, berzinah atau
minuman keras itu dilarang atau haram, maka orang tersebut dimaafkan untuk permulaannya
karena ketidaktahuannya.
Selanjutnya, setelah dia mengetahui bahwa judi, berzinah atau minuman keras hukumnya haram,
maka ia harus menghentikan perbuatan haram tersebut.
يُ ْغتَفَ ُر فِي التَّ َوابِع َما اَل يُ ْغتَفَ ُر فِي َغي ِْرهَا
“Dapat dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak dimaafkan pada yang lainnya”
Contohnya : Pedagang membeli bawang 5 karung di sebuah agen, kemudian bawang tersebut
dipisahkan dari karung, karena karung tersebut mengikuti kepada bawang yang dijual, dan
maksud tidak dimaafkan pada yang lain seperti cincin emas yang didapatkan dari bawang
tersebut dan diketahui pula adalah kepunyaan pemilik agen.
Al masyaqqah menimbulkan hukum rukhsah pada posisi darurat dan kebutuhan (hajat)
dalam kaidah tersebut di harapkan dalam melaksanakan ibadah itu tidak ifrath (melampaui batas)
dan tafrith (kurang dari batas). Oleh karena itu para ulama membagi masyyaqqah ini menjadi
tiga tingkatan yaitu:
1. Al masyaqqah Al- Azhimmah kesulitan yang sangat berat atau bisa juga di sebut sebagai
“kemudaratan” seperti kekhawatiran akan ilangnya jiwa atau rusaknya anggota badan
2. Al Masyaqqah Al-Mutawasithah (kesulitan yang pertengahan, tidak sangat berat juga
tidak sangat ringan)
3. Al- Masyaqqah Al-Khafifah (kesulitan yang ringan).
Pengecualian dari kaidah tersebut adalah:
Adapun secara istilah para ulama’, maka kaedah ini berarti : Hukum-Hukum Syar’i yang
dalam prakteknya menimbulkan kesulitan dan kepayahan serta kerumitan bagi seorang
mukallaf (orang yang di beri beban syar’i), maka syariat islam meringankannya agar bisa di
lakukan dengan mudah dan ringan.
1. Al masyaqqah Al- Azhimmah kesulitan yang sangat berat atau bisa juga di sebut sebagai
“kemudaratan” seperti kekhawatiran akan ilangnya jiwa atau rusaknya anggota badan
2. Al Masyaqqah Al-Mutawasithah (kesulitan yang pertengahan, tidak sangat berat juga
tidak sangat ringan)
3. Al- Masyaqqah Al-Khafifah (kesulitan yang ringan).
DAFTAR PUSTAKA
ahmadzarkasyi-blog.blogspot.com/2014/07/kaidah-asasiyyah-tentang-al-masyaqqah.html
academia.edu/9567577/Al_Masyaqqoh_Tajlibut_taysir_Kesulitan_Melahirkan_Kemudahan_