Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

AL-MASYAQQAH TAJLIB AT-TAISIR

Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. Adang Djumhur S, M.Ag

Disusun oleh :
Sri Wulandari
Nim. 20086040038

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SYEKH NURJATI CIREBON
2021

1
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah menganugrahkan nikmat keimanan,
keislaman, Kesehatan dan kesempatan sehingga penulis dapat menyusun makalah
tentang “AL-MASYAQQAH TAJLIB AT-TAISIR” dengan baik.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata
kuliah Ushul Fiqh dan Qawaid Fiqhiyah yang diampu oleh Bapak Prof. Dr. H. Adang
Djumhur S, M.Ag.
Dalam proses penyusunan makalah ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan,
arahan dan masukan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu penulis mengucapkan
terimakasih atas segala kontribusinya dalam membantu penyusunan makalah ini.
Meski telah disusun secara maksimal, penulis menyadari bahwa makalah ini
jauh dari kata sempurna. Karenanya penulis mengharapkan saran dan kritik sebagai
bahan evaluasi bagi penulis untuk perbaikan di masa yang akan datang.
Besar harapan semoga makalah ini dapat menjadi sarana ilmu pengetahuan
bagi pembaca (pada umumnya) dan penulis (pada khususnya).
Demikian apa yang bisa sampaikan, semoga dapat mengambil manfaat dari
karya ini.

Batang, ……………… 2021

Penulis

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Allah SWT memiliki kekuasaan yang tiada tara, dengan kekuasaan-Nya itu
Dia mampu menundukkan ketaatan manusia untuk mengabdi pada-Nya. Agar
dalam realisasi penghambaan itu tidak terjadi kekeliruan maka Dia membuat
aturan-aturan khusus yang disebut sebagai syariah demi kemaslahatan manusia
sendiri. Tentunya syariah itu disesuaikan dengan tingkat kemampuan dan potensi
yang dimiliki seorang hamba, karena pada dasarnya syariah itu bukan untuk
kepentingan Tuhan melainkan untuk kepentingan manusia sendiri. 1
Dalam pada ini, Allah SWT memberikan 3 alternatif bagi perbuatan
manusia, yakni positif (wajib), cenderung kepositif (sunnah), cenderung kenegatif
(makruh) dan negatif (haram). Untuk realisasi kelima alternatif itu selanjutnya
Allah SWT memberikan hukum keharusan yang disebut dengan Azimah yakni
keharusan untuk melakukan yang positif dan keharusan untuk meninggalkan yang
negatif. (Wahbah as Zuhaili 1982:40). Namun tidak semua keharusan itu dapat
dilakukan manusia, mengingat potensi atau kemampuan yang dimiliki manusia
berbeda-beda. Dalam kondisi semacam ini, Allah SWT memberikan hukum
rukhsah yakni keringanan-keringanan tertentu dalam kondisi tertentu pula.
Sehingga dapat dikatakan bahwa keharusan untuk melakukan azimah (hukum
umum / hukum asal yang bersifat mutlak) seimbang dengan dengan kebolehan
melakukan rukhsah (pengecualian dari hukum yang ditetapkan secara global dan
berlaku umum).2 Allah SWT berfirman:
)٢٧٦:‫ﻻﯾﻜﻠﻑ ﺍﷲ ﻧﻔﺴﺎ ﺍﻻ ﻮ ﺴﻌﻬﺍ (ﺍﺑﻘﺮﺓ‬
“Allah tidak membebani seseorang kecuali dalam batas kesanggupan” (QS. Al
Baqarah: 286)

1
Mukhlis Usman, MA. Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah. Jakarta: Raja Grafindo
Persada:1997. Hal 124
2
Ibid, hal 125

3
Bagi Asy-Syahibi, kesulitan itu dihilangkan bagi orang mukallaf karena
dua sebab. Pertama, karena khawatir akan terputuskan ibadah, benci terhadap
ibadah, serta benci terhadap taklif, dan khawatir akan adanya kerusakan bagi orang
mukallaf, baik jasad, akal, harta maupun kedudukannya, karena pada hakikatnya
taklif itu untuk kemaslahatan manusia. Kedua, karena takut terkurangi kegiatan-
kegitan sosial yang berhubungan dengan sesama manusia, baik terhadap anak
maupun keluarga dan masyarakat sekitar, karena hubungan dengan hak-hak orang
lain itu juga termasuk ibadah pula. (Wahbah as Zuhaili, 1982:41-42)
Menurut Dr. Wahab Az-Zuhaili, tujuan pokok terciptanya kaidah diatas
adalah untuk membuktikan adanya prinsip tasamuh dan keadilan dalam Islam agar
Islam itu terkesan tidak menyulitkan. Karena itu setiap kesulitan akan
mendatangkan kemudahan, dan kewajiban melakukan tasamuh jika dalam kondisi
menyulitkan. (Wahbah as Zuhaili, 1982:195-196)
Kaidah Asasiyah tentang Al-Masyaqqah Tajlib at-Taisir. Mengingat hukum
Islam yang belum atau tidak dijelaskan secara langsung oleh Al-Qur’an dan Al-
Hadits dan baru bisa diketahui setelah terjadi penggalian lewat ijtihad, maka
dikenallah sebutan dalam fiqih suatu istilah hukum dzanni atau hukum ijtihad
sehingga berpengaruh pada penerapan hukumnya (‫ )تطنيق ﺍألحﻜﺎم‬yang harus
disesuaikan dengan situasi dan kondisi, bahkan harus sejalan dengan tuntutan
zaman beserta kemaslahatan-kemaslahatannya yang menjadi prinsip utama
disyari’atkannya syari’ah (maqashid al-syari’ah) dalam menyelesaikan
permasalahn hukum yang dijalani oleh mukallaf. Kesukaran dan kesulitan yang
menjadi problematika dan dilema yang terjadi pada mukallaf menuntut adanya
penetapan hukum untuk mencapai kemaslahatan dan kepastian hukum guna
menjawab permasalah yang terjadi.
Dalam makalah ini akan dibahas unsur-unsur yang terkait dalam kaidah Al-
ِ ‫شﻘَةُ تَجْ ﻠِبُ ﺍلت َّ ْي‬
Masyaqqah Tajlib Al-Taisir/‫ﺴيْﺮ‬ َ ‫ ﺍل َم‬.

4
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, dapat ditarik
permasalahan untuk dikaji sebagai berikut :
1. Bagaimana pengertian kaidah Al-Masyaqqah Tajlib at-Taisir?
2. Bagaimana dasar hukum kaidah Al-Masyaqqah Tajlib at-Taisir?
3. Bagaimana kaidah-kaidah cabang Al-Masyaqqah Tajlib at-Taisir?

5
BAB III
PEMBAHASAN

A. Pengertian kaidah Al-Masyaqqah Tajlib at-Taisir

َ ‫ْﺍل َم‬
ُ ْ‫شﻘَّةُ تَج‬
‫ﻠب ﺍلت َّ ْيﺴ ُِﺮ‬
Artinya : “Kesukaran itu dapat menarik kemudahan”.
Al-Masyaqqah menurut bahasa (etimologis) adalah al-ta’ab yaitu kelelahan,
kepayahan, kesulitan, dan kesukaran. Sedangkan kata al-taysir secara bahasa
(etimologis) adalah kemudahan, seperti di dalam hadis Rasulullah saw disebutkan
:

ِ ‫ِإ َّن‬
‫ﺍلدﯾْنَ ﯾُﺴْﺮ‬
Artinya : “Sesungguhnya Agama itu mudah” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kaidah Kesukaran itu dapat menarik kemudahan artinya kesukaran
menyebabkan adanya suatu kemudahan. hukum yang dipraktiknya menyulitkan
mukallaf dan pada diri dan sekitarnya terdapat kesukaran, maka syariat
memudahkannya sehingga beban tersebut berada di bawah kemampuan mukallaf
tanpa kesukaran. Hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan
kesukaran dan kesulitan bagi mukallaf (subjek hukum), maka syariah
memudahkannya sehingga mukkalaf mampu melaksanakannya tanpa kesukaran
dan kesulitan.
Makna Kaidah ‫ﺍلمشﻘة تجﻠيب ﺍلتيﺴيﺮ‬
Dari kalimat ‫ ﺍلمشﻘة تجﻠيب ﺍلتيﺴيﺮ‬dapat di ambil dua kata di dalamnya, yakni
kata ‫ ﺍلمشﻘة‬berarti kepayahan, kesulitan dan kerepotan. Masyaqqot adalah suatu
kesulitan yang menghendaki adanya kebutuhan (hajat) tentang sesuatu, bila tidak
dipenuhi tidak akan membahayakan eksistensi manusia.3 Sedangkan kata yang
kedua adalah ‫ ﺍلتيﺴيﺮ‬artinya adalah kemudahan dan keringanan. Dari kedua kata

3
Andiko. Toha, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah : Panduan Praktis Dalam Merespon Problematika

6
tersebut dapat di tarik kesimpulan bahwa secara kaidah ini mempunyai pengertian
bahwa sebuah kesulitan akan menjadi sebab datangnya kemudahan dan keringanan.
Adapun secara istilah para ulama’, maka kaedah ini berarti : Hukum-Hukum
Syar’i yang dalam prakteknya menimbulkan kesulitan dan kepayahan serta
kerumitan bagi seorang mukallaf (orang yang di beri beban syar’i), maka syariat
islam meringankannya agar bisa di lakukan dengan mudah dan ringan.

B. Dasar Hukum Kaidah Al-Masyaqqah Tajlib At-Taisir


Dasar hukum dari kaidah Al-Masyaqqah Tajlib At-Taisir antara lain sebagai
berikut :
1. Al-Qur’an
QS. Al-Baqarah : 185

..‫ﯾ ُِﺮ ْﯾدُ ﷲُ ﺑِﻜُ ُم ْﺍليُﺴ َْﺮ َو َﻻ ﯾ ُِﺮ ْﯾدُ ﺑِﻜُ ُم ْﺍلﻌُﺴ َْﺮ‬...
“..Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu..”4

QS. Al- Nissa : 28


َ ‫ﺴﺎ ُن‬
...‫ظ ِﻌيﻔًﺎ‬ ِ ْ َ‫ع ْنﻜُ ْم َو ُخ ِﻠق‬
َ ‫ﺍلْل ْﻧ‬ َ َّ‫ ﯾ ُِﺮ ْﯾدُ ﷲُ ﺍْ ْن ﯾُ َخﻔ‬...
َ ‫ف‬
“..Allah hendak memberikan keringanan kepadamu karena manusia diciptakan
(bersifat) lemah.” 5

Dua ayat disajikan secara seimbang: ayat pertama dan kedua berisi tentang
keringanan dan kemudahan, sedangkan ayat ketiga dan keempat berisi tentang
kesulitan.
Sesungguhnya syari’at Islam dibangun di atas kelembutan, kasih sayang dan
kemudahan. Allah Ta’ala berfirman :

4
Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 185.
5
Al-Qur’an surat Al-Nissa ayat : 48.

7
ٍ ‫عﻠَ ْيﻜُ ُم فِى ﺍلدَّﯾ ِْن ِم ْن َح َﺮ‬
‫ﺍلية‬...‫ج‬ َ ‫و َمﺎ َجﻌَ َل‬...
َ
“ Dia telah memeilih kamu, dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam
agama..” [QS. Al Hajj : 78].
QS. Al- Maidah : 6

ٍ ‫عﻠَ ْيﻜُ ُم ِم ْن َح َﺮ‬


..‫ج‬ َ ‫ َو َمﺎ ﯾ ُِﺮ ْﯾدُ ﷲَ ليجﻌل‬..
“Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan
kamu dan menyempurnakan nikma-Nya bagimu..,”.

2. Hadits
Nabi Muhammad SAW bersabda :

َّ ‫ﺑُ ِﻌثْتُ ﺑِﺎل َحنَ ِﻔيَّ ِة ﺍل‬


‫ﺴ َم َح ِة‬
“Aku diutus dengan membawa ajaran yang benar dan mudah” (HR.Ahmad dan
Ibnu Abbas)
Imam Ahmad At-Tabrani, dan Al- Bazzar meriwayatkan dari Ibn Abbas ra
yang bertanya kepada Nabi Muhammad SAW, tentang agama yang paling dicintai
Allah. Nabi Muhammad SAW menjawab :
ُ‫ﺴ َم َحة‬
َّ ‫ﺍل َحنِ ِﻔيَّةُ ﺍل‬
“Agama yang benar dan mudah”
Hadits riwayat Bukhori dan Muslim

َ‫ﺍِﻧَّ َمﺎ ﺑُ ْﻌثِت ُ ْم ُميَ ِﺴي ِْﺮﯾْنَ َولَ ْم ت َ ْبﻌَثﻮﺍ ُمﻌَ ِﺴ ِﺮﯾْن‬
“Kalian diutus untuk memberikann kemudahan (manusia) bukan untuk
memyulitkan”.
Masih riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Aisyah ra
bahwa ia berkata :

‫ﺴ َﺮهُ َمﺎ َمﺎ لَ ْم َﯾﻜُن ﺍِثْ َمﺎ‬


َ ‫ش ْيئَي ِْن ﺍ َِّﻻ ﺍ ِْخت ََﺮ ﺍ َ ْﯾ‬
َ َ‫َمﺎ َّخ َي َﺮ رسﻮل ﷲ صﻠى ﷲ عﻠيه وسﻠم َﺑيْن‬

“Ketika memilih dau hal; Rasulullah SAW memilih yang termudah selama tidak
termasuk perbuatan dosa”.

8
Hadits riwayat Ali Haidar.

‫ﯾُ ِﺴ ُﺮوﺍ َو َﻻ ت ُ ْﻌ ِﺴي ُْﺮوﺍ‬


“Permudahlah dan jangan dipersulit” (HR.Bukhari)

Dari akumulasi ayat dan hadits di atas, maka tercetuslah sebuah kaidah
‫شﻘَةُ تَجْ ﻠِبُ ﺍلت َّ ْي ِﺴيْﺮ‬
َ ‫ ﺍل َم‬yang oleh Ali Haidar dijelaskan bahwa kesulitan yang terdapat
pada sesuatu menjadi penyebab adanya kemudahan dan keringanan, yang pada
intinya menekankan besarnya apresiasi syari’at pada bentuk-bentuk kemudahan
dan keringanan hukum.

C. Kaidah-kaidah cabang Al-Masyaqqah Tajlib at-Taisir


1. Kaidah Pertama

َ َّ ‫ضﺎقَ ﺍأل َ ْم ُﺮ ِإت‬


‫ﺴ َع‬ َ ‫ِإذَﺍ‬
“Apabila suatu perkara menjadi sempit maka hukumnya meluas”
Kaidah ini, adalah kaidah yang dibuat oleh asy-Syafii. Maksud dari kaidah
ini adalah bahwa apabila sesuatu itu ada kesempitan/kesukaran dalam
menjalankannya, maka dalam keadaan yang demikian ini “wilayah-wilayah”yang
semula dilarang menjadi diperbolehkan. Contohnya seorang laki-laki dewasa
diharamkan memegang tubuh perempuan dewasa yang bukan mahromnya, namun
apabila di suatu daerah hanya terdapat satu orang yang ahli dalam urut tulang dan
dia laki-laki, sementara ada perempuan yang tulangnya harus diurut, maka laki-laki
yang bukan mahromnya itu boleh menolong (menyentuh dan melihat aurat)
perempuan tersebut. Kebalikan dari kaidah ini adalah :

َ‫ضﺎق‬ َ َّ ‫ِإذَﺍ ِإت‬


َ ‫ﺴ َع‬
“Apabila suatu perkara menjadi luas maka hukumnya menyempit”

Kaidah ini menunjukkan fleksibilitas hukum Islam yang bisa diterapkan


secara tepat pada setiap keadaan. Contohnya apabila perempuan yang patah tulang

9
telah sembuh karena mendapat pengobatan urut tulang dari laki-laki, maka tukang
urut laki-laki tersebut tidak boleh lagi menyentuh dan melihat auratnya.

2. Kaidah Kedua

‫ﺎر ِإلَى ﺍل َبدَ ِل‬


ُ ‫ص‬ ْ َ ‫ِإذَﺍ ت َ َﻌذَّ َر ﺍأل‬
َ ‫ص ُل ُﯾ‬
“Apabila yang asli sukar dikerjakan maka berpindah kepada
penggantinya”
Contohnya: Seseorang yang meminjam barang kepunyaan orang yang
dikenalnya, (seperti : Kipas angin, kompor, buku, tipe-X, pulpen, mobil, dan lain-
lain) kemudian benda tersebut telah rusak atau hilang sehingga tidak mungkin
dikembalikan kepada pemiliknya, maka penggantinya adalah barang yang sama
mereknya, ukurannya, atau diganti dengan harga barang tersebut dengan harga di
pasaran.
Contoh lain seperti orang yang sulit mendapatkan air maka diperbolehkan
bertayamum.

3. Kaidah Ketiga

َ ‫َمﺎ َﻻ ﯾُ ْم ِﻜ ْن ﺍلت َ َح ُﺮ ْز ِم ْنهُ َم ْﻌﻔُﻮ‬


ُ‫ع ْنه‬
“Apa yang tidak mungkin menjaganya (menghindarkannya), maka hal itu
dimaafkan”
Contohnya : Seorang laki-laki yang berprofesi sebagai pedagang, maka seringkali
yang membeli dagangannya adalah perempuan yang terbuka auratnya, maka dalam
kondisi yang demikian tidak mungkin terhindar.

4. Kaidah Keempat

10
ِ ‫َص َﻻ تُنَﺎ طُ ﺑِ ْﺎل َمﻌَﺎ‬
‫صى‬ ُ ‫ﺍلﺮ خ‬
ُ
“Kemudahan (rukhsah) itu tidak boleh dihubungkan dengan
kemaksiatan”.

Kaidah ini dikaitkan untuk menjaga kemudahan-kemudahan di dalam


hukum tidak disalah gunakan untuk melakukan maksiat (kejahatan atau dosa).
Contohnya seperti orang yang bepergian untuk niat yang buruk seperti ketempat
prostitusi misalnya dengan jarak yang bisa dilakukan untuk mengqosor sholat atau
membatalkan puasa wajib. Maka dia tidak dipandang sebagai orang yang
menggunakan rukhsah, karena kemudahan yang diberikan tidak digunakan untuk
suatu yang baik. Dia mengqosor sholat dan membatalkan puasa karena untuk
maksiat.
Berbeda dengan orang yang bepergian dengan tujuan yang dibolehkan
seperti untuk usaha yang halal, bersilaturahmi, atau menuntut Ilmu. Kemudian
dipertengahan jalan kehabisan uang serta tidak ada makanan kecuali yang
diharamkan, maka memakannya diperbolehkan dengan sekedar menghilangkan
rasa lapar yang membahayakan jiwa.

5. Kaidah Kelima

ِ ‫ﺎر إِلَى ﺍلم َج‬


‫ﺎز‬ ُ ‫ص‬َ ُ‫ت ﺍل َح ِﻘيﻘَةُ ﯾ‬
ْ ‫إِذَﺍ تَﻌَذَّ َر‬
“Apabila suatu kata sulit diartikan dengan arti yang sesungguhnya, maka kata
tersebut berpindah artinya kepada arti kiasannya”
Contoh : Haji Syarkawi berkata “Saya wakafkan tanah saya kepada anak Haji
Ishaq”. Padahal semua orang mengetahui bahwa anak Haji Ishaq sudah lama
meninggal, yang ada hanyalah cucunya bernama Sarifudin. Maka dalam hal ini,
kata anak harus diartikan cucunya, yaitu kata kiasannya, bukan kata sesungguhnya.
Sebab, tidak mungkin mewakafkan harta kepada orang yang sudah meninggal.

6. Kaidah Keenam
11
‫إِذَﺍتَﻌَذَّ َر إِ ْع َمﺎ ُل ﺍلﻜ َََل ِم ﯾُ ْﻬ َم ُل‬
“Apabila sulit mengamalkan suatu perkataan, maka perkataan tersebut
ditinggalkan”.
Contohnya : Seseorang yang menuntut warisan dan dia mengaku saudara
sekandung dari si mayit, kemudian setelah di teliti dari kartu keluarga, ternyata si
mayit tidak memiliki saudara. Maka perkataan orang tersebut ditinggalkan dalam
arti tidak diakui perkataannya.

7. Kaidah Ketujuh

ِ ‫ﯾُ ْغتَﻔ َُﺮ فِي ﺍلدَّ َو ِﺍم َمﺎ َﻻ ﯾُ ْغتَﻔ َُﺮ فِ ْي‬
ِ‫ﺍإل ْﺑتِدَﺍء‬
“Bisa dimaafkan pada kelanjutan perbuatan dan tidak bisa dimaafkan pada
permulaannya”
Contohnya : Mahasiswa yang menyewa kost atau barak maka diharuskan
membayar uang muka oleh pemilik kost atau barak. Apabila sudah habis pada
waktu penyewaan dan dia ingin melanjutkan sewaan berikutnya, maka dia tidak
perlu membayar uang muka lagi.

8. Kaidah Kedelapan

‫ﺍإل ْﺑتِدَﺍءِ َمﺎ َﻻ ﯾُ ْغتَﻔ َُﺮ فِ ْي ﺍلدَّ َو ِﺍم‬


ِ ‫ﯾُ ْغتَﻔ َُﺮ فِي‬
“Dimaafkan pada permulaan tapi tidak dimaafkan pada kelanjutannya”
Contohnya : Seseorang yang baru masuk Islam dan tidak tahu bahwa judi, berzinah
atau minuman keras itu dilarang atau haram, maka orang tersebut dimaafkan untuk
permulaannya karena ketidaktahuannya.
Selanjutnya, setelah dia mengetahui bahwa judi, berzinah atau minuman
keras hukumnya haram, maka ia harus menghentikan perbuatan haram tersebut.

12
9. Kaidah Kesembilan

َ ‫ﯾُ ْغتَﻔ َُﺮ فِي ﺍلت َّ َﻮﺍ ِﺑع َمﺎ َﻻ ﯾُ ْغتَﻔ َُﺮ فِي‬
‫غي ِْﺮهَﺎ‬
“Dapat dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak dimaafkan pada yang
lainnya”
Contohnya : Pedagang membeli bawang 5 karung di sebuah agen, kemudian
bawang tersebut dipisahkan dari karung, karena karung tersebut mengikuti kepada
bawang yang dijual, dan maksud tidak dimaafkan pada yang lain seperti cincin
emas yang didapatkan dari bawang tersebut dan diketahui pula adalah kepunyaan
pemilik agen.

13
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Didalam agama islam untuk beragama sangatlah dimudahkan untuk
menjalankan agama karena pada dasarnya agama itu mudah. Karena pada dasarnya
kita adalah manusia yang banyak berbuat kesalahan dan juga kita diciptakan lemah
tak berdaya tanpa kehendak Allah. Maka dari itu Agama islam memberikan solusi
agar tetab beribadah kepada Allah dengan jalan yang ringan. Apabila kita
mendapatkan kesulitan maka kita akan selalu berzikir kepada Allah bagaimanapun
kondisinya dan situasinya selama nyawa masih ada.
Sebab-sebab adanya keringanan karena terdesak atau terpaksa. Seperti
pada saat perjalanan jauh. Ketika dalam perjalanan jauh atau musafir waktu sholat
telah tiba dan belum menemukan masjid. Maka, tidak apa-apa sholatnya diqoshor.
Atau dalam keadaan sakit keras kita diperbolehkan tidak berpuasa dan wajib
mengganti hari lain. Dan juga adanya rukhsah. Yakni perubahan hukum dari yang
sukar ke yang mudah. Seperti makan bangkai itu haram, tetapi karena terdesak atau
darurat dan sekiranya tidak makan menyebabkan mati kelaparan maka hukumnya
wajib. Atau sholat sambil duduk. Sebenarnya sholat sambil duduk tidak boleh.
Akan tetapi karena sakit maka sholat sambil duduk tidak apa-apa.
Dengan beberapa metode – metode fiqh yang membuat ringan kita tidak
bisa lagi mencari alasan untuk tidak beribadah kepada Allah karena semua ibadah
yang diciptakan Allah adalah ibadah ringan yang tidak memberatkan. Semua
ibadahnya sesuai fitrah dan kemampuan pada diri manusia.

14
DAFTAR PUSTAKA

Mukhlis usman, MA. Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah. Jakarta: Raja


Grafindo Persada : 1997. Hal 124
Andiko. Toha, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah : Panduan Praktis Dalam Merespon
Problematika Hukum Islam Kontemporer, Yogyakarta : Teras, 2011
Mushaf al – Azhar,(Al Qur’an dan terjemah), Bandung : CV Roudlotul Jannah:
2010.
e-jurnal.stainwatampone.ac.id/index.php/Ekspose/article/download/.../11 di akses
pada tanggal 28 April 2016 pukul 10.22 wib.
http://ahmadzarkasyi-blog.blogspot.co.id/2014/07/kaidah-asasiyyah-tentang-al-
masyaqqah.html di akses pada tanggal 28 April 2016 pukul 10.45
wib.
e-jurnal.stainwatampone.ac.id/index.php/Ekspose/article/download/.../11 di
akses pada tanggal 28 April 2016 pukul 10.22 wib.
Mushaf al – Azhar,(Al Qur’an dan terjemah), CV Roudlotul Jannah, Bandung :
2010. Hlm 28

15

Anda mungkin juga menyukai