Anda di halaman 1dari 14

CHAPTER BOOK

Kaidah Assasiyah Ke-3


“Kesulitan Mendatangkan Kemudahan”
Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah: Qowaid Fiqiyah
Dosen Mata Kuliah: M. Noor Sayuti, B.A, M.E

Oleh :
AAN ALFANIANSYAH
NIM. 1804110349

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKARAYA


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
JURUSAN EKONOMI ISLAM
PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH
TAHUN 2022 M  /  TAHUN 1442 H

I
KATA PENGANTAR
Assalamu`alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas segala karunia dan nikmat-Nya chapter book
yang berjudul “Kaidah Assasiyah ke-3 Kesulitan Mendatangkan Kemudahan” ini dapat
diselesaikan dengan maksimal, tanpa ada kendala yang berarti. Chapter book ini disusun untuk
memenuhi tugas mata kuliah Qowaid Fiqiyah yang diampu oleh Bapak M. Noor Sayuti, B.A,
M.E

Pemilihan tema makalah didasari atas tugas kelompok yang sudah ditentukan dan juga
sebagai pengenalan kepada mahasiswa tentang Qowaid Fiqiyah. Semoga dengan adanya Chapter
book ini menambah pengetahuan dan pemahaman bagi kita semua.

Saya sadari, bahwa tidak ada pekerjaan manusia yang sempurna. Karena dari itu segala
kekurangan yang ada di dalam Chapter book baik dari segi penyusunan makalah, EYD, kosa-
kata, tata bahasa, etika maupun isi. Saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari pembaca sekalian untuk kami jadikan sebagai bahan evaluasi.

Demikian, semoga chapter book ini dapat diterima sebagai bahan pembelajaran dan
menambah wawasan kita semua.

Wassalamu`alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Palangkaraya, 20 Juni 2022

PENULIS

II
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..........................................................................................i

KATA PENGANTAR ......................................................................................ii

DAFTAR ISI .....................................................................................................iii

BAB I PEMBAHASAN
A. Kaidah 3 Al-Masyaqqatu Tajlibut Taisir (Kesulitan Mendatangkan Kemudahan)….. 4
B. Jenis Kemudahan……………………………………………………...………………6
C. Sebab – sebab keringanan………………………………………………..9
D. Kaidah-Kaidah Turunan dari Kaidah Ketiga…………………………...……………10

BAB II PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………………………………13

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................

III
BAB I
PEMBAHASAN

A. Kaidah 3 Al-Masyaqqatu Tajlibut Taisir (Kesulitan Mendatangkan Kemudahan)

Sesungguhnya Allah telah menurunkan agama kepada umat manusia. Bersamaan


dengannya, Allah menurunkan pula beban-beban syariat kepada manusia agar manusia
bisa beribadah dengannya. Meskipun demikian, seluruh syariat-syariat yang dibebankan
kepada umat manusia tersebut khususnya umat Islam jika direnungkan akan dijumpai
kebijaksanaan Allah yang sangat besar, walaupun sebagian manusia menganggapnya
berat. Allah melarang meminum khamr, melarang berzina, mengharamkan musik,
hakikatnya itu semua maslahatnya kembali kepada hamba. Allah tahu apa yang terbaik
bagi hambaNya, Allah tahu dimana letak kebahagiaan hambaNya, dan Allah tahu hamba
bisa melaksanakan segala perintahNya serta menghindari segala laranganNya. Karena
sesungguhnya Islam adalah agama yang mudah.
Ada banyak dalil yang menunjukkan bahwa agama Islam adalah agama yang
sangat mudah, terlebih apabila dibandingkan dengan agama yahudi, nasrani, dan agama-
agama lainnya. Sebagai contoh dalam masalah menyikapi wanita haidh, maka agama
Islam adalah agama yang wasath (berada di pertengahan) antara agama Yahudi dan
Nasrani. Yahudi dalam menyikapi wanita haidh mereka berlebih-lebihan, mereka benar-
benar menjauhinya, tidak mengajaknya makan, tidak diajak tidur bersama, apalagi
bermesraan dengannya apabila istrinya tersebut haidh. Lain pula dengan Nasrani yang
begitu bermudah-mudahan, antara yang haidh dan tidak sama saja, bahkan mereka tetap
mencampuri istri-istri mereka di kemaluannya walaupun dalam keadaan haidh.
Islam datang dengan sikap pertengahan antara Yahudi dan Nasrani. Wanita haidh
dilarang untuk digauli di kemaluannya akan tetapi diperbolehkan apabila digauli pada
bagian yang lain, diajak makan tidak masalah, diajak tidur bersama pun tidak mengapa.
Sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi kepada ‘Aisyah saat dia haidh. ’Aisyah
radhiyallahu ‘anha menceritakan,

‫ ثُ َّم يُبَا ِش ُرنِي‬،‫ت يَْأ ُم ُرنِي َأ ْن َأتَّ ِز َر‬


ُ ْ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ِإ َذا ِحض‬
َ ِ ‫َكانَ َرسُو ُل هَّللا‬

4
“Apabila saya haid, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruhku untuk memakai
sarung kemudian beliau bercumbu denganku.” (HR Ahmad 25563, dinilai shahih oleh
Al-Albani)Ini adalah salah satu contoh yang menunjukkan bahwa Islam adalah agama
yang berada di pertengahan antara yang ifrath (berlebih-lebihan) dan tafrith (bermudah-
mudahan). Nabi bersabda,

ُ ‫ِإنِّي ُأرْ ِس ْل‬


‫ت بِ َحنِيفِيَّ ٍة َس ْم َح ٍة‬

“Aku diutus dengan (membawa agama) hanifiyyah yang mudah.” (HR Ahmad no.
25962)
Asas kemudahan ini pula lah yang menjadi dasar agama ini. Allah menurunkan
agama Islam bersama dengan kemudahan-kemudahan. Allah berfirman,

‫ي ُِري ُد هَّللا ُ بِ ُك ُم ْاليُ ْس َر َواَل ي ُِري ُد بِ ُك ُم ْال ُعس َْر‬

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”


(QS Al-Baqarah : 185)

Allah juga berfirman,

ٍ ‫ۚ َو َما َج َع َل َعلَ ْي ُك ْم فِي الدِّي ِن ِم ْن َح َر‬


‫ج‬

“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.
” (QS Al-Hajj : 78)

Nabi bersabda,

َ‫اس…تَ ِعينُوا بِ ْالغَ… ْد َو ِة َوالرَّوْ َح… ِة َو َش… ْى ٍء ِمن‬


ْ ‫ َو‬، ‫…اربُوا َوَأب ِْش…رُوا‬
ِ َ‫ فَ َس… ِّددُوا َوق‬، ُ‫ َولَ ْن يُ َشا َّد ال… ِّدينَ َأ َح… ٌد ِإالَّ َغلَبَ…ه‬، ‫ِإ َّن ال ِّدينَ يُ ْس ٌر‬
‫ال ُّد ْل َج ِة‬

5
“Sesungguhnya agama (Islam) mudah, tidak ada seorang pun yang hendak menyusahkan
agama (Islam) kecuali ia akan kalah. Maka bersikap luruslah, mendekatlah,
berbahagialah dan manfaatkanlah waktu pagi, sore dan ketika sebagian malam tiba.” (HR
Bukhari no. 39)

B. Jenis Kemudahan
Kemudahan (At-Takhfif) dalam Islam yang diberikan oleh Allah secara garis
besar dimaksudkan dalam dua hal, yaitu :

1. ْ ‫( اََأْل‬Al-Ashl) ; agama Islam pada asalnya adalah agama yang mudah


‫ص ُل‬

Telah dibahas sebelumnya bahwa agama Islama adalah agama yang mudah. Inilah
maksud dari kemudahan yang diberikan oleh secara ashl yaitu pada asalnya Islam itu
keseluruhannya adalah agama yang sangat mudah. Sebagai contoh, shalat wajib yang
dibebankan kepada umat Islam hanyalah 5 waktu dalam sehari yang awalnya 50 waktu.
Bersamaan dengan itu, 5 waktu tersebut tetap bisa senilai pahala 50 waktu. Dalam sebuah
hadits

‫ م……ا ف…رض هللا ل……ك على‬: ‫ففرض هللا عز وجل على أمتي خمسين صالة فرجعت بذلك ح……تى م……ررت على موس……ى فق……ال‬
، ‫ ف…راجعت فوض…ع ش…طرها‬، ‫ ف…ارجع إلى رب…ك ف…إن أمت…ك ال تطي…ق ذل…ك‬: ‫ ق…ال‬، ‫ فرض خمسين ص…الة‬: ‫أمتك ؟ قلت‬
، ‫ ف……راجعت فوض……ع ش……طرها‬، ‫ راج……ع رب……ك ف……إن أمت……ك ال تطي……ق‬: ‫ فق……ال‬، ‫ وض……ع ش……طرها‬: ‫ قلت‬، ‫فرجعت إلى موس……ى‬
‫ ال يب……دل‬، ‫ وهي خمس……ون‬، ‫ هي خمس‬: ‫ فق……ال‬، ‫ فراجعته‬، ‫ ارجع إلى ربك فإن أمتك ال تطيق ذلك‬: ‫ فقال‬، ‫فرجعت إليه‬
‫ استحييت من ربي‬: ‫ فقلت‬، ‫ راجع ربك‬: ‫ فقال‬، ‫ فرجعت إلى موسى‬، ‫القول لدي‬

“Allah mewajibkan atas umatku 50 shalat dan aku kembali dengan perintah itu, sampai
aku melewati nabi Musa di mana dia bertanya, “Apa yang Allah wajibkan kepada
umatmu?” Aku menjawab, “Allah mewajibkan 50 shalat.”

Musa berkata, “Kembali kepada tuhanmu, karena umatmu tidak akan kuat atas
perintah itu.” Maka aku kembali dan Allah menghapuskan separuhnya dan aku kembali
kepada Musa dan berkata, “Allah telah menghapuskan sepatuhnya.”

6
Musa berkata lagi, “Kembali kepada tuhanmu, karena umatmu tidak akan kuat
atas perintah itu.” Maka aku kembali dan Allah menghapuskan separuhnya dan aku
kembali kepada Musa. Musa berkata lagi, “Kembali kepada tuhanmu, karena umatmu
tidak akan kuat atas perintah itu.” Maka aku kembali dan Allah berkata, “Shalat itu lima
(waktu) dan dinilai lima puluh (pahalanya) dan perkataan-Ku tidak akan berganti.” Aku
kembali lagi kepada Musa.

Musa berkata lagi, “Kembali kepada tuhanmu.” Namun aku berkata, “Aku sudah
malu kepada tuhanku.” (HR Bukhari no. 342 dan Muslim no. 163)

Contoh lainnya adalah puasa ramadhan. Puasa dibebankan kepada umat Islam sebagai
bukti penghambaannya kepada Allah. Bersamaan dengan itu, puasa hanya diwajibkan
satu bulan penuh, tidak satu tahun. Demikian pula zakat hanya diwajibkan membayarkan
2,5% dari total harta kita apabila telah mencapai nishab.

2. ‫( اَلطَّا ِرُئ‬At-Thari’) ; keringanan tambahan karena ada sebab

Selain keringanan yang secara asal telah melekat pada Islam, Allah juga
memberikan keringanan-keringanan tambahan pada syariat-syariat tertentu karena adanya
sebab-sebab tertentu. Diantara bentuk keringanan tersebut adalah:

 ُ‫سقَاط‬
ْ ‫( اَِإْل‬pengguguran)

Contohnya, orang yang sakit, orang yang sedang melakukan perjalanan


(musafir) dan seorang budak, digugurkan dari mereka kewajiban shalat
jumat. Contoh lain, orang yang miskin atau tidak mampu, tidak
diwajibkan bagi mereka menunaikan
ibadah haji.

 ُ ِ‫( اَلتَّ ْنق‬pengurangan)


‫يص‬

7
Contohnya, seorang musafir diperbolehkan baginya mengurangi jumlah
rakaat pada shalat dhuhur, ashar, dan isya yang dia lakukan (shalat
qashar).

 ‫( اَلتَّ ْق ِد ْي ُم َو التَّْأ ِخ ْي ُر‬mendahulukan dan mengakhirkan)

Contohnya, pada shalat jamak, diperbolehkan apabila ada hajat untuk


mendahulukan shalat ashar ke waktu dhuhur, atau mengakhirkan shalat
dhuhur ke waktu ashar. Contoh lain, diperbolehkan bagi seseorang yang
ingin membayar zakat sebelum waktunya (sebelum haul setahun) jika
sudah mencapai nishab.

 ُ ‫( اَلت َّْر ِخ ْي‬keringanan)


‫ص‬

Contohnya, jika ada najis yang sedikit yang susah dihilangkan maka
seperti ini syariat memberi keringanan dan memaafkan apabila tidak bisa
benar-benar bersih.

 ‫( اَلتَّ ْغيِ ْي ُر‬perubahan)

Contohnya, shalat khauf saat peperangan, sifat shalat khauf memiliki


bentuk yang berbeda dengan shalat pada umumnya, bahkan apabila perang
terus berkecamuk, diizinkan baginya shalat di atas kendaraannya dengan
sifat shalat semampunya.

 ‫( اَِإْل ْبدَا ُل‬penggantian)

8
Contohnya, apabila seseorang tidak sanggup mandi atau berwudhu maka
boleh
digantikan dengan tayammum.

 ‫( اَلت َّْخيِ ْي ُر‬pilihan)

Contohnya, pada kaffarah melanggar sumpah, diperbolehkan baginya


memilih ingin membayar kaffarah dengan memberi makan 10 orang
miskin, atau memberi pakaian 10 orang miskin, atau membebaskan budak,
sebelum berpindah pada pilihan untuk berpuasa tiga hari.

C. Sebab-Sebab Keringanan

Diantara sebab-sebab sehingga Allah menurunkan keringanan kepada para hambanya


dengan berbagai macamnya, yaitu:

 Karena sakit
 Karena safar
 Karena lupa
 Karena ketidaktahuan
 Karena dipaksa
 Karena umum dialami di tengah manusia (‫ ) َما تَ ُع ُّم بِ ِه ْالبَ ْل َوى‬dan hampir tidak bisa dihindari.

9
D. Kaidah-Kaidah Turunan dari Kaidah Ketiga

َ َّ‫ق اَأْل ْم ُر اِت‬


1. ‫س َع‬ َ ‫( ِإ َذا‬Jika kondisi sempit maka diberikan kelapangan)
َ ‫ضا‬

Contohya, disyariatkannya shalat qashar untuk seorang musafir yang sedang


melakukan perjalanan demikian pula shalat khauf ketika perang dengan tata caranya yang
berbeda dengan shalat pada umumnya. Allah berfirman,

‫صاَل ِة ِإ ْن ِخ ْفتُ ْم َأن يَ ْفتِنَ ُك ُم الَّ ِذينَ َكفَرُوا‬ ُ ‫ْس َعلَ ْي ُك ْم ُجنَا ٌح َأن تَ ْق‬
َّ ‫صرُوا ِمنَ ال‬ ِ ْ‫ض َر ْبتُ ْم فِي اَأْلر‬
َ ‫ض فَلَي‬ َ ‫ۚ وَِإ َذا‬

“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar
sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir.” (QS An-Nisa’ : 101)

Contoh lain, seseorang yang tidak sanggup melunasi hutangnnya pada tempo yang telah
ditentukan. Kemudian dia meminta temponya diperpanjang, maka wajib bagi orang yang
menghutanginya untuk menambah tempo waktu pelunasannya, Allah berfirman,

َ َ‫َوِإن َكانَ ُذو ُعس َْر ٍة فَنَ ِظ َرةٌ ِإلَ ٰى َم ْي َس َر ٍة ۚ َوَأن ت‬


َ‫ص َّدقُوا َخ ْي ٌر لَّ ُك ْم ۖ ِإن ُكنتُ ْم تَ ْعلَ ُمون‬

“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia
berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu,
jika kamu mengetahui.” (QS Al-Baqarah : 280)

ِ ‫ض ُر ْو َراتُ تُبِ ْي ُح ا ْل َم ْحظُ ْو َرا‬


2. ‫ت‬ َّ ‫( اَل‬Keadaan darurat membolehkan sesuatu yang sebelumnya
haram)
Keadaan darurat adalah suatu keadaan dimana nyawanya, agamanya, atau
hartanya bisa terancam. Apabila seseorang mengalami keadaan seperti ini maka
diperbolehkan baginya untuk mengambil keharaman tersebut sekadar kebutuhannya
(sebagaimana kaidah berikutnya). Allah berfirman,

10
ۚ ‫…اغ َواَل َع……ا ٍد فَاَل ِإ ْث َم َعلَ ْي… ِه‬ ‫ُأ‬
ٍ …َ‫ير َو َما ِه َّل بِ ِه لِ َغي ِْر هَّللا ِ ۖ فَ َم ِن اضْ طُ َّر َغ ْي َر ب‬ ِ ‫ِإنَّ َما َح َّر َم َعلَ ْي ُك ُم ْال َم ْيتَةَ َوال َّد َم َولَحْ َم ْال ِخ‬
ِ ‫نز‬
ِ ‫ِإ َّن هَّللا َ َغفُو ٌر ر‬
‫َّحي ٌم‬

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi,


dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa
dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak
(pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Baqarah : 173)

Allah juga berfirman,

‫ف ِإِّل ْث ٍم ۙ فَِإ َّن هَّللا َ َغفُو ٌر َّر ِحي ٌم‬ َ ‫فَ َم ِن اضْ طُ َّر فِي َم ْخ َم‬
ٍ ِ‫ص ٍة َغ ْي َر ُمتَ َجان‬

“Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa,
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Maidah : 3)

Sebagai contoh, seseorang yang tersesat di tengah hutan tanpa bekal makanan
atau kehabisan bekal makanan. Agar dia tetap bertahan hidup, dia harus tetap makan
makanan, namun yang dijumpai hanya babi dan tidak menjumpai makanan halal lainnya.
Maka pada saat itu diperbolehkan baginya makan daging babi tersebut sekadar
kebutuhannya.

3. ‫ض ُر ْو َراتُ تُقَ َّد ُر بِقَ َد ِرهَا‬


َّ ‫( اَل‬Darurat harus diukur seperlunya saja)

Kaidah ini adalah pelengkap kaidah sebelumnya. Keharaman yang boleh


dikonsumsi karena darurat hanya diperbolehkan sebatas kebutuhannya, tidak boleh lebih
dari itu atau bahkan berpuas-puas dengannya. Allah berfirman,

ۚ ‫…اغ َواَل َع……ا ٍد فَاَل ِإ ْث َم َعلَ ْي… ِه‬ ‫ُأ‬


ٍ …َ‫ير َو َما ِه َّل بِ ِه لِ َغي ِْر هَّللا ِ ۖ فَ َم ِن اضْ طُ َّر َغ ْي َر ب‬ ِ ‫ِإنَّ َما َح َّر َم َعلَ ْي ُك ُم ْال َم ْيتَةَ َوال َّد َم َولَحْ َم ْال ِخ‬
ِ ‫نز‬
ِ ‫ِإ َّن هَّللا َ َغفُو ٌر ر‬
‫َّحي ٌم‬

11
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi,
dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa
dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak
(pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Baqarah : 173)

Seperti pada contoh sebelumnya, babi yang dia makan karena keadaan darurat
tidak boleh melebihi kebutuhannya. Kebutuhannya adalah hanya sampai pada kadar yang
membuat dia tetap bertahan hidup, dia tidak boleh melampaui batas dan makan sampai
kenyang, sebagaimana yang telah diisyaratkan di dalam ayat.

12
BAB II
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada kaidah assasiyah ketiga ini yaitu ksulitan mendatangkan kemudahan
menunjukkan bahwa agama Islam adalah agama yang sangat mudah, terlebih apabila
dibandingkan dengan agama yahudi, nasrani, dan agama-agama lainnya.
Karena sesungguhnya Allah telah menurunkan agama kepada umat manusia.
Bersamaan dengannya, Allah menurunkan pula beban-beban syariat kepada manusia agar
manusia bisa beribadah dengannya. Meskipun demikian, seluruh syariat-syariat yang
dibebankan kepada umat manusia tersebut khususnya umat Islam jika direnungkan akan
dijumpai kebijaksanaan Allah yang sangat besar, walaupun sebagian manusia
menganggapnya berat. Allah melarang meminum khamr, melarang berzina,
mengharamkan musik, hakikatnya itu semua maslahatnya kembali kepada hamba. Allah
tahu apa yang terbaik bagi hambaNya, Allah tahu dimana letak kebahagiaan hambaNya,
dan Allah tahu hamba bisa melaksanakan segala perintahNya serta menghindari segala
laranganNya. Karena sesungguhnya Islam adalah agama yang mudah.

13
DAFTAR PUSTAKA

Rahman, Asjmuni A. Drs. H. 1976. Qa’idah-Qa’idah Fiqih (Qawa’idul Fiqhiyyah), Jakarta :


Bulan Bintang.

Al-Sayid, Muhammad Ali, 1996, Tafsir ayat al-Ahkam, Bayrut: Dar al-Fikr

Arfan, Abbas, 2013, 99 Kaidah Fiqh Muamalah Kulliyah, Malang: UIN


Maliki Press

Al-Zarqa’, Syaikh ahmad bin syaikh muhammad. 1989, syarhu al-Qawaid al-Fiqhiyyah, , cet. 2
Damaskus: dar al-Qalam

Mujib, M. Abdul, 1994, Kamus Istilah Fikih, Jakarta: Pustaka Firdaus Wiroso, 2005, Jual Beli
Murabahah, Yogyakarta: UII Press.

Dahlan, Abdul Aziz, 1997, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid IV, Jakarta:
Ichtiar Baru van Houve

Djazuli, 2006, Kaidah-Kaidah Fikih, Jakarta: kencna Prenada media Grup

14

Anda mungkin juga menyukai