Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

“NU, AHLU SUNNAH WALJAMAAH DAN ISU ISU GLOBAL”

Disusun oleh:

KELOMPOK 4

Nur Ainun
Elsa Manora
Riri Agustina

Dosen Pengampu:
Dr. Fahrizal ,M.pd
DAFTAR ISI

Halam (Cover) ............................................................................................


Daftar Isi.......................................................................................................
Bab I Pendahuluan
1.1. latar belakang........................................................................................
1.2. Rumusan Masalah.................................................................................
Bab II Pembahasan
2.1. Konsep NU tentang ASWAJA...............................................................
2.2.3 Aspek Paham ASWAJA ....................................................................
2.3. Inplentasi Paham ASWAJA Di NU......................................................
2.4.NU Dan Isu-Isu Global...........................................................................
Bab III Penutup
3.1.Kesimpulan ............................................................................................
3.2. Saran......................................................................................................

Daftar Pustaka
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatuh
Segala puji bagi ALLAH SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makala ini dengan tepat waktu. tampa pertolongan-nya tentu kami tidak
akan sanggup untuk menyelesaikan makala ini dengan baik. shalawat serta salam semoga
terlimpah curakan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-
natikan syafa’atnya di akhir nanti.
Kami mengucap syukur kepada ALLAH SWT atas limpahan nikmat sehatnya,baik itu
berupa sehat fisik maupun sehat akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makala dengan judul “ NU, AHLUSUNNAH WALJAMAAH DAN ISU-ISU
GLOBAL”
Kami tentu menyadari bahwa makala ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. untuk itu penulis mengharapkan saran
kritik dari teman teman maupun dosen. demi tercapai makala yang sempurna. akhir kata kami
mengucaopkan terimakasih
Wallahul muwafiq ila aqwamith thariq wassalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perhelatan Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 2015 seolah menjadi
momentum penting bagi organisasi masyarakat (ormas) terbesar di Indonesia ini untuk
semakin mengokohkan peran dan fungsi strategisnya di tengah dinamika masyarakat
baik pada skala nasional maupun global. Mengapa demikian? Setidaknya terdapat
beberapa alasan, yaitu: Pertama, mengacu pada blue-print ASEAN Community dapat
diketahui bahwa saat ini merupakan tahun dimana masyarakat ASEAN akan segera
memasuki tatanan baru dalam hubungan antar-negara. Masyarakat ASEAN telah
menjadi satu komunitas yang semakin terintegrasi baik dalam bidang politik, ekonomi,
sosial, budaya, dan pertahanan keamanan. Fenomena inilah yang saya sebut sebagai “Era
Kenusantaraan Kembali (Re-Nusantara Era)” bagi Masyarakat ASEAN. Disebut
demikian karena pada abad ke-13 sesungguhnya nenek moyang kita telah mengalami hal
yang sedemikian. Masyarakat ASEAN berada dalam satu persekutuan di bawah
kekuasaan Majapahit.
Kedua, dalam konteks geopolitik internasional tahun 2015 terjadi momentum
penting yang menurut para analis menyebutnya sebagai lahirnya babakan baru
berakhirnya era unipolar menuju bipolar. Hal ini ditandai dengan bangkitnya kekuatan
dari “Timur” yaitu China dan Rusia sebagai kekuatan penyeimbang yang selama ini
didominasi Amerika Serikat dan Sekutunya. Pada saat peringatan kekalahan Nazi pada
perang dunia kedua yang dipusatkan di Rusia, China dan beberapa negara memperingati
dengan parade militer dan pasukan China pun terlibat dalam kegiatan tersebut. Hal yang
belum pernah terjadi pasca runtuhnya Uni Soviet. Situasi geopolitik yang lain adalah
terjadinya konflik bersenjata di Yaman yang melibatkan Saudi Arabia dan Iran. Dua
negara yang senantiasa berebut pengaruh di Timur Tengah. Perseteruan ini juga
membawa implikasi pada munculnya konflik laten antara sunni dan syi’i di dalam dunia
Islam.

B. Rumusan Masalah
1. Mengapa NU identik dengan ajran aswaja?
2. Aspek apa saja yang di bahas dalam aswaja?
3. Mengapa warga NU mengikuti paham aswaja?
4. Apa saja contoh isu global yang berkembang saat ini?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep NU tentang aswaja


Khashaish Ahlussunnah wal Jamaah An-Nahdhiyah Islam sebagai agama samawi
terakhir memiliki banyak ciri khas (khashaish) yang membedakannya dari agama lain.
Ciri khas Islam yang paling menonjol adalah tawassuth, ta’adul, dan tawazun. Ini adalah
beberapa ungkapan yang memiliki arti yang sangat berdekatan atau bahkan sama. Oleh
karena itu, tiga ungkapan tersebut bisa disatukan menjadi “wasathiyah”. Watak
wasathiyah Islam ini dinyatakan sendiri oleh Allah SWT di dalam Al-Qur’an,
‫َو َك َذ ِلَك َجَع ْلَناُك ْم ُأَّم ًة َو َس ًطا ِلَتُك وُنوا ُش َهَداَء َع َلى الَّناِس َو َيُك وَن الَّرُسوُل َع َلْيُك ْم َش ِهيًدا‬
“Dan demikian (pula) kami menjadikan kamu (umat Islam), umat penengah (adil
dan pilihan), agar kamu menjadi saksi atas seluruh manusia dan agar Rasul (Muhammad
SAW) menjadi saksi atas kamu.” (QS. Al-Baqarah;143)
Nabi Muhammad SAW sendiri menafsirkan kata ‫ َو َس ًطا‬dalam firman Allah di atas
dengan adil, yang berarti fair dan menempatkan sesuatu pada tempatnya. Perubahan
fatwa karena perubahan situasi dan kondisi, dan perbedaan penetapan hukum karena
perbedaan kondisi dan psikologi seseorang adalah adil.Selain ayat di atas, ada beberapa
ayat dan hadits yang menunjukkan watak wasathiyah dalam Islam, misalnya firman
Allah:
‫َو اَل َتْج َع ْل َيَدَك َم ْغ ُلوَلًة ِإَلى ُع ُنِقَك َو اَل َتْبُس ْطَها ُك َّل اْلَبْس ِط َفَتْقُعَد َم ُلوًم ا َم ْح ُسوًرا‬
“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah
kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” (QS. Al-
Isra’: 29) Dalam firman-Nya yang lain,
‫َو اَل َتْج َهْر ِبَص اَل ِتَك َو اَل ُتَخ اِفْت ِبَها َو اْبَتِغ َبْيَن َذ ِلَك َس ِبياًل‬
“Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula
merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.” (QS. Al-Isra’: 110)
Sementara dalam hadits dikatakan,
‫َخْيُر ْاُألُم ْو ِر َأْو َس اُطَها‬
“Sebaik-baik persoalan adalah sikap-sikap moderat.”
Mirip dengan hadits di atas adalah riwayat,
‫َو َخْيُر ْاَألْع َم اِل َأْو َس ُطَها َو ِد ْيُن ِهللا َبْيَن اْلَقاِس ْى َو اْلَغاِلْى‬
“Dan sebaik-baik amal perbuatan adalah yang pertengahan, dan agama Allah itu berada
di antara yang beku dan yang mendidih.”
Wasathiyyah yang sering diterjemahkan dengan moderasi itu memiliki beberapa
pengertian sebagai berikut:
Pertama, keadilan di antara dua kezhaliman (‫ )عدل بين ظلمين‬atau kebenaran di
antara dua kebatilan (‫)حق بين باطلين‬, seperti wasathiyah antara atheisme dan poletheisme.
Islam ada di antara atheisme yang mengingkari adanya Tuhan dan poletheisme yang
memercayai adanya banyak Tuhan. Artinya, Islam tidak mengambil paham atheisme dan
tidak pula paham poletheisme, melainkan paham monotheisme, yakni paham yang
memercayai Tuhan Yang Esa. Begitu juga wasathiyyah antara boros dan kikir yang
menunjuk pada pengertian tidak boros dan tidak kikir. Artinya, Islam mengajarkan agar
seseorang di dalam memberi nafkah tidak kikir dan tidak pula boros, melainkan ada di
antara keduanya, yaitu al-karam dan al-jud. Allah berfirman;
‫َو اَّلِذ يَن ِإَذ ا َأْنَفُقوا َلْم ُيْس ِرُفوا َو َلْم َيْقُتُروا َو َك اَن َبْيَن َذ ِلَك َقَو اًم ا‬
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan,
dan
tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang
demikian.” (QS. Al-Furqan: 67)
Kedua, pemaduan antara dua hal yang berbeda/berlawanan. Misalnya,
(a). wasathiyyah antara rohani dan jasmani yang berarti bahwa Islam bukan hanya
memerhatikan aspek rohani saja atau jasmani saja, melainkan memerhatikan keduanya.
Wasathiyyah antara nushûs dan maqâshid. Itu berarti Islam tak hanya fokus pada nushûs
saja atau maqâshid saja, melainkan memadukan antara keduanya.
(b). Islam pun merupakan agama yang menyeimbangkan antara `aql dan naql.
Bagi Islam, akal dan wahyu merupakan dua hal yang sama-sama memiliki peranan
penting yang sifatnya komplementer (saling mendukung antara satu sama lain). Kalau
diibaratkan dengan pengadilan, akal berfungsi sebagai syahid (saksi) sementara wahyu
sebagai hakim, atau sebaliknya, yakni akal sebagai hakim sementara wahyu sebagai
syahid.
(c). Islam menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat, antara individu dan
masyarakat, antara ilmu dan amal, antara ushul dan furu’, antara sarana (wasilah) dan
tujuan (ghayah), antara optimis dan pesimis, dan seterusnya. Ketiga, realistis
(wâqi’iyyah). Islam adalah agama yang realistis, tidak selalu idealistis.
Islam memunyai cita-cita tinggi dan semangat yang menggelora untuk
mengaplikasikan ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan hukumnya, tapi Islam tidak
menutup mata dari realitas kehidupan yang–justru–lebih banyak diwarnai hal-hal yang
sangat tidak ideal. Untuk itu, Islam turun ke bumi realitas daripada terus menggantung di
langit idealitas yang hampa. Ini tidak berarti bahwa Islam menyerah pada pada realitas
yang terjadi, melainkan justru memerhatikan realitas sambil tetap berusaha untuk
tercapainya idealitas.
Contoh wasathiyyah dalam arti waqi’iyyah ini adalah pemberlakuan hukum
‘azîmah dalam kondisi normal dan hukum rukhshah dalam kondisi dharurat atau hajat.
Watak wasathiyyah dalam Islam Ahlussunnah wal Jama’ah tercermin dalam semua
aspek ajarannya, yaitu akidah, syariah, dan akhlaq/tasawwuf serta dalam manhaj. Dalam
jam’iyyah Nahdlatul Ulama sebagai bagian dari golongan Ahlussunnah wal Jama’ah,
watak wasathiyyah tersebut antara lain terjadi dalam hal-hal sebagai berikut:
Melandaskan ajaran Islam kepada Al-Qur’an dan As-sunnah sebagai sumber pokok dan
juga kepada sumber-sumber sekunder yang mengacu pada Al-Qur’an dan As-sunnah
seperti ijma’ dan qiyas. Menjadikan ijtihad sebagai otoritas dan aktifitas khusus bagi
orang-orang yang memenuhi syarat-syarat tertentu yang tidak mudah untuk dipenuhi.
Sedangkan bagi yang tidak memenuhi syarat-syarat ijtihad, tidak ada jalan lain kecuali
harus bermazhab dengan mengikuti salah satu dari mazhab-mazhab yang diyakini
penisbatannya kepada ashabul madzahib. Namun, Nahdlatul Ulama membuka ruang
untuk bermazhab secara manhaji dalam persoalan-persoalan yang tidak mungkin
dipecahkan dengan bermazhab secara qauli. Pola bermazhab dalam NU berlaku dalam
semua aspek ajaran Islam; aqidah, syariah/fiqh, dan akhlaq/tasawwuf, seperti dalam
rincian berikut:
(a). Di bidang syariah/fiqh, Nahdlatul Ulama mengikuti salah satu dari mazhab empat,
yaitu mazhab Imam Abu Hanifah, mazhab Imam Malik ibn Anas, mazhab Imam
Muhammad bin Idris as-Syafii dan mazhab Imam Ahmad bin Hanbal.
(b). Di bidang aqidah mengikuti mazhab Imam Abul Hasan al-Asy’ari dan mazhab
Imam Abu Manshur al-Maturidi.
(c). Di bidang akhlaq/tasawuf mengikuti mazhab Imam al-Junaid al-Baghdadi dan
mazhab Imam Abu Hamid al-Ghazali. Berpegang teguh pada petunjuk Al-Qur’an di
dalam melakukan dakwah dan amar makruf nahi mungkar, yaitu dakwah dengan
hikmah/kearifan, mau’izhah hasanah, dan mujadalah bil husna. Sebagai salah satu
wujud dari watak wasathiyyah dengan pengertian al-waqi’iyyah (realistis), Nahdlatul
Ulama menghukumi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dengan Pancasila
sebagai dasarnya sebagai sebuah negara yang sah menurut pandangan Islam dan tetap
berusaha secara terus menerus melakukan perbaikan sehingga menjadi negara adil
makmur berketuhanan Yang Maha Esa.
Mengakui keutamaan dan keadilan para shahabat Nabi, mencintai dan
menghormati mereka serta menolak dengan keras segala bentuk penghinaan dan
pelecehan terhadap mereka apalagi menuduh mereka kafir. Tidak menganggap siapa
pun setelah Nabi Muhammad saw sebagai pribadi yang ma’shum (terjaga dari kesalahan
dan dosa). Perbedaan yang terjadi di kalangan kaum muslimin merupakan salah satu
dari fitrah kemanusiaan. Karena itu, menghormati perbedaan pendapat dalam masa`il
furu`iyyah-ijtihadiyah adalah keharusan. Nahdlatul Ulama tak perlu melakukan klaim
kebenaran dalam masalah ijtihadiyyah tersebut. Menghindari hal-hal yang
menimbulkan permusuhan seperti tuduhan kafir kepada sesama muslim, ahlul qiblah.
Menjaga ukhuwwah imaniyyah-islamiyyah di kalangan kaum muslimin dan ukhuwwah
wathaniyyah terhadap para pemeluk agama-agama lain. Dalam konteks NU, menjaga
ukhuwwah nahdliyyah adalah niscaya terutama untuk menjaga persatuan dan
kekompakan seluruh warga NU. Menjaga keseimbangan antara aspek rohani dan
jasmani dengan mengembangkan tasawwuf `amali, majelis-majelis dzikir, dan sholawat
sebagai sarana taqarrub ilallah di samping mendorong umat Islam agar melakukan kerja
keras untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka

B. 3 Ospek paham Ahlussunnah Wal Jamaah dan Posisinya di Antara Aliran Lain
Ahlussunnah Wal Jamaah merupakan pemahaman tentang akidah yang
berpedoman pada sunnah Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Paham ini terus
berkelanjutan hingga saat ini dan diikuti oleh sebagian besar umat Muslim di dunia.
Imam Ibn Hazm dalam kitabnya yang berjudul Al-Fashl Bainal Milal wan Nihal
mengatakan, kelompok yang masuk dalam kategori Ahlussunnah Wal Jamaah adalah
yang berpijak kepada kebenaran, termasuk didalamnya adalah ahli hadits, fikih, dan
lainnya dari masa ke masa. Selain dari golongan mereka berarti merupakan kelompok
pelaku bid’ah.
Lantas, apa sajakah ajaran pokok Ahlussunnah Wal Jamaah?
Ajaran Pokok Ahlussunnah Wal Jamaah
Fatih Syuhud menjelaskan dalam buku Ahlussunnah Wal Jamaah, ideologi dan perilaku
Ahlussunnah Wal Jamaah dapat terangkum dalam tiga ajaran pokok, yaitu iman, islam,
dan ihsan. Berikut jabaran dari ketiga ajaran pokok Ahlussunnah Wal Jamaah:
1. Iman
Iman adalah keyakinan hati seorang mukmin terhadap kebenaran ajaran-ajaran
Islam. Baik itu meliputi hal-hal tentang ketuhanan, tentang kenabian, dan tentang hal-hal
gaib yang telah dijelaskan dalam Alquran dan Al-Hadits.
2. Islam (Ilmu Fikih)
Islam dapat terwujud dengan melaksanakan hukum dan aturan fikih yang telah
ditetapkan oleh Alquran dan Al-Hadits dengan berbagai perangkat pemahamannya.
Untuk saat ini, dari sekian banyak madzhab yang berkembang di masa awal Islam, hanya
ada 4 madzhab yang sanggup bertahan, yaitu:
Madzhab Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali. Sedangkan yang lain sudah tidak
ada generasi yang meneruskan, maka madzhabnya tidak terjaga keasliannya.
3. Ihsan (Tasawuf)
Tasawuf adalah usaha untuk menjaga hati agar dalam berperilaku dan bertingkah
laku selalu menuju satu harapan, yakni mengharap ridha Allah SWT sebagai wujud dari
ihsan. Hal itu terwujud dengan mengetahui seluk-beluk penyakit hati dan mengobatinya
dengan senantiasa bermujahadah dengan amal baik serta selalu bermunajat kepada Allah
SWT.
Posisi Ahlussunnah Wal Jamaah di antara Aliran LainPerbesar
Mengutip buku Pendidikan Islam Risalah Ahlussunnah Wal Jama’ah An-
Nahdliyah Kajian Tradisi Islam Nusantara karya Subaidi, munculnya aliran-aliran
dalam Islam cenderung disebabkan oleh aspek politik daripada unsur agama. Ini terlihat
dari pertentangan ketika pergantian khalifah dari Utsman bin Affan ke Ali bin Abi
Thalib.
Pihak pertama, Thalhah dan Zubair (Mekkah) mendapat dukungan dari Aisyah.
Tantangan dari Thalhah-Zubair-Aisyah ini dapat dipatahkan oleh Ali dalam perang
Siffin di Irak pada tahun 656 M. Dalam pertempuran tersebut, Tholhah dan Zubair mati
terbunuh dan Aisyah dikirim kembali ke Mekkah.
Pihak kedua adalah Muawiyah, Gubernur Damaskus yang tidak mau mengakui
Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat. Hal ini didasarkan pada pembunuh Utsman
bin Affan, yang tidak lain adalah anak angkat Ali bin Abi Thalib. Selain itu, Ali tidak
memberi hukuman yang setimpal kepada para pembunuh Utsman.
Kekecewaan Muawiyah terhadap kebijakan Ali bin Abi Thalib itu, menyebabkan
perang antara keduanya. Dalam perang tersebut, tentara Ali dapat mendesak tentara
Muawiyah. Karena merasa terdesak, kemudian Amr bin Ash yang terkenal licik minta
berdamai dengan mengangkat Alquran.
Para ahli Alquran dari pihak Ali mendesak Ali supaya menerima dengan
menggunakan tahkim. Dalam perundingan tersebut, pihak Ali diwakili oleh Abu Musa
Al-Asy'ari, sedangkan pihak Muawiyah diwakili oleh Amr bin Ash.
Hasil perundingan tersebut, Abu Musa dipersilahkan mengumumkan dengan
menurunkan kedua pemuka yang bertentangan (Ali dan Muawiyah). Setelah itu, giliran
Amr bin Ash mengumumkan. Namun ternyata yang diumumkan berbeda dengan hasil
saat perundingan, yakni mengangkat Muawiyah sebagai khalifah.
Peristiwa tersebut jelas merugikan pihak Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah yang
sah. Dengan adanya tahkim ini, kedudukan Muawiyah pun akhirnya naik menjadi
khalifah. Melihat proses tahkim ini, sebagian tentara Ali bin Abi Thalib ada yang tidak
menyetujuinya.
Sebagian tentara Ali itu berpendapat bahwa tahkim tidak dapat dilakukan oleh
manusia melainkan Allah SWT dengan kembali kepada Alquran. Karenanya mereka
menganggap Ali bin Abi Thalib telah berbuat salah. Mereka inilah dikenal dengan istilah
kelompok Khawarij (orang-orang yang keluar dan memisahkan diri dari pihak Ali bin
Abi Thalib).

C. Insplantasi Paham Aswaja Di NU


Ahlussunah wal Jamaah adalah salah satu filosofi taat dalam Islam.
Sesungguhnya pemahaman filosofi agama yang taat dimulai oleh Abu Al-Hasan al-
Ash'ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi. Munculnya Aswaja tidak dapat diisolasi dari
gerinda yang muncul di antara tandan-tandan Islam setelah meninggalnya Khulafaur
Rosyidin (Abu Bakar Assiddiq, Umar Khotab, Usman Affan, dan Ali Abi Tholib).
Masyarakat Badransari mayoritas beragama Islam dan mengaku sebagai pengikut
organisasi NU dan menganut ajarannya yaitu Aswaja. Dalam kegiatan beribadah, mereka
melakukan kegiatan sesuai dengan apa yang diajarkan oleh ajaran Aswaja yaitu
mengutamakan sunnah Rasulullah
Isu Global Sering Sudutkan Islam
D. NU Dan Isu Global HAM, Jender Dan Demokrasi
Dirjen Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, Prof. Dr A.Qadri
A.Azizy, mengatakan, pemberitaan dan isu global yang berkembang di mancanegara
dewasa ini sering menyudutkan agama Islam yang disinyalir sengaja dilakukan untuk
menciptakan citra buruk terhadap agama Islam. "Isu global dan pemberitaan miring dan
tidak "fair"terhadap Islam itu harus diluruskan olh segenap umat Islam dengan
membuktikan bahwa Islam adalah agama yang senantiasa menganjurkan agar setiap
umatnya berbuat baik dan menjauhkan segala bentuk tindakan tercela," katanya, pada
seminar nasional mengenai signifikansi hukum Islam dalam merespon isu-isu global
yang digelar IAIN Sumut, di Medan, Sabtu.
Apabila ada seseorang umat yang beragama Islam melakukan perbuatan yang
dianggap salah, maka perlu dipahami bahwa yang salah itu bukan agama Islam,
melainkan oknumnya. Dalam agama Islam, lanjut Qadri, tidak pernah ada ajaran yang
menganjurkan setiap perbuatan tercela ataupun membenarkan tindakan menyakiti orang
lain. "Pengetahuan yang lebih mendalam tentang hukum Islam sangat penting dan
mutlak dibutuhkan di Indonesia. Posisi hukum Islam dinilai cukup stratergis dalam
sistem kehidupan nasional, karena didukung oleh golongan hukum mayoritas," ucap dia.
Dia juga mengatakan bahwa untuk mewujudkan keinginan dalam menciptakan produk
hukum yang bernuansa syariat Islam mutlak dibutuhkan keberanian dan ketangguhan,
wibawa dan keuletan dari umat Islam yang duduk di lembaga legislatif agar produk
hukum itu dapat dilaksanakan secara konsisten pada tataran yudikatif. "Mencermati
besarnya peran dan manfaat hukum Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
itulah yang melatarbelakangi IAIN Sumatera Utara membuka program doktor (S3)
Hukum Islam," ucap dia.
Perempuan Dan Politik Dalam Perfektif Kesetaraan Gender
Demokrasi mengamanatkan adanya persamaan akses dan peran serta penuh bagi laki-laki
maupun perempuan, atas dasar prinsip persamaan derajat, dalam semua wilayahdan
tataran kehidupan publik, terutama dalam posisi-posisi pengambilan keputusan. Platform
Aksi Beijing dan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasiterhadap
Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against
Women atau CEDAW) merekomendasikan agar semua pemerintah di dunia
agarmemberlakukan kuota sebagai langkah khusus yang bersifat sementara untuk
meningkatkan jumlah perempuan di dalam jabatan-jabatan appointif
(berdasarkanpenunjukan/pengangkatan) maupun elektif (berdasarkan hasil pemilihan)
pada tingkat pemerintahan lokal dan nasional.
Diskriminasi berdasarkan gender masih terjadi pada seluruh aspek kehidupan, dan
semua sector pembangunan di seluruh negeri. Ini adalah fakta yang tidak dapat
dipungkiri, meskipun ada kemajuan yang cukup pesat dalam kesetaraan gender dewasa
ini. Sifat dan tingkat diskriminasi sangat bervariasi di berbagai negara atau wilayah.
Tidak ada satu wilayah pun di negara berkembang dimana perempuan telah menikmati
kesetaraan dalam hak-hak hukum, sosial dan ekonomi. Kesenjangan gender dalam
kesempatan dan kendali atas sumber daya, ekonomi, kekuasaan, dan partisipasi politik
dan pengambilan keputusan terjadi di mana-mana. Perempuan baru pada tataran sebagai
objek pembangunan belum menyasar sebagai pelaku pembangunan. Salah satu factor
yang menyebabkan lingkaran ketidakadilan gender ini berada pada tataran kebijakan
yang masih bias gender.
Beberapa waktu terakhir, isu kesetaraan gender telah menjadi hal menonjol
dalam platform pembangunan, tidak saja di Indonesia, tetapi juga di dunia internasional.
Kitatentu memahami bahwa selama ini perempuan secara sosial terpinggirkan. Budaya
partriarkis yang tidak ramah pada perempuan. Ada konstruksi sosial budaya yang
menempatkanperempuan seolah-olah hanya boleh mengurus soal-soal domestik saja.
Tak ada hak untuk merambah area public yang lain. Kenyataan ini menunjukkan bahwa
keyakinan itu masih tertanamkuat. Persoalan perwakilan perempuan menjadi penting
manakala kita sadar bahwa dalam kehidupan sehari-hari kita melihat perempuan tidak
secara proporsional terlibat dalam kehidupan di ranah publik. Hal ini sangat
menyedihkan apabila dilihat dari komposisi penduduk antara laki-laki dan perempuan
yang hampir berimbang. Sebagai bentuk representasi perempuan di legislative masih
sangat minim, yang masih menjadi pemikiran kita bersama.
Representasi perempuan dalam bidang politik boleh dikatakan masih jauh dari
apa yang kita harapkan. Pendidikan politik merupakan salah satu aktivitas yang
bertujuan untuk membentuk dan menumbuhkan orientasi-orientasi politik pada setiap
individu maupun kelompok. Proses pendidikan politik dilakukan agar masyarakat luas
dapat menjadi warga negara yang sadar dan menjunjung tinggi akan hak dan
kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa, dan bernegara, serta
memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender.
Hal ini ditekankan karena pada realitasnya, masih dirasakan adanya kesenjangan
antara peranan yang dilakukan oleh kaum pria dan perempuan pada berbagai peran,
utamanya pada peran-peran publik. Oleh karena itu, peningkatan peran perempuan dalam
pembangunan yang berwawasan gender sebagai bagian integral dari pembangunan
nasional, mempunyai arti yang penting dalam upaya untuk mewujudkan kemitrasejajaran
yang harmonis antara pria dan perempuan agar dapat terwujud kesetaraan dan keadilan
gender dalam berbagai kegiatan khususnya bidang politik.
Perempuan mempunyai makna yang sangat penting untuk memberikan
pemahaman dan menyatukan persepsi tentang pentingnya pembangunan demokrasi yang
sehat, adil dan realistis. Oleh karena itu, pengembangan pendidikan politik perempuan,
perlu ditingkatkan baik dari segi organisasional maupun pemantapan pilar-pilar
demokrasi melalui lembaga legislatif, eksekutif maupun yudikatif yang aspiratif dan pro
terhadap kepentingan perempuan. Kondisi semacam ini perlu mendapat perhatian
khusus, untuk itulah salah satu hal yang perlu ditangani adalah masalah pendidikan
politik bagi kaum perempuan, sehingga dengan tumbuh berkembangnya kesadaran
politik dikalangan perempuan, mereka diharapkan mampu memanfaatkan kesempatan
dan peluang yang ada sesuai potensi yang dimiliki dan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Kebijakan khusus afirmasi (Affirmative Action) harus
segera diubah dengan srategi Pengurus Utamaan Gender (PUG) di semua bidang
kehidupan, khususnya di semua lini dan strata untuk mempercepat persamaan akses,
partisipasi, kontrol, serta manfaat yang sama antara perempuan dan laki-laki.
Berdasarkan Inpres Nomor 9 tahun 2000, eksekutif hanya mengikat untuk melaksanakan
PUG. Oleh karena itu, perlu ditingkatkan jumlah kebijakan pelaksanaan PUG yang akan
mengikat seluruh pemangku kepentingan, baik pemerintah, penyelenggara pemilu, dan
partai politik sebagai pilar demokrasi untuk mendorong pemenuhan Hak Asasi Manusia
(HAM) perempuan di bidang politik melalui peningkatan keterwakilan perempuan dalam
pengambil kebijakan. Gerakan perempuan dan pemerhati masalah perempuan,
melakukan upaya yang sangat keras memperjuangkan masuknya kuota sebesar 30%
keterwakilan perempuan sebagai jumlah minimal dalam paket UU politik dari hulu ke
hilir.
Panggung Politik dan Perempuan
Hiruk pikuk pesta demokrasi lima tahunan, utamanya dalam menyambut pemilu
legislatif 9 April lalu, setidaknya disesaki oleh maraknya wacana keterwakilan politik
perempuan dalam panggung politik elektoral Indonesia. Praktis, selama lebih dari tiga
dasawarsa, publik politik nasional terus menyimak gugatan intens kaum perempuan
terhadap kontruksi budaya dan relasi sosial-politik pasca reformasi yang masih bias
jender, dan terindikasi menyimpan potensi untuk tetap memarjinalisasi dan mendominasi
perempuan. Gugatan kaum perempuan ini sejalan dengan kian menguatnya isu keadilan
dan kesetaraan jender yang makin mendapat tempat dalam wacana politik masyarakat
dan ruang-ruang kebijakan negara. Meski negara kini relatif akomodatif terhadap wacana
dan tuntutan keterwakilan politik perempuan (seperti tercermin dalam Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum), namun harus disadari bahwa ruang ekspresi politik
perempuan yang diberikan negara (dan para elite partai) masih jauh dari spirit keadilan
dan keseteraan. Kendati penetapan kuota 30 persen melalui akomodasi negara sudah di
uji-coba sejak pemilu 2004 lalu, namun ditilik dari aspek sejarah pertumbuhan
representasi politik perempuan di parlemen, faktual masih berlangsung secara fluktuatif.
Catatan representasi politik perempuan menunjukkan angka naik turun dari waktu ke
waktu terkait keterlibatan perempuan dalam arena politik praktis, khususnya di lembaga
legislatif. Anggota DPR Sementara 1950–1955 misalnya, berhasil mengakomodasi 9
kursi (3,8%) dari 236 kursi anggota legislatif terpilih saat itu. Jumlah keterwakilan
perempuan hasil Pemilu 1955–1960 naik menjadi 17 kursi (6,3%) dari 272 anggota
parlemen terpilih. Representasi perempuan di parlemen secara kuantitatif kembali naik
turun. Di era Konstituante (1956-1959) peroleh kursi legislatif perempuan turun menjadi
25 kursi (5,1%) dari 488 kursi anggota Konstituante. Bagitu pun di era Orde Baru,
keterwakilan politik perempuan di parlemen juga mengalami pasang-surut. Pemilu
pertama Orde Baru (1971–1977) berhasil menempatkan perempuan pada 36 kursi
parlemen (7,8%), Pemilu 1977 29 kursi (6,3%), dan Pemilu 1982 39 krusi (8,5%) dari
460 anggota DPR terpilih pada tiga periode Pemilu tersebut. Selanjutnya, Pemilu 1987
berhasil menempatkan perempuan pada 65 kursi (13%) dari 500 kursi DPR, dan terus
mengalami penurunan pada Pemilu 1992-1997, 1997–1999, dan 1999–2004 menjadi 62
kursi (12,5%), 54 kursi (10,8%), dan 46 kursi (9%) dari masing-masing 500 kursi yang
berhasil di raih anggota DPR dari masing-masing periode pemilu tersebut. Berikutnya,
Pemilu 2004 kembali menaikkan jumlah anggota legislatif perempuan menjadi 63 orang
(11,45%) dari 550 anggota DPR terpilih, dan Pemilu 2009 berhasil menempatkan 99
anggota legislatif perempuan (17,68%) dari 560 calon anggota DPR terpilih hasil Pemilu
2009. Pada pemilu 2014 yang baru lalu terjadi penurunan capaian kursi perempuan di
legislative, kendati berbagai upaya seperti affirmative action dan strategi lainya sudah
diterapkan.
Reprentasi Perempuan Dalam Politik
Sejatinya, perjuangan untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender dalam
politik dan mewujudkan representasi politik perempuan (yang bukan sekedar warna, tapi
turut mewarnai) di negeri ini sepertinya masih butuh waktu panjang dan perjuangan yang
kuat untuk dibuktikan, karena inimenyangkut kapabilitas yang bisa
dipertanggungjawabkan untuk bersaing dan mampu berkontribusi dalam politik praktis
secara signifikan.
Dalam masyarakat yang terlanjur meyakini kodrat perempuan sebagai makhluk
lemah dan agak sensitif, jelas dibutuhkan upaya ekstra keras guna mengonstruksi isu
representasi politik perempuan dalam bingkai demokrasi yang setara dan partisipatif dan
wacana gender dalam frame pluralism demokratis (non-patriarkis) sebagai prioritas
kebijakan ke depan agar tatanan masyarakat demokratis yang berkeadilan jender bisa
sungguh-sungguh terwujud di negeri ini.
Maka dari itu sebaiknya dalam mengupayakan kesetaraan gender, khususnya
dalam dunia politik dan pengambilan keputusan, perlu adanya upaya yang sinergis dan
berkesinambungan, dengan melibatkan pemangku kepentingan semua pihak yang
menjadi pelaku politik khususnya partai politik, organisasi kemasyarakatan dan
pemerintah melalui instansi terkait dalam penyelenggaraan pendidikan politik yang lebih
meluas dan terencana bagi perempuan.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
NU dengan modalitas yang dimilikinya sangat berpotensi untuk menjadi
pemenang dalam arena perjuangan di era kenusantaraan-global saat ini. NU yang
mengembangkan nilainilai moderatisme dan mengusung Islam yang rahmatan lil’alamin
sebagaimana menjadi esensi ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw
melalui para Wali Songo ke Nusantara terbukti telah berhasil membawa kemaslahatan
umat Islam di dunia Islam umumnya dan umat Islam Indonesia khususnya. Strategi
dakwah Wali Songo yang arif-bijaksana terbukti telah memberikan spektrum yang lebih
indah dalam penyebaran dan dakwah Islam yang nir-kekerasan. Di era kenusantaraan-
global seperti sekarang ini, NU harus hadir untuk memberikan warna di setiap arena
yang melingkupinya.
Nilai-nilai sosial-historis positif yang dikristalisasi dari ajaran para ulama
pendahulu (Wali Songo) perlu disemaikan di bumi nusantara ini dan secara massif
strategis harus ditransformasikan kepada masyarakat dunia. Jika saat ini terjadi bursa
gagasangagasan Islam transnasional, maka umat Islam Indonesia dengan NU-nya harus
mampu menjadi kekuatan untuk menyemaikan model Islam yang moderat dan rahmatan
lil’alamin. Dalam konteks semacam ini, tidak ada jalan lain jika NU harus senantiasa
mengembangkan sumberdaya manusianya sebagai aktor- ~52~ aktor yang akan terlibat
langsung dalam arena perjuangan tersebut. Kalau kita mendasarkan pada strategi yang
sudah ditetapkan oleh para founding fathers NU dalam pengembangan kualitas SDM
NU, maka ada tiga pilar yang tidak bisa harus dilakukan oleh NU dari waktu ke waktu:
pertama, aspek “ideologi” keaswajaan; kedua, aspek pendidikan; dan ketiga, aspek
ekonomi. Jika strategi pengembangan ini dapat dilakukan dengan baik oleh NU, maka
insyaallah tujuan NU untuk mengupayakan kemaslahatan bagi umat Islam akan
terwujud.
DAFTAR PUSTAKA
Fatwa, Jarkom. 2004. Sekilas Nahdlatut Tujjar. Yogyakarta: LKiS.
Galbraith, James K. 2014. The End of Normal. New York: Simon & Schuster.
Habermas, Jurgen. 2007. Ruang Publik: Sebuah Kajian tentang Kategori Masyarakat
Borjuis. Terj. oleh Yudi Santosa. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Haidar, M. Ali. 1998. Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih dalam
Politik. Jakarta: Penerbit Gramedia.
Hardiman, F. Budi. 2010. Ruang Publik: Melacak Partisipasi Demokratis dari Polis
sampai Cyberspace. Yogyakarta: Kanisius. Haryatmoko. 2003. “Menyingkap Kepalsuan
Budaya Penguasa” dalam BASIS. Nomor 11-12 Tahun Ke-52, Nov-Des.
Johnson, Randal. 2010. “Pengantar Pierre Bourdieu tentang Seni, Sastra, dan Budaya”
dalam Pierre Bourdieu. Arena Produksi Kultural sebuah Kajian Sosiologi Budaya. Terj.
oleh Yudi Santosa. Yogyakarta: Kreasi Wacana
Juliawan, B. Hari. 2004. “Ruang Publik Hubermas: Solidaritas Tanpa Intimitas” dalam
BASIS. Nomor 11-12 Tahun Ke-53, Nov-Des.
Mansilla, Veronica Boix dan Anthony Jackson. 2011. Preparing Our Youth to Engage
the World. New York: Asia Society-CCSSO.
Ridwan, Nur KHalik. 2010. NU dan Bangsa 1914-2010: Pergulatan Politik dan
Kekuasaan. Yogyakarta: Arruz Media.
Rumadi. 2007. Post Tradisionalisme Islam: Wacana Intelektualisme dalam Komunitas
NU. Jakarta: Depag. Dirjen. Pendidikan Islam. Direktorat Pendidikan Tinggi Islam.
Wahid, Abdurrahman. 1985. “Kebangkitan Kembali Peradaban Islam: Adakah Ia?”
Pengantar Umum dalam Buntaran Sanusi, dkk. (Ed.) KH. A. Wahid Hasyim. Mengapa
Memilih NU: Konsepsi tentang Agama, Pendidikan dan Politik. Jakarta: Inti Sarana
Aksara.
Wibowo, A. Setyo. 2010. “Kepublikan dan Keprivatan di Dalam Polis Yunani Kuno”
dalam F. Budi Hardiman. Ruang Publik: Melacak Partisipasi Demokratis dari Polis
sampai Cyberspace. Yogyakarta: Kanisiu

Anda mungkin juga menyukai