Anda di halaman 1dari 9

Islam Wasatiyah sebagai Rahmatan Lil alamin

D
I
S
U
S
U
N
Oleh:
Malika Zahwa Tanisya
Azzahra Humaira
Keisya Zahira
Rizka Putri Maharani
Najwa Mukhira
Sayang Nindia Putri
Tasya Tursina
Mata Pelajaran : Akidah Akhlak
Guru Mapel : Ibu Sari

Madrasah Aliyah Negeri 1 Kota Lhokseumawe


Islam rahmatan lil alamin biasa disebutkan dalam beberapa konsep dasar agama Islam, Namun, masih
banyak yang belum memahami maksud sesungguhnya.

Dalam Al Quran surat Al Anbiya ayat 107, Allah SWT juga berfirman mengenai rahmatan lil alamin

Arab: َ‫َو َمٓا اَرْ َس ْل ٰنكَ اِاَّل َرحْ َمةً لِّ ْل ٰعلَ ِم ْين‬

Artinya: Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh
alam.

Wasathiyah berasal dari akar kata “wasatha”. Menurut Muhammad bin Mukrim bin Mandhur al-
Afriqy al-Mashry, pengertian wasathiyah secara etimologi berarti:

‫َو َسطُ ال َّش ْي ِء َما بَ ْينَ طَرْ فَ ْي ِه‬

Artinya: “sesuatu yang berada (di tengah) di antara dua sisi

Adapun, Islam rahmatan lil alamin terdiri dari dua kata, yakni rahmat yang berarti kasih sayang,
dan lil alamin yang berarti seluruh alam. Namun, ulama tafsir berbeda pendapat mengenai
maksud rahmatan lil alamin dalam surat Al Anbiya.

Sederhananya, maksud Islam rahmatan lil alamin adalah Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam
semesta. Adapun, contoh Islam rahmatan lil alamin adalah guru atau dosen sebagai sumber
belajar bagi para siswa dan mahasiswanya.

Dalam khazanah Islam klasik, pengertian wasathiyah terdapat banyak pendapat dari para ulama
yang senada dengan pengertian tersebut, seperti Ibnu ‘Asyur, al-Asfahany, Wahbah al-Zuḥaily,
al-Thabary, Ibnu Katsir dan lain sebagainya.

Menurut Ibnu ‘Asyur, kata wasath berarti sesuatu yang ada di tengah atau sesuatu yang memiliki
dua belah ujung yang ukurannya sebanding.

Menurut al-Asfahany, kata wasathan berarti tengah-tengah di antara dua batas (a’un) atau bisa
berarti yang standar. Kata tersebut juga bermakna menjaga dari sikap melampaui batas (ifrath)
dan ekstrem (tafrith).

Wahbah al-Zuhaili dalam tafsir al-Munir menegaskan bahwa kata al-wasath adalah sesuatu yang
berada di tengah-tengah atau ‫ َمرْ َك ُز ال َّداِئ َر ِة‬, kemudian makna tersebut digunakan juga untuk sifat
atau perbuatan yang terpuji, seperti pemberani adalah pertengahan di antara dua ujung.

“Dan demikianlah Kami menjadikan kalian umat yang pertengahan”, artinya “dan “demikianlah
Kami memberi hidayah kepada kalian semua pada jalan yang lurus, yaitu agama Islam. Kami
memindahkan kalian menuju kiblatnya Nabi Ibrahim as dan Kami memilihkannya untuk kalian.
Kami menjadikan Muslimin sebagai pilihan yang terbaik, adil, pilihan umat-umat, pertengahan
dalam setiap hal, tidak ifrath dan tafrith dalam urusan agama dan dunia. Tidak melampaui batas
(ghuluw) dalam melaksanakan agama dan tidak seenaknya sendiri di dalam melaksanakan
kewajibannya.”

seringkali dipersoalkan mengapa Allah lebih memilih menggunakan kata al-wasath dari pada
kata “al-khiyar”? Jawaban terkait hal ini setidaknya ada dua sebab, yaitu:

Pertama, Allah menggunakan kata al-wasath karena Allah akan menjadikan umat Islam sebagai
saksi atas (perbuatan) umat lain. Sedangkan posisi saksi semestinya harus berada di tengah-
tengah agar dapat melihat dari dua sisi secara berimbang (proporsional). Lain halnya jika ia
hanya berada pada satu sisi, maka ia tidak bisa memberikan penilaian dengan baik.

Kedua, penggunaan kata al-wasath terdapat indikasi yang menunjukkan jati diri umat Islam yang
sesungguhnya, yaitu bahwa mereka menjadi yang terbaik, karena mereka berada di tengah-
tengah, tidak berlebih-lebihan dan tidak mengurangi baik dalam hal akidah, ibadah, maupun
muamalah.

Berdasarkan pengertian dari para pakar tersebut, dapat disimpulkan beberapa inti makna yang
terkandung di dalamnya, yaitu: sesuatu yang ada di tengah, menjaga dari sikap melampaui batas
(ifrath) dan dari sikap mengurangi ajaran agama (tafrith), terpilih, adil dan seimbang.

Ditinjau dari segi terminologinya, makna kata “wasathan” yaitu pertengahan sebagai
keseimbangan (al-tawazun), yakni keseimbangan antara dua jalan atau dua arah yang saling
berhadapan atau bertentangan: spiritualitas (ruhiyah) dengan material (madiyah). Individualitas
(fardiyyah) dengan kolektivitas (jama’iyyah).

Kontekstual (waqi’iyyah) dengan tekstual. Konsisten (tsabat) dengan perubahan (taghayyur).


Oleh karena itu, sesungguhnya keseimbangan adalah watak alam raya (universum), sekaligus
menjadi watak dari Islam sebagai risalah abadi.

Bahkan, amal menurut Islam bernilai shaleh apabila amal tersebut diletakkan dalam prinsip-
prinsip keseimbangan antara theocentris (hablun minallah) dan anthropocentris (hablun min al-
nas).

Menurut Din Syamsuddin, terdapat pula interpretasi wasathiyah sebagai al-Shirath al-Mustaqim.
Konsep jalan tengah tersebut, tentu tidak sama dengan konsep the middle way atau the middle
path di bidang ekonomi konvensional.

 Wasathiyah dalam Islam bertumpu pada tauhid sebagai ajaran Islam yang mendasar dan
sekaligus menegakkan keseimbangan dalam penciptaan dan kesatuan dari segala lingkaran
kesadaran manusia.
Menurut Hasyim Muzadi:

ِ ‫ْال َو َس ِطيَّةُ ِه َي اَلتَّ َوا ُزنُ بَ ْينَ ْال َعقِ ْي َد ِة َوالتَّ َسا ُم‬
‫ح‬

Artinya: “Wasathiyah adalah keseimbangan antara keyakinan (yang kokoh) dengan toleransi”.

Syarat untuk merealisasikan sikap wasathiyah yang baik tentu memerlukan akidah dan toleransi,
sedangkan untuk dapat merealisasikan akidah dan toleransi yang baik memerlukan sikap yang
wasathiyah.

Salah satu ciri dari Islam adalah wasathiyah. Kata wasathiyah memiliki beberapa makna, yakni
menurut bahasa Indonesia artinya adalah moderasi. Menurut Afifuddin Muhadjir, makna
wasathiyah sebetulnya lebih luas dari pada moderasi.

Wasathiyah bisa berarti realistis (Islam Wasathiyah yaitu Islam yang berada di antara realitas dan
idealitas). Yakni, Islam memiliki cita-cita yang tinggi dan ideal untuk menyejahterakan umat di
dunia dan akhirat. Cita-citanya yang melangit, tapi ketika di hadapkan pada realitas, maka
bersedia untuk turun ke bawah.

Wasathiyah yang disebut dalam QS: al-Baqarah 143 dapat juga diartikan jalan di antara ini dan
itu. Dapat juga dikontekstualisasikan Islam Wasathiyah adalah tidak liberal dan tidak radikal.
Dapat diartikan pula, Islam antara jasmani dan ruhani.

Dalam kitab-kitab fiqih, seorang presiden itu harus mendalam terkait hal agama, mujtahid dan
dipilih secara demokratis. Bagaimana ketika yang menjadi presiden justru kebalikannya? Apakah
kita harus memberontak?

Tentu tidak, karena memang realitanya seperti demikian. Kitab-kitab fiqih menyatakan, para
hakim harus seorang mujtahid dan memiliki kemampuan untuk menggali hukum-hukum dari
sumbernya.

Keputusan hakim adalah kepastian dan keadilan. Tapi apabila kebalikannya, yakni tidak
terlaksana sebagaimana aturannya. Apakah kita harus memberontak? Tentu tidak, karena
memang realitanya seperti demikian.

Meskipun kita harus tetap mengingatkannya, tapi cara yang ditempuh harus baik.

Al-wasathiyah disebutkan dalam QS: al-Baqarah: 143 dan QS: al-Nisā’: 171.

‫ق ِإنَّ َما ْال َم ِسي ُح ِعي َسى ابْنُ َمرْ يَ َم َرسُو ُل هَّللا ِ َو َكلِ َمتُهُ َأ ْلقَاهَا ِإلَى َمرْ يَ َم‬ َّ ‫ب اَل تَ ْغلُوا فِي ِدينِ ُك ْم َواَل تَقُولُوا َعلَى هَّللا ِ ِإاَّل ْال َح‬ ِ ‫يَا َأ ْه َل ْال ِكتَا‬
‫ت َو َما‬ ِ ‫اح ٌد ُس ْب َحانَهُ َأ ْن يَ ُكونَ لَهُ َولَ ٌد لَهُ َما فِي ال َّس َما َوا‬
ِ ‫َورُو ٌح ِم ْنهُ فََآ ِمنُوا بِاهَّلل ِ َو ُر ُسلِ ِه َواَل تَقُولُوا ثَاَل ثَةٌ ا ْنتَهُوا خَ ْيرًا لَ ُك ْم ِإنَّ َما هَّللا ُ ِإلَهٌ َو‬
ِ ْ‫فِي اَأْلر‬
‫ض َو َكفَى بِاهَّلل ِ َو ِكياًل‬

Artinya: “Wahai Ahli Kitab, janganlah kalian melampaui batas dalam agama kalian, dan
janganlah kalian mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya al-Masih, Isa
putra Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang
disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya.

Maka berimanlah kalian kepada Allah dan Rasul-Rasul-Nya dan janganlah kalian mengatakan:
“(Tuhan itu) tiga”, berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagi kalian. Sesungguhnya Allah
Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di
bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah sebagai Pemelihara”.

‫َخيْر اُأْل ُمور َأوْ َساطهَا‬

Artinya: “Sebaik-baiknya perkara itu yang pertengahan”.

Realiasasi wasathiyah dalam ajaran Islam secara garis besar dibagi tiga: akidah, akhlak dan
syariat (dalam pengertian sempit). Ajaran akidah berarti terkait konsep ketuhanan dan keimanan.
Akhlak berarti terkait penghiasan hati melalui sikap dan perilaku seseorang agar dapat menjadi
indivisu mulia.

 Wasathiyah dalam bidang akidah, seperti posisi Islam yang berada di antara atheisme (tidak
percaya Tuhan) dan politisme (kelompok yang percaya adanya banyak Tuhan). Wasathiyah
dalam bidang akhlak, seperti posisi di antara khauf (pesimisme) yang berlebihan dan raja’
(optimisme) yang berlebihan.

Optimisme yang berlebihan dapat mengakibatkan orang gampang berbuat dosa, sehingga
menganggap dirinya pasti mendapatkan surga. Di antara ayat yang menjadi landasan adalah QS:
al-Baqarah: 173:

‫ِإ َّن هَّللا َ َغفُو ٌر َر ِحي ٌم‬

Artinya: “Sesungguhnya Allah adalah Dzat yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Sedangkan pesimisme yang berlebihan dapat mengakibatkan orang gampang putus asa. Di antara
landasan ayat yang sering digunakan adalah QS: al-A’raf: 99:

ِ َ‫َأفََأ ِمنُوا َم ْك َر هَّللا ِ فَاَل يَْأ َمنُ َم ْك َر هَّللا ِ ِإاَّل ْالقَوْ ُم ْالخ‬
َ‫اسرُون‬

Artinya: “Apakah mereka tidak percaya ancaman Allah. Maka tidak ada yang dapat merasa aman
dari ancaman Allah, kecuali orang-orang yang merugi.”

Di antara contoh orang yang pesimis adalah pembunuh Sayyidina Hamzah dengan
memutilasinya. Pada saat masuk Islam, ia merasa pesimis akan kemungkinan mendapatkan
ampunan Tuhan dari perbuatan yang sudah dilakukannya tersebut. Kemudian turun QS: al-
Zumar: 53.

ِ ‫وب َج ِميعًا ِإنَّهُ ه َُو ْال َغفُو ُر الر‬


‫َّحي ُم‬ ُّ ‫ي الَّ ِذينَ َأ ْس َرفُوا َعلَى َأ ْنفُ ِس ِه ْم ال تَ ْقنَطُوا ِم ْن َرحْ َم ِة هَّللا ِ ِإ َّن هَّللا َ يَ ْغفِ ُر‬
َ ُ‫الذن‬ ِ َ‫قُلْ ي‬.
َ ‫اعبَا ِد‬
Artinya: “Katakanlah (Muhammad), wahai hambaku, orang-orang yang sudah berlebihan atas
diri mereka sendiri, janganlah kalian putus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengampuni seluruh dosa-dosa. Sesungguhnya Allah adalah Dzat yang Maha Pengampun dan
Penyayang.”

 Wasathiyah dalam bidang syariat (khususnya ekonomi) diindikasikan dalam QS: al-Furqan: 67,
yakni tidak terlalu berlebihan dan tidak terlalu pelit.

ِ ‫َوالَّ ِذينَ ِإ َذا َأ ْنفَقُوا لَ ْم يُس‬


‫ْرفُوا َولَ ْم يَ ْقتُرُوا َو َكانَ بَ ْينَ َذلِكَ قَ َوا ًما‬

Artinya: “dan orang-orang ketika menafkahkan, mereka tidak berlebihan dan tidak pelit dan di
antara keduanya adalah ketegakkan.”

 Wasathiyah dalam bidang manhaj berarti menggunakan nash al-Qur’an dan hadis yang memiliki
hubungan dengan tujuan-tujuan syariat (maqashid al-syari’ah). Nash-nash dan tujuan-tujuan
syariatnya memiliki hubungan simbiosis mutualisme, yakni nash-nash yang dapat dijelaskan
melalui tujuan-tujuan syariat, sedangkan tujuan-tujuan syariat lahir dari nash-nash Islam.

Tjuan-tujuan syariat merupakan hasil penelitian ulama zaman dahulu, sedangkan yang menjadi
objeknya adalah aturan-aturan yang termaktub dalam nash-nash al-Qur’an dan hadis, berikut
hikmah-hikmah dan tujuan-tujuan yang hendak dicapai. Tujuan utama syariat adalah
kemaslahatan dunia dan akhirat dengan mengindahkan kaidah “menarik kemaslahatan dan
menolak kerusakan.”

Maksudnya adalah apabila seseorang hendak menafsirkan nash-nash, maka harus memerhatikan
tujuan-tujuan syariatnya. Tentu aturan yang lahir akan berbentuk tekstual dan kontekstual.
Secara kaidah, apabila dihadapkan pada mashlahah dan mafsadah, maka yang didahulukan
adalah yang mashlahah.

Tapi apabila dihadapkan pada mashlahah ghairu mahdlah (kemaslahatan tidak murni) dan
mafsadah ghairu mahdlah (kerusakan tidak murni), maka pilihannya adalah yang terdapat
ْ َ‫ )اَأل ِدلَّةُ الق‬dan
mashlahah yang lebih besar. Tujuan-tujuan syariat melahirkan dalil-dalil primer (‫ط ِعيَّة‬
sekunder (‫)اَأل ِدلَّةُ الفَرْ ِعيَّة‬.

Tujuan syariat untuk mewujudkan kemaslahatan, sebenarnya sama seperti tujuan negara untuk
mewujudkan kemaslahatannya. Setiap negara yang sudah mampu mewujudkan kemaslahatan
dunia dan akhirat, maka sudah bisa disebut sebagai negara ideal dan negara khilāfah.

Afifuddin menyetujui negara dalam bingkai khilafah yang tidak seperti konsep yang diusung
HTI. Khilafah yang disetujui adalah menggunakan konsepnya al-Mawardi, dimana ia
mengatakan;

‫ َولَوْ الَ ال ُواَل ةُ لَ َكانَ النَّاسُ فوضى مهملين وهمجا ً مضيّعين‬، ‫في ِح َرا َس ِة ال ِّد ْي ِن َو ِسيَا َس ِة ال ُّد ْنيَا‬
ِ ‫اِإل َما َمةُ َموْ ضُوْ ُعةً لِ ِخاَل فَ ِة النُّبُ َّو ِة‬.
Artinya: “kepemimpinan/khilafah adalah melanjutkan tugas kenabian, yakni: menjaga agama dan
politik dunia….”.

Setiap negara yang kondusif bagi kaum Muslimin untuk melaksanakan ajaran agamanya serta
dijalankan dalam pemerintahan dengan menjamin kesejahteraan dan kemakmuran, maka itu
sudah cukup menjadi negara khilafah.

Oleh karena itu, NKRI dengan Pancasila sebagai dasar negaranya, bisa saja menjadi wadahnya
khilafah. Posisi sebagai wadah, NKRI tidak ada persoalan, tapi persoalan yang terjadi saat ini
lebih berada pada isinya yang belum baik. Cita-cita negara yang menjamin kenegaraan yang adil
dan sejahtera, maka Pancasila sudah cocok untuk mewujudkan Islam itu sendiri.

Terdapat beberapa hal yang sering dipertanyakan terkait istilah Islam Wasathiyah ini.
Adakalanya mengkritisi pada padanan derivasinya, dan ada pula yang mengkritisi substansi
penggunaannya.

Terkait frasa, terdapat istilah yang identik dengan Islam Wasathiyah, yaitu Wasathiyah al-Islam
yang mencerminkan sebagai ajaran yang seimbang.

Terkait substansi penggunaannya, sepintas akan menjadi suatu persoalan terkait ungkapan yang
termaktub di dalam nash al-Qur’an yang sejatinya adalah Ummatan Wasathan sebagaimana
diindikasikan dalam QS: al-Baqarah: 143.

Sedangkan yang justru dijadikan misi perjuangan umat Islam yang moderat adalah istilah
Islam Wasathiyah?

Terkait hal ini, Cholil Nafis, Ketua Komisi Dakwah MUI menyatakan bahwa untuk membentuk
umat yang wasathan tentu diperlukan adanya ajaran, sehingga membahas ajaran Islam
Wasathiyah dalam rangka merealisasikan hal tersebut, tentu menjadi suatu keniscayaan dan
keharusan.

Selain mempersoalkan perihal tersebut, penggunaan istilah Islam Wasathiyah dalam prosesnya
juga tidak lepas dari suatu kritik yang menyatakan bahwa penggunaan yang benar adalah Islam
Wasathy, dimana kata “Islam” disifati dengan kata Wasathy yang dilengkapi dengan ya’ Nisbah.

Cholil Nafis menyatakan bahwa, penggunaan istilah tersebut terjadi pembuangan kata muannats
َ ‫َلي‬
yang asal mulanya (taqdir) yaitu ‫ط ِر ْيقَ ِة ال َو َس ِطيَّ ِة‬ َ ‫ اِإل ْسالَ ُم ع‬dimana artinya yaitu Islam yang
mengikuti jalan wasathiyah.

Di dalam al-Qur’an, kata ummat (‫ )ُأ َّمة‬terulang sebanyak 51 kali dan 11 kali dengan bentuk (‫)ُأ َمم‬.
Tetapi hanya satu frasa yang disandarkan pada kata “wasathan”, yaitu terdapat di dalam QS: al-
Baqarah; 143.

QS: al-Baqarah: 143


ِ َّ‫ك َج َع ْلنَا ُك ْم ُأ َّمةً َو َسطًا لِتَ ُكونُوا ُشهَدَا َء َعلَى الن‬
‫اس َويَ ُكونَ ال َّرسُو ُل َعلَ ْي ُك ْم َش ِهيدًا‬ َ ِ‫َو َك َذل‬

Artinya: “Dan yang demikian ini Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) sebagai umat
pertengahan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad)
menjadi saksi atas perbuatan kalian.”

Apabila dicermati dengan teliti, kata wasathan ini terdapat di tengah-tengah ayat al-Baqarah ayat
ke 143 dan ayat tersebut juga terletak di tengah-tengah Surat al-Baqarah yang seluruh ayatnya
berjumlah 286 ayat. Itu artinya, ditinjau dari segi penempatannya sudah mengindikasikan makna
tengah-tengah.

Ciri-Ciri Umat Islam Wasathiyah

1. Adil dan selalu berusaha menjadi orang terbaik

Sebagai jawaban atas berkembangnya paham dan gerakan kelompok yang intoleran dan mudah
mengkafirkan (takfiri), maka perlu dirumuskan ciri-ciri Ummatan Wasathan untuk
memperjuangkan nilai-nilai ajaran Islam.

Sikap moderat diperlukan sebagai bentuk manifestasi ajaran Islam yang rahmatan lil'alamin.
Wasathiyah perlu diperjuangkan untuk melahirkan umat terbaik (khairu ummah) di sepanjang
masa. Itulah ciri-ciri umat wasathiyah yang sesungguhnya.

2. Tidak boros dan pelit dalam menggunakan harta

Ciri-ciri umat Islam wasathiyah selanjutnya adalah tidak boros dan tidak pelit membelanjakan
harta. Firman Allah dalam Surat Al-Furqan ayat 67 menyebutkan:

“Dan di antara sifat hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih adalah orang-orang yang
apabila menginfakkan harta, mereka tidak berlebihan dengan menghambur-hamburkannya
karena perilaku seperti inilah yang dikehendaki setan, dan tidak pula kikir yang menyebabkan
dibenci oleh masyarakat."

3. Menyuruh kepada makruf dan mencegah kemungkaran

Ciri-ciri ini menjadi salah satu keutamaan bagi umat Islam wasathiyah. Di mana mereka
menyerukan kepada manusia apa yang diperintahkan dan dilarang oleh Allah SWT beserta rasul-
Nya. Ini sesuai dengan firman Allah dalam surah Ali Imran ayat 110 yang menyatakan:

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf
dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli Kitab beriman,
tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka
adalah orang-orang yang fasik.”

4. Seimbang perkara dunia dan akhiratnya


Umat Islam wasathiyah seimbang dalam menjalankan perkara dunia dan akhirat. Firman Allah
dalam Surat An-Nur ayat 37 menyebutkan:

“Laki - laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat
Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada
suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.”

Menurut Ibnu Abbas, maksud dari ayat tersebut adalah seorang yang tidak lalai dalam
melaksanakan shalat fardhu walaupun dia mempunyai usaha adalah sebaik-baiknya umat. Ia
tergolong umat Islam wasathiyah.

10 Karakter Wasathiyah Menurut Ijtihad MUI


1. tawassuth (mengambil jalan tengah), yaitu pemahaman dan pengamalan yang tidak ifrath
(berlebih-lebihan dalam beragama) dan tafrith (mengurangi ajaran agama).
2. tawazun (berkeseimbangan), yaitu pemahaman dan pengamalan agama secara seimbang
yang meliputi semua aspek kehidupan, baik duniawi maupun ukhrawi, tegas dalam
menyatakan prinsip yang dapat membedakan antara inhiraf (penyimpangan) dan ikhtilaf
(perbedaan). 
3. i’tidal (lurus dan tegas), yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya dan melaksanakan
hak dan memenuhi kewajiban secara proporsional.
4. tasamuh (toleransi), yaitu mengakui dan menghormati perbedaan, baik dalam aspek
keagamaan dan berbagai aspek kehidupan lainnya.
5. musawah (egaliter), yaitu tidak bersikap diskriminatif pada yang lain disebabkan
perbedaan keyakinan, tradisi dan asal usul seseorang.
6. prinsip syura (musyawarah), yaitu setiap persoalan diselesaikan dengan jalan
musyawarah untuk mencapai mufakat dengan prinsip menempatkan kemaslahatan di atas
segalanya.
7. ishlah (reformasi), yaitu mengutamakan prinsip reformatif untuk mencapai keadaan lebih
baik yang mengakomodasi perubahan dan kemajuan zaman dengan berpijak pada
kemaslahatan umum (mashlahah ‘amah) dengan tetap berpegang pada prinsip al-
muhafazhah ‘ala al-qadimi al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadidi al-ashla.
8. aulawiyah (mendahulukan yang prioritas), yaitu kemampuan mengidentifikasi hal ihwal
yang lebih penting harus diutamakan untuk diimplementasikan dibandingkan dengan
yang kepentingannya lebih rendah.
9. tathawwur wa Ibtikar (dinamis dan inovatif), yaitu selalu terbuka untuk melakukan
perubahan-perubahan sesuai dengan perkembangan zaman serta menciptakan hal baru
untuk kemaslahamatan dan kemajuan umat manusia.
10. tahadhdhur (berkeadaban), yaitu menjunjung tinggi akhlakul karimah, karakter, identitas,
dan integritas sebagai khairu ummah dalam kehidupan kemanusiaan dan peradaban

Anda mungkin juga menyukai