Anda di halaman 1dari 4

ISLAM WASATHIYAH

Islam wasathiyyah adalah Islam pertengahan di antara dua titik ekstrem yang saling berlawanan
yang dijadikan acuan atau model dalam menjalankan dan mengembangkan amal ibadah Islam,
pemikiran, keummatan dan kejamaahan.
Islam wasathiyah bertolak dari ayat 143 Al-Baqarah:

ُ ‫ك َج َع ْل َنا ُك ْم ُأم ًَّة َو َس ًطا لِ َت ُكو ُنوا‬


ِ ‫ش َهدَا َء َعلَى ال َّن‬
‫اس‬ َ ِ‫َو َك َذل‬
“Demikian juga aku ciptakan kamu sekalian sebagai umat yang wasath agar supaya menjadi
saksi kepada ummat manusia (QS. al-Baqarah: 143).

Hampir semua ahli tafsir sepakat bahwa wasathan bermakna yang terbaik, yang ideal,
yang seimbang, yang proporsional. Kata wasathan juga bermakna pertengahan atau moderasi,
menghindari segala bentuk ektremisme yang sekaligus menunjuk pada pengertian adil. Itulah ciri
utama umat Islam yang menjalankan agamanya secara wasathi. Meski demikian, wasathan lebih
luas pengertiannya dari moderat. Sebab, moderat hanya mencerminkan sifat kompromi, win-win
solution, sehingga sebagian orang hanya menjadikannya sebagai cara untuk lari dari hal yang
sudah jelas menjadi sesuatu yang abu-abu. Sedangkan wasathan tetap konsisten dalam syari’at
yang terjauh dari fanatisme buta. Pada tataran praktik, wasath dalam beragama dapat
diklasifikasi ke dalam empat hal, yaitu: ‘aqidah, ibadah, akhlak, dan tasyri’ (pembentukan
syari’at)

Wasath dalam ‘Aqidah berarti kita seimbang dalam mempercayai hal-hal yang bersifat
ghaib. Keseimbangan itu mengambil bentuk :
Tidak berlebihan dalam mempercayai hal-hal yang ghaib. Keimanan kepada hal-hal ghaib masih
pada batas jangkauan dalil yang dapat dipertanggung-jawabkan secara syar’i maupun ‘aqli.
Realitas fisik pada alam nyata ini tidak diabaikan, tetapi eksistensi metafisik juga tidak
dinafikan. Islam wasathiyah dapat memadukan kedua kecenderungan di atas. Keberadaan fisik
dan metafisik pada Islam wasathiyah ditangkap sebagai suatu keniscayaan. Mengimani benda-
benda ghaib sejauh didasari dalil-dalil syar’i maupun aqli sama wajibnya dengan mempercayai
wujud ciptaan Tuhan yang lain di alam nyata.

Dalam bidang aqidah, Islam wasathiyah menentang keras sistem keyakinan kaum atheis
yang menafikan wujud Tuhan. Sebagaimana juga menolak tegas pluralisme Tuhan. Islam
mendoktrinkan Tauhid sebagaimana ditegaskan oleh QS. al-Ikhlash bahwa Tuhan itu tidak
beranak, tidak diperanakkan, serta tidak ada yang menandingi kemahakuasaannya. Makhluk
memiliki kapasitas ruang maupun waktu yang amat terbatas. Menuhankan atau mengidolakan
sesama makhluk dalam Islam disebut syirik dan tersesat.

Dalam bidang aqidah, Islam wasathiyah memberikan porsi berimbang antara fikir dan
dzikir, antara nalar dan spritual. Islam wasathiyah memposisikan akal sebagai pusat guna
mencapai mashlahah dalam hidup dan kehidupan. Bersamaan dengan itu, Islam wasathiyah
memposisikan wahyu sebagai pembimbing kebebasan nalar. Dengan demikian, keberadaan
wahyu dalam Islam tidak memasung fungsi akal. Sebaliknya, dengan wahyu perjalanan akal dan
nalar manusia mendapatkan bimbingan menuju mashlahah dunia akhirat.

Wasath dalam Ibadah


Ibadah dalam Islam dipersepsikan sebagai amalan suci dalam bentuk ritus-ritus agama. Ibadah
dalam Islam bukan terbatas pada amalan vertikal saja, melainkan dapat menjangkau pada jenis-
jenis amalan horizontal selama amalan tersebut diniatkan kepada Allah. Sehingga, banyak
perbuatan berdimensi duniawi, karena baiknya niat ia menjadi perbuatan akhirat. Sebaliknya,
banyak perbuatan ukhrawi, tapi karena niatnya jelek, berbalik menjadi perbuatan dunia.

Ibadah dalam Islam tidak dimaksudkan hanya pada rabbaniyyah yang mengabsolutkan
aspek ibadah tanpa pantulan nilai-nilai sosial kemanusiaan. Tetapi ibadah difungsikan sebagai
cara mengingat Tuhan setelah manusia bergelimang dengan pergulatan hidup sehari-hari.
Bekerja dan berusaha adalah suatu bentuk pengejawantahan fungsi manusia sebagai khalifah
Tuhan di bumi.

Wasath dalam akhlak


Manusia makhluk paling baik dan mulia. Manusia terdiri atas dua komponen yang saling
melengkapi, yaitu jiwa dan raga. Manusia juga memiliki akal dan nafsu. Dalam konteks ini, inti
ajarannya adalah bagaimana nafsu bisa ditaklukkan di bawah kendali akal agar potensi nafsu
menjadi muthmainnah (mengajak pada kebajikan); bukan ammarah (mengajak pada kerusakan).
Upaya penaklukan potensi nafsu ke bawah kendali akal ini menjadi pergumulan hidup sehari-
hari. Oleh karena itu, ajaran Islam sarat dengan anjuran berbuat bijak dan santun pada
sesamanya, seperti menyambung tali persaudaraan, menjenguk orang sakit, menyantuni yatim
piatu dan fakir miskin, dan bahu-membahu dan solidaritas. Kesemuanya itu dalam rangka
membentuk nafsu menjadi muthmainnah.

Pada sisi lain, Islam mengutuk jenis-jenis perbuatan tercela yang merugikan orang lain,
seperti ghibah (menggunjing), namimah (mengadu domba), al-hasad (dengki), ananiy
(egoisme), dan penyakit-penyakit hati lainnya karena perbuatan-perbuatan tersebut akan
menguatkan nafsu menjadi ammarah. Selanjutnya, Islam sangat menekankan pentingnya nilai-
nilai moral dan etik dalam kehidupan sosial. Berbagai bentuk ibadah, seperti, shalat Jum’at,
ibadah haji, shalat Idul Fitri dan Idul Adha, dan lain-lain jenis-jenis amalan seperti itu tidak saja
mempunyai dimensi ritus sebagai wujud penghambaan kepada sang Pencipta, tetapi sekaligus
merefleksikan muatan etika dan sosial bahwa di hadapan yang Mahakuasa manusia diperlakukan
sama. Yang membedakan manusia satu dengan yang lain adalah akhlak dan amal perbuatan
sebagai wujud ketaqwaan kepada Tuhannya.

Wasath dalam Tasyri’ (Pembentukan Syari’at)

Keseimbangan tasyri’ dalam Islam terlihat dalam penentuan halal dan haram yang selalu
mengacu pada alasan manfaat-mudharat, suci-najis, serta bersih-kotor. Satu-satunya tolok ukur
yang digunakan Islam dalam penentuan halal dan haram adalah mashlahah ummat atau dalam
bahasa kaedah fikih: jalbu al-mashalih wa dar’u al-mafasid.
Demikianlah karakteristik Islam wasathiyah. Oleh sebab itu, bersikap dan bertingkah laku yang
ideal, penuh keseimbangan dan proposional dalam syari’at Islam adalah ciri khas Islam
wasatiyah, dan itu seharusnya tertanam dalam pribadi muslim.

Maka, mempromosikan wasathiyah berarti menekankan kembali karakter Islam yang


mengajarkan toleransi, keseimbangan, keadilan, dan musyawarah. Dengan
menjadi wasatiyyah kita menyediakan ruang terbuka yang tepat dan nyaman bagi siapapun
termasuk agama lain sehingga mereka yakin bahwa Islam hanya membawa kebaikan dan kita
dapat meniru Rasulullah yang Rahmatan lil ‘alamin. Wasatiyah Islam menekankan prinsip-
prinsip kemanusiaan yang bisa mempertemukan agama-agama tanpa mempersoalkan perbedaan.
Wasatiyah Islam harus dipromosikan menjadi arus utama keagamaan umat Islam di Indonesia
agar ia menjadi kekuatan yang mampu menghentikan ekstremisme dan radikalisme.

Sebab-sebab munculnya ekstremisme

Islam adalah agama wasathiyah, tetapi ada sebagian kelompok yang membawa Islam ke
pemahaman dan pengamalan agama yang ekstrem. Hal itu disebabkan oleh beberapa faktor,
yakni :
Pertama, cara beragama yang hanya merujuk pada Al-Qur'an terjemahan dan internet tanpa
bimbingan ulama dan pakar maka cenderung ekslusif dan tekstual sehingga sangat gampang
menyalahkan bahkan mengkafirkan orang lain.

Kedua; pengetahuan agama yang diperoleh secara instan cenderung mengabaikan dimensi
batiniyah dan hanya terpaku pada dimensi lahiriyah. Akibatnya, batinnya menjadi kering dan
cenderung keras. Ia hanya terpaku pada hukum-hukum fiqih dan tidak mementingkan aspek
spritualitas, akhlak, cinta, kelemah-lembutan.

Ketiga; cenderung menafikan rasionalitas Islam. Tradisi keilmuan yang telah dibangun oleh para
ulama pada masa kejayaan Islam kurang memperoleh perhatian. Bahkan, yang berbau-bau
rasional dan filosofis cenderung diharamkan.

Keempat, tidak mempertimbangkan maqashid syariah sebagai dasar pijakan dalam menjalankan
ajaran Islam. Sebagai contoh, tujuan dalam kehidupan berbangsa adalah bagaimana tercapainya
kemaslahatan untuk umat Islam dan umat manusia. Selama sistem itu memberikan maslahat
besar bagi umat, itulah sistem yang Islami. Karena tidak menyelami tujuan-tujuan dari syariat
Allah, maka sebagian kita cenderung menjalankan agama secara formalistik, tidak substansial.

Relasi agama dan Negara

Indonesia merupakan contoh model relasi negara dan agama yang berhubungan dengan
selaras. Agama dan negara merupakan dua entitas yang berbeda, namun keduanya dipahami
saling menempatkan diri dimana agama dan negara dipahami sebagai saling membutuhkan
secara timbal balik. Agama membutuhkan negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan
mengembangkan agama, sebaliknya negara juga memerlukan agama karena agama juga
membantu dalam pembinaan moral, etika, dan spiritualitas.

Agama dalam konteks negara mesti diletakkan sebagai sumber nilai, dan secara
fungsional agama mengambil peran tawassuth (tengah), dalam arti menentukan visi
kenegaraannya dengan pendekatan membangun masyarakat Islam dari pada membangun negara
Islam. Paradigma Islam wasathiyah mesti menjadi corak faham keagamaan mainstream umat
Islam di Indonesia. Hal ini penting seiring dengan semakin kuatnya indikasi bergesernya gerakan
pemahaman keislaman di negeri ini ke kutub kiri ataupun kutub kanan. Pergeseran ke kutub kiri
memunculkan gerakan Iiberalisme, pluralisme dan sekularisme, sedangkan pergeseran ke kutub
kanan menumbuhkan radikalisme dan fanatisme sempit dalam beragama.

Ummatan wasathan adalah umat yang selaIu menjaga keseimbangan, tidak terjerumus ke
ekstremisme kiri atau kanan yang dapat mendorong kepada radikalisme dan tindakan kekerasan.

Radikalisme terbagi menjadi 3 bentuk yaitu radikal pemikiran, radikal sikap, dan radikal
tindakan. Radikalisme pemikiran dapat terdeteksi dari pola pikir seperti anti Pancasila sebagai
ideologi bangsa. Radikalisme sikap terlihat seperti tidak mau hormat kepada bendera merah
putih dan radikalisme tindakan terlihat dalam bentuk aksi perlawanan seperti aksi teror dan
anarkis.

Bangsa Indonesia yang multikultural ini membutuhkan pemahaman dan pengamalan


Islam yang komprehensif, luwes, dan luas. Maka, memahami Islam dalam konteks ummatan
wasathan adalah suatu pilihan yang tepat, yaitu suatu pemahaman dan pengamalan Islam yang
dilakukan dengan keterbukaan wawasan berpikir, non-sektarian, dan keluar dari ukuran-ukuran
fanatisme kelompok atau golongan, bahkan steril dari segala intervensi politik. Masih kuatnya
pengaruh fanatisme kekelompokan atau golongan yang membelah Islam secara sektarianisme-
ideologis justru hanya menempatkan Islam wasathiyah hanya sebatas wacana.

Anda mungkin juga menyukai