KAJIAN ISLAM
Oleh : Budi Kisworo
I. Dinamika masyarakat
Dinamika masyarakat selalu menuntut agama untuk memberikan
jawaban atas problematika yang dihadapi manusia. Islam sebagai agama yang
mengklaim dirinya sebagai rahmatan lil alamin harus bisa memenuhi tuntutan
itu. Jika ajaran Islam dilihat dari aspek hubungan dengan dinamika atau
perobahan masyarakat, maka dapat dilihat dalam empat kategori : (1) ajaran
yang mengatur hubungannya dengan Allah, (2) ajaran yang mengatur
hubungannya dengan diri sendiri, (3) ajaran yang mengatur hubunganya dengan
alam, dan (4) ajaran yang mengatur hubungan dengan manusia. Kalau ajaran-
ajaran yang pertama sampai ketiga tidak banyak persoalan, maka ajaran yang
keempat ini persoalannya sangat banyak, dan sangat menarik perhatian. Hal itu
disebabkan karena kehidupan manusia yang selalu berubah dari waktu ke waktu.
kenikmatan materi tidak menarik lagi. Bagi para filosof, kesenangan surga
adalah kenikmatan jiwa/intelek, sedang bagi kaum sufi adalah kesenangan
ruhani. Benar, bahwa ayat-ayat Alquran memberikan gambaran surga sebagai
kenikmatan materi, karena bagi orang awam kenikmatan materi atau jasmanilah
yang menarik hatinya, dan kesengsaraan jasmani yang mereka takuti. Tetapi
bagi para filosuf dan kaum sufi tidak demikian. Dalam hal ini, para filosuf dan
kaum sufi tidak memahami ayat-ayat tentang kehidupan akherat secara tekstual,
tetapi dari segi makna yang tersirat. Surga dan neraka tidak harus mempunyai
bentuk seperti yang digambarkan dalam Alquran.
Dalam bidang syari’at, ayat-ayat Alquran juga diperlakukan demikian.
Sebab, ayat-ayat yang berkenaan dengan hukum dan kemasyarakatan, menurut
penelitian Ahmad Amin, diperkirakan hanya berjumlah 200 ayat. Dari sekian
ayat itu pun tidak semuanya qath’iy (yang pasti dan tidak boleh diubah-ubah
dengan ijtihad). Bahkan lebih banyak ayat-ayat yang dzanniy (yang kurang/tidak
pasti dan bisa diubah-ubah oleh ijtihad). Yang sangat penting di sini adalah
pemaknaan qath’iy dan dzanniy, karena berangkat dari sinilah terjadinya
perbedaan pemahaman ayat.
Dalam kajian hukum Islam yang disebut qath’iy adalah sesuatu yang
pasti, tidak berubah-ubah dan karena itu bersifat fundamental; dalam hal ini
adalah nilai kemaslahatan dan keadilan itu sendiri. Ingat! Hukum dibentuk
adalah untuk menciptakan kemaslahatan dan menegakkan keadilan. Oleh karena
itu, jiwa hukum adalah kemaslahatan dan keadilan. Adapun yang disebut
dzanniy adalah sesuatu yang tidak pasti dan bisa diubah-ubah; yang dalam hal
ini seluruh ketentuan batang tubuh atau teks itu.
Kemaslahatan dan keadilan adalah dua hal yang bersifat universal.
Artinya setiap masyarakat manusia, di manapun ia berdomisili, dan dalam
zaman kapanpun ia hidup, selalu membutuhkan dua hal tersebut. Oleh karena
itu, ketika teks wahyu diturunkan kepada nabi Muhammad saw. berarti ia
memasuki pelataran sejarah manusia yang terikat oleh waktu dan tempat,
bersifat kultural-empirik. Bahasa Arab yang dipakai sebagai bahasa teks wahyu
sesungguhnya bersifat lokal, namun pesan yang terkandung di dalamnya bersifat
universal. Bukti bahwa bahasa Arab bersifat lokal dan pesan teks wahyu bersifat
universal adalah bahwa yang diseru oleh teks wahyu adalah semua manusia,
Arab dan non-Arab. Makna totalitas yang ada dalam pesan wahyu bisa jadi tidak
terwadahi semuanya di dalam teks. Oleh karena itu, sifat lokalitas ajaran Islam
5
yang muncul dalam bahasa dan budaya Arab, hendaknya dipahami sebagai
batang tubuh yang menyimpan instrumental-historis, sedangkan pesannya yang
bersifat universal dan fundamental harus selalu digali dan diformulasikan ke
dalam lokus bahasa dan budaya non-Arab. Dengan demikian, tujuan utama
diturunkannya syari’at/hukum, yakni mewujudkan kemaslahatan dan
menegakkan keadilan dapat teraktualisasi dalam kehidupan masyarakat manusia
di mana saja dan kapan saja.
Hal lain yang tak kalah penting untuk diperhatikan, utamanya dalam
mencermati fikih yang dihasilkan oleh mujtahid terdahulu adalah bahwa mereka
itu semua adalah orang-orang tercerahkan. Mereka hidup dalam lokal dan
budaya tertentu. Kultural impiris yang melatarbelakangi kehidupan mereka itu
membentuk pola pikir mereka dalam memahami teks wahyu yang selajutnya
mereka tuangkan dalam kitab-kitab fikih. Sampai di sini kita bisa memahami
bahwa sesungguhnya pemikiran fikih mereka itu bersifat lokal, kendati tidak
tertutup kemungkinan pesan univerlitasnya telah mencuat. Tentu saja upaya
pemahaman terhadap konteks historis seputar kehidupan mereka menjadi sangat
penting untuk diperhatikan agar kita tidak terjabak ke dalam makna lokalitas
saja.
Wallahu a’lam
7