Anda di halaman 1dari 7

1

KAJIAN ISLAM
Oleh : Budi Kisworo

I. Dinamika masyarakat
Dinamika masyarakat selalu menuntut agama untuk memberikan
jawaban atas problematika yang dihadapi manusia. Islam sebagai agama yang
mengklaim dirinya sebagai rahmatan lil alamin harus bisa memenuhi tuntutan
itu. Jika ajaran Islam dilihat dari aspek hubungan dengan dinamika atau
perobahan masyarakat, maka dapat dilihat dalam empat kategori : (1) ajaran
yang mengatur hubungannya dengan Allah, (2) ajaran yang mengatur
hubungannya dengan diri sendiri, (3) ajaran yang mengatur hubunganya dengan
alam, dan (4) ajaran yang mengatur hubungan dengan manusia. Kalau ajaran-
ajaran yang pertama sampai ketiga tidak banyak persoalan, maka ajaran yang
keempat ini persoalannya sangat banyak, dan sangat menarik perhatian. Hal itu
disebabkan karena kehidupan manusia yang selalu berubah dari waktu ke waktu.

II. Ajaran tentang Dinamika Masyarakat Islam


Ada dua ajaran yang erat kaitannya dengan dinamika masyarakat Islam,
yaitu :
Pertama, agama mengajarkan bahwa sesudah kehidupan pertama di
dunia yang bersifat material, ada hidup kedua yang bersifat immaterial, atau
spiritual. Bagaimana pandangan seseorang/masyarakat terhadap kedua bentuk
kehidupan ini akan sangat berpengaruh terhadap dinamika masyarakat.
Masyarakat yang lebih menitik beratkan pada kehidupan akhirat, cenderung
statis, jumud dan terbelakang. Sebaliknya, masyarakat yang memandang penting
kehidupan duniawi, maka akan bersifat dinamis, dan etos kerja akan meningkat.
Kedua, agama mempunyai ajaran tentang nasib manusia. Kalau
masyarakat meyakini bahwa nasib manusia telah ditentukan Tuhan sejak
semula, dalam arti bahwa perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan dan
manusia tinggal menerima apa-apa yang menjadi kehendak Tuhan atas dirinya,
maka dinamika dan etos kerja masyarakat akan rendah sekali. Tetapi masyarakat
yang menganut paham bahwa manusialah yang menentukan nasibnya dan
manusialah yang menciptakan perbuatannya, dinamika masyarakat sangat
tinggi, etos kerja akan meningkat.
2

Dalam kajian pemikiran Islam, paham pertama dikenal dengan filsafat


fatalisme atau jabariyah, paham kedua disebut free act/free will, atau qadariyah.
Alquran dan Hadits mengandung ajaran yang dapat melahirkan kedua paham
tersebut.
Contoh ayat yang berpotensi memunculkan paham jabariyah misalnya
surat al-Anfal ayat 17:
           
            
Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi
Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu
melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk
membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang
mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha mendengar
lagi Maha mengetahui.

Begitu pula dalam surat al-Hadid ayat 22 :


              
       
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu
sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami
menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”
Sedangkan ayat-ayat yang berpotensi melahirkan paham qadariyah
misalnya surat Kahfi ayat 29:
…           
“Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa
yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir)
Biarlah ia kafir…”
Disebutkan juga dalam surat Fushilah ayat 40:
         
“Perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya Dia Maha melihat apa
yang kamu kerjakan.”
Selanjutnya, ungkapan Alquran yang menggunakan katadasar aql
sebanyak 30 kali :
1. Afala ta’qilun (15 ayat) = tidakkah kamu berpikir
2. La’allakum ta’qilun( 8 ayat) = semoga kamu pikirkan
3

3. La ya’qilun ( 7 ayat) = tidak mereka pikirkan


4. In kuntum ta’qilun ( 2 ayat) = jika kamu pikirkan
Ungkapan yang mengandung arti kerja akal disebutkan :
1. dabbara (8 ayat) = merenungkan
2. faqiha (20 ayat) = mengerti
3. Nazhara (30 ayat) = melihat dalam arti merenungkan
4. Tafakkara (16 ayat) = berpikir.
Dalam menanggapi perintah-perintah Tuhan dalam soal penggunaan
akal, umat Islam zaman klasik telah meresponnya dengan benar. Mereka
meletakkan akal pada posisi yang sangat terhormat. Teologi atau filsafat hidup
Islam dalam corak liberal yang sangat menghargai akal dianut oleh masyarakat
Islam zaman klasik itu sehingga mampu mengubah pola hidup mereka dari
masyarakat primitif di padang pasir menjadi masyarakat modern di Baghdad.

III. Pemahaman Terhadap Teks Ajaran Islam (Alquran-As-Sunnah)


Dalam bidang akidah, para ulama mengatakan, ayat-ayat Alquran itu
mempunyai dua arti, arti lahir dan arti batin, arti tersurat dan arti tersirat.
Selanjutnya dijelaskan,  dalam kaitannya dengan pemahaman Alquran 
manusia dibedakan ke dalam dua golongan besar; awam dan khawas. Orang-
orang awam memahami ayat-ayat Alquran menurut tingkat kemampuan mereka,
yaitu hanya kepada arti lahir, yang tersurat; sedangkan orang-orang khawas
memahami ayat-ayat Alquran menurut ketajaman akal mereka, yakni sampai
kepada arti batin, atau makna tersirat. Senada dengan ini, Muhammad Abduh
juga menjelaskan bahwa ayat-ayat Alquran terbagi dua; pertama, ayat-ayat yang
ditujukan kepada orang-orang awam; kedua, ayat-ayat yang ditujukan kepada
orang-orang khawas. Ayat-ayat yang ditujukan kepada orang-orang awam, turun
dengan bahasa yang mudah dipahami, sedangkan ayat-ayat yang ditujukan
kepada orang-orang khawas, turun dengan bahasa yang hanya dapat dipahami
oleh mereka. Pemahaman yang dilakukan oleh mereka terhadap ayat-ayat ini
adalah dengan mencari arti batin (tersirat) agar diterima akal. Misalnya saja,
dalam memahami ayat-ayat eskatologis, khususnya ayat-ayat yang menerangkan
tentang kenikmatan surgawi, orang-orang awam memahami apa adanya seperti
yang tersurat dalam teks Alquran (secara tekstual), yakni berupa kenikmatan
materi/jasmani. Tetapi, bagi orang-orang khawas, yakni para filosuf dan kaum
sufi, keadaan surga seperti yang digambarkan dalam Alquran berupa
4

kenikmatan materi tidak menarik lagi. Bagi para filosof, kesenangan surga
adalah kenikmatan jiwa/intelek, sedang bagi kaum sufi adalah kesenangan
ruhani. Benar, bahwa ayat-ayat Alquran memberikan gambaran surga sebagai
kenikmatan materi, karena bagi orang awam kenikmatan materi atau jasmanilah
yang menarik hatinya, dan kesengsaraan jasmani yang mereka takuti. Tetapi
bagi para filosuf dan kaum sufi tidak demikian. Dalam hal ini, para filosuf dan
kaum sufi tidak memahami ayat-ayat tentang kehidupan akherat secara tekstual,
tetapi dari segi makna yang tersirat. Surga dan neraka tidak harus mempunyai
bentuk seperti yang digambarkan dalam Alquran.
Dalam bidang syari’at, ayat-ayat Alquran juga diperlakukan demikian.
Sebab, ayat-ayat yang berkenaan dengan hukum dan kemasyarakatan, menurut
penelitian Ahmad Amin, diperkirakan hanya berjumlah 200 ayat. Dari sekian
ayat itu pun tidak semuanya qath’iy (yang pasti dan tidak boleh diubah-ubah
dengan ijtihad). Bahkan lebih banyak ayat-ayat yang dzanniy (yang kurang/tidak
pasti dan bisa diubah-ubah oleh ijtihad). Yang sangat penting di sini adalah
pemaknaan qath’iy dan dzanniy, karena berangkat dari sinilah terjadinya
perbedaan pemahaman ayat.
Dalam kajian hukum Islam yang disebut qath’iy adalah sesuatu yang
pasti, tidak berubah-ubah dan karena itu bersifat fundamental; dalam hal ini
adalah nilai kemaslahatan dan keadilan itu sendiri. Ingat! Hukum dibentuk
adalah untuk menciptakan kemaslahatan dan menegakkan keadilan. Oleh karena
itu, jiwa hukum adalah kemaslahatan dan keadilan. Adapun yang disebut
dzanniy adalah sesuatu yang tidak pasti dan bisa diubah-ubah; yang dalam hal
ini seluruh ketentuan batang tubuh atau teks itu.
Kemaslahatan dan keadilan adalah dua hal yang bersifat universal.
Artinya setiap masyarakat manusia, di manapun ia berdomisili, dan dalam
zaman kapanpun ia hidup, selalu membutuhkan dua hal tersebut. Oleh karena
itu, ketika teks wahyu diturunkan kepada nabi Muhammad saw. berarti ia
memasuki pelataran sejarah manusia yang terikat oleh waktu dan tempat,
bersifat kultural-empirik. Bahasa Arab yang dipakai sebagai bahasa teks wahyu
sesungguhnya bersifat lokal, namun pesan yang terkandung di dalamnya bersifat
universal. Bukti bahwa bahasa Arab bersifat lokal dan pesan teks wahyu bersifat
universal adalah bahwa yang diseru oleh teks wahyu adalah semua manusia,
Arab dan non-Arab. Makna totalitas yang ada dalam pesan wahyu bisa jadi tidak
terwadahi semuanya di dalam teks. Oleh karena itu, sifat lokalitas ajaran Islam
5

yang muncul dalam bahasa dan budaya Arab, hendaknya dipahami sebagai
batang tubuh yang menyimpan instrumental-historis, sedangkan pesannya yang
bersifat universal dan fundamental harus selalu digali dan diformulasikan ke
dalam lokus bahasa dan budaya non-Arab. Dengan demikian, tujuan utama
diturunkannya syari’at/hukum, yakni mewujudkan kemaslahatan dan
menegakkan keadilan dapat teraktualisasi dalam kehidupan masyarakat manusia
di mana saja dan kapan saja.
Hal lain yang tak kalah penting untuk diperhatikan, utamanya dalam
mencermati fikih yang dihasilkan oleh mujtahid terdahulu adalah bahwa mereka
itu semua adalah orang-orang tercerahkan. Mereka hidup dalam lokal dan
budaya tertentu. Kultural impiris yang melatarbelakangi kehidupan mereka itu
membentuk pola pikir mereka dalam memahami teks wahyu yang selajutnya
mereka tuangkan dalam kitab-kitab fikih. Sampai di sini kita bisa memahami
bahwa sesungguhnya pemikiran fikih mereka itu bersifat lokal, kendati tidak
tertutup kemungkinan pesan univerlitasnya telah mencuat. Tentu saja upaya
pemahaman terhadap konteks historis seputar kehidupan mereka menjadi sangat
penting untuk diperhatikan agar kita tidak terjabak ke dalam makna lokalitas
saja.

IV. Islam Rasional dan Islam Tradisional


Islam pernah jaya pada zaman klasik karena mereka mengembangkan
teologi Sunnatullah atau teologti rasional. Ciri-cirinya adalah : (1) kedudukan
akal tinggi, (2) kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan, (3)
kebebasan berpikir hanya diikat oleh ajaran-ajaran dasar dalam Alquran dan
hadits, (4) percaya akan adanya sunnatullah dan kausalitas, (5) mengambil arti
metaforis dari teks wahyu, dan (6) dinamika dalam bersikap dan berpikir.
Pada zaman pertengahan umat Islam mengalami kemunduran karena
teologi yang berkembang adalah teologi Jabbariyah atau teologi tradisional.
Ciri-cirinya : (1) kedudukan akal rendah, (2) ketidak bebasan manusia dalam
kemauan dan perbuatan, (3) kebebasan berpikir diikat dengan banyak dogma,
(4) ketidakpercayaan kepada sunatullah dan kausalitas, (5) terikat kepada arti
tektual dari Alquran dan hadits, dan (6) statis dalam sikap dan berpikir.
Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 13 M. atau pada zaman
pertengahan. Itu artinya bahwa Islam yang datang ke Indonesia bukan Islam
yang dilandasi oleh teologi sunnatullah, melainkan Islam yang diwarnai oleh
6

pemikiran tradisional, non-filosofis, dan non-ilmiah. Teologi kehendak mutlak


Tuhan, non-filosofis, dan non-ilmiah amat besar pengaruhnya terhadap umat
Islam Indonesia sejak semula. Banyak umat Islam Indonesia yang sangat
percaya bahwa nasib secara mutlak terletak di tangan Tuhan. Tarekat di
Indonesia hidup dengan subur dan banyak membentuk pola pikir dan perilaku
manusia Indonesia. Orientasi kehidupan akhirat masih dominan dari pada hidup
material duniawi. Karena itu, produktifitas kerja umat Islam Indonesia kurang
bergairah.
Kesadaran pembaharuan di Indonesia bukan karena ingin
mengembalikan kejayaan Islam masa lampau seperti yang pernah terjadi di
negeri-negeri Timur tengah, melainkan karena alasan-alasan : (1) untuk
memperbaiki sistem pendidikan Islam yang terbelakang dibanding dengan
sistem pendidikan Belanda, (2) membendung usaha kristenisasi yang didukung
oleh penjajah, dan (3) mengurangi pengaruh tarekat yang berkembang di
masyarakat Indonesia.
Dengan demikian, sesungguhnya pembaharuan pemikiran Islam di
Indonesia yang dipelopori oleh Muhammadiyah baru menyentuh masalah-
masalah furu’, belum menyentuh masalah yang paling krusial yaitu
mengembalikan cara pemahaman Islam kepada teologi sunnatullah, kepada
pemikiran liberal filosofis. Teologi yang dianut oleh pembaharu Indonesia
masih tetap teologi Asy’ariyah, pemikiran tradisional, dan kepercayaan kepada
qadla dan qadar masih melekat kuat. Hal ini antara lain disebabkan karena di
Indonseia, orang mengenal Islam dari sudut fikih, khususnya fikih Syafi’iyah
ditambah dengan tinjauan tauhid dalam teologi Asy’ariyah (tradisional). Islam
yang dikenal di Indonesia umumnya Islam dalam interpretasi Asy’ariyah dan
Syafi’iyah.
Usaha-usaha pembaharuan Islam di Indoensia belum juga berhasil. Hal
itu disebabkan a.l.:(1) Karena umumnya pandangan umat Islam Indonesia
tentang Islam masih sempit, hanya bersifat legalistik; pandangan teologis,
filosofis, dan ilmiah kurang mendapat perhatian, dan (2) Umat Islam umumnya
sangat terikat tradisi, yaitu pola pikir ulama timur tengah ribuan tahun silam.
Akibatnya, ketika menyelesaikan persoalan-persoalan kontemporer, mereka
rujukkan kepada pendapat para ulama, bukan kepada Alquran dan Hadits

Wallahu a’lam
7

Bengkulu, 12 Maret 2005

Anda mungkin juga menyukai