Daftar Pustaka..........................................................................................................................9
BAB III
SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN KAIDAH-KAIDAH FIQIH
1
kaidah- kaidah umum, di samping memang ditemukan hukum- hukum spesifik
dalam Al-Qur`an dan hadits. Prinsip- rinsip dan kaidah-kaidah umum tersebut
dapat dijadikan sebagai kerangka berpikir dalam penyelesaian suatu persoalan
hukum.
Dikemukakan oleh al-Khudhari Bik dan Abdul Wahhab Khallaf, bahwa
Nabi dan para sahabat telah meninggalkan asas-asas pembinaan hukum Islam,
yang menjadi prinsip untuk dipedomani dalam pemikiran hukum Islam, yaitu:
b. Taqlil at-Takalif. Prinsip ini adalah kelanjutan dari prinsip di atas, yaitu
prinsip menyedikitkan beban. Allah melarang kaum muslimin
memperbanyak pertanyaan tentang hukum yang belum ada, yang
berakibat akan memberatkan mereka sendiri. Allah berfirman: Hai
orang-orang yang beriman: Janganlah kamu bertanya-tanya tentang
sesuatu yang kalau diterangkan kepadamu akan menyusahkanmu, tetapi
kalau kamu tanyakan pada waktu diturunkan ayat-ayat Al-Qur`an, akan
diterangkan kepadamu; Allah memaafkan kamu dan Allah Maha
Pengampun lagi Penyayang. Ayat ini mengandung makna bahwa
sesungguhnya Islam mengajarkan umatnya untuk berusaha bersikap
realistis. Dalam hal sesuatu itu tidak dijelaskan aturannya dengan jelas,
maka cukup dipedomani ayat-ayat yang bersifat umum dan tidak banyak
2
memberi beban yang menyulitkan manusia, baik secara individu maupun
sosial. Sebab, Allah menginginkan kemudahan dan keringanan, tidak
menginginkan hal-hal yang memberatkan. Hal ini, diperkuat oleh firman
Allah: Allah menghendaki keringanan bagimu dan tidak menghendaki
kesukaran (al-Baqarah: 185) dan firman Allah: Allah ingin meringankan
keberatanmu, karena manusia diciptakan dalam keadaan lemah (Ali
„Imran: 28).
c. At-Tadrij fi at-Tasyri‟. Prinsip ini berarti bahwa hukum Islam itu
ditetapkan secara bertahap. Pada kenyataannya, setiap manusia dalam
masyarakat mempunyai tradisi atau adat kebiasaan, baik tradisi yang
baik maupun tradisi yang tidak baik, bahkan membahayakan. Mereka
jelas sudah terbiasa mempreaktekkan tradisi yang dianut, sehingga
sangat sulit untuk melakukan suatu perubahan dari satu tradisi (lama) ke
tradisi (baru) yang lain. Ibn Khaldun pernah mengatakan: Suatu
masyarakat akan menentang apabila ada sesuatu yang baru atau
sesuatu yang datang kemudian dalam kehidupannya, terutama apabila
sesuatu yang baru itu bertentangan dengan tradisi yang ada.
d. Musayarah bi mashalih an-nas. Prinsip ini berarti bahwa penetapan
suatu hukum haruslah sejalan dengan kemaslahatan manusia, baik
individu maupun sosial. Dengan ungkapan lain, penetapan hukum tidak
pernah meninggalkan unsur masyarakat sebagai bahan pertimbangan.
Sebagai penjabaran dari prinsip ini, paling tidak ada tiga kriteria
penetapan hukum: Pertama, hukum yang ditetapkan itu benar-benar
untuk kemaslahatan manusia dan mereka memang membutuhkan aturan
hukum itu, dalam rangka mewujudkan kemaslahatan dan kesejahteraan.
Kedua, hukum itu ditetapkan oleh pihak berwenang atau memiliki
otoritas, sehingga dapat mengikat masyarakat. Dalam kaidah fiqih
disebutkan „Hukm al-hakim ilzam wa yarfa‟ al- khilaf‟. Keputusan dan
aturan penguasa itu mengikat dan menghilangkan perbedaan pendapat.
Ketiga, hukum itu ditetapkan sesuai dengan kebutuhan.
3
ini belum muncul, namun telah ada embrionya berupa ungkapan-ungkapan
Rasul Allah yang diidentifikasi sebagai kaidah fiqih.
Umpamanya hadits Rasul Allah yang berbunyi:
َ ض َر َر َواَل ضِ َر
ار َ اَل
Artinya: “Tidak boleh membuat kemudharatan dan tidak boleh membalas
dengan kemudharatan”.
ٍ ْس لِِإْل َم ِام اَنْ ي ُْخ ِر َج َش ْيًئ ا ِمنْ َي ِد اَ َح ٍد ِإالَّ ِب َح ٍّق َث ِاب
ٍ ت َمعْ ر ُْو
ف َ َلي
Artinya: “Tidak ada wewenang bagi imam mengambil sesuatu dari
kekuasaan seseorang kecuali dengan dasar hukum yang benar-benar
dikenal (berlaku)” (ash-Shiddieqy, 1976:35)
Estimasi tentang asal mula kemunculan kaidah fiqh di atas, pada dasarnya
hanya merupakan dugaan kuat dari para ahli hukum Islam. Hal ini, setelah para
ulama memproyeksikan definisi-definisinya terhadap teks-teks terdahulu yang
memenuhi kriteria sebagai kaidah fiqh, yakni suatu proposisi yang bersifat umum
dalam bentuk teks-teks perundang-perundangan dan mencakup partikular-
partikular yang relevan dengan proposisi tersebut.
2. Periode Kodifikasi
Seiring dengan perkembangan pemikiran hukum Islam, kaidah-kaidah fiqh
juga mendapat perhatian serius dari para ulama berbagai mazhab hukum.
Keseriusan mereka terlihat dari adanya upaya-upaya pengkodifikasian kaidah-
4
kaidah fiqh tersebut. Asymuni
5
„al-„Ala‟i “al- Majmu al-Mazhab” dengan judul Tahrir al-Qawa‟id al-„Ala‟
iyah wa Tahmid al-Masalik al-Fiqhiyah. Dalam waktu yang bersamaan muncul
Taqy ad-Din al-Husni dengan bukunya al-Qawa‟id. Demikian juga Abdurrahman
Ibn Ali al-Maqsidi yang dikenal dengan Syakir dengan kitabnya Nadzm al-
Zaha‟ir fi al-Asybah wa al-Naza‟ir. Kemudian muncul Ibn Abd al-Hadi dengan
kitabnya al-Qawa‟id wa ad-Dhawabith. Pada gilirannya lahir Ibn al-Ghazali al-
Maliki yang menulis sebuah kitab yang berjudul al-Kulliyat al-Fiqhiyah wa al-
Qawa‟id (Al-Munawwar.12-13)
6
kaidah yang relevan dengan masyarakat Turki. Kaidah-kaidah ini dimuat dalam
al-fiqh al-Islami fi Tsaubih al-jadid, karya Musthafha Ahmad al-Zarqa. Kemudian
Sayyid Muhammad Hamzah (seorang mufti damaskus) telah mengkodipikasi
kaidah-kaidah fiqih dengan sistematika fiqh yang diberi judul al-fawa id al-
Bahiyah fi al Qowaid al- fiqhiyah.
7
DAFTAR PUSTAKA
Abu Sulaiman, „Abd al-Wahab Ibrahim. 1984. Al-Fikr al- Ushuli: Dirasah
Tahliliyah Naqdiyah. Mekkah: Dar asy-Syuruq.
Abu Zahrah, Muhammad. 1958. Ushul al-Fiqh. Kairo: Dar al-Fikr al-„Arabi.
Al-Bannani, 1983. Hasyiyah al-Bannani „Ala Syarah al- Mahalli „ala Matn
Jam‟ al-Jawami‟. Beirut: Dar al- Kutub al-„Ilmiyah.
Farouq, Abu Zaid. t.t. asy-Syari‟ah al-Islamiyah Bain al- Muhafizhin wa al-
Mujaddidin. Kairo: Dar al- Mauqif.