1 Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: LPPM Universtas Islam Bandung, 1995), hlm. 122-125.
2 Dede Rosyada, Ushul Fiqih, (Jakarta: Dirjen Binbaga Agama Islam, 2002), hlm. 470.
3 Abdul al-‘Aziz Muhammad ‘Azzam, al-Qawa’id al-Fiqhiyah, (al-Qahirah: Dar al-Hadits, 2005), hlm. 60-61. Bandingkan
dengan Ibn Nujaim, al-Asybh wa al-Nazhair, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1983), hlm. 85.
HUKUM ISLAM MATERI KE-5
apabila kamu telah mendapat petunjuk…”. Demikian pula disebutkan dalam al-Qur’an surat al-An’am
ayat 145: “Katakanlah, Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang
diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali daging hewan yang mati (bangkai),
darah yang mengalir, daging babi, karena semua itu kotor, atau hewan yang disembelih bukan atas
(nama) Allah. Tetapi barangsiapa terpaksa bukan karena menginginkan dan tidak melebihi (batas
darurat) maka sungguh, Tuhanmu Maha Pengampun, Maha Penyayang”.
b. Tindakan darurat hanya dilakukan sekedarnya tanpa melampaui batas;
c. Tidak ada jalan halal atau mubah yang dapat dilakukan kecuali dengan melakukan yang dilarang.
3. Adl-Dlararu Yuzalu,
Artinya kemudharatan itu harus dihilangkan. Kaidah ini bersumber dari hadits Nabi yang berbunyi La
Dlarara wa La Dlirara fi al-Islam (tidak boleh memudlaratkan atau mempersulit orang lain dan tidak boleh
ada kemudlaratan/kesulitan bagi diri sendiri dalam Islam).” (H.R. Malik dari Ibnu Majah).
Hadits tersebut merupakan salah satu dasar bahwa kemudlaratan harus dihilangkan. Kaidah ini disebut
sebagai kaidah dharurah yang berarti adanya suatu keadaan yang jika aturan hukum dilaksanakan sesuai
tuntunan aslinya, maka seorang mukallaf akan memperoleh mafsadah yang akan berhubungan dengan
hifdzu an-nafs atau keharusan memelihara jiwa. Misalnya, memakan barang haram karena terpaksa, tidak
ada makanan lain, dan apabila tidak memakannya bisa mati.
Kaidah dalam penerapannya harus sangat hati-hati, kalau tidak akan melampaui batas-batas yang
diperbolehkan agama. Terdapat syarat-syarat penting yang harus diperhatikan agar penerapan kaidah ini
tidak melampaui batas. Pertama, kemudlaratan itu benar-benar terjadi, bukan diperkirakan akan terjadi.
Kedua, dalam keadaan darurat yang dibolehkan hanya sekadarnya saja. Ketiga, kemudaratan tidak boleh
dihilangkan dengan kemudlaratan yang lain yang sama tingkatannya. Tidak dibenarkan seseorang yang
kelaparan mengambil makanan orang lain yang juga akan mati kelaparan.4
4 Ahmad Djazuli, Ilmu Fiqih Penggalian, Perkembangan, Penerapan Hukum Islam.... hlm. 110.
HUKUM ISLAM MATERI KE-5
mengharamkan) rezeki yang baik?’ Katakanlah, ‘Semuanya itu (disediakan) bagi orangorang yang beriman
dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-
ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui”.
Kaidah ini juga bersumber dari hadits Nabi: “Jika salah seorang di antara kamu merasakan sesuatu di
perutnya, kemudian meragukan apakah keluar angin dari perutnya atau tidak, ia jangan keluar dari masjid
hingga mendengar suara atau mencium bau”. (H.R. Muslim)
Hadits lain sebagai sumber dari kaidah ini adalah: “Jika salah seorang dari kamu ragu-ragu di dalam
salatnya sehingga tidak tahu berapa rakaat yang telah dilakukan apakah baru tiga atau telah empat rakaat,
buanglah keraguan dan tetapkanlah (bilangan rakaat) atas apa yang diyakininya”. (H.R. Muslim)
Kata yakin dalam hal ini adalah sesuatu yang menjadi mantap karena pandangan atau dengan adanya
dalil. Misalnya, ketika seseorang yang merasa wudlunya batal, maka seorang itu harus yakin dengan
kebatalannya, semisal dengan merasakan dan mendengar adanya angin yang keluar.
Dalam hal ibadah terdapat sebuah contoh, apabila ia yakin telah berwudlu, kemudian dalam waktu yang
lama datang keraguan apakah sudah batal atau belum, maka ia tetap dalam keadaan suci. Juga sebaliknya,
apabila dia yakin belum wudlu sebelumnya, kemudian dalam waktu yang lama timbul keraguan apakah
sudah wudlu atau belum, maka ia tetap dalam keadaan berhadats.
Dalam bidang muamalah, apabila terdapat bukti kwitansi bahwa seseorang berhutang. Kemudian, jika
timbul perselisihan antara debitur dan kreditur, apakah hutang sudah dilunasi atau belum, maka yang
dipegang adalah pernyataan debitur, sebab hal ini lebih meyakinkan, bahwa masih ada hutang dari bukti
tersebut.
6. Al-‘Addat Muhakkamah,
Artinya adat kebiasaan itu dikokohkan. Kaidah ini memberi pengertian bahwa untuk menentukan hukum
yang berdasarkan dari hasil penalaran dapat diterima salah satu teknik menentukan hukum melalui adat
kebiasaan. Namun demikian, adat dan/atau ‘urf keduanya dikenal dalam hukum Islam, yang pada dasarnya
mempunyai persamaan arti, tetapi ada juga yang membedakan keduanya. Al-‘Addah diartikan sebagai setiap
kebiasaan yang diterima oleh masyarakat, baik yang mempunyai kekuatan mengikat secara hukum atau
tidak. Misalnya adat kebiasaan dalam upacara peminangan, perkawinan, dan sebagainya.
Menyalahi adat istiadat yang tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum tidak mempunyai
akibat hukum sama sekali. Berbeda halnya jika adat istiadat itu mempunyai kekuatan mengikat secar hukum.
Sebagai contoh, harta gono gini dalam perkawinan. Jika perkawinan terputus, harta gono gini akan
ditetapkan separuh harta untuk hak bagian suami dan separuh harta untuk hak bagian istri sesuai hukum
adat yang berlaku.