Anda di halaman 1dari 6

HUKUM ISLAM MATERI KE-5

Mata Kuliah : Hukum Islam


Kode : MBB.6201102
Bobot : 2 SKS
Dosen Pengampu : Farida Nurun Nazah, S.HI.,MH

KAIDAH-KAIDAH HUKUM ISLAM

A. Pengertian Kaidah Hukum Islam


Kaidah hukum Islam atau biasa disebut qawa’idul fiqihiyyah atau kaidah fiqihiyyah merupakan salah
satu disiplin ilmu yang tidak berdiri sendiri dalam tema dan kajiannya. Sebagai derifasi dari fiqih atau hukum
Islam, kaidah fiqihiyyah merupakan simpul-simpul umum dari beberapa permasalahan hukum Islam yang
dapat digunakan oleh kalangan awam maupun ahli fiqih dalam mencari solusi permasalahan hukum yang
muncul di tengah masyarakat dalam berbagai tema baik ibadah, muamalah, maupun isu-isu hukum Islam
kontemporer.
Adapun pengertian kaidah fiqihiyyah dapat diurai dari kaidah dan fiqih. Kaidah adalah hukum yang
bersifat universal (kulli) yang diikuti oleh satuan-satuan hukum (juz’i). Sementara arti fiqih dari
beberapa definisi yang dikemukankan fuqaha’ berkisar pada rumusan berikut:
1. Fiqih merupakan bagian dari Syari’ah.
2. Hukum yang dibahas mencakup hukum amali.
3. Obyek hukum pada orang-orang mukallaf.
4. Sumber hukum berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah atau dalil lain yang bersumber
pada kedua sumber utama tersebut.
Kaidah-kaidah fiqih yang bersifat umum mengharuskan kita untuk berhati-hati dan lebih teliti dalam
menggolongkan atau memasukkan permasalahan-permasalahan yang memiliki kekhususan dan
pengecualian. Seperti sejauh mana ruang lingkup kaidah tersebut, materi-materi fiqih mana yang termasuk
dan atau berada di luar ruang lingkup kaidah-kaidah fiqih.
HUKUM ISLAM MATERI KE-5

B. Dasar Hukum Kaidah Fiqhiyyah


Terdapat beberapa kaidah fiqih yang menurut Al-Qadhi Husein merupakan kaidah induk,1 dan kaidah
induk ini bersumber dari al-Qur’an dan Hadits, yakni:
1. Al-Masyaqqatu Tajlibu at-Taysir
Artinya kesulitan itu mendatangkan kemudahan. Maksudnya adalah hukum-hukum yang dalam
penerapannya menimbulkan kesulitan bagi mukallaf (subyek hukum), maka syariat Islam memberikan
keringanan dan kemudahan sehingga ia mampu melaksanakannya.
Kaidah ini bersumber dari firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Hajj ayat 78: “Dan (Dia) sekali-kali tidak
menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”. Juga bersumber pada al-Qur’an surat al-Baqarah
ayat 185: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”.
Bila dipahami dari kedua makna ayat tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya Allah
ketika mensyariatkan Islam kepada umat Nabi Muhammad bersifat mudah dan fleksibel, dan tidak akan
membebani mereka di luar potensi kemampuan yang dimiliki.
Kesukaran (kesulitan atau kesempitan) mendatangkan kemudahan. Kaidah ini disebut sebagai kaidah
rukhshah yang berarti memberikan keringanan pelaksanaan aturan-aturan syariat dalam keadaan khusus
yang menuntut adanya keringanan pelaksanaan. Rukhshah ini berbeda dengan dharurah pada tingkat
mafsadah (kerusakan atau kesukaran) yang akan ditimbulkannya. Dalam rukhshah, mafsadah yang
ditimbulkan tidak sekuat mafsadah pada dharurah yang senantiasa dikaitkan dengan memelihara jiwa.2

2. Adl-Dlaruratu Tubihu al-Mahdzurat,


Artinya keadaan darurat membolehkan sesuatu yang dilarang. Kaidah kedua ini bersumber dari al-
Qur’an surat al-An’am ayat 119 yang artinya: “….. padahal Allah telah menjelaskan kepadamu apa yang
diharamkan-Nya kepadamu, kecuali jika kamu dalam keadaan terpaksa……”. Ayat tersebut memberikan
penjelasan yang sangat lugas bahwa kondisi terpaksa (darurat) yang dihadapi seseorang untuk
mengkonsumsi sesuatu yang diharamkan oleh agama dibolehkan selama tidak berlebihan.3
Maksud darurat di sini bila memenuhi 3 (tiga) hal, yaitu:
a. Kondisi darurat itu mengancam jiwa atau anggota badan, seperti dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-
Maidah ayat 105: …..”Jagalah dirimu, karena orang yang sesat itu tidak akan membahayakanmu

1 Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: LPPM Universtas Islam Bandung, 1995), hlm. 122-125.
2 Dede Rosyada, Ushul Fiqih, (Jakarta: Dirjen Binbaga Agama Islam, 2002), hlm. 470.
3 Abdul al-‘Aziz Muhammad ‘Azzam, al-Qawa’id al-Fiqhiyah, (al-Qahirah: Dar al-Hadits, 2005), hlm. 60-61. Bandingkan

dengan Ibn Nujaim, al-Asybh wa al-Nazhair, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1983), hlm. 85.
HUKUM ISLAM MATERI KE-5

apabila kamu telah mendapat petunjuk…”. Demikian pula disebutkan dalam al-Qur’an surat al-An’am
ayat 145: “Katakanlah, Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang
diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali daging hewan yang mati (bangkai),
darah yang mengalir, daging babi, karena semua itu kotor, atau hewan yang disembelih bukan atas
(nama) Allah. Tetapi barangsiapa terpaksa bukan karena menginginkan dan tidak melebihi (batas
darurat) maka sungguh, Tuhanmu Maha Pengampun, Maha Penyayang”.
b. Tindakan darurat hanya dilakukan sekedarnya tanpa melampaui batas;
c. Tidak ada jalan halal atau mubah yang dapat dilakukan kecuali dengan melakukan yang dilarang.

3. Adl-Dlararu Yuzalu,
Artinya kemudharatan itu harus dihilangkan. Kaidah ini bersumber dari hadits Nabi yang berbunyi La
Dlarara wa La Dlirara fi al-Islam (tidak boleh memudlaratkan atau mempersulit orang lain dan tidak boleh
ada kemudlaratan/kesulitan bagi diri sendiri dalam Islam).” (H.R. Malik dari Ibnu Majah).
Hadits tersebut merupakan salah satu dasar bahwa kemudlaratan harus dihilangkan. Kaidah ini disebut
sebagai kaidah dharurah yang berarti adanya suatu keadaan yang jika aturan hukum dilaksanakan sesuai
tuntunan aslinya, maka seorang mukallaf akan memperoleh mafsadah yang akan berhubungan dengan
hifdzu an-nafs atau keharusan memelihara jiwa. Misalnya, memakan barang haram karena terpaksa, tidak
ada makanan lain, dan apabila tidak memakannya bisa mati.
Kaidah dalam penerapannya harus sangat hati-hati, kalau tidak akan melampaui batas-batas yang
diperbolehkan agama. Terdapat syarat-syarat penting yang harus diperhatikan agar penerapan kaidah ini
tidak melampaui batas. Pertama, kemudlaratan itu benar-benar terjadi, bukan diperkirakan akan terjadi.
Kedua, dalam keadaan darurat yang dibolehkan hanya sekadarnya saja. Ketiga, kemudaratan tidak boleh
dihilangkan dengan kemudlaratan yang lain yang sama tingkatannya. Tidak dibenarkan seseorang yang
kelaparan mengambil makanan orang lain yang juga akan mati kelaparan.4

4. Al-Yaqinu La Yuzalu bi asy-Syak,


Artinya keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan. Kaidah ini juga diangkat dari formulasi nash
al-Quran di antaranya surat al-A’raf ayat 32 yang artinya: “Katakanlah, ‘Siapakah yang mengharamkan
perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hambahamba-Nya dan (siapa pulakah yang

4 Ahmad Djazuli, Ilmu Fiqih Penggalian, Perkembangan, Penerapan Hukum Islam.... hlm. 110.
HUKUM ISLAM MATERI KE-5

mengharamkan) rezeki yang baik?’ Katakanlah, ‘Semuanya itu (disediakan) bagi orangorang yang beriman
dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-
ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui”.
Kaidah ini juga bersumber dari hadits Nabi: “Jika salah seorang di antara kamu merasakan sesuatu di
perutnya, kemudian meragukan apakah keluar angin dari perutnya atau tidak, ia jangan keluar dari masjid
hingga mendengar suara atau mencium bau”. (H.R. Muslim)
Hadits lain sebagai sumber dari kaidah ini adalah: “Jika salah seorang dari kamu ragu-ragu di dalam
salatnya sehingga tidak tahu berapa rakaat yang telah dilakukan apakah baru tiga atau telah empat rakaat,
buanglah keraguan dan tetapkanlah (bilangan rakaat) atas apa yang diyakininya”. (H.R. Muslim)
Kata yakin dalam hal ini adalah sesuatu yang menjadi mantap karena pandangan atau dengan adanya
dalil. Misalnya, ketika seseorang yang merasa wudlunya batal, maka seorang itu harus yakin dengan
kebatalannya, semisal dengan merasakan dan mendengar adanya angin yang keluar.
Dalam hal ibadah terdapat sebuah contoh, apabila ia yakin telah berwudlu, kemudian dalam waktu yang
lama datang keraguan apakah sudah batal atau belum, maka ia tetap dalam keadaan suci. Juga sebaliknya,
apabila dia yakin belum wudlu sebelumnya, kemudian dalam waktu yang lama timbul keraguan apakah
sudah wudlu atau belum, maka ia tetap dalam keadaan berhadats.
Dalam bidang muamalah, apabila terdapat bukti kwitansi bahwa seseorang berhutang. Kemudian, jika
timbul perselisihan antara debitur dan kreditur, apakah hutang sudah dilunasi atau belum, maka yang
dipegang adalah pernyataan debitur, sebab hal ini lebih meyakinkan, bahwa masih ada hutang dari bukti
tersebut.

5. Al-Hukmu Yaduru Ma’a ‘Illatihi Wujudan wa ‘Adaman,


Artinya hukum itu berputar pada illatnya, baik ada maupun tidak adanya. Kaidah ini dipahami bahwa
ketentuan hukum bergantung kepada illat yang melatarbelakanginya. Bila ada illat, maka hukum pun ada.
Jika tidak ada illat, maka hukum pun tidak ada.
Oleh sebab itu, menetapkan sesuatu illat hukum merupakan hal yang amat penting. Sebab memahami
jiwa hukum merupakan keharusan untuk dapat menunjuk illat hukum secara tepat. Hal ini berarti menentukan
illat hukum yang tidak tercantum dalam ketentuan hukum itu sendiri merupakan upaya pemikiran, maka amat
dimungkinkan terjadi pendapat yang berbeda-beda antara seorang ahli hukum Islam dengan ahli hukum
Islam lainnya. Di sinilah peran ra’yu dalam pemikiran hukum Islam meskipun ketentuannya diperoleh secara
jelas dari dalil hukum al-Qur’an dan/atau Hadits.
HUKUM ISLAM MATERI KE-5

6. Al-‘Addat Muhakkamah,
Artinya adat kebiasaan itu dikokohkan. Kaidah ini memberi pengertian bahwa untuk menentukan hukum
yang berdasarkan dari hasil penalaran dapat diterima salah satu teknik menentukan hukum melalui adat
kebiasaan. Namun demikian, adat dan/atau ‘urf keduanya dikenal dalam hukum Islam, yang pada dasarnya
mempunyai persamaan arti, tetapi ada juga yang membedakan keduanya. Al-‘Addah diartikan sebagai setiap
kebiasaan yang diterima oleh masyarakat, baik yang mempunyai kekuatan mengikat secara hukum atau
tidak. Misalnya adat kebiasaan dalam upacara peminangan, perkawinan, dan sebagainya.
Menyalahi adat istiadat yang tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum tidak mempunyai
akibat hukum sama sekali. Berbeda halnya jika adat istiadat itu mempunyai kekuatan mengikat secar hukum.
Sebagai contoh, harta gono gini dalam perkawinan. Jika perkawinan terputus, harta gono gini akan
ditetapkan separuh harta untuk hak bagian suami dan separuh harta untuk hak bagian istri sesuai hukum
adat yang berlaku.

C. Urgensi Kaidah Hukum Islam


Urgensi (arti penting) kaidah hukum Islam atau kaidah fiqhiyyah menurut pendapat Al-Qarafi secara
garis besar mencakup 3 (tiga) hal:
1. Kaidah fiqhiyyah mempunyai kedudukan istimewa dalam khazanah keilmuan Islam karena kepakaran
seorang faqih sangat terkait erat dengan penguasaan kaidah fiqhiyyah.
2. Dapat menjadi landasan berfatwa.
3. Menjadikan ilmu fiqih lebih teratur sehingga mempermudah seseorang untuk mengidentifikasi fiqih yang
jumlahnya sangat banyak.5
Al-Zarkasyi berpendapat bahwa mengikat perkara yang bertebaran lagi banyak (fiqih), dalam kaidah-
kaidah yang menyatukan (kaidah fiqhiyyah) adalah lebih memudahkan untuk dihafal dan dipelihara.6
Adapun Mustaf al-Zarqa’ berpendapat bahwa urgensi kaidah fiqhiyyah menggambarkan secara jelas
mengenai prinsip-prinsip fiqih yang bersifat umum, membuka cakrawala serta jalan-jalan pemikiran tentang
fiqih. Kaidah fiqhiyyah mengikat berbagai hukum cabang yang bersifat praktis dengan berbagai dhawabit,
yang menjelaskan bahwa setiap hukum cabang tersebut mempunyai satu manat (illat/alasan hukum) dan
segi keterkaitan, meskipun obyek dan temanya berbeda-beda.7

5 Al-Qarafi, al-Furuq, Juz 3, (Bayrut: Dar al-Ma’rifat, 1990), hlm. 3.


6 Ali Ahmad al-Nadwi, al-Qawa’id al-Fiqhiyah, cet. ke-5, (Damaskus: Dar al-Qalam, 2000), hlm. 326.
7 Ahmad al-Zarqa’, al-Madkhal al-Fiqh al-‘Amm, Juz II, cet. ke-7, (Damaskus: Mathba’ah Jami’ah, 1983), hlm. 943.
HUKUM ISLAM MATERI KE-5

Dari beberapa pendapat fuqaha di atas, dapat disimpulkan bahwa:


1. Kaidah fiqhiyyah adalah ranah ijtihad dalam menerapkan ‘illat hukum yang digali dari permasalahan-
permasalahan hukum cabang berdasarkan hasil ijtihad mujtahid mutlak;
2. Kaidah fiqhiyyah mempunyai peran penting dalam rangka mempermudah pemahaman tentang hukum
Islam, di mana berbagai hukum cabang yang banyak tersusun menjadi satu kaidah;
3. Pengkajian kaidah fiqhiyyah dapat membantu memelihara dan mengikat berbagai masalah yang banyak
dan saling bertentangan, menjadi jalan untuk menghadirkan berbagai hukum;
4. Kaidah fiqhiyyah dapat mengembangkan malakah zhihiyah (daya rasa) fiqih seseorang, sehingga
mampu mentakhrij berbagai hukum fiqih yang tak terbatas sesuai dengan kaidah mazhab imamnya;
5. Mengikat berbagai hukum dalam satu ikatan menunjukkan bahwa hukum-hukum ini mempunyai
kemaslahatan yang saling berdekatan atau mempunyai kemaslahatan yang besar.

Anda mungkin juga menyukai