Anda di halaman 1dari 9

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu kebutuhan bagi kita semua. Banyak
dari kita yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu Qawaidul
fiqhiyah. Maka dari itu, kami selaku penulis mencoba untuk menerangkan tentang kaidah-kaidah
fiqh, mulai dari pengertian, sejarah, perkembangan dan beberapa urgensi dari kaidah-kaidah fiqh.

Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah yang
menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan lebih
arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat
kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi
masalah-masalah sosial, ekonomi, politin, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap
problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.

1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Apa Pengertian kaidah-kaidah fiqhiyah?


2. Apa saja macam-macam kaidah fiqhiyah?
3. Apa perbedaan antara kaidah fiqhiyah dan kaidah ushuliyah ?

1.3 TUJUAN PEMBAHASAN

1. Mengetahui dan memahami pengertian kaidah fiqhiyah.


2. Mengetahui dan memahami macam-macam kaidah fiqhiyah.
3. Mengetahui dan memahami perbedaan kaidah fiqhiyah dan kaidah ushuliyah
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN KAIDAH FIQHIYAH


Kata Qai’dah fiqhiyah terdiri dari dua kata yakni qa’idah dan fiqhiyyah.Qa’idah kata
mufrad yang jama’nya qawa’id menurut bahasa berarti dasar atau asas. Dan kata fiqhiyyah
berasal dari kata fiqh, yang berarti faham, yang menurut istilah berarti kumpulan hukum-hukum
syara’ yang berkaitan dengan perbuatan mukalaf, yang dikeluarkan dari dalil-dalil yang
terperinci.

Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa indonesia
disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan. Ahmad warson menembahkan
bahwa, kaidah bisa berarti al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar),
al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam
surat An-Nahl ayat 26 :

ُ ‫قَ ْد َم َك َر ٱلَّ ِذينَ ِمن قَ ْبلِ ِه ْم فَأَتَى ٱهَّلل ُ بُ ْن ٰيَنَهُم ِّمنَ ْٱلقَ َوا ِع ِد فَ َخ َّر َعلَ ْي ِه ُم ٱل َّس ْقفُ ِمن فَوْ قِ ِه ْم َوأَتَ ٰىهُ ُم ْٱل َع َذابُ ِم ْن َحي‬
َ‫ْث اَل يَ ْش ُعرُون‬

Artinya:

“sungguh, orang-orang yang sebelum mereka telah mengadakan tipu daya, maka Allah
menghancurkan rumah-rumah mereka mulai dari pondasinya, lalu atap (rumah itu) jatuh
menimpa mereka dari atas, dan siksa itu datang kepada mereka dari arah yang tidak mereka
sadari…” (Q.S. An-Nahl 26)[1]

Secara etimologi kaidah-kaidah fikih adalah dasar-dasar atau asas-asas yang berkaitan
dengan masalah-masalah atau jenis-jenis fikih. Sedangkan dalam tinjaun terminologi kaidah
punya beberapa arti, menurut Dr. Ahmad asy-Syafi’i dalam buku ushul fiqh Islami, mengatakan
bahwa kaidah itu adalah:

“Kaum yang bersifat universal (kulli) yang diakui oleh satuan-satuan hokum juz’I yang banyak”

Sedangkan menyoritas ulama ushul fiqih mendefenisikan kaidah dengan:


“Hukum yang biasa berlaku yang bersesuaian dengan sebagian besar bagianya”

Sedangkan arti fiqh secara etimologi lebih dekat dengan ilmu, sebagaimana yang banyak
dipahami, yaitu :

”Untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama” (Q.S. At-Taubat : 122)

Sedangkan menurut istilah, Fiqh adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang
bersifat amaliyah (praktis) yang diambilkan dari dalil-dalil yang tafsili (terperinci)

Jadi, dari semua uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa Qawaidul fiqhiyah adalah :

”Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagian atau
cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang itu”.

2.2 MACAM-MACAM KAIDAH FIQHIYAH


 Kaidah pertama: (Perkara tergantung pada tujuannya)

Diantara dalilnya adalah sabda Rasulullah saw:

‫إنما األعمال بالنيات‬

"Sesungguhnya amalan itu hanya tergantung pada niatnya."

Dalam hal ini, amalan tergantung kepada niat dalam hal:

1) diterima tidaknya amalan oleh Allah tergantung pada niatnya, apakah ikhlas karena Allah
ataukah tidak,

2) amalan mubah bernilai ibadah ataukah tidak,

3) untuk membedakan perbuatan biasa (adat) dengan ibadah,

4) untuk membedakan ibadah yang satu dengan ibadah yang lainnya.

Contoh penerapan kaidah ini untuk membedakan perbuatan biasa dengan ibadah:

1) Duduk di masjid bisa jadi sekadar untuk beristirahat atau dengan tujuan untuk i'tikaf,
tergantung niatnya.
2) Memberi harta kepada orang lain bisa jadi untuk zakat, atau kafarah, atau sekadar sedekah
biasa, tergantung niatnya.

3) Menyembelih binatang bisa jadi untuk ibadah kurban, atau aqiqah, atau sekadar untuk makan-
makan biasa, tergantung niatnya.

Contoh penerapan kaidah ini untuk membedakan ibadah yang satu dengan ibadah yang lainnya:

1) Sholat empat rakaat bisa jadi sholat zhuhur atau sholat asar, tergantung niatnya.

2) Sholat dua rakaat di waktu shubuh bisa jadi sholat shubuh atau sholat sunnah sebelum shubuh,
tergantung niatnya.

3) Puasa bisa jadi puasa qadha' atau puasa sunnah, tergantung niatnya.

 Kaidah kedua : (Keyakinan tidak hilang oleh keraguan, atau: keyakinan tidak bisa
dihilangkan oleh keraguan)

Diantara dalilnya adalah hadits tentang orang yang ragu-ragu apakah telah buang angin dalam
sholatnya, dimana Rasulullah saw bersabda:

‫ال ينصرف حتى يسمع صوتًا أو يجد ريحًا‬

"Hendaknya ia tidak meninggalkan (membatalkan) sholatnya sampai ia mendengar suara atau


mendapati bau (dari kentutnya)."

Juga hadits Rasulullah saw dari Abu Sa'id Al-Khudri:

َ‫ح الشك َو ْليَب ِْن على ما ا ْستَ ْيقَن‬ ْ


ِ ‫ فلم يَ ْد ِر كم صلى ثالثا أم أربعا؟ فَ ْليَط َر‬،‫أحدُكم في صالته‬
َ ‫إذا شك‬

"Jika salah seorang kalian ragu-ragu dalam sholatnya dan dia tidak tahu apakah dia sudah sholat
tiga atau empat rakaat, maka hendaklah dia buang keraguannya dan menetapkan hatinya atas apa
yang ia yakini."

Contoh penerapan kaidah ini adalah : Terjadi perselisihan penjual dan pembeli, pembeli ingin
mengembalikan barangnya dan berkata bahwa barang tersebut seharga 15 ribu, sedang penjual
berkata harga tersebut adalah 20 ribu. Maka yang dianggap yakin adalah harga penjual.
 Kaidah ketiga: (Kesempitan mendatangkan kemudahan)

Diantara dalilnya adalah firman Allah Ta'ala:

‫ي ُِري ُد اللَّـهُ بِ ُك ُم ْاليُ ْس َر َواَل ي ُِري ُد بِ ُك ُم ْال ُع ْس َر‬

"Allah menginginkan kemudahan buat kalian dan tidak menginginkan kesulitan buat kalian."

dan juga firman Allah Ta'ala:

ٍ ‫َو َما َج َع َل َعلَ ْي ُك ْم فِي الدِّي ِن ِم ْن َح َر‬


‫ج‬

"Dan tidaklah Allah jadikan atas kalian dalam agama ini suatu kesukaran."

Kemudian juga sabda Rasulullah saw:

‫بعثت بالحنيفية ال َّس ْم َحة‬

"Sesungguhnya aku diutus dengan membawa agama yang lurus dan mudah (lapang)."

dan juga sabda Rasulullah saw:

‫يسروا وال تعسروا‬

"Permudahlah dan jangan mempersulit."

Contoh dari kaidah ini adalah berbagai macam rukhshah (kemudahan) dalam ibadah bagi mereka
yang memiliki kesempitan atau kesulitan, seperti sholat qashar bagi musafir, sholat dengan
duduk atau berbaring bagi orang yang sakit, qadha' puasa bagi musafir dan yang sakit, dan
membayar fidyah bagi orang yang sudah tidak lagi sanggup berpuasa.

 Kaidah keempat: (Kemudharatan hendaknya dihilangkan)

Diantara dalilnya adalah sabda Rasulullah saw:

‫ال ضرر وال ضرار‬

"Janganlah memberikan madharat kepada orang lain dan juga diri kalian sendiri."
Diantara contoh penerapan kaidah ini adalah: Larangan menimbun barang-barang kebutuhan
pokok masyarakat karena perbuatan tersebut mengakibatkan kemudharatan bagi rakyat.

 Kaidah kelima: (Adat/kebiasaan bisa dijadikan landasan hukum)

Diantara dalilnya adalah sabda Rasulullah saw:

‫ما رآه المسلمون حسنًا فهو عند هللا حسن‬

"Apa yang kaum muslimin menganggapnya baik maka ia di sisi Allah juga baik."

Contoh penerapan kaidah ini adalah penetapan masa haidh, kadar nafkah, kualitas bahan
makanan untuk kafarah, dan sahnya akad jual beli tanpa ucapan eksplisit "aku jual" dan "aku
beli" dalam sistem jual beli modern.

2.3 PERBEDAAN KAIDAH USHULIYAH DAN KAIDAH FIQHIYAH


Perbedaan antara keduanya adalah sebagi berikut:

o Kaidah ushul pada hakikatnya adalah qa’idah istidlaliyah yang menjadi wasilah para
mujtahid dalam istinbath (pengambilan) sebuah hukum syar’iyah amaliah. Kaidah ini
menjadi alat yang membantu para mujtahid dalam menentukan suatu hukum. Dengan
kata lain, kita bisa memahami, bahwa kaidah ushul bukanlah suatu hukum, ia hanyalah
sebuah alat atau wasilah kepada kesimpulan suatu hukum syar’i. Sedangkan, kaidah fiqih
adalah suatu susunanlafadz yang mengandung makna hukum syar’iyyah aghlabiyyah
yang mencakup di bawahnya banyak furu’. Sehingga kita bisa memahami bahwa kaidah
fiqih adalah hukum syar’i. Dan kaidah ini digunakan sebagai istihdhar(menghadirkan)
hukum bukan istinbath (mengambil) hukum (layaknya kaidah ushul). Misalnya, kaidah
ushul “al- aslu fil amri lil wujub” bahwa asal dalam perintah menunjukan wajib. Kaidah
ini tidaklah mengandung suatu hukum syar’i. Tetapi dari kaidah ini kita bisa mengambil
hukum, bahwa setiap dalil(baik Qur’an maupun Hadits) yang bermakna perintah
menunjukan wajib.Berbeda dengan kaidah fiqih “al - dharar yuzal” bahwa kemudharatan
mesti dihilangkan. Dalam kaidah ini mengandung hukum syar’i, bahwa kemudharatan
wajib dihilangkan.
o Kaidah ushul dalam teksnya tidak mengandung asrarus syar’i (rahasia–rahasia syar’i)
tidak pula mengandung hikmah syar’i. Sedangkan kaidah fiqih dari teksnya terkandung
kedua hal tersebut.
o Kaidah ushul kaidah yang menyeluruh (kaidah kulliyah) dan mencakup seluruh furu’ di
bawahnya. Sehingga istitsna’iyyah (pengecualian) hanya ada sedikit sekali atau bahkan
tidak ada sama sekali. Berbeda dengan kaidah fiqih yang banyak terdapat istitsna’iyyah,
karena itu kaidahnya kaidah aghlabiyyah (kaidah umum).
o Perbedaan antara kaidah ushul dan kaidah fiqih pun bisa dilihat dari maudhu’nya (objek).
Jika Kaidah ushul maudhu’nya dalil-dalil sam’iyyah.Sedangkan kaidah fiqih maudhu’nya
perbuatan mukallaf, baik itu pekerjaanatau perkataan. Seperti sholat, zakat dan lain-lain.
o Kaidah-kaidah ushul jauh lebih sedikit dari kaidah-kaidah fiqh.
o Kaidah-kaidah ushul lebih kuat dari kaidah-kaidah fiqh. Seluruh ulama sepakat bahwa
kaidah-kaidah ushul adalah hujjah dan mayoritas dibangun diatas dalil yang qot’i.
Adapun kaidah-kaidah fiqh ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan bahwa
kaidah-kaidah fiqh bukan hujjah secara mutlaq, sebagian mengatakan hujjah bagi
mujtahid ‘alim dan bukan hujjah bagi selainnya, sebagian yang lain mengatakan bahwa
kaidah-kaidah tersebut hujjah secara mutlak.
o Kaidah-kaidah ushul lebih umum dari kaidah-kaidah fiqh.
o Kaidah Ushuliyah diperoleh secara deduktif, sedangkan fiqhiyah secara induktif. Kaidah
ushuliyah merupakan mediator untuk meng-istinbath-kan hukum syara’ amaliyah,
sedangkan kaidah fiqhiyah adalah kumpulan hukum-hukum yang serupa diikat oleh
kesamaan ‘illat atau kaidah fiqhiyah yang mencakupnya dan tujuannya taqribu al-masa’il
- alfiqhiyawa tashiliha.
BAB III

PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Qawaidul fiqhiyah adalah suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada
semua bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak yangdengannya diketahui hukum-
hukum cabang itu.

Qawaid ushuliyah adalah hukum kulliyah (umum) yang dibentuk dengan bentuk yang akurat
yang menjadi perantara dalam pengambilan kesimpulan fiqhdari dalil-dalil, dan cara penggunaan
dalil serta kondisi pengguna dalil.

Dengan berpegang kepada kaidah-kaidah fiqhiyah, para mujtahid merasalebih mudah dalam
menginstinbathkan hukum bagi suatu masalah, yakni denganmenggolongkan masalah yang
serupa di bawah lingkup satu kaidah
DAFTAR PUSTAKA

Andiko, Toha. 2011. Ilmu Qawaid Fiqhiyyah. Yogyakarta: Teras.

Haq, Abdul dkk, “Formulasi Nalar Fiqih”, Surabaya: Santri Salaf, 2009.

Kurdi, Muliadi,“Ushul Fiqh Sebuah Pengenalan Awal ”, cet.1, Lembaga KajianAgama dan
Sosial (LKAS), Banda Aceh: 2011.

Mu’in, A. dkk, “Ushul Fiqih 1”, Jakarta: Direktorat Pembinaan Perguruan TinggiAgama Islam,
1986.

Anda mungkin juga menyukai