Anda di halaman 1dari 38

Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah Al-

Kubra – Muqaddimah & Kaidah 1


Admin 3 December 17, 2018 2:05 pm

AL-QAWAID AL-FIQHIYYAH AL-KUBRA


Muqaddimah
Di dalam syariat Islam dikenal istilah kaidah, yang berfungsi untuk meringkas berbagai
macam permasalahan syariat sehingga dengan kaidah tersebut kita akan dimudahkan untuk
memecahkan permasalahan-permasalahan agama yang beraneka ragam. Khususnya
pembahasan fiqih, para ulama telah menetapkan berbagai kaidah sebagai patokan untuk
menyelesaikan kasus-kasus fiqih tersebut.

Dari bagan di atas diketahui bahwa paling tidak ada tiga kaidah utama di dalam syariat Islam,
yaitu:
1. Kaidah Ushuliyyah

Kaidah ushuliyyah atau kaidah ushul fiqih adalah kaidah yang membahas seputar
penggunaaan lafadz atau bahasa. Dengan kaidah-kaidah tersebut, seorang alim dapat
menyimpulkan makna dari sebuah lafadz bahasa Arab. Misal kaidah ‫ب‬ ِ ‫( األَ ْم ُر لِ ْل ُو ُج ْو‬lafadz
perintah asalnya menunjukkan akan wajibnya hal tersebut) atau kaidah ‫َضى الت َّْح ِر ْي ُم‬ ِ ‫النَّ ْه ُي يَ ْقت‬
(lafadz pelarangan asalnya menunjukkan akan haramnya hal tersebut). Kedua kaidah tersebut
disebut kaidah ushuliyyah yang ditemukan dalam pembahasan ushul fiqih. Sebagai contoh
firman Allah,

َّ ‫َوأَقِي ُموا ال‬


َ ‫صاَل ةَ َوآتُوا= ال َّز َكاةَ َوارْ َكعُوا= َم َع الرَّا ِك ِع‬
‫ين‬
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.”
(QS Al-Baqarah : 43)

Ahli ushul fiqih akan melihat bahwa di dalam ayat ini terdapat lafadz fiil amr (kata kerja
ِ ‫( األَ ْم ُر لِ ْل ُو ُج ْو‬lafadz perintah asalnya menunjukkan
perintah). Berdasarkan kaidah ushul fiqih ‫ب‬
akan wajibnya hal tersebut), maka mereka akan berkesimpulan bahwa shalat dan zakat itu
hukumnya wajib.

2. Kaidah Fiqhiyyah

Adapun kaidah fiqhiyyah (kaidah fiqih) adalah kaidah yang merupakan kesimpulan dari
banyak permasalahan fiqih yang memiliki hukum-hukum yang sama sehingga muncullah
kaidah yang mewakili persamaan tersebut. Sebagai gambaran, seorang ahli fiqih dihadapkan
dengan ratusan permasalahan fiqih. Setelah dia menelaahnya, dia mendapatkan adanya
kesamaan di dalam semua permasalahan tersebut, kesamaan itulah yang kemudian
disimpulkan menjadi kaidah fiqih.

Misalnya, setelah menelaah banyak permasalahan fiqih maka diperoleh kesimpulan bahwa
kemudharatan itu harus dihilangkan, dibuatlah kaidah ‫ض َر ُر يُزَ ا ُل‬ َّ ‫( اَل‬ad-dhararu yuzaalu,
kemudharatan harus dihilangkan) atau dalam kesempatan lain diperoleh kesimpulan bahwa
sesuatu yang sudah diyakini hukumnya maka dia tidak bisa dihilangkan karena adanya
keraguan yang datang setelah itu,  dibuatlah kaidah ِّ‫( اَ ْليَقِيْنُ اَل يَز ُْو ُل بِالشَّك‬al-yaqinu laa yazuulu
bisy syak, keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan).

Berdasarkan hal tersebut, kaidah ushul fiqih lebih awal digunakan dari pada kaidah fiqih.
Karena kaidah ushuliyyah digunakan untuk mengetahui kandungan makna sebuah lafadz
yang berujung pada kesimpulan hukum. Lalu dari banyak hukum-hukum tersebut yang
memiliki kesamaan makna atau maksud, disimpulkanlah menjadi kaidah-kaidah fiqih.
Sehingga dari sisi urutan penggunaan, asalnya kaidah ushul fiqih diaplikasikan terlebih
dahulu, meskipun dalam realitanya kaidah ushul fiqih dan kaidah fiqih digunakan secara
bersama-sama.

3. Dhabith Fiqhiyyah

Dikenal pula istilah dhabith fiqhiyyah, yang sedikit berbeda dengan kaidah fiqih. Dhabith
fiqhiyyah adalah sejenis kaidah fiqih akan tetapi berlaku hanya di dalam satu bab atau
beberapa bab fiqih tertentu saja. Misal, dhabith ‫َان‬
ِ ‫س ْج َدت‬ َ ‫( لِ ُك ِّل‬likulli sahwin sajdatani, setiap
َ ‫س ْه ٍو‬
lupa diganti dengan dua sujud), maka kaidah atau dhabit ini hanya berlaku di dalam
pembahasan shalat saja dan tidak berlaku di dalam pembahasan fiqih lainnya.

Tidak diragukan lagi bahwa menumpuknya permasalahan manusia dan banyaknya


kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya sebagai hamba Allah, membuat ia perlu
terhadap kaidah-kaidah seperti di atas, khususnya kaidah-kaidah fiqih yang bisa langsung ia
terapkan untuk menghukumi sebuah kasus yang ia jumpai dalam kehidupannya tanpa harus
bertanya kepada seorang alim atas setiap permasalahannya satu per satu. Lantas apakah
modal yang harus dia miliki untuk mengetahui kaidah-kaidah tersebut?

Alhamdulillah, di zaman ini semua orang tidak perlu lagi menelaah lalu menyimpulkan
kaidah fiqih dari ribuan atau bahkan lebih permasalahan fiqih yang ada, hal itu karena
kaidah-kaidah fiqih tersebut sudah paten keberadaannya dan sudah dibukukan oleh para
ulama dengan rapi. Kaidah-kaidah tersebut tinggal dipergunakan untuk membantu kita di
dalam memahami dan menyimpulkan permasalahan-permasalahan fiqih yang kita hadapi
dalam kehidupan sehari-hari.

Kaidah Fiqhiyyah Kubra

Sesungguhnya kaidah-kaidah dalam permasalahan fiqih sangatlah banyak, tetapi diantara


sekian banyak kaidah fiqih tersebut, ada lima kaidah yang paling besar yang dikenal dengan
istilah kaidah fiqhiyyah kubra (kaidah fiqih terbesar) atau kaidah fiqhiyyah al-khamsah (lima
kaidah fiqih yang utama) karena jumlahnya ada lima.

Kelima kaidah ini dinamakan sebagai kaidah kubra atau kaidah besar karena beberapa alasan,
yaitu:

1. Lima kaidah ini dapat diberlakukan pada hampir seluruh bab-bab fiqih. Berbeda
dengan kaidah-kaidah lainnya, yang terkadang hanya berkaitan dengan bab thaharah saja,
atau bab muamalah saja, atau bab-bab tertentu lainnya.
2. Lima kaidah ini disepakati oleh madzhab yang empat. Mereka semua menggunakan
lima kaidah ini untuk menyimpulkan masalah-masalah fiqih apabila ditinjau dari madzhab
mereka masing-masing.
3. Lima kaidah ini masing-masing mengandung banyak kaidah turunan di bawahnya.

============

Kaidah 1

ِ ‫اَألُ ُم ْو ُر بِ َمقَا‬
‫صدهَا‬

Al-Umuuru bi Maqaashidiha

(Segala Perbuatan Tergantung Niatnya)


Kaidah ini adalah kaidah yang sangat penting, karena dengan kaidah ini dia akan mengetahui
sejauh mana ia bisa memaksimalkan ibadahnya.

Maksud dari kaidah ini adalah segala perkataan maupun perbuatan semua tergantung dari
niatnya. Apakah perkataan dan perbuatan tersebut berbuah pahala atau tidak, semua akan
kembali kepada niat dan tujuan dia berkata dan berbuat. Dengan niat, akan terbedakan antara
dua orang yang melakukan jenis ibadah yang sama tetapi yang satu berpahala yang satunya
tidak, atau yang satu berpahala tetapi sedikit namun satunya berpahala yang sangat besar.

Dalil tentang kaidah ini diantaranya firman Allah,

َ ‫ين لَهُ ال ِّد‬


َّ ‫ين ُحنَفَا َء َويُقِي ُموا ال‬
َ‫صاَل ة‬ َ ‫ص‬ِ ِ‫َو َما أُ ِمرُوا إِاَّل لِيَ ْعبُ ُدوا هَّللا َ ُم ْخل‬
‫ين ْالقَيِّ َم ِة‬ َ ِ‫َوي ُْؤتُوا ال َّز َكاةَ ۚ َو ٰ َذل‬
ُ ‫ك ِد‬
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka
mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS
Al-Bayyinah : 5)

Dalam ayat lain Allah berfirman,


ُ ‫ت قُلُوبُ ُك ْم ۗ َوهَّللا‬ ِ ‫اخ ُذ ُك ُم هَّللا ُ ِباللَّ ْغ ِو فِي أَ ْي َمانِ ُك ْم َو ٰلَ ِكن ي َُؤ‬
ْ َ‫اخ ُذ ُكم بِ َما َك َسب‬ ِ ‫اَّل ي َُؤ‬
‫َغفُو ٌر َحلِي ٌم‬
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk
bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk
bersumpah) oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (QS Al-
Baqarah : 225)

Diantara kebiasaan orang Arab adalah terlalu mudah mengeluarkan kalimat-kalimat sumpah
seperti kalimat Wallahi! (Demi Allah!) atau yang sejenisnya, padahal di dalam hatinya dia
tidak benar-benar bersumpah. Yang seperti ini Allah tidak akan menghukumnya karena
perkataan sumpah yang sebenarnya dia tidak maksudkan atau tidak sengaja. Seperti firman
Allah,

=َ ‫َوإِ ْن َع َز ُموا الطَّاَل‬


‫ق فَإِ َّن هَّللا َ َس ِمي ٌع َعلِي ٌم‬
“Dan jika mereka berazam (bertetap hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Baqarah : 227)

Maksud ayat ini adalah Allah hanya akan menghukumi kalimat talaknya berdasarkan niatnya.
Karena talak apabila menggunakan lafadz kinayah (tidak sharih atau tegas) maka
dikembalikan kepada niatnya. Jika niatnya memang untuk bercerai atau berpisah dengan
istrinya maka telah jatuh talak tersebut, tetapi jika tidak berniat demikian maka tidak jatuh
talak.

Diantara dalil lain kaidah ini adalah sabda Nabi,

‫ت ِهجْ َرتُهُ إلى‬ ْ َ‫ت وإِنَّما لِ ُكلِّ امري ٍء ما نَ َوى فَ َم ْن َكان‬ ِ ‫إنَّ َما األع َمال بالنِّيَّا‬
ِ ‫ت ِهجْ َرتُهُ لِ ُد ْنيَا ي‬
‫ُص ْيبُها‬ ْ َ‫ورس ُْولِ ِ=ه و َم ْن َكان‬
َ ِ‫ورسُولِ ِ=ه ف ِهجْ َرتُهُ إلى هللا‬ َ ِ‫هللا‬
‫اج َر إلي ِه‬َ َ‫أو امرأ ٍة يَ ْن ِك ُحهَا ف ِهجْ َرتُهُ إلى ما ه‬
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa
yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk
Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang
dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” (HR Bukhari, no. 1 dan Muslim no. 1907)
Hijrah pada dasarnya merupakan amalan yang sangat agung yang diganjar dengan pahala
yang besar. Namun itu hanya didapatkan bagi mereka yang berhijrah dengan niat karena
Allah dan Rasul-Nya semata. Adapun yang berhijrah bukan karena niat tersebut maka dia
tidak akan mendapatkan pahala.

Nabi juga bersabda,

‫صفَّي ِْن هللاُ أَ ْعلَ ُم بِنِيَّتِ ِه‬


َّ ‫رُبَّ قَتِي ٍْل بَي َْن ال‬
“Betapa banyak orang yang terbunuh di antara dua barisan pasukan, Allah lebih tahu
mengenai niatnya.” (HR Ahmad)

Tidak semua yang mati dalam peperangan tersebut mendapatkan predikat syahid di sisi Allah
lantas masuk ke dalam surga. Sebagaimana dalam sebuah hadits bahwa dikatakan kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ُّ‫ فَأَي‬،‫ َويُقَاتِ ُل ِريَا ًء‬،ً‫ َويُقَاتِ ُل َح ِميَّة‬،ً‫ اَل َّر ُج ُل يُقَاتِ ُل َش َجا َعة‬،ِ‫يَا َرس ُْو َل هللا‬
‫ َم ْن قَاتَ َل لِتَ ُك ْو َن َكلِ َمةَ هللاِ ِه َي ْالع ُْليَا فَه َُو فِ ْي‬:‫ال‬
َ َ‫ك فِ ْي َسبِي ِْل هللاِ؟ فَق‬ َ ِ‫َذل‬
.ِ‫َسبِي ِْل هللا‬
“Wahai Rasulullah, seseorang berperang (karena ingin dikatakan) berani, seorang (lagi)
berperang (karena ingin dikatakan) gagah, seorang (lagi) berperang karena riya’ (ingin
dilihat orang), maka yang mana yang termasuk jihad di jalan Allah?” Kemudian Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Barangsiapa yang berperang (dengan tujuan) untuk
menjadikan kalimat Allah yang paling tinggi, maka ia (berada) fii sabiilillaah (di jalan
Allah).” (HR Bukhari no. 7458 dan Muslim no. 1904)

Orang-orang yang ikut dalam peperangan tetapi dengan niat untuk membela sukunya semata,
atau unjuk keberanian, maka amalan mereka itu tidak bernilai di sisi Allah walaupun secara
dzhahir amalan yang mereka dan orang-orang yang ikhlas lakukan itu sama, sama-sama
berperang di barisan Islam.

Fungsi Niat

A. Niat sebagai penentu ibadahnya tertuju kepada siapa

1. Ikhlas beribadah karena Allah semata, atau;


2. Syirik dengan beribadah karena riya, sum’ah, ‘ujub dan lainnya.

B. Niat sebagai pembeda

1. Pembeda antara ibadah dan adat.


Contoh, seseorang yang mandi di pagi hari jumat. Kemungkinannya kembali kepada dua
kemungkinan tergantung niatnya, apakah niatnya mandi junub untuk melaksanakan shalat
jumat atau mandi biasa sekedar untuk menyegarkan badannya. Yang pertama dia
mendapatkan pahala karena melakukan amalan ibadah, sedangkan yang kedua tidak
mendapatkan pahala karena hanya melakukan aktivitas kebiasaan sehari-hari.
2. Pembeda antara ibadah yang satu dengan ibadah yang lainnya.
Contoh, seseorang yang shalat dua rakaat setelah terbit fajar (masuk waktu subuh). Maka
shalat yang dia laksanakan kembali kepada tiga kemungkinan, bisa jadi dia shalat sunnah
tahiyyatul masjid, atau shalat sunnah rawatib qabliyah subuh, atau shalat subuh langsung,
atau kemungkinan lainnya yang kesemuanya tergantung pada niatnya.

Patut diketahui bahwa diantara amalan-amalan itu ada yang merupakan ibadah di satu waktu
tetapi di lain waktu dia adalah sekedar kebiasaan, seperti mandi yang telah dicontohkan
sebelumnya. Namun terdapat amalan yang tidak membutuhkan niat sebagai pembeda apakah
itu ibadah atau sekedar kebiasaan, karena dari sisi dzatnya dia adalah ibadah secara mutlak.
Seperti berdzikir, membaca Al-Quran, shalat, atau puasa. Amalan-amalan tersebut tersebut
secara dzatnya adalah ibadah, tidak bisa berubah jenis menjadi kebiasaan hanya karena niat.

Ada pula jenis amalan yang sudah sangat jelas dan bahkan tidak butuh niat pembeda hendak
melakukan jenis ibadah yang ini atau ibadah yang itu, karena tidak memiliki kemiripan
dengan ibadah yang lain. Seperti ibadah haji, tidak ada amalan lain yang mirip seperti haji
tetapi bukan dengan niat haji. Begitu pula berpuasa di bulan ramadhan, tidak ada
kemungkinan puasa yang lain di bulan itu. Sehingga dia tidak perlu mempertegas niatnya
akan melakukan jenis ibadah yang mana. Fungsi niat dalam amalan seperti ini adalah tinggal
membedakan apakah dia ikhlas atau tidak.

Jenis Amalan Hamba

Secara umum amalan hamba terbagi ke dalam dua jenis ditinjau dari niat hamba tersebut,
amalan yang dituntut oleh syariat dan amalan yang tidak dituntut oleh syariat.

A. Amalan yang dituntut oleh syariat

Amalan yang dituntut oleh syariat terbagi lagi menjadi dua:


Pertama, dituntut untuk dikerjakan.

Disinilah letak pembahasan fungsi niat sebagai pembeda atau sebagai penentu ikhlas atau
tidak, sebagaimana yang telah berlalu penjelasannya. Ketika seorang hamba mengerjakan
sebuah amalan, maka dia wajib meniatkannya ikhlas karena Allah semata agar amalan
tersebut sah dan diterima di sisi Allah. Dia juga perlu terhadap penegasan akan niatnya
apakah dia berniat mengerjakan ibadah A atau ibadah B, atau menegaskan bahwa dia sedang
melakukan ibadah dan bukan sekedar kebiasaan, karena Allah akan memberikan ganjaran
sesuai niatnya.

Kedua, dituntut untuk ditinggalkan.

Amalan jenis ini tidak perlu terhadap niat untuk sahnya amalan tersebut. Seperti wajibnya
meninggalkan maksiat, amalan ini tidak butuh niat untuk melepaskan diri dari tanggung
jawab menjauhi maksiat, karena sekedar meninggalkan maka itu sudah cukup. Contoh lain,
meninggalkan beban punya hutang, cukup dibayarkan maka kewajibannya sebagai orang
yang berhutang sudah selesai tanpa harus adanya penegasan niat sebelumnya. Contoh lain,
meninggalkan najis, maka mencucinya sampai hilang itu sudah cukup bahkan ketika najis
tersebut hilang sendiri tanpa sengaja dihilangkan. Berbeda dengan jenis amalan yang dituntut
untuk dikerjakan, dia butuh niat agar shalat sah, butuh niat agar puasa sah, butuh niat agar
mandi junub sah, dan seterusnya.

Namun jika ingin mendapatkan pahala dari Allah, melebihi kadar sah, maka tetap perlu niat
yaitu niat meninggalkannya karena Allah. Seperti meninggalkan zina, ada orang yang
meninggalkan zina karena takut terkena HIV/AIDS, yang seperti ini tidak berpahala dan
tidak pula berdosa. Tetapi jika dia meninggalkan zina karena Allah padahal sudah terbetik
untuk berzina, maka dia akan dapat pahala.

B. Amalan yang tidak dituntut oleh syariat

Yaitu amalan yang boleh dikerjakan dan boleh tidak dikerjakan, atau disebut dengan mubah.
Sama seperti amalan yang dituntut untuk ditinggalkan, amalan mubah ini tidak perlu terhadap
niat. Umumnya hal-hal mubah adalah perkara-perkara duniawi yang tidak dituntut untuk
berniat. Antara makan daging atau roti tidak perlu niat yang membedakannya, dan
seterusnya.

Namun jika ingin mendapatkan pahala, maka harus berniat. Seperti ketika Nabi bersabda,
َ ْ‫هللا إِالَّ أُ ِجر‬
‫ت بِهَا َحتَّى ْاللُ ْق َمةَ تَجْ َعلُهَا‬ ِ َ‫ق نَفَقَةً تَ ْبتَ ِغي بِهَا َوجْ ه‬
ُ ِ‫ْت تُ ْنف‬
َ ‫َولَس‬
َ ِ‫فِي فِي ا ْم َرأَت‬
‫ك‬
“Tidaklah engkau menafkahkan satu nafkah yang dengannya engkau mengharap wajah
Allah subhanahu wa ta’ala kecuali engkau akan diberi pahala dengannya sampai pun satu
suapan yang engkau berikan ke mulut istrimu.” (HR Muslim no. 1251)

Suapan seorang suami kepada istrinya pada dasarnya murni karena motivasi duniawi. Tetapi
jika diniatkan untuk mendapatkan pahala dari Allah, maka dia akan mendapatkan pahala.
Seseorang yang makan sekedar makan tidak akan dapat pahala karena itu perkara mubah,
namun jika dia makan dengan tujuan agar dirinya semakin kuat dalam beribadah maka pada
saat itu aktivitas makannya akan diganjar pahala oleh Allah.

Oleh karena itu, hendaknya kaidah ini menjadi salah satu perhatian yang sangat utama karena
umumnya aktivitas harian manusia pada dasarnya adalah murni duniawi. Namun jika
aktivitas tersebut diniatkan karena Allah maka dia akan bernilai pahala. Seorang suami yang
keluar pagi pulang malam mencari uang hendaknya meniatkannya demi mencari nafkah
untuk keluarganya agar berbuah pahala. Seorang yang tidur cepat hendaknya berniat agar
tidurnya tersebut menambah kekuatannya dalam beribadah. Sehingga dia menjadikan seluruh
aktivitas kehidupannya bernilai ibadah.

Tentang Melafadzkan Niat

Telah dimaklumi bahwa niat itu tempatnya di hati dan bukan di lisan. Namun tentang hukum
melafadzkan niat maka para ulama berbeda pendapat di dalam masalah ini tentang boleh atau
tidaknya. Hanya saja semuanya sepakat bahwa Nabi tidak pernah melafadzkan niat dalam
seluruh ibadah yang dia lakukan. Begitupun dari para sahabat tidak pernah pula diriwayatkan
satupun di antara mereka yang melafadzkan niat. Dari sini disimpulkan bahwa yang lebih
afdhal adalah tidak melafadzkan niat ketika ingin mengerjakan sebuah ibadah.

Namun sebagian ulama syafi’iyyah belakangan, mereka menganjurkan untuk melafadzkan


niat dalam rangka untuk mengokohkan niat tersebut, dengan catatan harus dengan suara yang
pelan (sirr).

Bersamaan dengan itu, banyak pula orang awam yang salah paham terhadap pendapat ini
lantas beranggapan bahwa melafadzkan niat menurut madzhab syafi’i bukan sekedar
dianjurkan akan tetapi diwajibkan, dan dalam shalat merupakan syarat sahnya. Namun yang
benar tetaplah tidak dianjurkan untuk melafadzkan niat baik itu pelan lebih-lebih jika
dikeraskan.

Tercampurnya Niat Pada Amalan

Seorang hamba ketika beribadah, dia dituntut untuk mengikhlaskan niatnya hanya untuk
Allah semata. Namun terkadang ada seorang hamba yang beribadah namun dalam ibadahnya
tersebut tercampuri tendensi-tendensi lain. Kasus yang seperti ini terbagi menjadi dua.

A. Amalan Tercampuri Niat Duniawi

Seorang hamba yang mengerjakan ibadah dengan ikhlas namun tercampuri dengan perkara
duniawi yang bukan merupakan riya’, maka hukumnya tidak mengapa. Contoh:
 Menunaikan ibadah haji sembari berniat untuk berdagang. Maka niat seperti ini tidak
mengapa, sebagaimana firman Allah, ‫ت فَ ْاذ ُكرُوا‬ ٍ ‫ْس َعلَ ْي ُك ْم ُجنَا ٌح أَن تَ ْبتَ ُغوا فَضْ اًل ِّمن َّربِّ ُك ْم ۚ فَإِ َذا أَفَضْ تُم ِّم ْن ع ََرفَا‬
َ ‫لَي‬
ْ ْ ْ ‫هَّللا‬
َ‫“ َ ِعن َد ال َم ْش َع ِر ال َح َر ِام ۖ َواذ ُكرُوهُ َك َما هَدَا ُك ْم َوإِن ُكنتُم ِّمن قَ ْبلِ ِه لَ ِمنَ الضَّالِّين‬Tidak ada dosa bagimu untuk mencari
karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari
‘Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy’arilharam. Dan berdzikirlah (dengan menyebut)
Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu
benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.” (QS Al-Baqarah : 198)Diantara tafsirannya
adalah sambil berdagang di samping menunaikan haji.

 Menyambung silaturrahmi dengan kerabat karena ingin bertambah umur dan rezeki.
Nabi bersabda,

ِ َ‫ فَ ْلي‬، ‫ َوأَ ْن يُ ْن َسأ َ لَهُ فِى أَثَ ِر ِه‬، ‫َم ْن َس َّرهُ أَ ْن يُ ْب َسطَ لَهُ فِى ِر ْزقِ ِه‬
ُ‫صلْ َر ِح َمه‬
“Siapa yang suka dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya hendaklah dia
menyambung silaturrahmi.” (HR Bukhari no. 5985 dan Muslim no. 2557)

 Bertakwa karena ingin diberikan solusi-solusi dalam setiap permasalahan. Allah


berfirman,

‫ق هَّللا َ يَجْ َعل لَّهُ َم ْخ َرجًا‬


ِ َّ‫َو َمن يَت‬
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.”
(QS At-Thalaq : 2)

Semua contoh di atas adalah bentuk ibadah yang tercampuri dengan niat duniawi. Tetapi
Allah dan Nabi-Nya sendiri lah yang menjanjikan keutamaan-keutamaan duniawi tersebut.
Sehingga yang seperti ini hukumnya tidak mengapa, dengan syarat dia mengerjakan ibadah
tersebut dasarnya memang ikhlas karena Allah dan tambahan niat duniawinya tidak boleh
lebih mendominasi dari pada niat akhiratnya, apalagi sampai menjadi murni niatan duniawi.
Sebagaimana Allah berfirman,

‫اجلَةَ َعج َّْلنَا لَهُ فِيهَا َما نَ َشا ُء لِ َمن نُّ ِري ُد ثُ َّم َج َع ْلنَا لَهُ َجهَنَّ َم‬
ِ ‫ان ي ُِري ُد ْال َع‬
َ ‫َّمن َك‬
‫يَصْ اَل هَا َم ْذ ُمو ًما َّم ْدحُورًا‬
“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya
di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan Kami tentukan
baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir.” (QS
Al-Isra’ : 18)

Allah juga berfirman,

‫ف إِلَ ْي ِه ْم أَ ْع َمالَهُ ْم فِيهَا َوهُ ْم فِيهَا اَل‬


ِّ ‫ان ي ُِري ُد ْال َحيَاةَ ال ُّد ْنيَا َو ِزينَتَهَا نُ َو‬
َ ‫َمن َك‬
َ ‫يُب َْخس‬
‫ُون‬
“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan
kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu
tidak akan dirugikan.” (QS Hud : 15)

B. Amalan Tercampuri Niat Riya’ (ingin dilihat orang)

Seorang hamba yang sedang mengerjakan ibadah lalu dalam ibadahnya tersebut muncul rasa
riya’ maka kondisi ini terbagi ke dalam 2 kondisi.

1. Muncul sejak awal beramal, maka amal tersebut tertolak.

2. Muncul belakangan, terbagi dalam dua kondisi lagi:

1. Muncul di tengah saat dia sedang beramal, yang terbagi lagi menjadi dua;
– Riya’ tersebut dilawan, mengandung 2 kemungkinan; Jika dia berhasil maka dia
mendapatkan pahala, dan jika dia tidak berhasil maka dia tetap dapat pahala karena sudah
berusaha untuk melawannya.
– Riya’ tersebut tidak dilawan.
Adapun kondisi seperti ini, para ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan amalnya
gugur, sebagian lain mengatakan amalnya diterima karena di awal beramal dia sudah ikhlas.
Imam Ahmad menguatkan pendapat yang kedua.
2. Muncul setelah selesai beramal
Jika seorang hamba telah beramal dengan ikhlas hingga akhir. Namun tiba-tiba muncul rasa
riya’ di kemudian hari, maka para ulama berbeda pendapat. Jumhur ulama mengatakan
bahwa pahala yang telah dia dapatkan saat beramal tetap selamat (tidak terhapus), hanya saja
riya’ yang muncul tersebut diganjar dosa, dan ini pendapat yang terkuat. Sebagian kecil
ulama yang lain semisal Ibnul Qayyim berpendapat bahwa pahala yang didapatkan dari
amalan yang telah dilakukannya itu gugur karena riya’ yang muncul setelah beramal tersebut.

Hukum Bertaubat dari Riya’


Telah diketahui bahwa seorang hamba yang beramal dengan riya’ maka hukum asalnya
amalannya tersebut tidak diterima. Namun bagaimana jika dia bertaubat dari riya’ yang
menjadi asas beramalnya dahulu? Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat apakah pahala
yang harusnya dia dapat tetapi jadi terhapus karena riya’ itu bisa kembali lagi, atau tidak
kembali.

Para ulama yang berpendapat bahwa pahalanya tidak akan kembali, beralasan bahwa amalan
tersebut memang sedari awal tidak sah, karena syarat sah diterimanya amalan adalah ikhlas.
Sehingga dengan itu amalannya tidak berbuah pahala, kalau demikian apa yang mau
kembali? Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnul Qayyim.

Adapun jumhur ulama mengatakan bahwa amalannya akan kembali dan akan diberi pahala
sesuai amalannya tersebut. Mereka mengatakan bahwa hukum asal amal itu diterima, hanya
saja saat dia beramal maka amalannya tersebut tidak diterima karena ada penghalangnya
yaitu riya’. Ketika penghalangnya dicabut dengan cara bertaubat dari perbuatan riya’nya
maka amalan itu akan kembali dan berbuah pahala. Alasan lainnya adalah memakai qiyas
aulawiy dengan orang musyrik yang bertaubat dari kesyirikannya lalu dia beriman sehingga
dengannya Allah mengembalikan atau memberikan ganjaran pahala bagi kebaikan yang
dahulu dia lakukan ketika masih musyrik. Allah berfirman,

‫َو َما َمنَ َعهُ ْم أَن تُ ْقبَ َل ِم ْنهُ ْم نَفَقَاتُهُ ْم إِاَّل أَنَّهُ ْم َكفَرُوا بِاهَّلل ِ َوبِ َرسُولِ ِه‬
“Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya
melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya.” (QS At-Taubah : 54)

Asalnya amalan mereka diterima, tetapi menjadi tidak diterima karena terhalang oleh status
kekafiran mereka. Jika penghalangnya hilang, maka amalan yang dulu terhalang jadi
diterima. Sebagaimana sahabat Nabi Hakim bin Hizam yang dahulunya musyrik, dia
bertanya tentang keadaannya kepada Nabi,

‫ص َدقَ ٍة أَ ْو‬ َ ‫الجا ِهلِيَّ ِة ِم ْن‬


َ ‫ث بِهَا فِي‬ ُ َّ‫ت أَتَ َحن‬
ُ ‫ْت أَ ْشيَا َء ُك ْن‬
َ ‫ أَ َرأَي‬،ِ ‫ُول هَّللا‬
َ ‫يَا َرس‬
‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه‬ َ َ‫ فَهَلْ ِفيهَا ِم ْن أَجْ ٍر؟ فَق‬،‫صلَ ِة َر ِح ٍم‬
َ ‫ال النَّبِ ُّي‬ ِ ‫ َو‬،‫َعتَاقَ ٍة‬
‫ف ِم ْن َخي ٍْر‬ َ َ‫ت َعلَى َما َسل‬ َ ‫ أَ ْسلَ ْم‬:‫َو َسلَّ َم‬
Wahai Rasulullah, “Bagaimana menurut anda tentang beberapa hal yang aku lakukan
sebagai ibadah pada masa jahiliyah? Seperti sedekah, memerdekakan budak, menyambung
silaturrahmi, apakah aku mendapatkan sesuatu (pahala) di dalamnya?” Rasulullah
bersabda, “(Dengan) memeluk Agama Islam (kamu tetap mendapatkan pahala) amal
kebaikan yang dulu kamu kerjakan.” (HR Bukhari no. 1436)

Orang musyrik dengan syirik besar saja setelah bertaubat maka amalan masa lalunya
diterima, apalagi orang riya’ yang merupakan syirik asghar jika ia bertaubat dengan taubat
nashuha. Meskipun demikian, hendaknya setiap hamba tidak menggampangkan perkara ini,
karena tidak ada yang bisa menjamin apakah dia sempat bertaubat atau tidak.

Kaidah-Kaidah Turunan dari Kaidah Pertama

Telah dijelaskan di awal bahwa diantara karakteristik kaidah kubra adalah mempunyai kaidah
cabang atau turunannya. Diantara kaidah cabang dari kaidah pertama ini, adalah:

‫اظ َو ْال َمبَانِي‬


ِ َ‫اص ِد َو ْال َم َعانِي اَل بِاأْل َ ْلف‬
ِ َ‫ اَ ْل ِعب َْرةُ فِي ْال ُعقُ ْو ِد بِال َمق‬.1
(Yang menjadi patokan dalam sebuah akad adalah tujuan dan hakekatnya, bukan lafadz dan
bentuk kalimatnya)

Contoh-contoh penerapan kaidah ini:

 Jika ada seseorang membeli barang dari sebuah toko, tetapi dia lupa tidak membawa
uang. Kemudian dia mengatakan kepada si penjual, “Saya beli barangmu, tetapi karena saya
lupa bawa uang, untuk sementara jam tangan saya dititipkan dulu, setelah ini saya akan
pulang mengambil uang kemudian kembali lagi untuk membayarnya dan akan saya ambil
titipan jam tangan saya.” Walaupun orang ini berkata itu bahwa adalah jam tangannya
sekedar dititipkan tetapi hakekat itu bukan akad wadi’ah (titipan) melainkan akad rahn
(jaminan).
 Perkataan si A kepada si B, “Saya hadiahkan kepada engkau mobil saya dengan
syarat engkau hadiahkan mobilmu kepadaku.” Maka walaupun mereka berkata itu adalah
bentuk saling memberi hadiah tetapi hakekatnya itu adalah jual beli.
 Nasabah yang menitipkan uangnya di bank (bermaksud melakukan akad wadiah).
Maka hakekatnya akad yang dia lakukan adalah akad hutang piutang (akad qarn). Mengapa
demikian? Karena pada akad wadiah tidak terjadi perpindahan pemilikan, sedangkan apabila
terjadi perpindahan pemilikan maka itu namanya akad hutang piutang. Seorang nasabah
apabila meletakkan uangnya di bank lalu mengizinkan bank tersebut untuk memakainya
maka itu namanya menghutangi dan bukan menitipkan.

َ ِ‫ْج َل بِ َش ْي ٍء قَب َْل أَ َوانِ ِه ُع ْوق‬


‫ب بِ ِحرْ َمانِ ِه‬ َ ‫ َم ِن ا ْستَع‬.2
(Barangsiapa yang menyegerakan sesuatu sebelum waktunya -dengan niat yang buruk- maka
dia dihukum dengan kebalikannya)

Contoh-contoh penerapan kaidah ini:

 Seseorang yang ingin segera mendapat warisan dari bapaknya kemudian


menghalalkan segala cara agar keinginannya segera terwujud. Akhirnya dia rela membunuh
bapaknya untuk mewujudkan keinginannya. Maka dia tidak berhak diberi warisan tersebut.
Ini adalah contoh bentuk menggunakan wasilah haram untuk mendapatkan tujuan yang syar’
 Termasuk dalam kaidah ini adalah menggunakan wasilah syar’i untuk mendapatkan
tujuan yang haram. Seperti seorang suami yang membenci istrinya dan tidak ingin istrinya
mendapatkan warisan darinya. Ketika dia akan meninggal dunia, dia lalu mentalak istrinya
dengan talak tiga agar istrinya tersebut tidak mendapat warisan darinya (adapun hanya talak
satu atau dua lalu suaminya meninggal di masa ‘iddahnya maka sang istri masih dapat
warisan). Tatkala terungkap bahwa dia sengaja menceraikan istrinya dengan niat untuk
memberi kemudharatan kepadanya maka istrinya tetap mendapatkan warisan darinya.

Kaidah 2

ِّ‫اَ ْليَقِ ْينُ اَل يَ ُز ْو ُل بِالشَّك‬


Al-Yaqiin Laa Yazulu bis Syakk

(Yakin Tidak Bisa Gugur Disebabkan Keraguan)


Sebelum membahas tentang makna ُ‫ اَ ْليَقِيْن‬dan ُّ‫ اَلشَّك‬dalam kaidah ini. Terlebih dahulu harus diketahui
tentang 4 tingkatan ilmu (‫ب ا ْل ِع ْل ِم‬
ُ ِ‫) َم َرات‬, yaitu sebagai berikut.

1. ‫( اَ ْل َو ْه ُم‬Al-Wahm), yaitu mengetahui sesuatu dengan dugaan lemah.

2. ُّ‫( اَلشَّك‬As-Syakk), yaitu mengetahui sesuatu dengan dugaan yang sama antara dua kemungkinan.

3. ُّ‫( اَلظَّن‬Adz-Dzhann), yaitu mengetahui sesuatu dengan dugaan yang kuat.

4. ‫( اَ ْل ِع ْل ُم‬Al-‘Ilmu), yaitu mengetahui sesuatu sebagaimana kenyataan yang sebenarnya. Dan tingkatan
ilmu terbagi lagi menjadi tiga, yaitu;

1. ‫‘( ِع ْل ُم ا ْليَقِ ْي ِن‬Ilmul Yaqin), yaitu mengetahui dengan pasti berdasarkan ilmunya.
2. ‫‘( َعيْنُ ا ْليَقِ ْي ِن‬Ainul Yaqin), yaitu mengetahui dengan pasti setelah melihatnya langsung sehingga
bertambah keyakinannya.
3. ‫ق ا ْليقِ ْي ِن‬
ُّ ‫( َح‬Haqqul Yaqin), yaitu mengetahui dengan pasti setelah merasakannya /
menyentuhnya langsung sehingga semakin bertambah keyakinannya.
Contoh, seorang muslim di dunia yakin tanpa ragu akan adanya surga dan neraka maka
keyakinan tersebut adalah ‘ilmul yaqin. Di padang mahsyar kelak, surga dan neraka
diperlihatkan kepada seluruh manusia, saat itu keyakinan terhadap surga dan neraka menjadi
‘ainul yaqin. Setelah ahlul jannah dimasukkan ke dalam surga dan ahlun nar dimasukkan ke
dalam neraka, maka keyakinan akan surga dan neraka menjadi haqqul yaqin.

Berdasarkan 4 tingkatan ilmu ini, yang dimaksud ُ‫( اَ ْليَقِيْن‬yaqin) dalam kaidah adalah tingkatan yang ke
empat yaitu tingkatan ‫( اَ ْل ِع ْل ُم‬al-‘ilmu). Sedangkan, maksud ُّ‫( اَلشَّك‬syakk) dalam kaidah adalah mencakup
tiga tingkatan di bawah al-‘ilmu yaitu tingkatan ‫( اَ ْل َو ْه ُم‬al-wahm), tingkatan ُّ‫( اَلشَّك‬as-syakk), dan
tingkatan ُّ‫( اَلظَّن‬adz-dzhann). Sehingga sesuatu yang sebelumnya yaqin (tingkatan ke empat),
hukumnya tidak akan hilang dengan wahm, syakk, dzhann (tingkatan pertama, kedua, dan ketiga).

Dalil-Dalil Tentang Kaidah

Diantara dalil tentang kaidah ini adalah hadits dari ‘Abdullah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu
bahwasanya ia pernah mengadukan kepada Nabi mengenai seseorang yang biasa merasakan sesuatu
dalam shalatnya. Nabi pun bersabda,

‫ص ْوتًا أَ ْو يَ ِج َد ِريحًا‬
َ ‫ف َحتَّى يَ ْس َم َع‬ َ ‫الَ يَ ْن‬
ْ ‫ص ِر‬
“Janganlah berpaling hingga ia mendengar suara atau mendapati bau.” (HR Bukhari no. 177 dan
Muslim no. 361).

Sisi pendalilannya : orang ini melaksanakan shalat dalam keadaan yakin suci karena sebelumnya dia
telah berwudhu. Namun di tengah shalatnya dia ragu antara batal atau tidak, karena merasakan ada
kentut tetapi tidak yakin. Maka keraguan yang muncul belakangan tidak bisa membatalkan apa yang
sebelumnya telah yakin yaitu keadaan suci.

Dalam hadits yang lain, dari Abu Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi bersabda,

ْ
‫ك‬ ِ ‫صلَّى ثَالَثًا أَ ْم أَرْ بَعًا فَ ْليَط َر‬
َّ ‫ح ال َّش‬ َ ‫صالَتِ ِه فَلَ ْم يَ ْد ِر َك ْم‬ َ ‫ك أَ َح ُد ُك ْم فِى‬ َّ ‫إِ َذا َش‬
‫صلَّى َخ ْمسًا‬ َ ‫ان‬ َ ‫َو ْليَ ْب ِن َعلَى َما ا ْستَ ْيقَ َن ثُ َّم يَ ْس ُج ُد َسجْ َدتَ ْي ِن قَ ْب َل أَ ْن يُ َسلِّ َم فَإ ِ ْن َك‬
‫صلَّى إِ ْت َما ًما ألَرْ بَ ٍع َكانَتَا تَرْ ِغي ًما لِل َّش ْيطَا ِن‬ َ ‫ان‬ َ ‫صالَتَهُ َوإِ ْن َك‬ َ ُ‫َشفَع َْن لَه‬
“Apabila kalian ragu dalam shalatnya, dan tidak mengetahui berapa rakaat dia shalat, tiga ataukah
empat rakaat maka buanglah keraguan itu, dan ambilah yang yakin. Kemudian sujudlah dua kali
sebelum salam. Jika ternyata dia shalat lima rakaat, maka sujudnya telah menggenapkan shalatnya.
Lalu jika ternyata shalatnya memang empat rakaat, maka sujudnya itu adalah sebagai penghinaan
bagi setan.” (HR. Muslim 1300)
Sisi pendalilannya : orang ini ragu apakah dia baru melaksanakan tiga rakaat atau sudah empat
rakaat, atau dengan kata lain dia yakin telah melaksanakan tiga rakaat akan tetapi dia masih ragu
apakah dia sudah menyelesaikan rakaat ke empat atau belum. Maka dalam hal ini Nabi menyuruhnya
untuk menambah satu rakaat dan mengembalikan keraguannya tadi kepada yakinnya yaitu tiga rakaat.

Dua hadits di atas adalah diantara dalil sekaligus bentuk terapan langsung kaidah. Diantara penerapan
yang lain dari kaidah ini adalah dalam masalah takfir (pengafiran). Apabila seseorang telah
mengucapkan dua kalimat syahadat yang memasukkannya dalam Islam atau dia telah berislam sejak
lahirnya, maka tidak boleh mengeluarkannya dari Islam (mengafirkannya) karena melihatnya
melakukan pembatal-pembatal keislaman dengan penglihatan yang meragukan. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah berkata, “Apabila seseorang telah masuk Islam dengan keyakinan maka dia tidak boleh
dikeluarkan dengan keraguan.” Bahkan apabila seseorang telah melakukan pembatal keislaman namun
belum terpenuhi syarat dan belum hilang penghalang pengafiran maka tetap tidak boleh dikafirkan dan
dikeluarkan dari Islam.

Telah dimaklumi bahwa para ulama telah bersepakat akan kafirnya orang yang mengatakan Al-Quran
itu makhluk, bersamaan dengan itu Imam Ahmad tidak mengafirkan Khalifah Al-Makmun yang
bahkan memaksa rakyatnya mengucapkan kalimat kekafiran tadi, hal ini karena Imam Ahmad
menganggap adanya syubhat yang menyimpangkan keyakinan Al-Makmun.

Kaidah-Kaidah Turunan dari Kaidah Kedua

ْ َ ‫( اَأْل‬Hukum asalnya, kondisi sekarang tidak berubah dari kondisi sebelumnya)


1. َ‫ص ُل بَقَا ُء َما َكانَ َعلَى َما َكان‬

Beberapa contoh penerapan kaidah :

 Tentang kisah sahabat yang telah bersuci namun setelah itu ditimpa ragu antara batal atau
tidak, sebagaimana yang telah berlalu haditsnya. Maka hukum asalnya adalah dia tetap suci
sebagaimana sebelumnya dia telah bersuci hingga terjadi/melakukan suatu hal yang dapat
membatalkannya.
Keadaan sebaliknya, berlaku pula kaidah ini. Misalnya ketika seseorang masuk ke toilet untuk
buang hajat pada pukul 9 pagi, lalu ketika dia ingin melaksanakan shalat dhuhur dia ragu
apakah dia sudah bersuci atau belum. Maka keadaan seperti ini dikembalikan kepada perkara
yang dia yakini yaitu hadats, dan tidak mengambil apa yang meragukannya yaitu suci.
Sehingga dia wajib bersuci apabila mau shalat.
 Seseorang yang sahur, namun karena mati listrik dia tidak bisa mendengar adzan sebagai
tanda terbit fajar. Kemudian beberapa saat muncul keraguan apakah sudah terbit fajar atau
belum. Maka yang dia lakukan adalah dia kembalikan kepada keadaan yang sebelumnya telah
dia yakini yaitu ‫( بَقَا ُء الَّي ِْل‬tetapnya waktu malam), dan dia singkirkan keadaan setelahnya yang
masih meragukannya yaitu waktu fajar.
Sebaliknya, seseorang yang ingin berbuka tetapi dia masih ragu apakah matahari sudah
terbenam atau belum. Maka hendaknya dia menunda buka puasa sampai yakin akan
terbenamnya matahari, karena hukum asalnya adalah tetapnya waktu siang.Catatan : kecuali
dalam beberapa hal yang dibolehkan memakai ghalabatuz zhann (persangkaan kuat), apabila
tidak mungkin mengembalikannya kepada keyakinan. Seperti ketika sahabat berpuasa dan
saat itu langit sedang mendung, mereka kemudian berbuka puasa (setelah melakukan ijtihad)
karena mereka menyangka dengan sangkaan kuat bahwa matahari telah terbenam, padahal
beberapa saat kemudian mendung berakhir dan matahari belum terbenam. Maka puasa para
sahabat tidaklah batal karena mereka juga tidak bisa mengembalikannya kepada hal yang
yakin yaitu masih siang.

َ ‫ص ُل فِ ْي أُ ُم ْو ِر ا ْل َعا ِر‬
2. ‫ض ِة اَ ْل َع َد ُم‬ ْ َ‫( اَأل‬Hukum asal dalam perkara yang baru adalah tidak ada sampai ada bukti)

Beberapa contoh penerapan kaidah :

 Dua orang yang berserikat melakukan mudharabah, satu sebagai pemodal satu sebagai
pekerja. Keuntungan yang didapatkan nanti akan dibagi dua. Setelah berlalu beberapa tempo,
si pemodal minta kepada si pekerja untuk memberikan sebagian untung yang telah
didapatkan. Namun si pekerja menolak karena merasa belum mendapatkan untung. Maka
dalam kasus ini, yang dimenangkan adalah si pekerja yang mengatakan belum mendapatkan
untung. Karena hukum asalnya adalah belum mendapatkan untung. Sedangkan klaim si
pemodal bisa diterima jika ia punya bukti bahwa transaksi tersebut memang telah
mendapatkan untung.
 Dua orang misal si A dan si B, si A berhutang kepada si B. Lalu setelah jatuh tempo, si B
menagih si A, tetapi A merasa dia telah melunasinya. Jika A tidak punya bukti bahwa dia
telah melunasinya, maka klaim A tidak dianggap karena hukum asalnya masih berhutang
(belum lunas) dan klaim A adalah klaim baru.
Atau dalam kondisi sebaliknya, tiba-tiba suatu ketika A mengklaim bahwa B telah berhutang
kepadanya, sedangkan B merasa tidak berhutang. Maka klaim A juga tidak dianggap karena
hukum asalnya belum ada transaksi hutang sebelumnya, sedangkan klaim A adalah klaim
baru.

ِ ‫ث إِلَى أَ ْق َر‬
3. ‫ب َو ْقتِ ِه‬ ِ ‫ضافَةُ ا ْل َح َد‬ ْ َ ‫( اَأْل‬Hukum asalnya adalah menyandarkan kejadian pada sebab terdekat)
َ ِ‫ص ُل إ‬

Beberapa contoh penerapan kaidah :

 Seorang laki-laki yang mimpi basah dan menjumpai ada air mani yang telah mengering di
celananya, namun dia ragu dia mimpi basah kapan. Misalnya, dia melihat air mani di
celananya selasa sore, namun dia ragu apakah mimpinya di malam selasa atau malam senin
atau bahkan malam-malam sebelumnya lagi. Maka saat itu dia memilih malam selasa, karena
sebab yang paling dekat adalah karena tidur pada malam selasa, walaupun pada kenyataannya
mimpinya adalah pada malam senin. Sehingga apabila dia menyadarinya di hari selasa sore,
maka dia cukup mengulangi dua shalat yaitu shalat shubuh dan dhuhurnya hari selasa, adapun
shalat yang di hari senin tidak perlu diulangi.
 Seorang wanita yang keguguran setelah perutnya dipukul oleh seorang laki-laki jahat.
Sebelum dipukul, perempuan tersebut juga melakukan sebab-sebab yang bisa menggugurkan
kandungannya, seperti mengangkat barang-barang yang berat. Lantas penyebab
kegugurannya disandarkan ke siapa, apakah karena perempuan itu sendiri atau laki-laki tadi?
Jawabannya adalah ke laki-laki tadi, karena dia yang melakukan penyebab terdekat dari
waktu keguguran, walaupun sebenarnya diantara penyebab utamanya juga adalah karena
perempuan itu sendiri yang telah melakukan pekerjaan berat sebelumnya.
4. ُ‫احة‬ ْ َ ‫ص ُل فِي اأْل‬
َ َ‫شيَا ِء اَإْل ِ ب‬ ْ َ ‫( اَأْل‬Hukum asal dalam segala sesuatu adalah boleh)

Kaidah ini berdasarkan firman Allah:

ِ ْ‫ق لَ ُك ْم َما فِي اأْل َر‬


‫ض َج ِميعًا‬ َ َ‫هُ َو الَّ ِذي َخل‬
“Dia-lah Dzat yang menciptakan segala sesuatu yang ada di bumi untuk kalian.” (QS Al-Baqarah :
29)

Allah juga berfirman:

َ ‫ق ۚ قُلْ ِه َي لِلَّ ِذ‬


‫ين‬ ِ ‫ت ِم َن الرِّ ْز‬ِ ‫قُلْ َم ْن َح َّر َم ِزينَةَ هَّللا ِ الَّتِي أَ ْخ َر َج لِ ِعبَا ِد ِه َوالطَّيِّبَا‬
َ ِ‫صةً يَ ْو َم ْالقِيَا َم ِة ۗ َك ٰ َذل‬
ِ ‫ك نُفَصِّ ُل اآْل يَا‬
َ ‫ت لِقَ ْو ٍم يَ ْعلَ ُم‬
‫ون‬ َ ِ‫آ َمنُوا فِي ْال َحيَا ِة ال ُّد ْنيَا َخال‬
Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk
hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?” Katakanlah:
“Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk
mereka saja) di hari kiamat”. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang
mengetahui. (QS Al-A’raf : 32)

‫ون َم ْيتَةً أَ ْو‬ َ ‫ط َع ُمهُ إِاَّل أَن يَ ُك‬ ْ َ‫اع ٍم ي‬ِ َ‫ي ُم َح َّر ًما َعلَ ٰى ط‬ َّ َ‫قُل اَّل أَ ِج ُد فِي َما أُو ِح َي إِل‬
‫ير فَإِنَّهُ ِرجْ سٌ أَ ْو فِ ْسقًا أُ ِه َّل لِ َغي ِْر هَّللا ِ بِ ِه ۚ فَ َم ِن‬ ٍ ‫نز‬ِ ‫َد ًما َّم ْسفُوحًا أَ ْو لَحْ َم ِخ‬
‫ك َغفُو ٌر َّر ِحي ٌم‬َ َّ‫اغ َواَل َعا ٍد فَإ ِ َّن َرب‬ٍ َ‫اضْ طُ َّر َغ ْي َر ب‬
Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah
yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih
atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS Al-An’am : 145)

Semua ayat di atas menunjukkan bahwa hukum asal segala sesuatu baik berupa makanan, minuman,
dan selainnya itu hukumnya halal kecuali yang dikecualikan oleh Allah dalam ayat-ayat lain atau dari
hadits-hadits Nabi. Demikian pula dalam segala aktivitas non ibadah yang tidak ada dalil yang
mengharamkannya oleh Allah maka hukum asalnya boleh.

ْ َ ‫( اَأْل‬Hukum asal dalam masalah kemaluan adalah haram)


ِ ‫ص ُل فِي ا ْل ِج َم‬
5. ‫اع الت َّْح ِر ْي ُم‬

Maksudnya adalah hukum asal berhubungan dengan wanita adalah haram kecuali ada penghalalnya
seperti telah sah sebagai suami istri atau sebagai budak. Dalilnya adalah firman Allah,
‫ت أَ ْي َمانُهُ ْم‬
ْ ‫اج ِه ْم أَ ْو َما َملَ َك‬
ِ ‫) إِاَّل َعلَى أَ ْز َو‬5( ‫ون‬ َ ُ‫ين هُ ْم لِفُرُو ِج ِه ْم َحافِظ‬ َ ‫َوالَّ ِذ‬
)7( ‫ون‬ َ ِ‫ك فَأُولَئ‬
َ ‫ك هُ ُم ْال َعا ُد‬ َ ِ‫) فَ َم ِن ا ْبتَ َغى َو َرا َء َذل‬6( ‫ين‬َ ‫فَإِنَّهُ ْم َغ ْي ُر َملُو ِم‬
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak
yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari
yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. ” (QS Al Mu’minun: 5-7)

Dalam hadits, Nabi bersabda,

َ ‫ان هَّللا ِ َوا ْستَحْ لَ ْلتُ ْم فُر‬


‫ُوجه َُّن بِ َكلِ َم ِة‬ ِ ‫فَاتَّقُوا هَّللا َ فِى النِّ َسا ِء فَإِنَّ ُك ْم أَ َخ ْذتُ ُموهُ َّن بِأ َ َم‬
ِ ‫هَّللا‬
“Bertakwalah pada Allah terhadap para wanita karena kalian telah mengambil mereka dengan
perlindungan dari Allah, kalian telah meminta kehalalan kemaluan mereka dengan kalimat Allah.”
(HR Muslim no. 1218)

Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa asalnya kemaluan wanita diharamkan sampai dihalalkan
dengan kalimat Allah, maksudnya adalah melalui akad nikah. Konsekuensinya, diharamkan
menyetubuhi wanita jika hanya ada keraguan, wanita itu istrinya atau bukan.

Dalam hadits yang lain,

‫ أنه تزوج ابنة= ألبي‬-‫رضي هللا تعالى عنه‬- ‫أبي ِسرْ َوعة عقبة بن الحارث‬
‫ والتي قد تزوج‬،‫ إني قد أرضعت عقبة‬:‫إهاب بن عزيز فأتته امرأة فقالت‬
‫ فركب إلى‬،‫ وال أخبرتني‬،‫ ما أعلم أنك أرضعتني‬:‫ فقال لها عقبة‬،‫بها‬
‫صلى هللا‬- ‫ فقال رسول هللا‬،‫ بالمدينة فسأله‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫رسول هللا‬
‫ونكحت زوجا ً غيره‬ ،‫ففارقها عقبة‬ )‫(كيف وقد قيل؟‬ :-‫عليه وسلم‬
Bahwasanya Abu Sirwa’ah ‘Uqbah bin Al-Harits bahwa dia mengawini putri dari Abu Ihab bin ‘Aziz
lalu datang seorang wanita dan berkata, “Sungguh aku pernah menyusui ‘Uqbah dan wanita yang
sekarang dikawininya.” Kemudia ‘Uqbah berkata kepadanya, “ Aku tidak tahu kalau kamu telah
menyusui aku dan kamu tidak memberitahu aku.” Maka dia pergi menuju keluarga Abu Ihab untuk
menanyakan mereka, maka mereka berkata, “Kami tidak tahu kalau wanita itu telah menyusui
perempuan-perempuan kami.” Lalu dia mengendarai tunggangan untuk menemui Nabi di Madinah
lalu dia bertanya, maka Rasulullah bersabda, “Mau bagaimana lagi, wanita itu sudah mengatakannya.”
Maka ‘Uqbah menceraikan istrinya itu lalu menikahi wanita lain. (HR Bukhari no. 88)

Di dalam hadits di atas nampak bahwa keraguan itu menjadi ada apakah istrinya itu benar halal
baginya atau tidak. Tetapi karena hukum asal kemaluan wanita adalah haram, sementara status
pernikahannya belum jelas atau muncul sesuatu yang meragukan tentang status penghalalannya
(karena sepersusuan), maka kembali ke hukum asal yaitu tidak sah

Kaidah 3

ُ ِ‫شقَّةُ ت َْجل‬
ِ ‫ب التَّ ْي‬
‫س ْي َر‬ َ ‫اَ ْل َم‬
Al-Masyaqqatu Tajlibut Taisir
(Kesulitan Mendatangkan Kemudahan)
Sesungguhnya Allah telah menurunkan agama kepada umat manusia. Bersamaan dengannya,
Allah menurunkan pula beban-beban syariat kepada manusia agar manusia bisa beribadah
dengannya. Meskipun demikian, seluruh syariat-syariat yang dibebankan kepada umat
manusia tersebut khususnya umat Islam jika direnungkan akan dijumpai kebijaksanaan Allah
yang sangat besar, walaupun sebagian manusia menganggapnya berat. Allah melarang
meminum khamr, melarang berzina, mengharamkan musik, hakikatnya itu semua
maslahatnya kembali kepada hamba. Allah tahu apa yang terbaik bagi hambaNya, Allah tahu
dimana letak kebahagiaan hambaNya, dan Allah tahu hamba bisa melaksanakan segala
perintahNya serta menghindari segala laranganNya. Karena sesungguhnya Islam adalah
agama yang mudah.

Ada banyak dalil yang menunjukkan bahwa agama Islam adalah agama yang sangat mudah,
terlebih apabila dibandingkan dengan agama yahudi, nasrani, dan agama-agama lainnya.
Sebagai contoh dalam masalah menyikapi wanita haidh, maka agama Islam adalah agama
yang wasath (berada di pertengahan) antara agama Yahudi dan Nasrani. Yahudi dalam
menyikapi wanita haidh mereka berlebih-lebihan, mereka benar-benar menjauhinya, tidak
mengajaknya makan, tidak diajak tidur bersama, apalagi bermesraan dengannya apabila
istrinya tersebut haidh. Lain pula dengan Nasrani yang begitu bermudah-mudahan, antara
yang haidh dan tidak sama saja, bahkan mereka tetap mencampuri istri-istri mereka di
kemaluannya walaupun dalam keadaan haidh.

Islam datang dengan sikap pertengahan antara Yahudi dan Nasrani. Wanita haidh dilarang
untuk digauli di kemaluannya akan tetapi diperbolehkan apabila digauli pada bagian yang
lain, diajak makan tidak masalah, diajak tidur bersama pun tidak mengapa. Sebagaimana
yang dilakukan oleh Nabi kepada ‘Aisyah saat dia haidh. ’Aisyah radhiyallahu ‘anha
menceritakan,
‫ ثُ َّم‬،‫ت يَأْ ُم ُرنِي أَ ْن أَتَّ ِز َر‬
ُ ْ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم إِ َذا ِحض‬
َ ِ ‫ان َرسُو ُل هَّللا‬َ ‫َك‬
‫اش ُرنِي‬
ِ َ‫يُب‬
“Apabila saya haid, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruhku untuk memakai
sarung kemudian beliau bercumbu denganku.” (HR Ahmad 25563, dinilai shahih oleh Al-
Albani)

Ini adalah salah satu contoh yang menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang berada di
pertengahan antara yang ifrath (berlebih-lebihan) dan tafrith (bermudah-mudahan). Nabi
bersabda,

ُ ‫إِنِّي أُرْ ِس ْل‬


‫ت بِ َحنِيفِيَّ ٍة َس ْم َح ٍة‬
“Aku diutus dengan (membawa agama) hanifiyyah yang mudah.” (HR Ahmad no. 25962)

Asas kemudahan ini pula lah yang menjadi dasar agama ini. Allah menurunkan agama Islam
bersama dengan kemudahan-kemudahan. Allah berfirman,

‫ي ُِري ُد هَّللا ُ بِ ُك ُم ْاليُس َْر َواَل ي ُِري ُد بِ ُك ُم ْال ُعس َْر‬


“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS
Al-Baqarah : 185)

Allah juga berfirman,

ِ ‫َو َما َج َع َل َعلَ ْي ُك ْم ِفي ال ِّد‬


ٍ ‫ين ِم ْن َح َر‬
ۚ‫ج‬
“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS
Al-Hajj : 78)

Nabi bersabda,
‫اربُوا َوأَب ِْشرُوا‬
ِ َ‫ فَ َس ِّد ُدوا= َوق‬، ُ‫ين أَ َح ٌد إِالَّ َغلَبَه‬ َ ‫ َولَ ْن يُ َشا َّد ال ِّد‬، ‫ين يُ ْس ٌر‬ =َ ‫إِ َّن ال ِّد‬
‫ َوا ْستَ ِعينُوا بِ ْال َغ ْد َو ِة َوالر َّْو َح ِة َو َش ْى ٍء ِم َن ال ُّد ْل َج ِ=ة‬،
“Sesungguhnya agama (Islam) mudah, tidak ada seorang pun yang hendak menyusahkan
agama (Islam) kecuali ia akan kalah. Maka bersikap luruslah, mendekatlah, berbahagialah
dan manfaatkanlah waktu pagi, sore dan ketika sebagian malam tiba.” (HR Bukhari no. 39)

Jenis Kemudahan
Kemudahan (At-Takhfif) dalam Islam yang diberikan oleh Allah secara garis besar
dimaksudkan dalam dua hal, yaitu :

ْ َ ‫( اَأْل‬Al-Ashl) ; agama Islam pada asalnya adalah agama yang mudah


1. ‫ص ُل‬

Telah dibahas sebelumnya bahwa agama Islama adalah agama yang mudah. Inilah maksud
dari kemudahan yang diberikan oleh secara ashl yaitu pada asalnya Islam itu keseluruhannya
adalah agama yang sangat mudah. Sebagai contoh, shalat wajib yang dibebankan kepada
umat Islam hanyalah 5 waktu dalam sehari yang awalnya 50 waktu. Bersamaan dengan itu, 5
waktu tersebut tetap bisa senilai pahala 50 waktu. Dalam sebuah hadits

‫ففرض هللا عز وجل على أمتي خمسين صالة فرجعت بذلك حتى‬
‫ فرض‬: ‫ ما فرض هللا لك على أمتك ؟ قلت‬: ‫مررت على موسى فقال‬
، ‫ فارجع إلى ربك فإن أمتك ال تطيق ذلك‬: ‫ قال‬، ‫خمسين صالة‬
‫ وضع‬: ‫ قلت‬، ‫ فرجعت إلى موسى‬، ‫فراجعت فوضع شطرها‬
‫ فراجعت فوضع‬، ‫ راجع ربك فإن أمتك ال تطيق‬: ‫ فقال‬، ‫شطرها‬
‫ ارجع إلى ربك فإن أمتك ال تطيق‬: ‫ فقال‬، ‫ فرجعت إليه‬، ‫شطرها‬
‫ ال يبدل القول لدي‬، ‫ وهي خمسون‬، ‫ هي خمس‬: ‫ فقال‬، ‫ فراجعته‬، ‫ذلك‬
‫ استحييت من ربي‬: ‫ فقلت‬، ‫ راجع ربك‬: ‫ فقال‬، ‫ فرجعت إلى موسى‬،
“Allah mewajibkan atas umatku 50 shalat dan aku kembali dengan perintah itu, sampai aku
melewati nabi Musa di mana dia bertanya, “Apa yang Allah wajibkan kepada umatmu?”
Aku menjawab, “Allah mewajibkan 50 shalat.” Musa berkata, “Kembali kepada tuhanmu,
karena umatmu tidak akan kuat atas perintah itu.” Maka aku kembali dan Allah
menghapuskan separuhnya dan aku kembali kepada Musa dan berkata, “Allah telah
menghapuskan sepatuhnya.”

Musa berkata lagi, “Kembali kepada tuhanmu, karena umatmu tidak akan kuat atas perintah
itu.” Maka aku kembali dan Allah menghapuskan separuhnya dan aku kembali kepada
Musa.

Musa berkata lagi, “Kembali kepada tuhanmu, karena umatmu tidak akan kuat atas perintah
itu.” Maka aku kembali dan Allah berkata, “Shalat itu lima (waktu) dan dinilai lima puluh
(pahalanya) dan perkataan-Ku tidak akan berganti.” Aku kembali lagi kepada Musa.

Musa berkata lagi, “Kembali kepada tuhanmu.” Namun aku berkata, “Aku sudah malu
kepada tuhanku.” (HR Bukhari no. 342 dan Muslim no. 163)

Contoh lainnya adalah puasa ramadhan. Puasa dibebankan kepada umat Islam sebagai bukti
penghambaannya kepada Allah. Bersamaan dengan itu, puasa hanya diwajibkan satu bulan
penuh, tidak satu tahun. Demikian pula zakat hanya diwajibkan membayarkan 2,5% dari total
harta kita apabila telah mencapai nishab.

ُ ‫( اَلطَّا ِر‬At-Thari’) ; keringanan tambahan karena ada sebab


2. ‫ئ‬

Selain keringanan yang secara asal telah melekat pada Islam, Allah juga memberikan
keringanan-keringanan tambahan pada syariat-syariat tertentu karena adanya sebab-sebab
tertentu. Diantara bentuk keringanan tersebut adalah:

 ُ‫سقَاط‬ ْ ِ ‫( اَإْل‬pengguguran)
Contohnya, orang yang sakit, orang yang sedang melakukan perjalanan (musafir), dan
seorang budak, digugurkan dari mereka kewajiban shalat jumat. Contoh lain, orang yang
miskin atau tidak mampu, tidak diwajibkan bagi mereka menunaikan ibadah haji.
 ‫يص‬ُ ِ‫( اَلتَّ ْنق‬pengurangan)
Contohnya, seorang musafir diperbolehkan baginya mengurangi jumlah rakaat pada shalat
dhuhur, ashar, dan isya yang dia lakukan (shalat qashar).
 ‫( اَلتَّ ْق ِد ْي ُم َو التَّأْ ِخ ْي ُر‬mendahulukan dan mengakhirkan)
Contohnya, pada shalat jamak, diperbolehkan apabila ada hajat untuk mendahulukan shalat
ashar ke waktu dhuhur, atau mengakhirkan shalat dhuhur ke waktu ashar. Contoh lain,
diperbolehkan bagi seseorang yang ingin membayar zakat sebelum waktunya (sebelum haul
setahun) jika sudah mencapai nishab.
 ‫ص‬ ُ ‫( اَلت َّْر ِخ ْي‬keringanan)
Contohnya, jika ada najis yang sedikit yang susah dihilangkan maka seperti ini syariat
memberi keringanan dan memaafkan apabila tidak bisa benar-benar bersih.
 ‫( اَلتَّ ْغيِ ْي ُر‬perubahan)
Contohnya, shalat khauf saat peperangan, sifat shalat khauf memiliki bentuk yang berbeda
dengan shalat pada umumnya, bahkan apabila perang terus berkecamuk, diizinkan baginya
shalat di atas kendaraannya dengan sifat shalat semampunya.
 ‫( اَإْل ِ ْبدَا ُل‬penggantian)
Contohnya, apabila seseorang tidak sanggup mandi atau berwudhu maka boleh digantikan
dengan tayammum.
 ‫( اَلت َّْخيِ ْي ُر‬pilihan)
Contohnya, pada kaffarah melanggar sumpah, diperbolehkan baginya memilih ingin
membayar kaffarah dengan memberi makan 10 orang miskin, atau memberi pakaian 10 orang
miskin, atau membebaskan budak, sebelum berpindah pada pilihan untuk berpuasa tiga hari. 

Sebab-Sebab Keringanan
Diantara sebab-sebab sehingga Allah menurunkan keringanan kepada para hambanya dengan
berbagai macamnya, yaitu:

 Karena sakit
 Karena safar
 Karena lupa
 Karena ketidaktahuan
 Karena dipaksa
 Karena umum dialami di tengah manusia ( ‫ ) َما تَ ُع ُّم بِ ِه ا ْلبَ ْل َوى‬dan hampir tidak bisa
dihindari.

Kaidah-Kaidah Turunan dari Kaidah Ketiga


َ َّ‫ق اأْل َ ْم ُر اِت‬
1. ‫س َع‬ َ ‫( إِ َذا‬Jika kondisi sempit maka diberikan kelapangan)
َ ‫ضا‬

Contohya, disyariatkannya shalat qashar untuk seorang musafir yang sedang melakukan
perjalanan demikian pula shalat khauf ketika perang dengan tata caranya yang berbeda
dengan shalat pada umumnya. Allah berfirman,

‫صاَل ِ=ة إِ ْن‬ ُ ‫ْس َعلَ ْي ُك ْم ُجنَا ٌح أَن تَ ْق‬


َّ ‫صرُوا ِم َن ال‬ ِ ْ‫ض َر ْبتُ ْم ِفي اأْل َر‬
َ ‫ض فَلَي‬ َ =‫َوإِ َذا‬
َ ‫ِخ ْفتُ ْم أَن يَ ْفتِنَ ُك ُم الَّ ِذ‬
ۚ ‫ين َكفَرُوا‬
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar
sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir.” (QS An-Nisa’ : 101)
Contoh lain, seseorang yang tidak sanggup melunasi hutangnnya pada tempo yang telah
ditentukan. Kemudian dia meminta temponya diperpanjang, maka wajib bagi orang yang
menghutanginya untuk menambah tempo waktu pelunasannya, Allah berfirman,

َ َ‫ان ُذو ُعس َْر ٍة فَنَ ِظ َرةٌ إِلَ ٰى َم ْي َس َر ٍة ۚ َوأَن ت‬


‫ص َّدقُوا َخ ْي ٌر لَّ ُك ْم ۖ إِن ُكنتُ ْم‬ َ ‫َوإِن َك‬
َ ‫تَ ْعلَ ُم‬
‫ون‬
“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia
berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu,
jika kamu mengetahui.” (QS Al-Baqarah : 280)

ِ ‫ض ُر ْو َراتُ تُبِ ْي ُح ا ْل َم ْحظُ ْو َرا‬


2. ‫ت‬ َّ ‫( اَل‬Keadaan darurat membolehkan sesuatu yang sebelumnya
haram)

Keadaan darurat adalah suatu keadaan dimana nyawanya, agamanya, atau hartanya bisa
terancam. Apabila seseorang mengalami keadaan seperti ini maka diperbolehkan baginya
untuk mengambil keharaman tersebut sekadar kebutuhannya (sebagaimana kaidah
berikutnya). Allah berfirman,

‫ير َو َما أُ ِه َّل بِ ِه لِ َغي ِْر هَّللا ِ ۖ فَ َم ِن‬ ِ ‫إِنَّ َما َح َّر َم َعلَ ْي ُك ُم ْال َم ْيتَةَ َوال َّد َ=م َولَحْ َم ْال ِخ‬
ِ ‫نز‬
ِ ‫اغ َواَل َعا ٍد فَاَل إِ ْث َم َعلَ ْي ِه ۚ إِ َّن هَّللا َ َغفُو ٌر ر‬
‫َّحي ٌم‬ ٍ َ‫اضْ طُ َّر َغي َْر ب‬
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan
binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam
keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.” (QS Al-Baqarah : 173)

Allah juga berfirman,

ِ ‫ف إِّل ِ ْث ٍم ۙ فَإ ِ َّن هَّللا َ َغفُو ٌر ر‬


‫َّحي ٌم‬ َ ‫فَ َم ِن اضْ طُ َّر فِي َم ْخ َم‬
ٍ ِ‫ص ٍة َغي َْر ُمتَ َجان‬
“Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Maidah : 3)
Sebagai contoh, seseorang yang tersesat di tengah hutan tanpa bekal makanan atau kehabisan
bekal makanan. Agar dia tetap bertahan hidup, dia harus tetap makan makanan, namun yang
dijumpai hanya babi dan tidak menjumpai makanan halal lainnya. Maka pada saat itu
diperbolehkan baginya makan daging babi tersebut sekadar kebutuhannya.

3. ‫ض ُر ْو َراتُ تُقَ َّد ُر بِقَ َد ِرهَا‬


َّ ‫( اَل‬Darurat harus diukur seperlunya saja)

Kaidah ini adalah pelengkap kaidah sebelumnya. Keharaman yang boleh dikonsumsi karena
darurat hanya diperbolehkan sebatas kebutuhannya, tidak boleh lebih dari itu atau bahkan
berpuas-puas dengannya. Allah berfirman,

‫ير َو َما أُ ِه َّل ِب ِه لِ َغي ِْر هَّللا ِ ۖ فَ َم ِن‬ ِ ‫إِنَّ َما َح َّر َم َعلَ ْي ُك ُم ْال َم ْيتَةَ َوال َّد َ=م َولَحْ َم ْال ِخ‬
ِ ‫نز‬
ِ ‫اغ َواَل َعا ٍد فَاَل إِ ْث َم َعلَ ْي ِه ۚ إِ َّن هَّللا َ َغفُو ٌر ر‬
‫َّحي ٌم‬ ٍ َ‫اضْ طُ َّر َغي َْر ب‬
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan
binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam
keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.” (QS Al-Baqarah : 173)

Seperti pada contoh sebelumnya, babi yang dia makan karena keadaan darurat tidak boleh
melebihi kebutuhannya. Kebutuhannya adalah hanya sampai pada kadar yang membuat dia
tetap bertahan hidup, dia tidak boleh melampaui batas dan makan sampai kenyang,
sebagaimana yang telah diisyaratkan di dalam ayat.

Contoh lainnya, seperti seorang wanita yang harus membuka auratnya untuk kebutuhan
pemeriksaan oleh Dokter, maka yang dibuka adalah hanya bagian yang akan diperiksa saja
tidak boleh lebih dari itu.

Kaidah 4

َّ ‫اَل‬
‫ض َر ُر يُ َزا ُل‬

Adh-Dhararu Yuzaalu
(Kemudharatan Dihilangkan Sebisa Mungkin)
Kaidah ini memiliki sudut pandang yang sedikit mirip dengan kaidah sebelumnya. Kaidah
َّ ‫ اَل‬berkaitan dengan kemudharatan yang terjadi di antara para hamba, dimana
‫ض َر ُر يُ َزا ُل‬
kemudharatan, kesulitan, dan sejenisnya sebisa mungkin dihilangkan di antara para hamba.
Sedangkan kaidah ‫شقَّةُ ت َْجلِ ُب التَّ ْي ِس ْي َر‬
َ ‫ اَ ْل َم‬berkaitan dengan hak Allah, dimana Allah memberikan
kemurahan apabila ada kesulitan-kesulitan yang menimpa hamba-Nya maka Allah akan
memberikan kemudahan-kemudahan.

Oleh karena itu, kaidah ‫ت‬ ِ ‫ض ُر ْو َراتُ تُبِ ْي ُح ا ْل َم ْحظُ ْو َرا‬


َّ ‫ اَل‬ (keadaan darurat membolehkan sesuatu yang
sebelumnya haram) terkadang digolongkan oleh para ulama sebagai turunan dari kaidah ‫ض َر ُر‬ َّ ‫اَل‬
‫يُ َزا ُل‬, sebagai contoh apabila seseorang diserang oleh orang jahat, maka tidak mengapa
baginya untuk membela dirinya lantas membunuh orang jahat tersebut demi menghindarkan
kemudharatan (kematian) itu terjadinya pada dirinya walaupun harus membunuhnya. Ini
berkaitan dengan hak diantara sesama hamba Allah.

Namun kadang pula digolongkan oleh para ulama sebagai turunan dari kaidah ‫شقَّةُ ت َْجلِ ُب‬ َ ‫اَ ْل َم‬
ِ ‫التَّ ْي‬, sebagai contoh seseorang yang terpaksa memakan babi ketika keadaan darurat di
‫س ْي َر‬
dalam hutan dan dia tidak menjumpai makanan yang halal. Makan babi tidak memberi
mudharat bagi orang lain, tapi ini berkaitan dengan hak Allah yang dilanggar yang asalnya
makan babi itu haram, tetapi menjadi mubah karena menghindarkan mudharat dari dirinya.

َّ ‫ اَل‬ (Ad-Dharar)
Makna‫ض َر ُر‬

َّ ‫ اَل‬berasal dari sabda Nabi,


Kaidah ‫ض َر ُر يُ َزا ُل‬

‫رار‬
َ ‫ض‬ ِ ‫ض َر َر وال‬
َ ‫ال‬
“Tidak boleh berbuat dharar, begitu pula tidak pula berbuat dhirar.” (HR Ibnu Majah no.
2340, shahih)

Lantas apa makna dharar dan dhirar di dalam hadits di atas? Para ulama berbeda pendapat di
dalam makna kedua lafadz tersebut.

Pendapat pertama, sebagian ulama mengatakan dharar sama dengan dhirar, keduanya
bermakna kemudharatan

Pendapat kedua, sebagian ulama yang lain mengatakan dharar berbeda dengan dhirar. Hal
ini karena Nabi memunculkan kedua lafadz tersebut tanpa terkecuali dan menafikan kata
dhirar sebagaimana dharar. Maka dalam hal ini, berlaku sebuah kaidah dalam bahasa arab
‫س اَل اَلتَّأْ ِك ْي ُد‬ ِ ْ‫ص ُل فِي ا ْلكَاَل ِم اِلتَّأ‬
ُ ‫س ْي‬ ْ َ ‫ اَأْل‬artinya hukum asal dalam pembicaraan adalah penyebutan
kalimat yang bermakna baru bukan penekanan. Pada dasarnya ketika orang berbicara sebuah
kalimat baru setelah kalimat, maka hukum asalnya dia tidak berniat untuk mengulanginya
atau memberikan penegasan, melainkan kalimat kedua adalah kalimat dengan makna baru
yang berbeda dengan kalimat pertama.

Pada pendapat kedua ini, para ulama berbeda lagi tentang perbedaan dan makna masing-
masing dari dharar dan dhirar.

1. Dharar adalah memberi kemudharatan kepada orang lain agar dirinya mendapatkan
manfaat dengan hal tersebut. Seperti orang yang menanam mangga di halaman
rumahnya lalu tumbuh menjulang hingga ke halaman rumah tetangganya. Tetapi
yang boleh mengambil buah tersebut hanya dia, adapun tetangganya tidak.
Sedangkan dhirar adalah memberi kemudharatan kepada orang lain tetapi dirinya
tidak mendapat manfaat. Seperti ketika dia mengendarai mobil di tengah jalan yang
digenangi oleh air lalu terciprat sehingga mengenai pejalan kaki yang lewat di jalan
tersebut.
2. Dharar adalah memberikan kemudharatan kepada orang lain dengan status dia yang
memulai. Sedangkan dhirar adalah memberikan kemudharatan dengan status
membalas kemudharatan dari orang lain dengan kemudharatan yang lebih parah.

Kesimpulan dari perbedaan-perbedaan pendapat ini yaitu walaupun para ulama berbeda
pendapat dalam memaknai dharar dan dhirar, intinya segala kemudharatan apapun
bentuknya adalah hal yang terlarang yang harus dihilangkan. 

Macam-Macam Kemudharatan

Pada dasarnya, secara umum kemudharatan terbagi ke dalam tiga jenis, yaitu:

1. Kemudharatan yang memang diizinkan oleh syariat. Seperti praktek hudud, hukum
qishash, dan hukuman ta’zir dari ulil amri, secara dzhahir semua ini adalah bentuk
mudharat tetapi hakikatnya mendatangkan maslahat.
2. Kemudharatan yang menimpa banyak orang dan susah dihindari ( ‫)تَ ُع ُّم بِ ِه ا ْلبَ ْل َوى‬. Seperti,
asap kendaraan dan bunyi klakson di jalan raya, ini merupakan kemudharatan yang
juga dimaafkan karena hampir tidak mungkin menghilangkannya. Atau contoh lain,
dalam jual beli, seorang penjual yang menjual apel 1 keranjang maka tidak bisa
dijamin 100% pasti bagus semua.
3. Kemudharatan dimana orang yang ditimpa kemudharatan itu telah memafkan.
Contoh, seorang wanita yang akan menikah dengan lelaki miskin, sehingga dia (si
istri tersebut) akan mendapat kemudharatan. Namun jika walinya ridha maka hal ini
tidak masalah.
4. Kemudharatan yang diharamkan, yaitu selain dari tiga jenis kemudharatan di atas.
َّ ‫ اَل‬ini, yang menjadi pokok pembahasan adalah jenis
Catatan : Dalam kaidah ‫ض َر ُر يُ َزا ُل‬
kemudharatan yang ke empat yang mana merupakan kemudharatan yang harus dihilangkan.
Adapun tiga kemudharatan yang pertama, keluar dari pembahasan kaidah ini.

Dalil-Dalil Tentang Kaidah

Allah berfirman,

‫ُوف أَ ْو َسرِّ حُوهُ َّن‬ ٍ ‫َوإِ َذا= طَلَّ ْقتُ ُم النِّ َسا َء فَبَلَ ْغ َن أَ َجلَه َُّن فَأ َ ْم ِس ُكوهُ َّن بِ َم ْعر‬
َ ِ‫ض َرارًا لِّتَ ْعتَ ُدوا ۚ َو َمن يَ ْف َعلْ ٰ َذل‬
ۚ ُ‫ك فَقَ ْد ظَلَ َم نَ ْف َسه‬ ِ ‫ُوف ۚ َواَل تُ ْم ِس ُكوهُ َّن‬ ٍ ‫بِ َم ْعر‬
“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka
rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang
ma’ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan
demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah
berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.” (QS Al-Baqarah : 231)

Misalnya seorang suami yang sudah tidak suka dengan istrinya, kemudian dia mentalak
istrinya. Istrinya menjalani masa iddahnya, sebelum masa iddahnya selesai suaminya kembali
merujuknya. Kemudian suaminya kembali mentalaqnya (talak kedua). Sang wanita tersebut
kembali menjalani masa iddahnya, lalu sebelum masa iddahnya berakhir suaminya kembali
merujuknya. Suaminya melakukannya terus menerus hingga talak tiga. Hal ini dilakukan oleh
suami karena dia bermaksud memberikan kemudharatan kepada istrinya agar dia terkatung-
katung dalam waktu yang lama sehingga tidak ada laki-laki lain yang bisa menikahinya.
Perbuatan seperti ini tidak diperbolehkan, Allah memerintahkan jika ingin kembali maka
kembalilah dengan cara yang baik untuk membangun rumah tangga yang baik, namun jika
tidak ingin lagi bersama maka ceraikanlah dengan cara yang baik dan jangan memberikan
kemudharatan kepada sang istri. Allah juga berfirman,

ۚ ‫ضيِّقُوا َعلَ ْي ِه َّن‬ ُ ‫أَ ْس ِكنُوهُ َّن ِم ْن َحي‬


َ ُ‫ْث َس َكنتُم ِّمن ُوجْ ِد ُك ْم َواَل ت‬
َ ُ‫ضارُّ وهُ َّن لِت‬
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut
kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati)
mereka.” (QS At-Talaq : 6)

Dalil lainnya adalah Allah berfirman,


َ ‫ضع َْن أَ ْواَل َدهُ َّن َح ْولَي ِْن َكا ِملَي ِْن ۖ لِ َم ْن أَ َرا َد أَن يُتِ َّم الر‬
ۚ َ‫َّضا َعة‬ ُ ‫َو ْال َوالِ َد‬
ِ ْ‫ات يُر‬
ُ َّ‫ُوف ۚ اَل تُ َكل‬
‫ف نَ ْفسٌ إِاَّل‬ ِ ‫َو َعلَى ْال َم ْولُو ِ=د لَهُ ِر ْزقُه َُّن َو ِكس َْوتُه َُّن بِ ْال َم ْعر‬
ۚ ‫ضا َّر َوالِ َدةٌ= ِب َولَ ِدهَا= َواَل َم ْولُو ٌد لَّهُ بِ َولَ ِد ِه‬
َ ُ‫ُو ْس َعهَا ۚ اَل ت‬
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang
ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian
kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan
seorang ayah karena anaknya.” (QS Al-Baqarah : 233)

Demikianlah apabila seorang suami dan seorang istri bercerai, terkadang mereka akan
melampiaskan kebenciannya kepada sang mantan istri/suami tersebut kepada anaknya agar
sang mantan istri/suami sedih. Hal ini tidak boleh dilakukan karena akan menimbulkan
kemudharatan.

Dalil lainnya, Allah berfirman,

َ ‫ُوص ٰى ِبهَا أَ ْو َدي ٍْن َغي َْر ُم‬


ۚ ٍّ‫ضار‬ ِ ‫ِمن بَ ْع ِد َو‬
َ ‫صيَّ ٍة ي‬
“Sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan
tidak memberi mudharat (kepada ahli waris).” (QS An-Nisa : 12)

Ayat ini berbicara tentang warisan dari seseorang yang meninggal. Terkadang orang yang
meninggal tersebut semasa masih hidup, dia jengkel kepada ahli warisnya, misalnya anak-
anaknya nakal atau tidak berbakti kepadanya. Sehingga dengan itu dia membuat wasiat di
akhir hayatnya agar setengah dari total hartanya diberikan untuk pembangunan pondok
pesantren. Maka hal seperti ini tidak boleh karena wasiat hanya boleh diambil dari maksimal
sepertiga total harta, lebih dari itu akan memberi kemudharatan ahli waris. Demikian juga
jika dia mengaku punya hutang (padahal tidak), dengan tujuan agar ahli warisnya tidak
mendapatkan bagian dari hartanya atau hanya mendapatkan sedikit. Seperti ini juga
hukumnya haram karena memberi kemudharatan kepada ahli waris.

Diantara dalil dari kaidah ini adalah sabda Nabi yang juga merupakan kunci dari kaidah ini,

‫رار‬
َ ‫ض‬ ِ ‫ض َر َر وال‬
َ ‫ال‬
“Tidak boleh berbuat dharar, begitu pula tidak pula berbuat dhirar.” (HR Ibnu Majah no.
2340, shahih)
َّ ‫ اَل‬:
Contoh-Contoh Penerapan Kaidah ‫ض َر ُر يُزَا ُل‬

Sebelumnya telah disampaikan beberapa dalil sekaligus contoh langsung yang diberikan oleh
Allah tentang kaidah ini. Contoh-contoh lain dari kaidah sangat banyak, intinya segala hal
yang bisa menimbulkan kemudharatan harus dihilangkan. Akan tetapi, berikut ini beberapa
contoh tentang kaidah ini yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari:

 Dua orang yang telah selesai melakukan transaksi jual beli. Misal, seorang pembeli
membeli sebuah mobil kepada seorang penjual dengan harga yang jauh melebihi
harga pasaran. Setelah si pembeli mengetahui bahwa dia dibohongi dan merasa
dirugikan dengan harga jual yang terlalu mahal (ghabn) tersebut, maka dia berhak
mengajukan khiyar ghabn ke pengadilan. Bentuknya dengan diberikan kesempatan
kepadanya untuk memilih apakah dia tetap lanjutkan pembelian, atau dia batalkan,
atau dia memilih tetap membeli tetapi mengambil ganti rugi. Atau dalam kasus yang
lain dia ditipu, maka dia berhak mengajukan khiyar tadlis. Atau dia membeli barang
tetapi barang tersebut cacat, maka dia berhak mengajukan khiyar ‘aib, dengan bentuk
penawaran yang sama dengan khiyar ghabn. Semua bentuk khiyar ini disyariatkan
salah satunya dalam rangka untuk menolak kemudharatan.
 Seseorang yang memonopoli suatu jenis barang atau makanan lalu dia
menyimpannya. Ketika harga pasar barang tersebut naik, dia menjualnya dengan
harga yang tidak wajar. Maka pemerintah berhak untuk memaksanya agar
menjualnya kembali dengan harga yang wajar.
 Seseorang yang punya talang air di depan rumahnya sehingga air dari rumahnya
tersebut mengarah ke jalan umum. Maka pemerintah berhak untuk menyuruhnya agar
memasukkan talang tersebut ke bagian rumahnya.
 Seorang suami yang tidak pulang ke rumahnya dalam waktu yang lama sehingga istri
dan anak-anaknya tidak pernah dinafkahi dan tidak bisa dihubungi sehingga tidak
diketahui apakah dia sudah meninggal atau bagaimana. Semua ini menimbulkan
kemudharatan bagi istri dan anak-anaknya. Maka pemerintah berhak untuk memvonis
si suami dianggap sudah meninggal agar si istri bisa menikah lagi, atau dianggap
cerai.

Kaidah-Kaidah Turunan

Pertama:

ِ ‫در اإْل ِ ْم َك‬


‫ان‬ ِ َ‫اَلض ََّر ُر يُ ْدفَ ُع َعلَى ق‬
(kemudharatan dihilangkan semaksimal mungkin meskipun tidak seluruhnya hilang)
Ini merupakan kaidah yang penting terutama dalam masalah nahi mungkar, karena diantara
bentuk kemudharatan adalah kemungkaran. Patut diketahui bahwa nahi mungkar ada dua
bentuk, pertama nahi munkar untuk menghilangkan kemungkaran secara total, kedua nahi
mungkar dengan cara meminimalkan kemungkaran tersebut. Bahkan dalam beberapa kondisi,
perbuatan nahi mungkar itu sendiri mengandung kemungkaran, tetapi itu dilakukan demi
menghilangkan kemungkaran yang lebih besar darinya.

Diantara dalil akan kaidah ini, Allah berfirman,

ۗ ‫فَاتَّقُوا هَّللا َ َما ا ْستَطَ ْعتُ ْم َوا ْس َمعُوا َوأَ ِطيعُوا= َوأَنفِقُوا َخ ْيرًا أِّل َنفُ ِس ُك ْم‬
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta
taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu.” (QS At-Taghabun : 16)

‫اج ِع‬
ِ ‫ض‬ َ ‫وزهُ َّن فَ ِعظُوهُ َّن َوا ْه ُجرُوهُ َّن فِي ْال َم‬ َ ‫ون نُ ُش‬ َ ُ‫َوالاَّل تِي تَ َخاف‬
‫ان َعلِيًّا َكبِيرًا‬ َ ‫َواضْ ِربُوهُ َّن ۖ فَإِ ْن أَطَ ْعنَ ُك ْم فَاَل تَ ْب ُغوا َعلَ ْي ِه َّن َسبِياًل ۗ إِ َّن هَّللا َ َك‬
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka
mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS An-Nisa : 34)

Diantara dalilnya dari sunnah Nabi adalah hadits,

‫َم ْن َرأَى ِم ْن ُك ْم ُم ْن َكرًا فَ ْليُ َغيِّرْ هُ بِيَ ِد ِه فَإِ ْن لَ ْم يَ ْستَ ِط ْع فَبِلِ َسانِ ِه فَإِ ْن لَ ْم يَ ْستَ ِط ْع‬
‫ان‬
ِ ‫اإلي َم‬ ِ ‫ف‬ ُ ‫ك أَضْ َع‬ َ ِ‫فَبِقَ ْلبِ ِه َو َذل‬
“Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah dia merubahnya dengan
tangannya. Apabila tidak mampu, hendaklah dia merubah hal itu dengan lisannya. Apabila
tidak mampu lagi, hendaknya dia ingkari dengan hatinya dan inilah selemah-lemah iman.”
(HR Muslim no. 49)

Diantara contoh penerapan kaidah ini adalah seperti Nabi Yusuf yang menjadi bendahara
negeri Mesir padahal negeri Mesir saat itu adalah negeri kafir. Namun Nabi Yusuf masuk ke
dalam sistem kafir tersebut untuk mengurangi kemudharatan negeri tersebut walaupun tidak
akan seluruhnya hilang. Demikian pula di zaman sekarang, orang yang masuk ke dalam
lembaga-lembaga pelayanan masyarakat yang mana masih menganut sistem kafir, maka dia
tidak akan bisa menghilangkan kemungkaran tetapi paling tidak dia bisa menguranginya.
Kedua:

‫اَلض ََّر ُر اَل ي َُزا ُل بِ ِم ْثلِ ِه‬


(kemudharatan tidak dihilangkan dengan memunculkan kemudharatan yang semisal apalagi
kemudharatan yang lebih parah)

Diantara contoh penerapannya, misalnya seseorang yang diancam akan dibunuh apabila tidak
membunuh kawannya. Jika dia dibunuh maka itu adalah kemudharatan, namun jika dia ingin
menyelamatkan dirinya dengan membunuh kawannya tersebut maka itu adalah bentuk
menimbulkan kemudharatan yang sama. Sehingga dalam hal ini dia tidak boleh
melakukannya, karena nyawanya tidak lebih berharga dari pada nyawa kawannya. Dan
kemudharatan tidak boleh ditolak dengan memunculkan kemudharatan yang sama.

Contoh lainnya, seseorang yang miskin, dia mempunyai kawan yang sama-sama miskin.
Maka dia tidak boleh memberikan hartanya kepada kawannya tersebut demi menghilangkan
mudharat pada kawannya karena akan memunculkan mudharat pada dirinya dan istrinya.

Ketiga:

ِّ ‫اِرْ تِ َكابُ أَ َخ‬


‫ف الض ََّر َري ِْن‬
(menempuh kemudharatan yang lebih ringan yang mana kedua mudharat tersebut tidak bisa
dihindari)

Kaidah ini diterapkan apabila dihadapkan pada dua kemudharatan yang tidak bisa dihindari
semuanya secara sekaligus, tidak boleh tidak harus dilakukan dan tidak ada pilihan ketiga.
Maka dalam hal ini sikap yang diambil adalah menempuh kemudharatan yang lebih ringan.

Dalil tentang hal ini adalah kisah orang badui yang kencing di masjid. Dari Anas bin Malik
radhiyallahu anhu, beliau berkata, Seorang Arab Badui pernah memasuki masjid, lantas dia
kencing di salah satu sisi masjid. Lalu para sahabat menghardik orang ini. Namun Nabi
shallallahu alaihi wa sallam melarang tindakan para sahabat tersebut. Tatkala orang tadi
telah menyelesaikan hajatnya, Nabi shallallahu alaihi wa sallam lantas memerintah para
sahabat untuk mengambil air, kemudian bekas kencing itu pun disirami. (HR Bukhari no. 221
dan Muslim no. 284)

Kencing di masjid adalah mudharat karena dengannya masjid akan terkena oleh najis. Namun
jika orang badui tersebut dilarang maka kemudharatan yang lebih besar akan muncul yaitu air
kencingnya menjadi berhamburan. Pada kasus ini, Nabi dihadapkan pada dua kemudharatan
yang tidak bisa dihindari semua secara sekaligus, maka Nabi menempuh kemudharatan yang
lebih ringan dengan membiarkan orang badui tersebut.
Demikian pula tentang kisah Nabi Khidhir, ketika melubangi kapal yang ia tumpangi.
Merusak kapal adalah bentuk kemudharatan, namun Nabi Khidhir memilih untuk melakukan
itu demi menghindarkan mudharat yang lebih besar. Nabi Khidhir menjawab alasannya
melakukan itu,

َ ‫دت أَ ْن أَ ِعيبَهَا َو َك‬


‫ان‬ ُّ ‫ون فِي ْالبَحْ ِر فَأ َ َر‬
َ ُ‫ين يَ ْع َمل‬
َ ‫ت لِ َم َسا ِك‬ْ َ‫أَ َّما ال َّسفِينَةُ فَ َكان‬
‫ك يَأْ ُخ ُذ ُك َّل َسفِينَ ٍة غَصْ بًا‬
ٌ ِ‫َو َرا َءهُم َّمل‬
“Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku
bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang
merampas tiap-tiap bahtera.” (QS Al-Kahfi : 79)

Contoh penerapan kaidah turunan ini adalah apa yang dikatakan oleh para ulama, ketika
terjadi peperangan antara kaum muslimin dan kaum musyrikin. Kaum musyrikin menyandera
sebagian kaum muslimin dan menggunakannya sebagai “tameng” mereka. Mereka
memanfaatkannya agar bisa semakin maju ke barisan kaum muslimin lalu menyerangnya.
Apabila pasukan kaum muslimin dihadapkan dengan kasus ini, maka panglima perang bisa
memutuskan untuk membunuh “tameng” kaum musyrikin tersebut walaupun mereka adalah
kaum muslimin, demi menghindarkan mudharat yang lebih besar yaitu berjatuhannya nyawa
kaum muslimin yang lebih banyak jika dibiarkan saja.

Demikian pula apa yang dilakukan oleh Nabi ketika membiarkan saja keluarga Yasir dan
Bilal bin Rabah disiksa. Beliau tidak menolongnya karena bisa jadi menimbulkan
kemudharatan yang lebih besar, bisa jadi kaum muslimin yang akan disiksa semakin banyak.
Sebagian ulama juga mencontohkan, jika dalam sebuah negeri akan dipilih pemimpin dari
kedua calon yang sama-sama kafir, maka apabila bisa dipastikan bahwa salah satunya akan
lebih mendatangkan maslahat untuk Islam maka pilihlah calon tersebut. Bukan berarti dengan
memilih berarti mendukung kemudharatan, akan tetapi sikap tersebut adalah sikap untuk
memilih kemudharatan yang lebih ringan dari dua kemudharatan yang pasti terjadi salah
satunya.

Keempat:

‫يُحْ تَ َم ُل الض ََّر ُر ْال َخاصُّ لِ َد ْف ِع الض ََّر ِر ْال َعا ِّم‬
(ditempuh kemudharatan yang khusus untuk menolak kemudharatan yang umum)

Contoh penerapan kaidah ini, seseorang yang memiliki rumah, tembok rumahnya miring
yang mana bisa menimbulkan gangguan bagi beberapa tetangganya. Maka pemerintah bisa
menyuruhnya untuk memperbaiki temboknya tersebut walaupun harus menghabiskan sekian
dana yang tidak sedikit, demi menghindarkan gangguan yang bisa menimpa banyak
tetangganya.

Contoh lainnya, mengghibah orang yang sering menipu orang lain di hadapan manusia dalam
rangka untuk memperingatkan mereka dari perbuatannya. Asalnya mengghibahinya berarti
memberi kemudharatan untuk dirinya, tetapi tidak mengapa melakukannya demi
menghindarkan kemudharatan yang lebih besar, karena kalau tidak maka akan banyak
manusia yang akan terperdaya. Hal ini sama dengan mengghibah para da’i penyeru kesesatan
demi menghindarkan kaum muslimin dari konten-konten kesesatan yang dia dakwahkan.

Kelima:

‫ح‬ َ ‫ب ْال َم‬


ِ ِ‫صال‬ ِ ‫اس ِد ُمقَ َّد ٌم َعلَى َج ْل‬
ِ َ‫َدرْ ُء ْالمف‬
(menolak kemudharatan lebih diutamakan daripada mendatangkan kemaslahatan)

Kaidah ini diterapkan apabila maslahat dan mudharatnya sama, tidak ada dari keduanya yang
lebih besar. Maka didahulukan untuk meninggalkannya demi menghindarkan diri dari
mudharat yang akan timbul walaupun harus mengorbankan maslahat yang bisa diraih.

Diantara dalil tentang kaidah ini yaitu hadits Nabi,

‫صائِ ًما‬ َ ‫اق إاَّل أَ ْن تَ ُك‬


َ ‫ون‬ ِ ‫َوبَالِ ْغ فِي ااِل ْستِ ْن َش‬
“Bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq (menghirup air dalam hidung) kecuali jika
engkau berpuasa.” (HR Abu Daud no. 142)

Beristinsyaq (menghirup air ke hidung) dengan sungguh-sungguh akan mendatangkan


maslahat, tetapi ketika berpuasa menghirup dengan sungguh-sungguh dikhawatirkan air yang
masuk bisa tertelan masuk ke dalam lambung sehingga membatalkan puasa.

Contoh penerapan kaidah ini, jika ada seorang wanita yang wajib baginya untuk mandi
junub, namun dia tidak menjumpai tempat mandi yang tersembunyi dari penglihatan para
lelaki. Maka dia wajib menunda mandinya demi menghindarkan diri dari kemudharatan yaitu
dilihat oleh lelaki ketika mandi.

Contoh lain, seorang muslim yang sedang berihram. Menyela-nyelai jenggot ketika
berwudhu adalah sunnah, tetapi jika dia khawatir dengan mengamalkan sunnah tersebut
jenggotnya akan rontok dimana dia statusnya sedang berihram, maka tidak mengapa baginya
tidak melaksanakan sunnah tersebut.
Contoh lain, seorang yang ingin meninggikan rumahnya. Semakin tinggi rumahnya maka dia
akan mendapatkan udara yang segar, sinar matahari yang cukup, sehingga itu merupakan
kemaslahatan bagi dia. Tetapi dampaknya adalah tetangganya yang mengalami
kemudharatan, udara jadi sulit masuk ke rumahnya, sinar matahari tidak sampai ke dalam
rumahnya. Maka dalam hal ini tidak sepatutnya orang tersebut meninggikan rumahnya untuk
menghindarkan kemudharatan yang akan timbul.

Adapun jika kemaslahatan itu lebih besar daripada kemudharatan yang akan timbul, maka
mengambil kemaslahatan itu lebih diutamakan walaupun harus menghadapi kemudharatan.
Misalnya apabila dalam sebuah negeri diadakan pemilihan Presiden, dimana calonnya adalah
seorang muslim dan seorang kafir. Maka memilih dan mengikuti pemilu lebih afdhal
walaupun harus menabrak sistem kafir demokrasi tersebut, campur baur antara laki-laki dan
perempuan ketika memasuki TPS (Tempat Pemungutan Suara). Karena kemaslahatan yang
menanti jelas lebih besar jika Presiden yang terpilih dari orang muslim dibandingkan apabila
menghindarkan diri dari kemudharatan ketika memasuki TPS.

Anda mungkin juga menyukai