Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Al-Qawaid bentuk jamak dari kata qaidah (kaidah). Para ulama mengartikan qaidah
secara etimologis dan terminologis, (lughatan wa istilahan). Dalam arti bahasa, qaidah
bermakna asas, dasar atau fondasi, baik dalam arti yang konkret maupun yang abstrak,
seperti kata-kata qawa’id al-bait, yang artinya fondasi rumah, qawa’id artinya dasar-
dasar agama, qawa’id al-ilm, artinya kaidah-kaidah ilmu.Qawaid Fiqhiyah merupakan
satu materi ilmu yang memiliki faedah dan peran yang sangat besar dalam menganalisa
hukum dari beragam perumpamaan sehingga mempermudah penetapan putusan
hukum bagi seorang mujtahid.

  Didalam kaidah fikih ini juga membahas kaidah-kaidah fikih yang asasi atau Al-
Qawaid Al-Khamsah (lima kaidah asasi). Diantaranya Al-Ummuru bi maqashidiha
didalamnya membahas apapun perkara yang terjadi itu tergantung pada niatnya
dikalangan mazhab Hanbali bahwa tempat niat ada didalam hati, karena niat adalah
perwujudan dari maksud dari tempat dari maksud adalah hati.

Rumusan Masalah
 Pengertian Qaidah Al-Umuru bi maqashidiha ?
 Apa Dasar Hukum Qaidah Al-Umuru bi maqashidiha ?
 Apa Cabang-cabang Qaidah Al-Umuru bi maqashidiha ?
 Apa Contoh Kasus Qaidah Al-Umuru bi maqashidiha ?
Tujuan Masalah
 Untuk mengetahui makna Qaidah Al-Umuru bi maqashidiha
 Untuk mengetahui dasar hukum Qaidah Al-Umuru bi maqashidiha
 Untuk mengetahui cabang-cabang yang terdapat diQaidah Al-Umuru bi
maqashidiha ?
 Untuk mengetahui kasus Qaidah Al-Umuru bi maqashidiha
BAB II

PEMBAHASAN
1. Pengertian Qaidah al-Umur bi Maqahidiha
Qaidah al-Umur bi Maqahidiha merupakan qaidah yang ringkas lafalnya namun
memiliki arti luas, memuat semua aktifitas yang dilakukan seseorang, baik berupa
perkataan maupun berupa perbuatan. Qaidah ini juga membahas tentang bahwa
hukum yang menjadi konsekuensi atas setiap pekara haruslah selalu sesuai dengan apa
yang menjadi tujuan dari perkara tersebut. jadi Qaidah ini adalah “ segala perkara
tergantung kepada niatnya “. Sedangkan secara terminologi fiqh, niat adalah
kesengajaan untuk melakukan ketaatan dan pendekatan kepada Allah SWT dengan cara
melakukan perbuatan atau dengan cara meninggalnya.  Niat itu sendiri menurut
kalangan ulama-ulama Syafi’iyah diartikan dengan bermaksud melakukan sesuatu
disertai dengan pelaksanaannya. Misalnya di dalam melaksanakan shalat yang
dimaksud dengan niat adalah didalam hati dan wajib niat disertai dengan takbirat al-
ihram.

Sedangkan mazhab Hanbali juga menyatakan bahwa tempat niat ada didalam hati,
karena niat adalah perwujudan dari maksud dan tempat dari maksud adalah hati. Jadi
apabila meyakini / beriktikad di dalam hatinya, itu pun sudah cukup dan wajib niat
didahulukan dari perbuatan. Yang lebih utama, niat bersama-sama dengan takbirat al-
ihram di dalam shalat, agar niat ikhlas menyertainya dalam ibadah.

Niat sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang,
apakah seseorang melakukan suatu perbuatan itu dengan niat ibadah kepada Allah SWT
dengan melakukan perbuatan yang diperintahkan atau yang dibolehkan oleh agama
ataukah dia melakukan perbuatan tersebut bukan dengan niat ibadah kepada Allah
SWT, tetapi semata-mata karena kebiasaan saja. Apabila seseorang mampir di sebuah
masjid, kemudian duduk-duduk atau tiduran di masjid tersebut, maka apakah dia
berniat “ itikaf” ataukah tidak. Bila dia berniat itikaf di masjid tersebut, maka dia
mendapat pahala dari ibadah itikafnya.[1]
Dikalangan para ulama ada kesepakatan bahwa suatu perbuatan ibadah adalah tidak
sah, tanpa disertai niat, kecuali untuk beberapa hal saja, yang termasuk kekecualian
dari kaidah-kaidah tersebut diatas.

Dari penjelasan tadi bisa disimpulkan bahwa fungsi niat adalah :

1. Untuk membedakan antara ibadah dan adat kebiasaan.


2. Untuk membedakan kualitas perbuatan, baik kebaikan ataupun kejahatan.
3. Untuk menentukan sah tidaknya suatu perbuatan ibadah tertentu serta
membedakan yang wajib dari yang sunnah.
Secara lebih merinci lagi, para fuqaha (ahli hukum islam) merinci masalah niat ini
baik dalam bidang ibadah mahdlah, seperti thaharah (bersuci), wudhu, tayamum,
mandi junuh, shalat qasar, jamak, wajib, sunnah, zakat, haji, saum ataupun didalam
muamalah dalam arti luas atau ibadah ghair mahdlah, seperti pernikahan, talak, wakaf,
jual beli, hibah, wasiyat, sewa-menyewa, perkawinan, utang-piutang, dan akad-akad
lainnya.

Dalam fikih jinayah seperti kesengajaan, kondisi dipaksa atau terpaksa dan lain
sebagainya, sehingga Imam al-Suyuthi menyatakan:” apabila kau hitung maalah-
masalah fikih yang berhubungan dengan niat ini tidak kurang dari sepertiga atau
seperempatnya.

Adapun kekecualian kaidah-kaidah ini antara lain :

 Sesuatu perbuatan yang sudah jelas-jelas ibadah hukum adat sehingga tidak
bercampur dengan yang lain. Dalam hal ini tidak diperlukan niat, azan, zikir dan
membaca Al-Quran kecuali apabila bacanya dalam rangka nazar. [2]
 Tidak diperlukan niat di dalam meninggalkan perbuatan seperti meninggalkan
perbuatan zina dan perbuatan-perbuatan lain yang dilarang (haram) karena dengan
tidak melakukan perbuatan tersebut, maksudnya sudah tercapai. Memang betul
diperlukan niat apabila mengharapkan dapat pahala dengan meninggalkan yang
dilarang.
 Keluar dari shalat tidak diperlukan niat, karena niat diperlukan dalam melakukan
suatu perbuatan bukan untuk meninggalkan suatu perbuatan.

Dasar Hukum Qaidah Al-Umuru bi maqashidiha


Qaidah tentang niat ini merupakan yang terpenting dan sangat mendalam maknanya
dibanding Qaidah-Qaidah lain dalam Fiqh islam. Pada dasarnya hukum Qaidah Al-
Umuru bi maqashidiha berlandaskan pada Al-Quran dan Al-Hadis yang ternyata
mendapat legitimasi. Para ulama Fiqh (Fuqaha) memberikan perhatian lebih pada
Qaidah ini, mereka banyak mengomentari dan mengembangkannya (syarh) dalam
cabang-cabang Qaidah ini.

Dasar hukum Qaidah ini sebagai berikut :

1. Terdapat pada surah al-Bayyinah ayat 5 yang menjelaskan bahwa umat manusia
dibumi hanyalah menyembah pada Sang Robbi tidak ada sembahan makhluk lainnya
kecuali pada-Nya dengan menata kembali seberapa besar taatnya dan takwanya pada
Sang Robbi.
َ‫صاَل ةَ َويُؤْ تُوا ال َّز َكاة‬ ِ ِ‫ۚ َو َما أُ ِم ُروا إِاَّل لِيَ ْعبُدُوا هَّللا َ ُم ْخل‬
َّ ‫صينَ لَهُ الدِّينَ ُحنَفَا َء َويُقِي ُموا ال‬
 ‫َو ٰ َذلِ َك ِدينُ ا ْلقَيِّ َم ِة‬
“ Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah SWT dengan

memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus” (QS al-

Bayyinah: 5)[3]

Dalam surah al-Bayyinah diperjelas dengan hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh

Bukhari Muslim dari Umar bin Khattab didalam hadis ini menjelaskan bahwa” Setiap

perbuatan itu bergantung kepada niatnya dan bagi setiap orang sesuai dengan niatnya.

Barangsiapa berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan

Rasulnya dan barangsiapa hijrahnya karena mengharapkan kepentingan dunia atau

karena wanita yang dinikahinya, waktu kepada yang diniatkannya.”

 Dasar Qaidah ini juga dilandasi pada Surat Ali Imran ayat 145, yang didalamnya
membahas pahala didunia dan diakhirat. Berbunyi :

َ ‫اب ال ُّد ْنيَا نُؤْ تِ ِه ِم ْن َها َو َمنْ يُ ِر ْد ثَ َو‬


‫اب اآْل ِخ َر ِة‬ َّ ‫س أَنْ تَ ُموتَ إِاَّل بِإِ ْذ ِن هَّللا ِ ِكتَابًا ُمؤ‬
َ ‫َجاًل ۗ َو َمنْ يُ ِر ْد ثَ َو‬ ٍ ‫َو َما َكانَ لِنَ ْف‬
َ‫سنَ ْج ِزي الشَّا ِك ِرين‬ َ ‫نُؤْ تِ ِه ِم ْن َها ۚ َو‬
artinya: “Barang siapa menghendaki pahala dunia niscaya Kami berikan kepadanya
pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula)
kepadanya pahala akhirat itu.”

 Dilandasi dari QS Al-Baqarah ayat 265 yang berbunyi :

َ َ‫س ِه ْم َك َمثَ ِل َجنَّ ٍة بِ َر ْب َو ٍة أ‬


‫صابَ َها َوابِ ٌل‬ ِ ُ‫ت هَّللا ِ َوتَ ْثبِيتًا ِمنْ أَ ْنف‬ َ ‫َو َمثَ ُل الَّ ِذينَ يُ ْنفِقُونَ أَ ْم َوالَ ُه ُم ا ْبتِ َغا َء َم ْر‬
ِ ‫ضا‬
ِ َ‫ص ْب َها َوابِ ٌل فَطَ ٌّل ۗ َوهَّللا ُ بِ َما تَ ْع َملُونَ ب‬
‫صي ٌر‬ ِ ُ‫ض ْعفَ ْي ِن فَإِنْ لَ ْم ي‬ ِ ‫فَآتَتْ أُ ُكلَ َها‬
Artinya :

“Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan

Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran

tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali

lipat. [4]

Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha

Melihat apa yang kamu perbuat.”

 Berlandaskan pada QS Al-Fath ayat 18 yang berbunyi :


َّ ‫ض َي هَّللا ُ َع ِن ا ْل ُمؤْ ِمنِينَ إِ ْذ يُبَايِ ُعونَ َك ت َْحتَ الش ََّج َر ِة فَ َعلِ َم َما فِي قُلُوبِ ِه ْم فَأ َ ْنزَ َل ال‬
‫س ِكينَةَ َعلَ ْي ِه ْم َوأَثَابَ ُه ْم فَ ْت ًحا قَ ِريبًا‬ ِ ‫لَقَ ْد َر‬

Artinya : “Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka

berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati

mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka

dengan kemenangan yang dekat (waktunya).”

 Cabang-cabang Qaidah Al-Umuru bi maqashidiha

Dalam Qaidah ini memiliki beberapa cabang yang didalamnya membahas lebih dalam

tentang niat, sekurang-kurangnya ada enam cabang Qaidah Al-Umuru bi maqashidiha,

cabang-cabangnya sebagai berikut :

1. Qaidah 1

Suatu amalan yang disyaratkan untuk ditentukan (dijelaskan), maka kesalahannya

membatalkan pekerjaannya.

Misalnya : seseorang hendak melakukan shalat dhuhur kemudian niat shalat ashar atau

sebaliknya, maka shalatnya tidak sah. Demikian pula seseorang hendak berpuasa untuk

membayar kafarat zihar dengan niat puasa kafarat sumpah, maka puasanya tidak sah.

 Qaidah 2

Suatu amalan yang harus dijelaskan secara global dan tidak disyaratkan untuk dirinci,

kemudian dijelaskan secara rinci dan ternyata salah, maka membahayakan (tidak sah).

 Qaidah 3

Amalan yang tidak disyaratkan untuk dijelaskan baik secara garis besar maupun secara rinci ,

apabila ditentukan (dijelaskan) dan ternyata keliru, maka kekeliruannya tidak

membahayakan (tidak membatalkan).

 Qaidah 4
Niat dalam sumpah mengkhususkan lafadz umum, tetapi tidak menjadikan umum pada

lafadz yang khusus.

Qaidah tersebut dari Imam al-Rafi’i, lalu disebutkan oleh Imam al-Nawawi dalam kitab al-

Raudhah. Contoh : orang yang bersumpah tidak akan bicara dengan seseorang tetapi yang

dimaksud seseorang adalah Umar, maka sumpahnya hanya berlaku pada Umar.

Orang yang bersumpah tidak akan minum air dari orang lain karena dahaga maka

sumpahnya hanya berlaku pada air, yakni dia tidak melanggar sumpah dengan makan

makanan dari orang lain tadi.

 Qaidah 5

Maksud suatu lafadz mengikuti niat orang yang mengungkapkan, kecuali dalam satu tempat,

yaitu lafadz sumpah di hadapan qadhi, maka maksud lafadz mengikuti niat qadhi, bukan niat

orang yang bersumpah.

Contoh : orang junub membaca dzikir dari ayat Al-Quran, maka hukumnya haram, bila niat

dzikir maka membawa Al-Quran bersama barang lain, bila niat membawa Al-Quran maka

hukumnya haram, dan bila niat membawa barang atau niat membawa kedua-keduanya

maka hukumnya tidak haram.

 Qaidah 6

Seseorang yang tidak dapat melaksanakan ibadah, karena suatu halangan padahal ia berniat

untuk melakukannya jika tiada halangan maka ia mendapatkan pahala.

 Contoh kasus

 Apabila seseorang membeli anggur dengan tujuan/niat memakan atau menjual maka
hukumnya boleh. Akan tetapi apabila ia membeli dengan tujuan/niat menjadikan khamr,
atau menjual pada orang yang akan menjadikannya sebagai khamr, maka hukumnya
haram.
 Apabila seseorang menemukan di jalan sebuah dompet yang berisi sejumlah uang
lalu mengambilnya dengan tujuan/niat mengembalikan kepada pemiliknya, maka hal itu
tidak mengganti jika dompet itu hilang tanpa sengaja.

 Akan tetapi jika ia mengambilnya dengan tujuan/niat untuk memilikinya, maka ia

dihukumkan sama dengan ghashib (orang yang merampas harta orang). [5]

Jika dompet itu hilang, maka ia harus menggantinya secara mutlak.

 Apabila seseorang menabung di Bank Konvensional dengan tujuan/niat untuk


mengamankan uangnya karena belum ada bank syariah di daerahnya, maka ia
dibolehkan karena dharurat. Akan tetapi jika ia menyimpan uang di Bank konvensional
itu dengan tujuan/niat memperoleh bunga dari bank itu, maka hukumnya haram.

BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Qaidah al-Umur bi Maqahidiha merupakan qaidah yang ringkas lafalnya namun memiliki arti

luas, memuat semua aktifitas yang dilakukan seseorang, baik berupa perkataan maupun

berupa perbuatan. Qaidah ini juga membahas tentang bahwa hukum yang menjadi

konsekuensi atas setiap pekara haruslah selalu sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dari

perkara tersebut.

Qaidah tentang niat ini merupakan yang terpenting dan sangat mendalam maknanya

dibanding Qaidah-Qaidah lain dalam Fiqh islam. Pada dasarnya hukum Qaidah Al-Umuru bi

maqashidiha berlandaskan pada Al-Quran dan Al-Hadis yang ternyata mendapat legitimasi.

Qaidah ini memiliki enam macam cabang yang diantaranya cabang yang pertama

membahas tentang suatu amalan yang disyaratkan untuk ditentukan (dijelaskan), maka

kesalahannya membatalkan pekerjaannya.


DAFTAR PUSTAKA

Prof. H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: PT Kharisma Putra Utama, 2017)

Andiko,Toha,  Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, (Depok Sleman Yogyakarta: Teras, 2011)

Ihsan, A. Ghazali , Kaidah-Kaidah Hukum Islam, ( Semarang: Basscom Multimedia Grafika,

2015)

[1] Prof. H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: PT Kharisma Putra Utama, 2017)hlm 34-

35

[2] Toha Andiko, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, (Depok Sleman Yogyakarta: Teras, 2011) hlm 34

[3] Prof. H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: PT Kharisma Putra Utama, 2017)hlm 37

[4] Toha Andiko, Ilmu Qawa’id Fiqhyyah, (Depok Sleman Yogyakarta: Teras, 2011) hlm 39

[5] A. Ghazali Ihsan, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, ( Semarang: Basscom Multimedia Grafika,

2015)hlm 32-37

Anda mungkin juga menyukai