Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kaidah-kaidah fiqih atau kaidah-kaidah hokum Islam merupakan satu
kekayaan peradaban Islam, khususnya dibidang hokum yang digunakan
sebagai solusi dalam menghapi problem kehidupan yang praktis, baik
individu maupun kolektif dengan cara yang bijaksana sesuai dengan
semangat Al-Qur’an dan Hadist.
Kaidah-kaidah fiqih telah teruji sepanjang sejarah hokum Islam, aidah-
kaidah tersebut masih relevan dan bisa dikembangkan lebih jauh untuk
digunakan pada masa sekarang. Dengan mengedepankan sikap moderat
sebagai Ummatan Wasathan didalam benturan-benturan peradaban masa
kini.
B. RUMUSAN MASALAH
a) Apa itu Qawaidul Khamsah?
b) Bagaimana penerapan Qawaidul Khamsah dalam kegiatan sehari-
hari?

C. TUJUAN
a) Untuk mengetahui apa itu Qawaidul Khamsah
b) Untuk mengetahui bagaimana penerapan Qawaidul Khamsah dalam
kegiatan sehari-hari

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kaidah Pertama
Segala sesuatu itu tergantung pada niatnya
1. Teks Kaidah
Segala Sesuatu Itu Tergantung Pada Tujuannya
ِ ‫األ ُ ُم ْو ُربِ ِمقَا‬
‫ص ِدهَا‬
Maksudnya adalah niat yang terkandung dalam hati seseorang saat
melakukan amaliyah, yang dapat menentukan nilai dan status hukum
amal-amaliyah yang telah dilakukan, baik yang berhubungan dengan
peribadahan maupun adat-kebiasaan.
Dengan demikian, setiap amaliyah pasti didasarkan pada niat, jika
tidak, maka amaliyah tersebut bersifat spekulatif. Oleh karena itu, niat
memiliki posisi yang sangat penting, sebab ia sebagai penentu segala
gerak tingkah dan amaliyah yang dilakukan menjadi bernilai baik atau
tidak.

2. Landasan Hukum
a. Firman Allah SWT dalam Surah Al-Bayyinah(98) ayat 5
‫صينَ لَهُ الدِينَ ُحنَفَا َء‬ ‫َو َما أ ُ ِم ُروا إِ اَّل ِليَ ْعبُد ُوا ا‬
ِ ‫َّللاَ ُم ْخ ِل‬
Artinya: “ (Padahal) mereka tidak disuruh kecuali supaya
menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya
dalam (menjalankan) agama yang lurus…” (QS. al-Bayyinah [98]:
5).
b. Sabda Nabi SAW:
ِ ‫إِنا َما ْاَّلَ ْع َما ُل بِا لنِبَا‬
) ‫ت (اخرجه البخاري و مسلم‬
Artinya: “Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya.”
(HR.Bukhori dan Muslim)
3. Tujuan disyari’atkannya niat
Menurut al-Suyuti (w.911 H), yang paling penting dari
disyari’atkannya niat adalah untuk membedakan antara ibadah dengan
adat-kebiasaan. Selain itu, juga untuk mengurutkan tingkatan-

2
tingkatan ibadah, seperti wudhu dan gusl (mandi) dapat diartikan
sebagai membersihkan diri (tandhif), mencari kesegaran (tabarrud),
dan ibadah. Begitu juga, seperti menahan diri (imsak) dari segala hal
yang membatalkan puasa, dapat diartikan sebagai hamiyyah
(kesehatan badan), berobat, dan karena tidak ada yang
memerlukannya. Demikian juga, kata al-Suyuti (w.911 H), duduk di
Masjid dapat diartikan sebagai istirahat, memberikan uang kepada
orang lain dapat berarti sebagai hibah, menyambungkan tali
silaturahmi, atau karena maksud-maksud duniawi, dan dapat juga
berarti mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub) seperti zakat,
sadaqah, dan kifarat. Menyembelih hewan dapat bertujuan untuk
makan, dan juga dapat bertujuan untuk mendekatkan diri kepada
Allah (taqarrub) karena telah mengalirkan darah (membunuh). Dalam
hal ini, niat disyari’atkan untuk membedakan antara yang taqarrub
dengan yang bukan.
Setiap ibadah, seperti wudhu, gusl (mandi), shalat, dan saum
(puasa) kadang-kadang sebagai perbuatan fardhu, nazar, dan nafl
(sunnah). Tayammum, kadang-kadang dari hadats atau janabah,
padahal cara pelaksanaannya sama. Karena inilah, niat disyari’atkan
untuk membedakan tingkatan-tingkatan ibadah.1

Dikalangan para ulama ada kesepakatan bahwa suatu perbuatan


ibadah adalah tidak sah tanpa disertai niat, kecuali untuk beberapa hal
saja, yang termasuk kekecualian dari kaidah-kaidah tersebut diatas.
fungsi niat adalah:
a. Untuk membedakan antara ibadah dan adat kebiasaan.
b. Untuk membedakan kualitas perbuatan, baik kebaikan
ataupun kejahatan.
c. Untuk menentukan sah tidaknya suatu perbuatan ibadah
tertentu serta membedakan yang wajib dari yang sunah.

1
http://pikirdandzikir.blogspot.com/2016/11/al-qawaid-al-khamsah-pai-e-semester-iii.html

3
Secara lebih mendalam lagi para fuqaha (ahli hukum islam)
merinci masalah niat ini baik dalam bidang ibadah mahdlah, seperti
thaharah (bersuci), wudhu, tayamum, mandi junub, shalat, qasar
jamak, wajib, sunnah, zakat, haji, saum ataupun didalam muamalah
dalam arti luas atau ibadah ghair mahdlah, seperti pernikahan, talak,
wakaf, jual beli, hibah, wasiyat, sewa-menyewa, perwakilan, utang-
piutang, dan akad-akad lainnya.
Diantara kekecualian kaidah diatas antara lain:
1. Suatu perbuatan yang sudah jelas-jelas ibadah bukan adat,
sehingga tidak bercampur dengan yang lain. Dalam hal ini tidak
diperlukan niat, seperti iman kepada Allah, makrifat, khauf, zikir
dan membaca al-Qur’an kecuali apabila membacanya dalam
rangka nazar.
2. Tidak diperlukan niat didalam meninggalkan perbuatan, seperti
meninggalkan perbuatan zina dan perbuatan-perbuatan lain yang
dilarang karena dengan tidak melakukan perbuatan tersebut
maksudnya sudah tercapai.
3. Keluar dari shalat tidak diperlukan niat, karena niat diperlukan
dalam melakukan suatu perbuatan bukan untuk meninggalkan
suatu perbuatan.
Dikalangan mazhab Hanafi ada kaidah:
َ ‫َّلَ ث َ َوا‬
‫ب ِإ ََّل ِبالنِيَ ِة‬
Artinya: “Tidak ada pahala kecuali niat”.
Kaidah ini dimasukkan ke dalam al-qawa’id al-kulliyah yang
pertama sebelum al-umur bimaqashidiha.
Sedangkan dikalangan mazhab Maliki, kaidah tersebut menjadi
cabang dari kaidah al-umur bimaqashidiha, seperti diungkapkan oleh
Qadhi Abd Wahab al-Baqdadi al-Maliki. Tampaknya pendapat mazhab
Maliki ini bisa lebih diterima karena kaidah diatas asalnya.
‫اب إَِّلَبِا ال ِنيَ ِة‬ َ ‫َّلَث َ َو‬
َ َ‫اب َوَّلَ ِعق‬
Artinya: “Tidak ada pahala dan tidak ada siksa kecuali karena niatnya”2

2
http://wardahcheche.blogspot.com/2013/11/kaidah-lima-asasi-ushul-fiqh.html

4
B. Kaidah kedua

‫(اليَقِنُ َّلَ يُﺰَاﻞُ بِالﺸاﻙ‬Keyakinan tidak hilang dengan keraguan)

1. Pengertian
Secara bahasa ُ‫ اليَقِن‬adalah kemantapan hati atas sesuatu. Juga bisa
dikatakan pengetahuan dan tidak ada keraguan didalamnya. Sedangkan
menurut istilah:
a. Menurut Imam Al- Jurjani, Al-Yaqin adalah meyakini sesuatu
bahwasanya “begini” dengan berkeyakinan bahwa tidak mungkin ada
kecuali dengan “begini” cocok degan realita yang ada, tanpa ada
kemungkinan untuk menghilangkannya.
b. Menurut Imam Abu Al- Baqa’, Al- Yaqin adalah pengetahuan yang
bersifat tetap dan pasti dan dibenarkan oleh hati dengan menyebutkan
sebab-sebab tertentu dan tidak menerima sesuatu yang tidak bersifat
pasti.
c. Menurut As-Suyuthi, Al-Yaqin adalah sesuatu yang tetap dan pasti
yang dapat dibuktikan melalui penelitian dan menyertakan bukti-bukti
yang mendukungnya.

Adapun ‫ لﺸاﻙ‬secara bahasa artinya adalah keraguan. Juga bisa diartikan


dengan sesuatu yang membingungkan. Sedangkan menurut istilah:

a. Menurut Imam Al-Maqarri, Asy-Syakk adalah sesuatu yang tidak


menentu (meragukan) antara ada atau tidak ada.
b. Menurut Imam Al-Jurjani, Asy-Syakk adalah sesuatu yang tidak
menentu (meragukan) antara sesuatu yang saling berlawanan, tanpa
dapat dimenangkan salah satunya.3

3
Ahmad Jalal, dkk. Makalah Konsep dan Aplikasi al-Qawa’id al-Khamsah: al-Umuru bi
maqashidiha; al-Yaqinu la yazalu bi al-syakk.

5
Jadi maksud dari kaidah ini ialah, apabila seseoran telah meyakini
terhadap suatu perkara, makayang telah diyakini ini tidak dapat
dihilangkan dengan keragu-raguan

2. Dasar Kaidah
Adapun dasar-dasar pengambilan kaidah ini antara lain:4

‫ش ْيئًا فَأ َ ْش َك َﻞ َعلَ ْي ِه‬ ْ َ‫سلا َم إِذَا َو َجدَ أ َ َحد ُ ُك ْم فِي ب‬


َ ‫طنِ ِه‬ ‫صلاى ا‬
َ ‫َّللا َعلَ ْي ِه َو‬ ‫سو ُل ا‬
َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫َع ْن أَبِي ه َُري َْرة َ قَا َل قَا َل َر‬
‫ص ْوتًا أ َ ْو يَ ِجدَ ِري ًحا‬ َ ‫ش ْيء أ َ ْم ََّل فَ َل يَ ْخ ُر َج ان ِمنَ ْال َمس ِْج ِد َحتاى يَ ْس َم َع‬َ ُ‫أَخ ََر َج ِم ْنه‬
Artinya: “ Dari Abu Hurairah berkata: Rosululloh bersabda:
“Apabila salah seorang diantara kalian merasakan sesuatu dalam perutnya,
lalu dia kesulitan menetukan apakah sudah keluar sesuatu (kentut) ataukah
belum, maka jangan membatalkan sholatnya sampai dia mendengar suara
atau mencium bau.” (HR. Muslim)
‫ص َلتِ ِه فَلَ ْم يَد ِْر‬َ ‫سلا َم إِذَا شَكا أَ َحدُ ُك ْم فِي‬ ‫صلاى ا‬
َ ‫َّللا َعلَ ْي ِه َو‬ ‫سو ُل ا‬
َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫س ِعيد ْال ُخد ِْري ِ قَا َل قَا َل َر‬ َ ‫َع ْن أَبِي‬
َ ُ ‫ط َرحِ الﺸاكا َو ْليَب ِْن َعلَى َما ا ْست َ ْيقَنَ ث ُ ام يَ ْس ُجد‬
َ ُ‫سجْ دَتَي ِْن َق ْب َﻞ أ َ ْن ي‬
‫س ِل َم َفإ ِ ْن كَا‬ ْ َ‫صلاى ث َ َلثًا أ َ ْم أ َ ْربَعًا فَ ْلي‬ َ ‫َك ْم‬
‫ان‬
ِ ‫ط‬ ‫صلاى ِإتْ َما ًما ِأل َ ْربَع كَانَتَا ت َْر ِغي ًما ِلل ا‬
َ ‫ﺸ ْي‬ َ ُ‫شفَ ْعنَ لَه‬
َ َ‫ص َلتَهُ َوإِ ْن َكان‬ ً ‫صلاى َخ ْم‬
َ ‫سا‬ َ َ‫ن‬
Artinya: “Dari Abu Sa’id Al Khudri berkata: Rosululloh bersabda:
“Apabila salah seorang diantara kalian ragu-ragu dalam shalatnya,
sehingga tidak mengetahui sudah berapa rakaatkah dia mengerjakan
shalat, maka hendaklah dia membuang keraguan dan lakukanlah yang dia
yakni kemudian dia sujud dua kali sebelum salam, kalau ternyata dia itu
shalat lima rakaat maka kedua sujud itu bisa menggenapkan shalatnya, dan
jikalau ternyata shalatnya sudah sempurna maka kedua sujud itu bisa
membuat jengkel setan.” (HR. Muslim)
3. Sub-sub kaidah
Adapun sub-sub dari kaidah ini ialah 11 (sebelas) sub, yakni:
a. ‫( اَ ْليَ ِق ْينُ يُﺰَ ا ُل ِب ْاليَ ِق ْينُ ِمثْ ِل ِه‬Keyakinan bisa hilang karena adanya bukti lain
yang meyakinkan pula). Maksudnya apabila telah meyakini sesuatu
kemudian ada bukti yang lebih meyakinkan tentang hal tersebut, maka
keyakinan kedualah yang dianggap benar.

4
Muchlis Usman, Kaidah-Kaidah, hlm. 115.

6
Contoh: seseorang berkendara kekita hujan, kemudian dia terkena
percikan air hujan yang telah bercampur dengan air di jalan yang
kemungkinan air itu najis, maka dia tidak wajib mencuci kaki atau baju
yang terkena air tadi. Karena pada dasarnya air hujan adalah suci dan
mengalir, dan tidak mungkin untuk mensucikan sepanjang jalanan
yang terkena air.
b. ‫أ َ ان َما ثَ َبتَ ِبيَ ِقين ََّل يَ ْرت َ ِف ُع اإَّل بِ َي ِقين‬ (Apa yang ditetapkan atas dasar
keyakinan tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan lagi).
Dalam kaidah ini berhubungan dengan jumlah bilangan, apabila
seseorang ragu, maka bilangan yang terkecil itulah yang meyakinkan.
Contoh: seseorang makan gorengan sambal berkumpul dengan teman-
temannya, kemudia dia ragu sudah memakan 3 atau 4 gorengan, maka
bilangan 4 yang meyakinkan, karena masalah ini berhubungan dengan
masalah muamalah (hubungan antar manusia) karena dikhawatirkan
akan termakan hak orang lain. Tetapi jika keraguan dalam masalah
ibadah kepada Allah seperti bilangan sholat, apakah sudah 3 rakaat
atau 4 rakaat, maka bilangan terkecillah yang kia ambil sebab ini
adalah masalah pelaksanaan kewajiban sebagai hamba-Nya dan untuk
kehati-hatian kita.
c. ‫الذ امة‬ ْ َ ‫( ْاأل‬Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung
ِ ُ ‫ص ُﻞ بَ َرا َءة‬
jawab).
Pada dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan bebas dari tuntutan
sampai ada yang mengubahnya,
Contoh: sesorang bebas dati tanggung jawabnya sebagai sorang siswa
sampai dia benar-benar masuk sebuah universitas dan terdaftar sebagai
mahasiswa.
ْ َ ‫( ْاأل‬Hukum asal itu tetap dalam keadaan tersebut
d. ‫ص ُﻞ بَقَا ُء َما َكانَ َعلَى َما كَان‬
selama tidak ada hal lain yang mengubahnya). Misalnya, seseorang
yang telah berwudhu akan tetap dalam keadaan berwudhu sampai
adainya bukti bahwa ia telah batal.
e. ُ‫( أاْلَصألُُا ألعَدم‬Hukum asal adalah ketiadaan). Misalnya, Aji membeli play
station, kemudian dia berselisih dengan penjual bahwa play station

7
yang dibelinya ternyata rusak, maka yang menag dalam masalah ini
adalah penjual, karena waktu pembelian play station sudah dicoba
telebih dahulu dan dalam keadaan baik.
f. ‫ب أ َ ْوقَاتِ ِه‬ ِ ‫ضفَةُ ْالحأ ِد‬
َ ‫ث ِإلَى أ ْق َر‬ ْ َ ‫( ْأل‬Hukum asal adalah penyandaran suatu
َ ‫ص ُﻞ ِإ‬
peristiwa kepada waktu yang lebih dekat kejadiannya). Apabila terjadi
keraguan karena perbedaan waktu dalam suatu peristiwa, maka hukum
yang ditetapkan adalah menurut waktu yang paling dekat kepada
peristiwa tersebut, karena waktu yang paling dekat yang menjadikan
peristiwa itu terjadi.
Contoh: Seseorang menjalani operasi ginjal, setelah itu dia sehat dan
dapat menjalani aktifitas sehari-harinya seperti biasa, kemudian selang
beberapa bulan dia meninggal dunia, maka meninggalnya orang
tersebut bukan karena terjadi operasi, tetapi dikarenakan suatu hal dan
sebagainya.
g. ‫علَىُالتَّحأ ِريم‬ ِ ‫اءُ أ‬
َ ُُ‫اْلبَاحَةُُ َحتَّىُيَدلُُال َّد ِليل‬ ‫أاْلَصألُُفِيُ أاْلَ أ‬
ُِ َ‫شي‬ (Hukum asal segala
sesuatu itu adalah boleh sampai ada dalil yang menunjukkan
keharamannya). Misalnya, seseorang memakan atau memperjual
belikan cacing. Karena pada dasarnya semua hukum itu adalah mubah,
maka dalam hal ini pun diperbolehkan untuk melaksanakan kegiatan
tersebut sampai adanya dalil yang menyatakan keharamannya. Kaidah
ini hanya berlaku untuk bidang fiqih muamalah.
h. (Hukum asal dari suatu kalimat adalah arti yang sebenarnya). Kaidah
ini memberi maksud bahwa dalam suatu kalimat, harus diartikan
kepada arti yang hakikat atau arti yang sebenarnya. Yakni
sebagaimana yang dimaksudkan oleh pengertian yang hakiki. Jadi,
makna dari sebuah kata yang diungkapkan haruslah arti yang
sebenarnya. Contoh: seorang penguaha kaya akan menghibahkan
sebuah rumah dan kendaraan kepada bapak si Jodi yang telah berjasa
dalam mengelola usahanya. Jadi bapak dalam kalimat itu adalah ayah
kandung dari Jodi, bukan ayah angkat ataupun ayah tirinya Jodi.
ْ َ‫ظ ِن الاذِي ي‬
َ ‫ظ َه ُر َخ‬
i. ُ‫طا ُءه‬ ‫( ََّل ِعب َْرة َ بِال ا‬Tidak dianggap, persangkaan yang jelas
salahnya). Contoh: Apabila seorang anak yang berhutang sudah

8
melunasi semua hutangnya, lalu si ayah dari penghutang juga
membayarkan hutang anaknya tadi, karena si ayah menyangka belum
dibayar. Maka si ayah boleh meminta uangnya kembali, karena ada
persangkaan yang salah
j. ِ ‫( ََّل ِعب َْرة ُ ِللتا َو ُّهم‬Tidak diakui adanya kira-kira). Maksudnya adalah dalam
suatu hal, kita tidak menggunakan perkiraan. Contoh: Seseorang yang
meninggal dunia dan memiliki harta warisan yang banyak, kemudian
harta tersebut dibagi kepada ahli warisnya. Tentang harta lain yang
dikira-kira ada barangnya, tidak diakui karena hanya berupa perkiraan
saja.
k. ‫اء ِه َما لَ ْم َيقَ ِمالدا ِل ْي ُﻞ َعلَى ِخ َلفِ ِه‬
ِ َ‫( َما ث َ َبتَ ِبﺰَ َمن يُحْ َك ُم ِب َبق‬Apa yang ditetapkan
berdasarkan waktu, maka hukumnya ditetapkan berdasarkan
berlakunya waktu tersebut selama tidak ada dalil yang bertentangan
dengannya).Contoh: Seseorang yang pergi ke luar negeri sebagai
Tenaga Kerja Indonesia (TKI), kemudian lama tidak terdengar kabar
beritanya, maka dia tetap dinyatakan masih hidup. Karena berdasarkan
pada keadaan saat dia berangkat, yakni dalam keadaan masih hidup.
C. Kaidah Ketiga

‫ﺸقاةُ تَجْ لِبُ التَ ْي ِسي َْر‬


َ ‫( ال َم‬Kesulitan mendatangkan kemudahan)

“Allah menghendaki baginya kemudahan dan tidak menghendaki bagimu


kesulitan” (Q.S. 2:8)

Contoh kasus :

a. Bolehnya buka puasa ketika berpergian atau ketika sakit.


b. Dibolehkannya tidak ada ijab qabul dalam jual-beli barang-barang
yang kurang berharga.5
c. Diperbolehkan mengqashar shalat disaat berpergian

Dengan qaidah ini diharapkan agar syariat islam dapat dilaksanakan oleh
hamba/mukhallaf kapan dan di mana saja, yakni dengan memberikan
kelonggaran atau keringanan disaat seorang hamba menjumpai kesukaran

5
https://agenmakalah.wordpress.com

9
dan kesempitan. Prinsip ini telah di praktekan oleh Nabi saw. Sebgaimana
yang disebutkan dalam hadist yang artinya:

“Rosulullah saw. Bila berpergian pada jarak tiga mil, atau farsakh, beliau
shalat dua rakaat (Qashar) HR.Muslimra)”

Kesimpulan

Kaedah tersebut memberikan arti bahwa setiap kesempitan yang


dihadapi oleh semua orang harus diperlonggar sedemikian rupa, tidak
terlalu memberatkan diri sendiri sehingga benar-benar akan terasa adanya
kebahagiaan dan kemudahan dengan adanya syariat islam.

D. Kaidah Keempat

‫( الضرر يﺰال‬kemudlorotan harus dihilangkan)

1. Tujuan
Tujuan syariah itu adalah untuk meraih kemaslahatan (manfaat)
dan menolak kemafsadatan (kerusakan). oleh karena itu kaidah ini
bertujuan untuk merealisasikan maqashid al-syari’ah yaitu menolak
yang mafsadah, dengan cara menghilangkan kemudaratan atau
setidaknya meringankannya6. Contohnya antara lain adanya berbagai
macam sanksi dalam fiqh jinayah (hukum pidana Islam), adanya
aturan talak dalam pernikahan , larangan menghancurkan pohon-
pohon, membunuh anak kecil, orang tua, dan wanita, dan orang-orang
yang tidak terlibat dalam peperangan dan pendeta agama lain,
kewajiban berobat, dan larangan mabuk-mabukan semua itu adalah
untuk menghilangkan kemudaratan

2. Landasan hukum

‫ِدوافِى ْاَّلَ ْرض‬


َ ‫َوَّل ت ُ ْفس‬

6
Buku siswa fiqih kelas x k13

10
Artinya :” Dan jangan kamu sekalian membuat kerusakan
dibumi”.(QS. al a’raf : 55·)

‫َّل‬
‫ضرر وَّلضرار‬

Artinya :“Tidak boleh membuat kerusakan pada diri sendiri serta


membuat kerusakan pada orang lain”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah
dari Ibnu Abbas).7

‫فَمَنِ ﭐضْطُرَ غَيْرَ بَاﻍۢ وَلَا عَادۢ فَلَﺂ إِثْمَ عَلَيْه‬

“Barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak


menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada
dosa baginya” (QS. Al-Baqarah: 173)

‫إِلَيْه‬
ِ ْ‫وَقَدْ فَصَﻞَ لَكُم مَا حَرَمَ عَلَيْكُمْ إِلَا مَا ﭐضْطُرِرْتُم‬

“Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya


atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya” (QS. Al-
An’am: 119),

3. Kaidah kaidah dan penerapannya

a. Kaidah pertama

ِ ُ ْ‫ض ُر ْو َرة ت ُ ِب ْي ُح ْال َمح‬


‫ظ ْو َرات‬ َ َ‫ال‬

Artinya: “Kemadlaratan itu membolehkan larangan”

Maksudnya keadaan dhorurot dapat memperbolehkan seseorang


melakukan perkara yang asalnya dilarang. Kiranya perlu ditegaskan
disini bahwa ada tiga hal yang menjadi pengecualian kaidah ini,
yakni kufur, membunuh, dan berzina. Ketiga jenis perbuatan
tersebut tidak boleh dilakukan dalam kondisi apapun termasuk

7
Hadis arba’in nawawiyah

11
kondisi dlorurot. Artinya, ketiga hal tersebut dalam kondisi apapun
tetap diharamkan.8

Contohnya boleh makan atau minum sesuatu yang haram apabila


kita mati jika tidak memakan atau meminumnya.

b. Kaidah kedua

‫ت يُقَدَ ُر ِبقَدَ ِرهَا‬


ِ ‫ورا‬ َ ‫َماأ ُ ِب ْي َع لل‬
َ ‫ض ُر‬

Artinya: “Seseuatu yang diperbolehkan karena kondisi dlarurat,


harus disesuaikan menurut batasan ukuran yang dibutuhkan dlarurat
tersebut”.

Maksudnya, sesuatu yang asalnya dilarang, lalu


diperbolehkan lantaran keadaannya yang memaksa, harus
disesuaikan dengan ukuran darurat yang sedang dideritanya, dan
tidak boleh dinikmati sepuas-puasnya atau seenaknya saja, sebab
kaidah ini memberikan batasan pada kemutlakan kaidah yang
pertama tadi, dimana kebolehan yang terkandung didalamnya hanya
sekedar untuk menghilangkan kemadlaratan yang sedang menimpa.

Contoh penerapannya yaitu ketika kita sudah meminum atau


memakan sesuatu yang haram untuk menghilangkan kemudarotan,
dan setelah kita merasa cukup maka tidak diperbolehkan memakan
sesuatu yang haram tersebut, lantaran sudah hilangnya
alasan (‘illat) yang memperbolehkannya.

c. Kaidah ketiga

َ ‫ض َر ُرَّلَيُﺰَ ا ُل بِا ل‬
‫ض َر ِر‬ َ ‫اَل‬

Artinya: “Bahaya itu tidak dapat dihilangkan dengan bahaya yang


lain”.

8
Kaidahfikihweb.blogspot.com

12
Maksudnya ialah seseorang itu tidak boleh menghilangkan suatu
bahaya yang ada pada dirinya dengan menimbulkan bahaya pada diri
orang lain, sebab semua manusia memiliki kedudukan yang setara,
sehingga satu jiwa tidak dapat dikorbankan hanya untuk menjaga
kelangsungan hidup bagi jiwa yang lain.

Contoh penerapannya, seperti dalam kasus tidak bolehnya orang


sedang kelaparan mengambil makanan orang lain yang keadaannya
juga akan mati kelaparan jika makanan yang menjadi miliknya
hilang9. Atau memnyelamatkan orang yang akan tenggelam
sedangkan kita tidak bisa berenang.

E. Kaidah ke lima
1. Pengertian Kaidah Al-‘Adah Al-Muhakkamah

ُ‫ا َ ألعَادَةُُم َح َُّك َمة‬

“’Adah (adat) itu bisa dijadikan patokan hukum”

Yang dimaksud dengan kaidah ini bahwa di suatu keadaan,


adat bisa dijadikan pijakan untuk mencetuskan hukum ketika tidak
ada dalil dari syari’. Namun, tidak semua adat bisa dijadikan
pijakan hukum. Dan pada dasarnya atau asal mula kaidah ini ada,
diambil dari realita sosial kemasyarakatan bahwa semua cara hidup
dan kehidupan itu dibentuk oleh nilai-nilai yang diyakini sebagai
norma yang sudah berjalan sejak lama sehingga mereka memiliki
pola hidup dan kehidupan sendiri secara khusus berdasarkan nilai-
nilai yang sudah dihayati bersama. Jika ditemukan suatu
masyarakat meninggalkan suatu amaliyah yang selama ini sudah
biasa dilakukan, maka mereka sudah dianggap telah mengalami
pergeseran nilai. Nilai-nilai seperti inilah yang dikenal dengan
sebutan ‘adah (adat atau kebiasaan), budaya, tradisi dan
sebagainya. Dan Islam dalam berbagai ajaran yang didalamnya
menganggap adat sebagai pendamping dan elemen yang bisa

9
Kaidahfikihweb.blogspot.com

13
diadopsi secara selektif dan proposional, sehingga bisa dijadikan
sebagai salah satu alat penunjang hukum-hukum syara’. 10

Secara bahasa, al-'adah diambil dari kata al-'awud ( ‫)العود‬


atau al-mu'awadah ( ‫ )المؤدة‬yang artinya berulang ( ‫)التكرار‬. Oleh
karena itu, tiap-tiap sesuatu yang sudah terbiasa dilakukan tanpa
diusahakan dikatakan sebagai adat. Dengan demikian sesuatu yang
baru dilakukan satu kali belum dinamakan adat.

Adapun definisi al-'adah menurut Ibnu Nuzhaim adalah :

‫عباُرةُعماُيستقرُفىُالنفوسُمنُالعمورُالمتكررالمقبولةُعندُالطباعُالسليمة‬

“Sesuatu ungkapan dari apa yang terpendam dalam diri, perkara


yang berulang-ulang yang bisa diterima oleh tabiat (perangai)
yang sehat”.

Dalam pengertian dan subtansi yang sama, terdapat istilah


lain dari al-'adah, yaitu al-'urf, yang secara bahasa berarti suatu
keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang dikenal manusia
dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau
meninggalkannya.sedangkan al-‘urf secara istilah yaitu:

ُ‫العرفُهوُماُتعاُرفُعليهُالناسُواعتدهُفىُاقوالهمُوافعالهمُحتىُصارُذالكُمطردا‬
‫اوغاُلبا‬

'Urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dan mengulang-


ngulangnya dalam ucapannya dan perbuatannya sampai hal
tersebut menjadi biasa dan berlaku umum".

Sedangkan arti “muhakkamah” adalah putusan hakim


dalam pengadilan dalam menyelesaikan senketa, artinya adat juga
bisa menjadi rujukan hakim dalam memutus persoalan sengketa

10
. Dahlan, Tamrin, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Kulliyah al-Khamsah),(Malang: UIN Maliki
Press,2010). h. 203.

14
11
yang diajukan ke meja hijau. Jadi maksud kaidah ini bahwa
sebuah tradisi baik umum atau yang khusus itu dapat menjadi
sebuah hukum untuk menetapkan hukum

syariat islam (hujjah) terutama oleh seorang hakim dalam sebuah


pengadilan, selama tidak atau belum ditemukan dalil nash yang
secara khusus melarang adat itu, atau mungkin ditemukan dalil
nash tetapi dalil itu terlalu umum, sehingga tidak bisa mematahkan
sebuah adat.

Namun bukan berarti setiap adat kebiasaan dapat diterima


begitu saja, karena suatu adat bisa diterima jika memenuhi syarat-
syarat sebagai berikut:

a. Tidak bertentangan dengan syari'at.


b. Tidak menyebabkan kemafsadatan dan tidak
menghilangkan kemashlahatan.
c. Telah berlaku pada umumnya orang muslim.
d. Tidak berlaku dalam ibadah mahdah
e. Urf tersebut sudah memasyarakat ketika akan ditetapkan
hukumnya.12
2. Dasar Hukum Kaidah Al-‘Adah Al-Muhakkamah

Dasar hukum didalam Al-Qur’an yaitu:

َُ‫ُُوُأَع ِأرضأُُع َِنُُا ألجَا ِه ِلين‬


َ ‫ف‬ِ ‫َوأأم أرُُ ِبا ألع أر‬

“Dan suruhlah orang-orang mengerjakan yang makruf serta


berpalinglah dari orang-orang bodoh”.(QS. Al-A’raf: 199).

11
. Abbas, Arfan, Kaidah-kaidah Fiqh Muamalah dan Aplikasinya dalam Ekonomi Islam dan
Perbankan Syariah,(Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi Islam dan Direktorat Jenderal
Pendidikan Islam Kementerian Agama RI,2012). h. 204.
12
. Muchlis, Usman, Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum Islam (Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan
Fiqhiyah),(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2002). h. 210.

15
ِ ‫شروهنَُُّبِا أل َم أعر‬
ُ‫وف‬ ِ ‫َوعَا‬

“Dan pergaulilah mereka secara patut”. (QS. An-Nisa: 19).

Dasar hukum didalam Hadits yaitu:

ُِ‫س أيئًاُفَه َوُُ ِع أن َدهللاا‬


َ َُُ‫س ِلم أون‬
‫اُر َءاهُُالم أ‬
َُ ‫ُُو َم‬
َ ‫سن‬َ ‫سنًاُفَُه َوُُ ِع أن َدُُهللااُُِ َح‬
َ ‫ح‬ ‫اُر َءاهُُاأُلم أ‬
َُ َُُ‫س ِلم أون‬ َُ ‫َم‬
ُ‫س أيء‬
َ

“Apa yang dipandang baik oleh orang-orang Islam maka baik


pula di sisi Allah, dan apa saja yang dipandang buruk oleh
orang Islam maka menurut Allah pun digolongkan sebagai
perkara yang buruk” (HR. Ahmad, Bazar, Thabrani dalam
Kitab Al-Kabiir dari Ibnu Mas'ud). 13

3. Cabang Kaidah Al-‘Adah Al-Muhakkamah


a. ُُ‫”المعرفُوُعرفاُكالمشروطُشرطا“المعرفُوُعرفاُكالمشروطُشرطا‬

“Sesuatu yang telah dikenal dengan urf seperti yang di


syaratkan dengan suatu syarat”.

Maksudnya adat kebiasaan dalam bermu’amalah mempunyai


daya ikat seperti suatu syarat yang dibuat, meskipun tidak secara
tegas dinyatakan, dan sesuatu yang telah dikenal (masyhur)
secara ‘urf (adat) dalam sebuah komunitas masyarakat adalah
menempati posisi (hukumnya) sama dengan sebuah syarat yang
disyaratkan (disebutkan dengan jelas), walau sesuatu itu tidak
disebut dalam sebuah akad (tsansaksi) atau ucapan, sehingga
sesuatu itu harus diposisikan (dihukumi) ada, sebagaimana
sebuah syarat yang telah disebut dalam sebuah akad haruslah
ada atau dilakukan. Namun dengan syarat sesuatu yang makruf
atau masyhur itu tidak bertentangan dengan syariat Islam.14

13
. Dahlan, Tamrin, Kaidah-kaidah … h.209.

14
. A, Dzazuli, Kaidah-Kaidah Fikih (Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-
Masalah yang Praktis),(Jakarta:Kencana,2007). h. 86.

16
Contohnya : apabila orang bergotong royong membangun
rumah yatim-piyatu, maka berdasarkan adat kebiasaan, orang-
orang yang bergotong royong itu tidak dibayar. Jadi tidak bisa
menuntut bayaran. Lain halnya apabila sudah dikenal sebagai
tukang kayu atau tukang cat yang biasa diupah, datang kesuatu
rumah yang sedang dibangun lalu dia bekerja disitu, tidak
mensyaratkan apapun, sebab kebiasaan tukang kayu atau
tukang cat apabila bekerja, dia mendapat bayaran. Contoh
selanjutnya yaitu kasus menjual buah dipohon, menurut qiyas,
hukumnya tidak boleh dan tidak sah, karena jumlahnya tidak
jelas (majhul), tetapi karena sudah menjadi kebiasaan yang
umum dilakukan ditengan masyarakat , maka ulama
membolehkannya. 15

b. ‫المعروفُبينُالتّجّارُكالمشروطُ“المعروفُبينُالتّجّارُكالمشروطُبينهم‬
‫”بينهم‬

“Sesuatu yang telah dikenal di antara pedagang berlaku


sebagai syarat di antara mereka”

Maksud kaidah ini yaitu sesuatu yang menjadi adat di antara


pedagang, seperti disyaratkan dalam

transaksi.16 Kaidah ini lebih mengkhususkan adat atau ‘urf


yang ada (terbiasa) diantara para pedagang saja, dimasukan
disini dikarenakan masih dalam kaitannya dengan kaidah al-
adah muhakkamah. Sehingga maksud kaidah ini adalah segala
sesuatu yang sudah umum (biasa) dikenal dikalangan para
pedagang, maka posisi (status hukum) sesuatu ini adalah sama
dengan seperti sebuah ketetapan syarat yang berlaku diantara

15
. Dahlan, Tamrin, Kaidah-kaidah … h.241.
16
. Jaih, Mubarok, Kaidah Fiqh (Sejarah dan Kaidah-Kaidah Asasi),(Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2002). h. 157.

17
mereka, walau sesuatu itu tidak disebutkan dengan jelas dalam
sebuah akad atau ucapan. Namun aplikasi kaidah ini tidak
hanya berlaku untuk transaksi antara sesama pedagang saja,
akan tetapi juga berlaku antara pedagang dan pembeli, selama
terkait dalam bidang perdagangan, sekalipun bukan jual beli.
Adapun contoh aplikasi kaidah ini yaitu, transaksi jual beli
batu bata, bagi penjual untuk menyediakan angkutan sampai
kerumah pembeli. Biasanya harga batu bata yang dibeli sudah
termasuk biaya angkutan ke lokasi pembeli.

Contoh lainnya yaitu antara pedagang dan pembeli seperti


biaya pengiriman barang menurut kebiasaan perdagangan di
Indonesia adalah menjadi tanggung jawab pembeli, sehingga
walaupun dalam akad pembelian meubel misalnya, tidak
disebutkan biaya (ongkos) pengiriman, maka hukumnya tetap
ada dan menjadi tanggungjawab penjual.

Sedangkan contoh aplikasi kaidah ini, diantara sesama


pedagang adalah misalnya seorang pedagang kehabisan satu
jenis barang dagangannya, padahal saat itu ada pembeli yang
membutuhkan, maka biasanya pedagang itu akan mengambil
(membeli) barang tersebut dari temannya sesama pedagang.
Lalu apakah pedagang itu membeli dari temannya dengan
harga pokok (harga kulakan) saja atau dengan harga laba yang
dibagi dua antara dia dan temannya? Maka hal ini harus
dikembalikan kepada kebiasaan yang terdapat diantara
mereka, sehingga jika memang adatnya hanya dengan harga
pokok, maka dia boleh membayar harga pokoknya saja,
walaupun saat ini membeli tidak menyebutkan berapa harga
barang tersebut. 17

17
. Abbas, Arfan, Kaidah-kaidah Fiqh Muamalah… h. 221.

18
c. ُ‫التعيينُبالمعرفُكالتعيينُبالنص“التعيينُبالمعرفُكالتعيينُبال ّنص‬

“Yang sudah tetap berdasarkan kebiasaan sama halnya dengan


yang sudah tetap berdasarkan nash”.

Redaksi kaidah ini dalam sebagian referensi sedikit


berbeda, namun arti dan maksudnya tetap sama, yaitu kata
ta’yin (ketentuan) diganti dengan kata thabit (ketetapan),
sehingga berbunyi al-thabit bi al-‘urf ka al-thabit bi al-nas.
Maksud kaidah ini tidak jauh berbeda dengan kaidah
sebelumnya, hanya saja kaidah ini lebih memperkuat aspek
legalitasnya. Artinya posisi sebuah hukum yang didasarkan
pada adat (tradisi) dengan beberapa ketentuannya itu bisa
sejajar kekuatan legalitas hukumnya dengan nash syariat.

Alhasil, sebuah ketetapan hukum atas dasar adat itu


sama seperti ketentuan hukum atas dasar nash syariat Islam.
Sehinggga tidak ada alasan bagi siapapun untuk menolaknya,
terlebih jika telah diputuskan hakim dalam sebuah sengketa
misalnya perdata. Kaidah ini mirip atau seperti dengan
kaidah Tasbitu al-Ma’ruf berikut:

ُّ‫اُلتّاُبتُباُلمعروفُكاُلتّاُبتُباُلنّص‬

“Yang ditetapkan oleh (adat) ‘urf sama dengan yang


ditetapkan oleh nash”. 18

Contoh dari kaidah ini yaitu dalam adat minangkabau tentang


hubungan kekerabatan, yaitu matrilenial, artinya: keturunan
itu hanya dihitung menurut gasis perempuan saja bukan laki-
laki, sehingga suami dan anaknya harus diam dirumah
keluarga pihak perempuan (matrilokal). Sekalipun demikian
pada umumnya kekuasaan masih dipegang oleh suami. Dalam
hal ini Islam bisa mentolerirnya, sebab tidak bertentangan

. Dahlan, Tamrin, Kaidah-kaidah Hukum Islam…h. 240.


18

19
dengan nash, baik al-Qur’an maupun hadits. Contoh lainnya
dalam kaidah ini yaitu, apabila orang memelihara sapi orang
lain, maka upah memeliharanya adalah anak dari sapi itu
dengan perhitungan, anak pertama untuk yang memelihara dan
anak yang kedua utuk yang punya, begitulah selanjutnya
secara beganti-ganti. 19

19
. Dahlan, Tamrin, Kaidah-kaidah Hukum Islam…h. 240.

20
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Niat yang terkandung dalam hati seseorang saat melakukan amaliyah,
yang dapat menentukan nilai dan status hukum amal-amaliyah yang
telah dilakukan, baik yang berhubungan dengan peribadahan maupun
adat-kebiasaan.
2. Apabila seseoran telah meyakini terhadap suatu perkara, makayang
telah diyakini ini tidak dapat dihilangkan dengan keragu-raguan
3. Setiap kesempitan yang dihadapi oleh semua orang harus diperlonggar
sedemikian rupa, tidak terlalu memberatkan diri sendiri sehingga
benar-benar akan terasa adanya kebahagiaan dan kemudahan dengan
adanya syariat islam.
4. Seseorang itu tidak boleh menghilangkan suatu bahaya yang ada pada
dirinya dengan menimbulkan bahaya pada diri orang lain, sebab semua
manusia memiliki kedudukan yang setara, sehingga satu jiwa tidak
dapat dikorbankan hanya untuk menjaga kelangsungan hidup bagi jiwa
yang lain.
5. Di suatu keadaan, adat bisa dijadikan pijakan untuk mencetuskan
hukum ketika tidak ada dalil dari syari’. Namun, tidak semua adat bisa
dijadikan pijakan hukum.

B. Saran
Ada baiknya jika kita sebagai mahasiswa fakultas Syariah lebih
memahami tentang kaidah-kaidah fiqih diatas, karena kaidah-kaidah
dalam fiqih tidaklah luput dari kegiatan sehari-hari kita.
Dengan demikian, pemahaman kita tentang fiqih akan lebih
memudahkan kita semua melakukan sesuatu karena ada dasarnya agar
tidak saling menyalahkan karena perbedaan pemahaman, karena setiap
individu memiliki dasarnya masing-masing.

21

Anda mungkin juga menyukai