Anda di halaman 1dari 13

Kaidah-kaidah umum (kulliyah)

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Qawa’id Fiqhiyah

Dosen pengampu:

Dr. H. Imam Annas Muslihin, M.H.I

Nama Kelompok:

1. Rika Nur Avita (21401109)


2. Devi Tri Wulandari (21401110)
3. Rizqy Dimas Rio Saputra (21401111)
4. Afi Faridatas Zahro’ (21401112)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KEDIRI

2022

1
BAB I
PENDAHULUAN

Sebagai landasan aktivitas umat Islam sehari-hari dalam usaha memahami maksud-
maksud ajaran Islam (maqashid al-syari’ah) secara lebih menyeluruh, keberadaan qawaid
fiqhiyah menjadi sesuatu yang amat penting. Baik di mata para ahli usul maupun fuqaha,
pemahaman terhadap Qawaid Fiqhiyah adalah mutlak diperlukan untuk melakukan suatu
ijtihad atau pembaruan pemikiran dalam masalah ibadah, muamalah, dan skala prioritas.

Qawaid fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) adalah sesuatu yang sangat penting dan
menjadi kebutuhan bagi kita semua. Akan tetapi tidak sedikit orang yang kurang memahami
tentang hal ini, untuk itu perlu kiranya kita untuk mempelajari dan mengkaji ulang ilmu ini.
Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqih kita akan mengetahui benang merah yang menguasai
fiqih, karena kaidah fiqih ini menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqih. Selain itu kita
juga akan menjadi lebih arif dalam menerapkan fiqih pada waktu dan tempat yang berbeda
untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan.

Dengan mempelajari kaidah fiqih, diharapkan pada akhirnya kita juga bisa menjadi
lebih modern dalam menyikapi masalah-masalah politik, ekonomi, sosial, budaya sehingga
kita bisa menjadi solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam
masyarakat dengan lebih baik. Qawaid fiqih merupakan cara menerapkan hukum dari
perbuatan mukallaf dengan objek kajiannya yaitu mukallaf baik dalam konteks muamalah,
qawaid berbeda dengan Ushul fiqih karena Ushul fiqih lebih kepada penggalian suatu hukum
sehingga menghasilkan hukum (halal, haram, makruh, sunnah, mubah).

Kaidah fiqih digunakan untuk memudahkan kita dalam mencari dasar atau landasan
suatu kegiatan muamalah karena Alquran dan hadis tidak menjelaskan semua kegiatan
muamalah oleh karena itu, kita membutuhkan kaidah fiqih terutama jika persoalan yang
terjadi tidak terdapat di dalam nas hukum dan ketetapannya maka bisa menggunakan kaidah
fiqih. Salah satu alasan bahwa fiqih digunakan karena, sudah tidak banyak orang yang hafal
Alquran dan hadis beserta maknanya maka, peran qawaid dibutuhkan sebagai landasan
bermuamalah.

2
BAB II

PEMBAHAN

Kaidah Fiqhiyyah yang Umum (al-qawaid al-fiqhiyyah al-‘ammah)

Kaidah umum fiqhiyyah ini tergolong dalam kaidah umum, yang tidak berhubungan
langsung dengan kaidah utama atau pokok sehingga tidak termasuk sebagai kaidah cabang
dari kaidah utama. Selain itu, kaidah ini juga bersifat umum yang dapat digunakan dalam
semua bidang fiqh, seperti muamalah, hukum keluarga atau ibadah. Selain itu, kaidah
kulliyah juga digunakan oleh sebagian ulama. Jumlah kaidah ini sangat banyak jika
dikumpulkan dari semua ulama fiqih, dengan redaksi yang terkadang mirip satu sama lain.

Beberapa kaidah umum atau kaidah kulliyah itu adalah:

1. ُ َ‫ااِلجْ تا َهادُ َِل يُ ْنق‬


‫ض اب ااِلجْ تا َها اد‬

“Ijtihad yang lalu tidak batal oleh ijtihad yang kemudian”

Makna aturan ini, bahwa ijtihad yang telah dilakukan oleh seorang ulama terhadap
suatu perkara tidak dapat dibatalkan oleh ijtihad yang datang kemudian, meskipun perkaranya
bisa sama. Hal ini dimungkinkan karena adanya perbedaan situasi dan kondisi yang dapat
mempengaruhi proses dan hasil ijtihad. Ijtihad masa lalu, masih dapat diterapkan pada situasi
dan kondisi masa lalu. Model tindak pidana penganiayaan dulu dan sekarang berbeda,
sehingga sanksi yang dijatuhkan oleh hakim juga bisa berbeda. Serta modus penipuan dan
pencurian yang memungkinkan putusan hakim berbeda dengan hakim sebelumnya.

Hukum hasil ijtihad sebelumnya tidak batal karena adanya hukum hasil ijtihad
kemudian, sehingga semua perbuatan berdasarkan ijtihad sebelumnya adalah salah, tetapi
untuk perbuatan kemudian hukumnya telah berubah dengan adanya hukum hasil ijtihad baru.
Hal ini karena: Pertama, nilai ijtihad sama, sehingga hasil ijtihad kedua tidak lebih kuat dari
hasil ijtihad pertama. Kedua, jika suatu keputusan hukum hasil ijtihad dapat dibatalkan oleh
ijtihad lain, maka akan mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum.

Contoh dari kaidah di atas adalah bila seseorang menginginkan salat akan tetapi tidak
menemukan air, maka ia diperbolehkan untuk bertayamum (ijtihad 1), seusai shalat ia
menemukan air, maka ia tidak wajib mengulang sholatnya (ijthad 2).

3
2. ‫التَّا اب ُع تَا ابع‬

“Pengikut itu hukumnya mengikuti”

Kaidah diatas, maksudnya adalah bahwa sesuatu yang pada zatnya mengikuti kepada
orang lain, maka hukumnya pun mengikut kepada yang diikuti. Yang dimaksud dengan
pengikut adalah: 1) bagian dari sesuatu yang sulit dipisahkan seperti kulit binatang, 2)
sesuatu yang merupakan bagian dari benda ini seperti janin dalam induknya, cincin batu
dalam cincin, 3) sifat sesuatu seperti pohon yang tumbuh di sebidang tanah, 4) yang
menyertai seperti jalan untuk masuk ke rumah, kunci untuk gembok, sarung pedang untuk
pedang. 1

Seseorang yang membeli kambing yang sedang bunting, termasuk dalam janin yang
dibelinya. Membeli sebidang tanah berarti serta pohon-pohon yang ada di atasnya telah
dibeli.

a) Dasar kaidah

Hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Ibnu Umar ra.:

َّ َ‫ وكانَ بَ ْيعًا يَتَبَايَعُهُ أ ْه ُل ال َجا اه اليَّةا؛ كان‬،‫صلَّى هللاُ عليه وسلَّ َم نَ َهى عن بَي اْع َحبَ ال ال َحبَلَةا‬
ُ‫الر ُج ُل يَ ْبتَاع‬ ‫أنَّ َرسو َل َّ ا‬
َ ‫َّللا‬
2 ْ َ‫ ث ُ َّم ت ُ ْنتَ ُج الَّتي في ب‬،ُ‫أن ت ُ ْنتَ َج النَّاقَة‬
.‫طنا َها‬ ْ ‫ور إلى‬
َ ‫ال َج ُز‬

Dari Abdullah bin Umar bahwasanya Rasulullah melarang jual beli anak hewan ternak yang
masih dalam kandungan. Itu merupakan jual beli yang biasa dilakukan orang-orang
jahiliyah. Seseorang biasa membeli unta masih dalam kandungan, hingga unta melahirkan,
kemudian anak unta itu melahirkan lagi.

b) Cabang dari kaidah ini adalah:


a. 3
‫التَّابا ُع أَنَّهُ َِل يُ ْف َردُ با ْال ُح ْك ام‬

“Pengikut tidak mandiri dalam hukum”

Ini karena hukum sesuatu yang mengikuti dijadikan untuk mengikuti hukum yang
diikutinya. Sesuatu yang mengikuti tidak dapat berdiri sendiri secara hukum (tidak dapat
memiliki hukum tersendiri). Beberapa ulama memiliki tafsiran yang berbeda, walaupun
berbeda pada dasarnya memiliki satu makna yang dikehendaki, yakni sesuatu yang

1 Ahmad bin Zarqa’. op. cit., h. 253 dan Rohayana, op. cit., h. 170.
2 Al- Bukhari, Op. Cit., juz 2 h. 753.
3 Al-Suyuthi, Op. Cit., h. 117.

4
diidentifikasi sebagai pengikut (sesuatu yang mengikuti) tidak dapat memiliki ketetapan
hukum tersendiri yang tidak terikat dan tidak terkait dengan hukum sesuatu yang
diikuti.Kaidah ini telah banyak diaplikasikan dalam berbagai ketentuan fiqh.

ْ ُ ‫التَّابا ُع يَ ْسقُطُ با‬


‫سقُوطا ال َمتْب ا‬
‫ُوع‬
4
b.

“Pengikut menjadi gugur dengan gugurnya yang diikuti”

Semua ulama sepakat dalam penggunaan qaidah ini sekalipun terdapat redaksi yang
berbeda dengan pengertian yang sama.

Contohnya seseorang yang tidak menjalankan salat fardhu karena gila, maka tidak
sunnah pula untuk menjalankan salat rawatib. Karena yang fardunya saja gugur, sehingga
mengikutinya pun menjadi gugur.

ْ َ ‫التَّا اب ُع َِل يَتَقَدَّ ُم‬


‫علَي ال َمتْب ُْو ا‬
‫ع‬
5
c.

“Pengikut itu tidak mendahului yang diikuti”

Qaidah ini menandakan bahwa yang menjadi panutan senantiasa harus didahulukan
dan diprioritaskan, sedangkan pengikut harus setelahnya. Aplikasi qaidah ini sangat banyak
dalam kitab fiqh yang ada, diantaranya hukum utang piutang dengan syarat gadai yang
diperbolehkan dengan syarat dalam pengucapan akad harus mendahulukan lafadz utang
piutang dan mengakhirkan lafadz gadai. Karena persyaratan gadai merupakan tabi’ dari utang
piutang.6

d. َ ‫ُي ْﻐتَف َُرفاىالتَّ َوا اب اع َﻣ َاِل ُي ْﻐتَف َُرفاى‬


‫ﻏي اْرهَا‬

“Dapat dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak dimaafkan pada yang lainnya”

Contohnya mewakafkan sebidang kebun yang tanamannya sudah rusak, maka wakaf
itu sah, karena yang rusak adalah tanaman yang mengikuti kebun.

3. ُ‫ضا اب َما يَت ََولَّدُ ﻣا ْنه‬ ْ ‫ضا ابال َّش‬


َ ‫يءا ار‬ َ ‫الر‬
‫ا‬

“Rela atau sesuatu berarti rela pula dengan akibat yang muncul dari sesuatu itu”

a. Dasar kaidah fiqhiyah


1) Dalil Al-Qur’an
4 Ibnu Nujaym al-Hanafi, al-Ashbah wa al-Nazhair, Op. Cit., h. 121. Dan al-Suyuthi, al-Ashbah wa al-Nazhair, h.
118.
5 Al-Suyuthi, Op. Cit., h. 119.
6 Ibid. h. 120.

5
a. Al-Qur’an surah an-Nisa ayat 29

‫اض اﻣ ْنكُ ْم‬


ٍ ‫ع ْن ت ََر‬
َ

Dengan suka sama suka diantara kamu

b. Hadis rasulullah Saw. Yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Abi said Al-
Khudry:

7
‫اض‬ َ ‫أانَّ َما ْالبَ ْي ُع‬
ٍ ‫ع ْن ت ََر‬

Sesungguhnya jual beli harus dilakukan dengan suka sama suka

Pada dasarnya pada akad adalah keridhaan kedua belah pihak yang mengadakan akad
hasilnya apa yang saling diiltizamkan oleh perakadan itu. Yaitu bahwa bermuamalah, yang
sah adalah bermuamalah yang akadnya dilandasi dengan suka sama suka masing-masing
pihak titik dalam bermuamalah yang akadnya suka sama suka adalah bermuamalah yang
tidak didasari oleh paksaan salah satu pihak, dan bermuamalah yang di dalamnya tidak ada
unsur penipuan dan kezaliman yang merugikan salah satu pihak.

4. ‫ب‬
ٍ ‫اج‬ ‫ْال َو ا‬
‫اجبُ َِل يُتْ َركُ َّإِل ل َاو ا‬

“Perbuatan wajib tidak dapat ditinggalkan kecuali oleh perbuatan wajib juga”

Kaidah ini menunjukkan kebolehan meninggalkan kewajiban karena kewajiban lain,


seperti setiap orang harus dihormati darahnya, hartanya bahkan kehormatannya. Tetapi dalam
kaitan dengan pelaksanaan hukuman atas apa yang dia lakukan, kewajiban untuk
menghormati darahnya ditinggalkan untuk melaksanakan kewajiban qishash yang berlaku
padanya.

5. ‫َﻣا َح ُر َم اا ْستا ْع َمالُهُ َح ُر َم ااتاخَاذُ ُه‬

“Perkara yang haram digunakan haram juga mendapatkannya”

1. Dasar kaidah hadis rasulullah saw:


a. Hadis Rasulullah Muhammad yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari
Abdurrahman bin Abi Layli:

8
َّ ‫ب َو ْال اف‬
‫ض اة‬ ‫ج َوِلَ تَ ْش َربُوا فاي آنايَ اة الذَّهَ ا‬ َ ‫ِلَ ت َْلبَسُوا ْال َح ار‬
َ ‫ير َوِلَ الدايبَا‬

7 Muhammad bin Yazid Abi Abdullah al-Quwizni, Sunan Ibnu Majah, Beirut, Daral-Fikr, juz 2, h. 737.
8 Al- Bukhari, Op. Cit., juz 5, h. 2069.

6
Nabi Saw. Bersabda: kamu sekalian jangan memakai sutra dan jangan minum dengan
tempat dari emas atau perak.

b. Hadis rasulullah Saw. diriwayatkan oleh Bukhari dari Abi Mas’ud Al-Anshari
ra.:

‫ وح ُْل َو ا‬،‫ و َﻣ ْه ار البَﻐايا‬،‫ب‬


.‫ان الكَاه اان‬ ‫صلَّى هللاُ عليه وسلَّ َم نَ َهى عن ثَ َم ان الك َْل ا‬ ‫أنَّ َرسو َل َّ ا‬
َ ‫َّللا‬
9

Bahwasanya Rasulullah melarang harga penjualan anjing, mas kawin pelacur, dan manisan
dukun

Bermuamalah untuk memperoleh uang dan harta benda disuruh yang hukumnya wajib
bagi orang Islam. Namun bermuamalah itu harus sesuai dengan syariat Islam yaitu
bermuamalah dengan cara-cara yang dibenarkan oleh syariat Islam begitu pula objek usaha
yang halal. Oleh karena itu, para ulama sepakat bahwa tidak halal menjual daging babi,
khamr dan kotoran karena najis dan anjing.

Perkara yang diharamkan, baik yang haram dimakan, haram digunakan, maupun
haram diminum, juga haram untuk diperoleh. Kata mendapatkan itu dimungkinkan dengan
usaha dan upaya yang dilakukan, atau bisa berupa pemberian dari orang lain atau bahkan
membiarkan hal-hal yang terlarang itu tetap berada dalam kendali kita, seperti menjaganya.

Dalam al-asbah wa al-nazhair10 al-Suyuthi memberikan contoh lain, misalnya tentang


alat-alat musik, alat-alat rumah tangga yang terdiri dari emas dan perak, lebih, hewan berbisa,
minuman keras, sutra dan perhiasan emas bagi laki-laki. Anjing diharamkan memeliharanya
kecuali bagi keperluan berburu. 11 Maka berdasarkan kaidah tersebut di atas, apa saja yang
diharamkan menggunakannya, maka haram pula mengusahakan, mengadakan atau
menyimpannya. Apabila sesuatu diharamkan mengambilnya, maka haram pula untuk
memberikannya.

1. Penerapan kaidah fiqhiyah muamalah


a. Minum khamar adalah diharamkan, maka memproduksi, dan membelinya ikut
haram
b. Minum air dengan bejana dari emas atau perak adalah haram, maka haram
pula membelinya dan atau menyimpannya. Karena jika dibolehkan

9 Muhammad bin Futuh al-Humaidi, Op. Cit., juz I, h; 305


10 Al- Suyuthi, Op. Cit., h. 69
11 Ibid, h. 69

7
menyimpannya, suatu saat dikhawatirkan akan meminum air dengan bejana
tersebut
َ ‫َﻣاح اُر َم أَ ْخذُهُ ح اُر َم إا ْع‬
6. ُ‫طا ُؤه‬
“Apa yang haram didapatkan, haram juga memberikannya.”
Dari kaidah tersebut dapat dipahami bahwa mengambil sesuatu yang
diharamkan, lalu hasilnya kita berikan kepada orang lain itu dapat diibaratkan
bersekutu dengannya. Bila dicermati, bahwa sesuatu yang haram mengandung
kemudharatan, sehingga sesuatu yang logis, jika yang membahayakan itu tidak dicari
bahkan tidak pula diberikan kepada orang lain. Sebab hal itu sama dengan
memberikan kemudahan baginya.
ٰ ْ‫ص ْودُهُ َما دَ َخ َل أَ َحدُهُ َما فى ا‬
7. ‫ألخ اَر ﻏَا البًا‬ ‫ا‬ ُ ‫اف َﻣ ْق‬
ْ ‫ﻣان اج ْن ٍس َواحا ٍد َولَ ْم يَ ْختَل‬
ْ ‫ان‬‫أاذَ اإذَا اجْ تَ َم َع أَ ْﻣ َر ا‬

“Apabila dua perkara sejenis berkumpul serta tidak berbeda maksudnya, maka yang satu
dimasukkan kepada yang lain menurut kebiasaannya”

Kaidah ini menjelaskan bahwa cukup melakukan salah satu dari keduanya, yaitu hal
yang lebih besar. Karena hal yang lebih besar dapat mencakup hal yang lebih kecil sehingga
sudah dianggap mencakup kedua hal tersebut.

Contoh seseorang yang berhadas kecil dan berhadas besar kemudian ia mandi untuk
menghilangkan hadas besar, maka kedua hadas tersebut sudah hilang. Karena kedua masalah
tersebut sama, yang besar dapat mengikuti yang kecil, namun sebaliknya tidak.

ٍ َ‫ض ْال َحا َج اة البَي‬


8. ‫انبَيَان‬ ُ ‫ﺖ قَ ْول َولَك ْانال‬
‫سكُ ْوﺕْ فاى َﻣ ْع ار ا‬ َ ‫َِليُ ْن َسبُ إا‬
ٍ ‫لى َسا اك‬

“Perkataan tidak bisa disandarkan pada yang diam, tapi tetap diam padahal yang
membutuhkan keterangan adalah merupakan keterangan”

Kaidah tersebut menetapkan bahwa suatu keputusan hukum tidak bisa diambil dengan
diamnya seseorang, kecuali ada qarinah, tanda-tanda atau alasan lain yang menguatkannya,
maka diamnya orang tersebut merupakan keterangan juga.

Contohnya, apabila seseorang tergugat ditanya oleh hakim, dan dia diam saja, maka
diperlukan bukti-bukti lain untuk menguatkan gugatan penggugat. Akan tetapi, apabila
seorang perawan yang diminta izinnya untuk dinikahkan lalu dia diam saja tanpa ada
perubahan apa-apa ada perangainya, maka diamnya itu menunjukkan persetujuannya.

ْ ‫عا َد الَ َم ْمنُو‬


9. ‫ع‬ َ ‫اذَا زَ ا َل الَ َمان ْاع‬

8
“Apabila suatu penghalang telah hilang, maka hukum yang dihalanginya kembali seperti
semula”

Maksud dari kaidah ini adalah apabila suatu perkara atau pekerjaan tidak dapat
dilaksanakan karena ada suatu penghalang tertentu baik sebagian atau seluruhnya, maka
ketika penghalang itu telah hilang hukumnya menjadi seperti semula.

1. Dasar kaidah
a. Hadis rasulullah yang diriwayatkan oleh Baihaqy dari Ibnu Umar ra.:

12
َ ‫ع ُﻣ ْنذ ثَالَثَ اة اَي‬
)‫َّام (رواه البيهقى‬ ُ َ‫علَ ْي اه َو َسلَّ َم َولَكُ ُم الخا ي‬
‫ار فاى البُي ُْو ا‬ ُ َّ ‫ص َّل‬
َ ‫َّللا‬ ‫قَا َل َرس ُْو ُل َّ ا‬
َ ‫َّللا‬

Kamu boleh khiyar pada setiap benda yang telah dibeli selama 3 hari 3 malam

b. Hadis rasulullah yang diriwayatkan oleh Baihaqi dari Ibnu Umar:

‫يار ﻣا لَ ْم يَتَف ََّرقا‬ ‫ْالبَ اي ا‬


‫عان بالخا ا‬
13

Penjual dan pembeli boleh khiyar selama belum berpisah

Maksud dari kalimat tersebut di atas, adalah apabila dalam suatu perbuatan di situ
terdapat suatu penghalang sehingga tidak dapat terlaksana menurut semestinya atau tidak
dapat dilaksanakan sama sekali titik tetapi juga penghalang itu telah hilang, maka hukum
sesuatu yang terhalang tersebut, kembali sebagaimana hukum semula.

2. Penerapan kaidah fiqih muamalah

ْ ‫عادَ الَ َم ْمنُو‬


‫ع‬ َ ‫اذَا زَ ا َل الَ َمان ْاع‬

a. Dalam jual beli terjadi viar aib pada jual beli hewan, di mana setelah hewan
diserah terimakan kepada si pembeli kemudian diketahui bahwa hewan
tersebut sakit. Yang demikian itu dapat mengakibatkan batalnya akan jual beli
itu. Akan tetapi ketika sakit tersebut telah sembuh sebelum makan jual beli
dibatalkan, maka akan jual beli tersebut tetap berlaku seperti semula, karena
yang menghalangi sahnya jual beli telah hilang.
b. Apabila pada barang yang diperjualbelikan itu terjadi naik dua kali. Yaitu hari
pertama dan yang kedua maka air yang kedua itu menjadi penghalang bagi
pembeli untuk mengembalikan barangnya kepada penjual, karena aib yang

12 Al- Baihaqy, Suna al-Kubr, Juz 5, h. 273.


13 Ibid, h. 269.

9
pertama tetapi apabila air yang kedua itu telah hilang, maka ia berhak
mengembalikan barangnya itu karena air yang pertama itu.

Contoh wanita yang sedang haid dilarang shalat namun jika telah berhenti, maka
diwajibkan shalat seperti semula.

10. ْ‫ص ْو َل الش اَر ْيعَ اة بَا طا ل‬ ُ ‫كُ ُّل شَرْ طٍ يُخَا ل‬
ُ ُ ‫اف‬

“Setiap syarat yang menyalahi prinsip-prinsip dasar syariah adalah batal”

Dari kaidah di atas adalah hadis nabi yang menyatakan: sebuah syarat yang tidak
terdapat dalam kitab Allah adalah syarat yang batal.”. adapun yang dimaksud dengan dasar-
dasar syariah adalah prinsip-prinsip syariah atau semangat atau jiwa syariah.

Contohnya beta meminjamkan uang kepada Amir, kemudian ia mensyaratkan kepada


Amir agar ia mengembalikan uang pinjaman tersebut lebih banyak daripada yang ia
pinjamkan. Maka syarat ini batal, karena jatuhnya hal ini adlah yang riba dan riba dilarang
oleh syariat islam.

‫ب تَﻐَي اُّر اِلَ ْز ﻣا نَة َواِلَ ْﻣ اكنَةَ َواَ ِْلَ حْ َوالنايَاﺕ َوالعَ َوا ىاد‬
‫تَﻐَي ُُّر الفَتْ َوى َوا ْاختاالَ فُها ُ با َح َس ا‬

Fatwa berubah dan berbeda sesuai dengan perubahan zaman, tempat, keadaan, niat
dan adat kebiasaan

a. Faktor zaman

Terkait dengan faktor ini, Ibnu Qayyim mengemukakan bahwa ketika nabi melihat
kemungkaran di Mekah kemungkaran tersebut tidak dapat diubahnya, akan tetapi setelah
Fathul Mekah dan umat Islam meraih kemenangan, maka segala kemungkaran dapat diubah.
Hal tersebut memberikan indikasi bahwa perubahan hukum sangat dipengaruhi oleh zaman.

b. Faktor tempat

Dari penjelasan tentang tempat, Ibnu qayyim melarang memotong tangan musuh
dalam medan perang pelarangan tersebut dilakukan dengan alasan bahwa peperangan tersebut
terjadi di wilayah musuh. Hal ini memberikan indikasi bahwa pemberlakuan hukum Islam
tidak harus dipaksakan pada wilayah yang lain.

c. Faktor situasi

Dalam sejarah dikemukakan, Umar bin Khattab bisa memberlakukan hukum potong
tangan terhadap seorang pencuri pada masa paceklik. Pernyataan ini dikemukakan Ibnu
10
qayyim dalam bukunya. Senada dengan hal tersebut, menurut Abbas Mahmud akad lebih
lanjut menyatakan bahwa tindakan Umar tersebut yang tidak menjatuhkan hukuman terhadap
pelaku pencurian tersebut, pada dasarnya tidak meninggalkan nas karena pelaku tersebut
melakukannya secara terpaksa sebagai bagian dari tuntutan keberlangsungan hidup dan
keselamatan dari bencana kelaparan.

d. Faktor niat

Terkait dengan niat, niat adalah sengaja untuk melakukan sesuatu yang disertai
dengan perbuatan titik terkait perubahan hukum dengan masalah niat, Ibnu qayyim
mengangkat kasus pada peristiwa ketika suami mengatakan kepada istrinya jika aku
mengizinkanmu keluar menuju kamar mandi maka jatuhlah talakmu. Oleh karena sesuatu dan
lain hal, istrinya membutuhkan kamar mandi tersebut, maka berkata suaminya “keluarlah”.
Siswamu kemudian mempertanyakan hal tersebut kepada seorang muftitik jawaban Mufti
menegaskan bahwa talak telah jatuh kepada si istri dengan perkataan “keluarlah” dari si
suami. Uraian di atas, menurut Ibnu qayyim dianggap suatu hal yang bodoh karena kata
keluar bukan dimasukkan oleh suami sebagai izin tindakan mufti yang menceraikan suami
dari istrinya tersebut adalah hari yang tidak diizinkan oleh Allah swt. Dan nabi saw demikian
juga tidak dibolehkan oleh para imam.

11
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Banyak kaidah-kaidah fikih yang berhubungan di bidang muamalah dan transaksi


ekonomi. Semua kaidah tersebut dimaksudkan untuk mempermudah manusia dalam
mengambil suatu keputusan terhadap hal yang baru. Kaidah-kaidah fikih dibangun atas dasar
kesadaran dan penelitian ilmiah dengan pendekatan induktif, yang secara sederhana dalam
merumuskan suatu kaidah didasarkan pada permasalahan cabang dalam satu tertentu dengan
berbagai pendapat fuqaha, kemudian digeneralisasi dari hal-hal yang bersifat mirip atau
bahkan sama dan dirumuskan dengan kalimat yang singkat dan padat makna. Kaidah umum
kulliyah ini dibagi menjadi 24 jenis cabang.

12
DAFTAR PUSTAKA

Rohayana, Ade Dedi. 2008. “Ilmu Qawa’id Fiqhiyah”. Jakarta: Gaya Media Pratama

Azhari, Fathurrahman. 2015. QAWAID FIQHIYYAH MUAMALAH. Banjarmasin: Lembaga


Pemberdayaan Kualitas Ummat (LPKU) Banjarmasin.

Al-Zarqa, Ahmad Ibn Muhammad. Syarh Al-Qawaid al-Fiqhiyyah. Damaskus: Dar al-Qalam,
1993.

13

Anda mungkin juga menyukai