Anda di halaman 1dari 9

RUANG LINGKUP QAWAID FIQHIYAH

Menurut M. az-Zuhayliy dalam kitabnya al-Qawa’id al-fiqhiyyah berdasarkan


cakupannya yg luas terhadap cabang dan permasalahan fiqh, serta berdasarkan disepakati
atau diperselisihkannya qawa’id fiqhiyyah tersebut oleh madzhab-madzhab atau satu
madzhab tertentu, terbagi pada 4 bagian, yaitu :
a. Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah al-Asasiyyah al- Kubra, yaitu qaidah-qaidah fiqh yangg
bersifat dasar dan mencakup berbagai bab dan permasalahan fiqh. Qaidah-qaidah ini
disepakati oleh seluruh madzhab. Yang termasuk kategori ini adalah :
1. Al-Umuru bi maqashidiha.
2. Al-Yaqinu la Yuzalu bi asy-Syakk.
3. Al-Masyaqqatu Tajlib at- Taysir.
4. Adh-Dhararu Yuzal,
5. Al- ’Adatu Muhakkamah.
b. Al-Qawa’id al-Kulliyyah : yaitu qawa’id yang menyeluruh yang diterima oleh madzhab-
madzhab, tetapi cabang-cabang dan cakupannya lebih sedikit dari pada qawa’id yang
lalu. Seperti kaidah : al-Kharaju bi adh-dhaman/Hak mendapatkan hasil disebabkan
oleh keharusan menanggung kerugian, dan kaidah : adh-Dharar al- Asyaddu yudfa’ bi
adh-Dharar al-Akhaf Bahaya yang lebih besar dihadapi dengan bahaya yang lebih
ringan. Banyak kaidah- kaidah ini masuk pada kaidah yang 5, atau masuk di bawah
kaidah yg lebih umum.
c. Al-Qawa’id al-Madzhabiyyah (Kaidah Madzhab), yaitu kaidah-kaidah yang menyeluruh
pada sebagian madzhab, tidak pada madzhab yang lain. Kaidah ini terbagi pada 2
bagian:
1. Kaidah yang ditetapkan dan disepakati pada satu madzhab.
2. Kaidah yang diperselisihkan pada satu madzhab.
Contoh, kaidah : ar-Rukhash la Tunathu bi al- Ma’ashiy Dispensasi tidak
didapatkan karena maksiat. Kaidah ini masyhur di kalangan madzhab Syafi’i dan
Hanbali, tidak di kalangan mazhab Hanafi, dan dirinci di kalangan madzhab
Maliki.
d. Al-Qawa’id al-Mukhtalaf fiha fi al-Madzhab al-Wahid, yaitu kaidah yang
diperselisihkan dalam satu madzhab. Kaidah-kaidah itu diaplikasikan dalam satu furu’
(cabang) fiqh tidak pada furu’ yg lain, dan diperselisihkan dalam furu’ satu madzhab.
Contoh, kaidah : Hal al-’Ibroh bi al-Hal aw bi al-Maal?/Apakah hukum yang dianggap
itu pada waktu sekarang atau waktu nanti? Kaidah ini diperselisihkan pada madzhab
Syafi’i. oleh karena itu pada umumnya diawali dengan kata :hal/ /apakah.

KAIDAH KUBRO
A. Lima Kaidah Umum Qawaid Fiqhiyah
ِ َ‫)األ ُ ُم ْو ُر ِب َمق‬
1. Segala Sesuatu itu Tergantung pada Niat ( ‫اص ِد َها‬
Mayoritas ulama sepakat mengenai kaidah ini bahwa yang menjadi pegangan
adalah substansi bukan bangunan kata. Implikasinya bila ada transaksi yang
diungkapkan dengan kalimat yang tidak umum seperti “aku hibahkan mobilku
padamu dengan 20 juta”, atau “ aku berikan manfaat rumahaku ini setahun dengan
lima ribu dinar” atau akad saat pembiayaan di bank “aku serahkan uang sejumlah Rp
50.000.000 untuk diperggunakan dalam mengembangkan usaha”. Maka masing-
masing memiliki bangunan kata yang berbeda dengan makna hakikatnya, tetapi para
ulama sepakat mengambil makna hakekat atau substansinya dibandingkan redaksi
kalimatnya.
2. Sesuatu yang Sudah Yakin Tidak Dapat Dihilangkan dengan Keraguan
(ِّ‫)اليَ ِق ْينُالَيُ َزالُ ِبالش َِّك‬
Qaidah fiqh yang kedua adalah qaidah tentang keyakinan dan keraguan.
Dengan kaidah kedua ini, maka seseorang memperbuat sesuatu (beramal) harus
dilakukan berdasarkan dengan keyakinan. Maka apapun keraguan untuk
menghilangkan keyakinan tidak akan diterima. Juga dapat difahami dengan redaksi
yang lain yaitu, setiap perkara yang tetap, tidak akan berubah dengan sebab
kedatangan bukti yang terdapat syak padanya. Keyakinan merupakan suatu perkara
yang bersifat tetap dan bersifat berlawanan terhadap syak.
Lazimnya, sesuatu yang benar-benar diyakini sudah pasti tidak akan dirubah
oleh syak kerana kedua-duanya adalah sangat berbeda. Sesuatu perkara itu hanya akan
dikatakan sebagai yakin setelah terdapat bukti dan penelitian yang dapat menetapkan
adanya perkara tersebut. Di bidang fiqh misalnya, indikator yakin ini begitu dititik
beratkan terhadap perkara apapun yang dilakukan. Karena, ia adalah asas Islam yang
menjadi dasar pijakan bagi membina sesuatu hukum.
Contonya, apabila seseorang berhutang mengatakan kepada orang yang punya
piutang, bahwa ia telah membayar hutangnya, sedangkan orang yang punya piutang
mengingkarinya, maka perkataan yang diperpegangi adalah perkataan piutang yang
mengingkari pembayaran itu. Karena yang diyakini adalah belum bayarnya orang
yang berhutang, terkecuali orang yang berhutang itu dapat membuktikan bahwa ia
sudah bayar hutangnya, seperti ada alat bukti pembayaran. Karena hak orang yang
punya piutang itu diyakini.
ِ ‫شقَّةُتَجْ ِلبُالتَّي‬
3. Kesukaran itu Mendatangkan Kemudahan (‫سيْر‬ َ ‫)ال َم‬
Makna dari qaidah tersebut adalah kesulitan menyebabkan adanya kemudahan.
Maksudnya adalah hukum-hukum syari’ah didasarkan atas kenyamanan, keringanan
dan menghilangkan kesulitan. Hukum-hukum yang dalam penerapannya
menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf (subjek hukum), maka syariah
meringankannya agar mukallaf dapat melaksanakan hukum tersebut tanpa kesulitan
dan kesukaran. Maksudnya adalah kelonggaran atau keringanan hukum yang
disebabkan oleh adanya kesukaran sebagai pengecualian dari pada qaidah hukum.
Dan yang dimaksud kesukaran ialah yang di dalamnya mengandung unsur-unsur
keterpaksaan.
Contoh penerapannya, dibolehkan hanya melihat apa yang mungkin dapat
dilihat, seperti menjual apa yang ada dalam kaleng/botol, apa yang dimakan ada di
dalamnya dan lain-lain. Maka pendapat yang benar adalah dibolehkan jual beli seperti
itu disertai adanya gharar yasir (ketidakjelasan yang ringan/sedikit), karena jual beli
ini membawa maslahat bagi manusia. Berkenaan dengan makanan yang ada dalam
kaleng atau botol jika dibuka tutup kalengnya, atau tutup botolnya, tentu makanan
atau minuman yang ada di dalamnya akan menjadi rusak. Untuk kemaslahatan agar
makanan itu tidak rusak, maka dibolehkan (sah) jual beli hanya melihat apa yang
dapat dilihat, yaitu yang di luarnya saja, dengan tulisan, label dan lain-lain, dengan
tidak melihat langsung makanan atau minuman itu.
4. Kemadharatan itu Harus Dihilangkan (ِّ‫)الض ََّر ُريُ َزا ُل‬
Kemadharatan harus dihilangkan, baik bagi diri sendiri atau orang lain. Ini
adalah ketentuan syariat Islam secara umum karena syariat datang membawa
kemaslahatan baik di dunia dan akherat.
Contoh penerapannya adalah larangan terhadap mahjur (orang yang dilarang
membelanjakan harta kekayaannya), muflis (yang jatuh pailit, yang safih (orang
dungu) untuk bertransaksi. Dasar pertimbangan diberlakukan ketentuan tersebut untuk
menghindarkan sejauh mungkin bahaya yang merugikan pihak-pihak yang terlibat di
dalam transaksi tersebut.
5. Adat Kebiasaan Itu Ditetapkan Sebagai Hukum (ِّ‫)ال َعا َدةُ ُم َح َّك َمة‬
Prof. A. Dzajuli mendefinifikan adat dengan apa yang dianggap baik dan benar
oleh manusia secara umum yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga menjadi
kebiasaan dan tradisi. Sesungguhnya jual beli atau bisnis secara umum adalah
termasuk bagian dari adat atau kebiasaan manusia, sebagaimana kaidah syara‟
mengatakan “hukum dasar dalam beribadah adalah dilarang, sebaliknya hukum dasar
dalam muamalah diperbolehkan”. Karena dimensi adat adalah maslahah duniawi,
sebaliknya dalam ibadah dimensinya dominan pada maslahah akhirat. Maka
pertimbangan adat dan kebiasaan menjadi sangat signifikan perannya dalam
mengkontruksi hukum muamalah selama tidak mengandung dlarar atau bertentangan
dengan syara’.
Jual beli dianggap sah dengan setiap lafaz yang biasa berlaku di kalangan
manusia, atau yang mereka telah ketahui dan sudah menjadi adat kebiasaan mereka
meskipun tidak dengan akad ijab-kabul secara lisan. Karena itu apa yang dipandang
manusia sebagai jual beli, atau sewa menyewa, atau hibah, maka dianggap sebagai
jual beli, atau sewa menyewa, atau hibah, karena nama-nama ini tidak ada batasnya
dalam bahasa dan syarak. Oleh karena itu, setiap nama yang tidak ada batasannya
(qayyid) dalam bahasa dan syarak, maka dikembalikan batasannya kepada adat
kebiasaan.

KAIDAH KULLIYAH
Menurut Yusuf Al-Qaradhawi ada tujuh kaidah utamanya, yaitu :
1. Kaidah pertama; Al-Ashl Fi Al-Mu’amalat Al- Ibadah, hukum dasar muamalat
adalah mubah.
Dengan berpegang pada qaidah fiqhiyyah tersebut di atas, maka setiap muslim
diberi kebebasan untuk melakukan aktivitas-aktivitas ekonomi. selama tidak
merupakan bentuk aktivitas yang dilarang atau tidak mengandung unsur-unsur yang
dilarang. Penyebab dilarangnya suatu transaksi adalah disebabkan karena faktor-
faktor: (1) haram zatnya (haram li-dzatuhi); (2) haram selain zatnya (haram li
ghairihi), ; dan (3) tidak sah atau tidak lengkap akadnya.
Contohnya menjual anggur kepada pabrik minuman keras. Jual beli itu
dibolehkan tetapi seperti diterangkan oleh Allah dalam al-Quran pada surah al-Maidah
ayat 2 yang artinya “dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran”... Jual beli sebagaimana bentuk tersebut merupakan kezhaliman
terhadap pembeli, karena menolong mereka berbuat dosa dan pelanggaran hukum
muamalah.
2. Kaidah kedua; Al-Ibrah bi Al-Maqashid wa Al-Musammayyat La bi Al-Alfazh wa At-
Tasmiyat, yang jadi patokan adalah maksud dan substansi, bukan redaksi ataupun
penamaannya.
Para ulama sepakat, apabila seseorang mengatakan sesuatu tergantung kepada
niat orang yang mengucapkannya. Oleh karena itu, apabila dalam akad secara lisan
kalimat yang diucapkan oleh pihak yang berakad dengan lafaz yang jelas, maka
hukum yang diperoleh adalah sesuai dengan lafaz itu. Tetapi manakala suatu akad
terjadi suatu perbedaan antara niat/maksud si pembuat dengan lafaz akad yang
diucapkannya, maka yang harus dianggap sebagai suatu akad adalah maksudnya
selama masih dapat diketahui.Oleh karena itu, jika ada dua orang mengadakan suatu
akad dengan lafaz memberi barang dengan syarat adanya pembayaran harga barang
itu, maka akad inidipandang sebagai akad jual beli, karena akad yang terakhir ini
adalah ditunjuki oleh maksud dan makna dari si pembuat akad, bukan akad pemberian
sebagaimana dikehendaki oleh lafaz.
Contohnya, si A memberi hadiah baju kepada si B, tetapi dengan syarat si B
membayar baju itu Rp. 100.000,-. maka transaksi ini harus diartikan akad jual beli
bukan tabarru’.
3. Kaidah ketiga; Tahrim Akl Amwal An-Nas Bi Al-Bathil, diharamkan memakan harta
orang lain secara batil (tidak benar).
Maksud dari kaidah ini adalah bahwa segala upaya untuk memakan harta orang
lain secara bathil apakah itu dengan riba, perjudian, penipuan, penggelapan dan
sebagainya adalah haram karena larangan Allah SWT secara jelas dalam Al Quran
dan untuk memelihara manusia dari kehancuran. Memakan harta orang lain secara
batil dapat menimbulkan permusuhan, kekacauan, iri dengki dan sebagainya. Syariah
Allah SWT yang agung mencegah kerusakan ini dengan cara melarang memakan
harta orang lain secara batil.
Contohnya, seseorang meminjam sebuah mobil, kemudian ia memerintahkan
kepada temannya untuk menjualnya, maka perintah itu adalah bathal. Karena
meminjam mobil bukan menjadi pemilik mobil, hanya dapat memperoleh manfaat
dari mobil. Sedangkan mobil tetap menjadi pemilik mobil.
4. Kaidah keempat; La Dharara Wa La Dhirar, tidak boleh merugikan diri sendiri
ataupun orang lain.
Secara garis besar ada dua kata dalam kaidah fikih diatas, yaitu “Dharar” dan
Dhirar”.
Kata “Dharar” menurut bahasa adalah lawan dari bermanfaat, dengan kata lain
tidak bermanfaat atau bahkan dapat mendatangkan bahaya atau mudharat jika
dikerjakan, baik kepada dirinya sendiri ataupun kepada orang lain.
Kata “Dhirar” menurut bahasa adalah balasan yang sengaja dilakukan sebagai
balasan atas kemudharatan yang menimpanya. Dengan kata lain dia membalas atau
menimpakan kemudharatan kepada orang lain sesuai dengan kemudharatan yang
menimpa dirinya.
Sedangkan kita semua mengetahui bahwa kata “Mudharat” itu sendiri menurut
bahasa adalah kebalikan dari manfaat, atau dapat juga dikatakan bahaya. Jadi secara
garis besar kaidah fiqh ini melarang segala sesuatu perbuatan yang mendatangkan
mudharat/bahaya tanpa alasan yang benar serta tidak boleh membalas
kemudharatan/bahaya dengan kemudharatan yang serupa juga, apalagi dengan yang
lebih besar dari kemudharatan yang menimpanya.
Contohnya, larangan terhadap mahjur (orang yang dilarang membelanjakan
harta kekayaannya), muflis (yang jatuh pailit, yang safih (orang dungu) untuk
bertransaksi. Dasar pertimbangan diberlakukan ketentuan tersebut untuk
menghindarkan sejauh mungkin bahaya yang merugikan pihak-pihak yang terlibat di
dalam transaksi tersebut. 1
5. Kaidah kelima; At-Takhfifwa At-Taysir la At Tasydid wa At-Ta’sir, memperingan
dan mempermudah, bukan memperberat dan mempersulit.
Kaidah ini dipetik dari penelaahan terhadap berbagai hukum dibanyak bidang
fiqih islam. Didalamnya syariat memastikan agar para mukallaf (pemikul kewajiban
agama) diperingan dan dipermudah. Maka, disyariatkanlah anekah difensasi (ar-
rukhshah) dan peringanan dalam banyak situasi dan kondisi.
Contohnya adalah legalitas khiyar (hak memilih untuk jadi atau tidak jadi
bertransaksi). Pasalnya, jual beli biasanya terjadi tanpa pertimbngan terlebih
dahulu,sehingga menimbulkan penyesalan belakangan. Hal ini tentu menyulitkan si
pelaku transaksi. Maka, Allah mempermudahnya dengan cara memperolehkan
pembatalan transaksi (fasakh) ditempat.

1
Fathurrahman Azhari, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah.... hlm.113-248
6. Kaidah keenam; Ri’ayah Adh-Dharurat wa Al-Hajat, memerhatikan keterpaksaan
dan kebutuhan.
Maksud dari kaidah ini darurat dan kebutuhan dapat menjadikan yang haram
menjadi halal selama darurat dan hajat itu sesuai dengan yang disyaratkan oleh
syariah, '
Contohnya, untuk menjaga kebutuhan orang banyak dalam menghindari
spekulasi para pedagang, maka pemerintah dibolehkan membatasi atau menetapkan
harga barang-barang pokok yang diperjual-belikan. Meski sebenarnya tindakan
pemerintah itu membuat kerugian kepada pihak-pihak tertentu.
7. Kaidah ketujuh; Mura’ah Al-Adat Wa Al-A’raf Fi Ma La Yukhalif Asy-Syar’a,
memerhatikan tradisi dan kebiasaan masyarakat yang tidak menyalahi syariat.
Maksud dari kaidah ini adalah adat kebiasaan yang berlaku di masyarakat dapat
menjadi hukum-hukum syariah selama tidak bertentangan dengan Al Quran dan As
Sunnah. Hal ini menunjukkan keluwesan syariah untuk diterapkan di berbagai tempat
dan masa, dengan memperhatikan kehidupan manusia yang hidup di masa dan tempat
itu.
Contohnya, jual beli dianggap sah dengan setiap lafazh yang biasa berlaku di
kalangan manusia, atau yang mereka telah ketahui dan sudah menjadi adat kebiasaan
mereka meskipun tidak dengan akad ijab-kabul secara lisan. Karena itu apa yang
dipandang manusia sebagai jual beli, atau sewa menyewa, atau hibah, maka dianggap
sebagai jual beli, atau sewa menyewa, atau hibah, karena nama-nama ini tidak ada
batasnya dalam bahasa dan syara’. Oleh karena itu, setiap nama yang tidak ada
batasannya (qayyid) dalam bahasa dan syara’, maka dikembalikan batasannya kepada
adat kebiasaan.

8 KASUS QAWAID FIQH DALAM EKONOMI ISLAM


1. Penerapan Segala urusan tergantung kepada tujuannya
a. Apabila seseorang membeli anggur dengan tujuan/niat memakan atau menjual maka
hukumnya boleh. Akan tetapi apabila ia membeli dengan tujuan/niat menjadikan
khamr, atau menjual pada orang yang akan menjadikannya sebagai khamr, maka
hukumnya haram.
b. Apabila seseorang menabung di Bank Konvensional dengan tujuan/niat untuk
mengamankan uangnya karena belum ada bank syariah di daerahnya, maka ia
dibolehkan karena dharurat. Akan tetapi jika ia menyimpan uang di Bank
konvensional itu dengan tujuan/niat memperoleh bunga dari bank itu, maka
hukumnya haram.
2. Penerapan Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan
a. Jika seseorang membeli mobil, kemudian ia mengatakan, bahwa mobil yang
dibelinya itu cacat dan ia ingin mengembalikannya, lalu penjual menolak ucapan
pembeli yang mengatakan adanya cacat itu, maka si pembeli tidak boleh
mengembalikannya, karena pada asalnya mobil itu yakin dalam keadaan baik. Cacat
tidak boleh ditetapkan dengan adanya keraguan, sebab yang yakin tidak boleh
dihapuskan oleh keraguan.
b. Apabila dua orang melakukan transaksi jual beli, kemudian salah seorang
mensyaratkan sendiri khiyar dalam akad, ia berkeinginan membatalkan transaksi jual
beli itu dan mengembalikan barang, sementara penjual menyanggah adanya syarat
itu, maka perkataan yang dipercaya adalah perkataan sipenjual disertai sumpahnya,
karena syarat tersebut suatu hal kejadiannya belakangan. Karena pada dasarnya
dalam akad adalah bebas dari syarat-syarat tambahan, maka tidak adanya syarat
tambahan, itulah yang yakin.
c. Apabila seseorang berhutang mengatakan kepada orang yang punya piutang, bahwa
ia telah membayar hutangnya, sedangkan orang yang punya piutang
mengingkarinya, maka perkataan yang diperpegangi adalah perkataan piutang yang
mengingkari pembayaran itu. Karena yang diyakini adalah belum bayarnya orang
yang berhutang, terkecuali orang yang berhutang itu dapat membuktikan bahwa ia
sudah bayar hutangnya, seperti ada alat bukti pembayaran. Karena hak orang yang
punya piutang itu diyakini.
3. Penerapan Kesulitan menyebabkan kemudahan.
a. Dibolehkan hanya melihat apa yang mungkin dapat dilihat, seperti menjual apa yang
ada dalam kaleng/botol, apa yang dimakan ada di dalamnya dan lain-lain. Maka
pendapat yang benar adalah dibolehkan jual beli seperti itu disertai adanya gharar
yasir (ketidakjelasan yang ringan (sedikit), karena jual beli ini membawa maslahat
bagi manusia. Berkenaan dengan makanan yang ada dalam kaleng atau botol jika
dibuka tutup kalengnya, atau tutup botolnya, tentu makanan atau minuman yang ada
di dalamnya akan menjadi rusak. Untuk kemaslahatan agar makanan itu tidak rusak,
maka dibolehkan (sah) jual beli hanya melihat apa yang dapat dilihat, yaitu yang di
luarnya saja, dengan tulisan, label dan lain-lain, dengan tidak melihat langsung
makanan atau minuman itu.
b. Penggantian harta wakaf. Prinsip umum dari harta wakaf adalah tidak dapat dijual,
dihadiahkan, ataupun diganti, namun dalam kasus jika harta wakaf telah kehilangan
manfaatnya dan bahkan menyusahkan penerima wakaf karena harta itu tidak
memiliki sumber ekonomi untuk merevitalisasi ataupun merahibilitasinya. Dalam
kasus tersebut, ulama mazhab Hanafi atas dasar kebutuhan dan maslahat,
membolehkan penjualan harta wakaf itu sesuai harga pasar dan membeli lahan lain
yang lebih bernilai untuk tujuan wakaf.
4. Penerapan Kemudharatan wajib dihilangkan
a. Mengembalikan barang yang telah dibeli lantaran adanya cacat dalam masa khiyar
diperbolehkan. Begitu pula larangan terhadap mahjur (orang yang dilarang
membelanjakan harta kekayaannya), muflis (yang jatuh pailit, yang safih (orang
dungu) untuk bertransaksi. Dasar pertimbangan diberlakukan ketentuan tersebut
untuk menghindarkan sejauh mungkin bahaya yang merugikan pihak-pihak yang
terlibat di dalam transaksi tersebut.
b. Hakim berhak mencegah orang yang berutang untuk bepergian (safar) atas
permintaan yang punya piutang sehingga ia menunjuk seorang wakil yang
mewakilinya dan tidak boleh ia memberhentikan wakilnya selama ia dalam
bepergian, untuk menghilangkan mudharata (bahaya) bagi yang punya piutang
5. Penerapan Adat kebiasan ditetapkan sebagai hukum
a. Jual beli dianggap sah dengan setiap lafaz yang biasa berlaku di kalangan manusia,
atau yang mereka telah ketahui dan sudah menjadi adat kebiasaan mereka meskipun
tidak dengan akad ijab-kabul secara lisan. Karena itu apa yang dipandang manusia
sebagai jual beli, atau sewa menyewa, atau hibah, maka dianggap sebagai jual beli,
atau sewa menyewa, atau hibah, karena nama-nama ini tidak ada batasnya dalam
bahasa dan syarak. Oleh karena itu, setiap nama yang tidak ada batasannya (qayyid)
dalam bahasa dan syarak, maka dikembalikan batasannya kepada adat kebiasaan.
b. Cacat pada barang yang dibeli, adalah disesuaikan dengan adat kebiasaan yang
berlaku di kalangan masyarakat. Maka apa yang dipandang masyarakat sebagai
cacat, itu adalah cacat yang karenannya barang itu dikembalikan, tetapi jika itu tidak
dipandang oleh masyarakat sebagai cacat, maka barang yang dibeli tidak dapat
dikembalikan.
c. Bank berhak dalam akad murabahah menambahkan biaya yang telah dikenal dan
telah biasa dilakukan oleh para pedagang penambahannya pada harga, seperti biaya
penyimpanan (gudang), memelihara/menjaga, mengangkut dan lain-lain

Anda mungkin juga menyukai