Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Aturan-aturan umum dan prinsip-prinsip yang universal disebut dengan alqawanin al-fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqh). Dalam pembahasan kaidah-kaidah
fiqh banyak terdapat macam-macam kaidah salah satunya tentang kaidah-kaidah
asasi ( al-Qawaid al-Khamsah). Dalam kaidah-kaidah asasi terdapat 5 macam
kaidah, sehingga untuk lebih mengetahui macam-macam kaidah dalam al-Qawaid
al-Khamsah akan dibahas dalam maklah ini.
Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqih) adalah sesuatu yang sangat penting
dan menjadi kebutuhan bagi kaum Muslim. Akan tetapi tidak sedikit orang yang
kurang memahami tentang hal ini, untuk itu perlu kiranya bagi kaum muslim
untuk mempelajari dan mengkaji ulang ilmu ini. Dengan menguasai kaidahkaidah fiqih seorang muslim akan mengetahui benang merah yang menguasai
fiqih, karena kaidah fiqih itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqih.
Selain itu juga akan menjadi lebih arif dalam menerapkan fiqih pada waktu dan
tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan.
Dengan mempelajari kaidah fiqih, diharapkan pada akhirnya juga bisa menjadi
lebih moderat dalam menyikapi masalah-masalah politik, ekonomi, sosial, budaya
sehingga kaum muslim bisa mencari solusi terhadap problem-problem yang terus
muncul dan berkembang dalam masyarakat dengan lebih baik.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan qawaid kulliyah?
2. Berapa macam qawaid kulliyah?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari qawaid kulliyah
2. Untuk mengetahui macam-macam qawaid ku

BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Qawaid
Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa
indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan. Ahmad
Warson menembahkan bahwa, kaidah bisa berarti al-asas (dasar atau pondasi), alQanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda (prinsip), dan al-nasaq (metode
atau cara).
Qawaidul fiqiyyah atau kaidah-kaidah fiqih yaitu kaidah-kaidah yang bersifat
umum (kulli) yang mengelompokkan masalah-masalah fiqih terperinci menjadi
beberapa kelompok yang pula merupakan kaidah atau pedoman yang
memudahkan dalam mengistinbathkan (menyimpulkan) hukum bagi suatu
masalah yaitu dengan cara menggolongkan masalah-masalah yang serupa dengan
suatu kaedah.
Menurut Musthafa az-Zarqa, Qowaidul Fiqhyah ialah : dasar-dasar fiqih yang
bersifat umum dan bersifat ringkas berbentuk undang-undang yang berisi hukumhukum syara yang umum terhadap berbagai peristiwa hukum yang termasuk
dalam ruang lingkup kaidah tersebut.
Para fuqoha pada umumnya memberikan pengertian bahwa yang dimaksud
dengan kaidah fiqhiyyah ialah hukum kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku
pada semua bagian-bagiannya atau cabang-cabangnya. Dari pengertian di atas
dapat diketahui bahwa setiap qidah fiqhiyyah telah mengatur dan menghimpun
beberapa banyak masalah fiqh dari berbagai bab dan juga diketahui bahwa para
fuqoha telah benar-benar mengembalikan masalah-masalah hukum fiqh kepada
kaidah-kaidahnya.
2. Macam-Macam Qawaid Fiqhiyyah Kulliyah
Terdapat kontroversi antara asumsi ulama fiqh dalam menjelaskan qawaidqawaid kulliyah yang dijadikan rujukan oleh hukum-hukum yang berbau fiqh
dalam al-fiqh al-Islamiy. Maka kemudian ditemukan mayoritas dari mereka
berpendapat bahwa hukum-hukum fiqh Islami itu semua kembali kepada qawaid
kulliyah yang berjumlah lima, yaitu :

a) Kaidah pertama



Segala urusan tergantung kepada tujuannya
Maksud dari kaidah ini adalah setiap perkara bergantung pada tujuannya.
Dengan kata lain, bahwa setiap mukallaf dan berbagai bentuknya serta
hubungannya, baik dalam ucapannya, perbuatan, dan lain sebagainya bergantuk
pada niatnya. Oleh karena itu, motif dan niat yang terkandung dalam hati sewaktu
melakukan satu perbuatan menjadi kriteria yang nenentukan nilai dan status
hukum amal yang ia lakukan.1
Niat dikalangan imam syafii diartikan dengan: Bermaksud melakukan
sesuatu deisertai dengan pelaksanaannya.
Begitupun dikalangan mazhab hambali menyatakan bahwa niat ada di
dalam hati, karena niat adalah perwujudan dari maksud, dan tempat dari maksud
tersebut di dalam hati. Jadi apabila menyakini/beriktikad di dalam hatinya, itu pun
sudah cukup, dan wajib niat didahulukan dari perbuatan.
Niat sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan
seseorang, apakah seseorang melakukan suatu perbuatan itu dengan niat ibadah
kepada Allah dengan melakukan perbuatan yang diperintahkan atau yang
disunahkan atau hal yang dibolehkan oleh agama ataukah dia melakukan
perbuatan tersebut bukan niat karena Allah, tetapi semata-mata karena kebiasaan
saja.2 Misalnya saja seorang duduk-duduk atau tiduran di masjid tanpa ia
melakukan niat Itikaf, maka apa yang dilakukannya di dalam masjid tidak akan
mendapat pahala, sedangkan apabila ia berniat Itikaf terlebih dahulu ia akan
mendapatkan pahala Itikaf.
Pada asalnya niat dilakukan di awal setiap pekerjaan ibadah, kecuali niat
pada awal shaum di bulan Ramadhan yang mendahulukan niat terlebih dahulu,
1Rachmat Syafei, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hal. 274
2 Acep Djazuli, Kaidah-kaidah Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2007), hal. 35

dan apabila niat dilakukan berbarengan dengan shalat fajar, maka itu tidak sah,
kecuali boleh melakukan niat apabila pada shaum sunnah.
Ada beberapa perbedaan mengenai niat, apakah niat itu termasuk rukun
ataukah syarat. Namun mayoritas ulama mazhab syafii telah memilih bahwa niat
merupakan rukun bukan syarat, karena niat masuk pada juziyyah ibadah.
1. Sumber pengambilannya
Yang menjadi sumber dari kaidah tersebut adalah:
a. Firman Allah Swt (Qs. Ali Imran: 145)

Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya kami berikan kepadanya


pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, kami berikan
(pula) kepadanya pahala akhirat itu. dan kami akan memberi balasan kepada
orang-orang yang bersyukur.

b. Sabda Rasulullah Saw:






Dari Umar bin Khothob berkata : Saya mendengar Rosululloh bersabda :
Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya
setiap orang itu tergantung terhadap apa yang dia niatkan, maka barang siapa
yang hijrahnya untuk Allah dan Rasul Nya maka hijrahnya itu untuk Allah dan
Rasul Nya, dan barangsiapa yang hijrahnya untuk mendapatkan dunia maka dia
akan mendapatkannya atau hijrahnya untuk seorang wanita maka dia akan

menikahinya, maka hijrahnya itu tergantung pada apa yang dia hijrah untuknya.
(HR. Bukhori dan Muslim)
Hadist tentang niat ini bermartabat tinggi dalam syariat islam.
Kata imam Abu Ubaidah: tidak ada satu Hadist yang lebih kaya dan banyak
faidahnya dari pada Hadist niat.
Imam Asy-Syafii, Ahmad, Abu Daud, Ad-Daruquthni dan lainnya sepakat
menetapkan bahwa hadist niat itu menempati sepertiga dari seluruh ilmu
pengetahuan islam. Pendapat semacam ini diulas oleh Imam Al-Baihaqi sebagai
berikut. segala aktifitas manusia itu adakalanya berpangkal pada hati sanubari,
pada lisan dan adakalanya pada anggota badan. Niat yang berpangkal pada hati
sanubari adalah aktifitas kejiwaan. Aktifitas itu lebih penting dan kuat ketimbang
aktifitas yang berpangkal pada lisan dan anggota badan. Hal itu disebabkan karena
niat dapat berfungsi sebagai ibadat yang berdiri sendiri sedang aktifitas yang lain
tidak dapat berfungsi ibadat sekiranya tidak didukung oleh niat. Niat sekalipun
tidak dibarengi dengan amal perbuatan masih dianggap lebih baik dari pada
perbuatan yang tidak dibarengi dengan niat.
2. Fungsi niat
Pertama: Membedakan antara adat dengan ibadah
Karena hampir semua bentuk ibadah mempunyai kemiripan dengan yang
berupa adat. Misalnya :
Puasa, yang hakekatnya adalah menahan diri dari makan, minum dan jima
serta semua yang membatalkan dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari.
Perbuatan ini mungkin saja dilakukan oleh seseorang karena sedang berpuasa, tapi
juga mungkin dilakukan oleh seseorang karena sedang diet, atau akan menjalani
operasi atau sebab lainnya, maka untuk membedakan antara keduanya harus
dibedakan dengan niatnya. Kalau dia berniat puasa, maka dia adalah ibadah,
sedangkan kalau diniatkan untuk lainnya maka dia adalah adat dan bukan ibadah.
Kedua :Membedakan antara satu ibadah dengan ibadah lainnya

Hal ini dikarenakan satu jenis ibadah itu bisa bermacam-macam. Ambil
misal tentang sholat, sholat itu ada yang wajib dan ada yang sunnah, sedangkan
yang wajib ada berbagai macam begitu pula dengan yang sunnah, maka untuk
membedakan antara keduanya maka wajib menentukannya dengan niat.
Begitu pula masalah puasa, ada yang wajib dan ada yang sunnah. Kalau ada
seseorang yang puasa pada hari Senin pada bulan Syawal, maka mungkin itu
puasa hari Senin, atau puasa enam hari bulan Syawal atau mungkin puasa qodlo
Ramadhan atau mungkin puasa kaffarah dan masih ada kemungkinan lainnya,
maka untuk menentukan salah satunya harus dengan niat.
Ketiga

: Untuk membedakan kualitas perbuatan, baik kebaikan ataupun

kejahatan.
Keempat : Untuk menentukan sah tidaknya suatu perbuatan Ibadah tertentu serta
membedakan yang wajib dan yang sunnah.
b) Kaidah kedua



Keyakinan tidak dapat dihapus dengan keraguan
Kaidah ini menegaskan sesuatu yang meyakinkan tidak dapat dikalahkan
oleh sesuatu yang meragukan, kecuali yang meragukan meningkat menjadi
meyakinkan. Ini menunjukkan semua tindakan mesti berdasarkan pada yang
diyakini. Yakin adalah puncak pemahaman yang disertai dengan tetapnya hukum.
Kaidah fiqh ini menghimpun sejumlah masalah fiqh. Melalui kaidah ini
tergambar kemudahan dan kelapangan dalam hukum Islam. Kaidah ini
mendorong untuk menghilangkan kesulitan selama didasarkan atas keyakinan. Ini
penting karena keraguan banyak muncul akibat penyakit was-was (bisikan setan),
yang biasa terjadi dalam masalah bersuci dan sholat. Kaidah fiqh tersebut
didasarkan pada dalil yang kuat, diantaranya hadis berikut:






Dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah SAW. bersabda: apabila seorang dari
kamu mendapatkan sesuatu di dalam perutnya, kemudian ia ragu apakah telah
keluar sesuatu dari perutnya ataukah belum, maka janganlah ia keluar masjid
sehingga mendengar suara atau mendapatkan bau (memperoleh bukti telah batal
wudhunya). (H.R. Muslim).
Kandungan hadist ini menjelaskan bahwa seseorang yang semula suci, kemudian
ia ragu-ragu apakah ia telah mengeluarkan angin atau belum, maka ia harus
dianggap masih dalam keadaan suci. Karena keadaan inilah yang sudah
meyakinkan tentang kesuciannya sejak semula, sedang keragu-raguan itu baru
timbul kemudian. Suatu keyakinan yang sudah mantap merupakan kekuatan yang
tidak mudah digoyahkan oleh keragu-raguan. Kecuali kalau keraguan itu sudah
berubah sifat menjadi keyakinan.




.
Sungguh telah diriwayatkan dari Nabi SAW. bahwa beliau bersabda: apabila
ragu salah seorang kamu dalam shalat, apakah telah satu rakaat atau dua rakaat
shlatnya, maka hendaklah ia menetapkan satu rakaat shalat yang telah dilakukan.
Dan apabila ia ragu antara dua atau tiga rakaat sholat yang telah dilakukan,
maka hendaklah ia menetapkan dua rakaat yang telah dilakukan. Hendaklah ia
melakukan dua kali sujud sebelum salam (H.R. Tirmidzi).
Hadis ini mengisyaratkan orang yang ragu tentang bilangan rakaat shalat,
antara dua dan tiga, maka hendaklah yang bersangkutan memilih bilangan rakat
7

shalat yang paling sedikit karena itulah yang yakin atau pasti, sementara bilangan
yang tertinggi dari rakaat shalat itu yang dikeragui. Dalam kasus, ini orang yang
ragu tentang bilangan rakaat shalat diperintahkan (sunat) untuk melakukan sujud
sahwi sebelum ia salam sebagai penutup shalatnya.
c) Kaidah ketiga


Kesukaran itu menarik kemudahan.
.

Dasar-dasar nash kaidah


Firman Allah SWT:



Artinya: Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan Dia tidak
menghendaki kesulitan bagi kalian. (QS. al-Baqarah: 185).
Sabda Nabi SAW:

( )
Artinya: Agama itu memudahkan, agama yang disenangi Allah adalah agama
yang benar dan mudah. (HR. Bukhari dari Abu Hurairah).
Dalam ilmu fikih, kesulitan yang membawa kepada kemudahan itu
setidaknya ada tujuh macam yaitu:
1) Sedang dalam perjalanan, misalnya boleh qasar shalat, buka puasa, dan
meninggalkan shalat jumat.
2) Keadaan sakit, misalnya boleh tayamum ketika sulit memakai air shalat
fardhu sambil duduk.
3) Keadaan terpaksa yang membahayakan kepada kelangsungan hidupnya.
4) Lupa, misalnya seseorang lupa makan dan minum pada waktu puasa, lupa
membayar utang tidak diberi sanksi tetapi bukan pura-pura lupa.

5) Ketidaktahuan, misalnya orang yang baru masuk Islam karena tidak tahu,
kemudian makan makanan yang diharamkan, maka dia tidak dikenai
sanksi.
6) Umum al-Balwa, misalnya kebolehan bai al-salam (Uangnya dahulu,
barangnya belum ada). Kebolehan dokter melihat kepada bukan
mahramnya demi untuk mengobati sekadar yang dibutuhkan dalam
pengobatan.
7) Kekurangan mampuan bertindak hukum (al-naqsh), misalnya anak kecil,
orang gila, orang dalam keadaan mabuk.
1. Klasifikasi kesulitan
Dr. Wahbah az-Zuhaili mengklasifikasikan kesulitan dalam 2 kategori,
yaitu:
1) Kesulitan Mutadah
Kesulitan mutadah adalah kesulitan yang alami, dimana manusia mampu
mencari jalan keluarnya sehingga ia belum masuk pada keterpaksaan. Kesulitan
model ini tidak dapat di hilangkan taklif dan tidak menyulitkan untuk melakukan
ibadah. Misalnya seseorang kesulitan mencari pekerjaan, ia dapat pekerjaan yang
sangat berat, keberatan ini bukan berarti diperbolehkan keringanan dalam
melakukan shalat atau puasa dan sebagainya, atau karena kesulitan mencari
maisah itu menggugurkan hukum qishas.
2) Kesulitan Qhairu Mutadah
Kesulitan qhairu mutadah adalah kesulitan yang tidak pada kebiasaan,
dimana manusia tidak mampu memikul kesulitan itu. Karena jika ia
melakukannya niscaya akan merusak diri dan memberatkan kehidupannya, dan
kesulitan-kesulitan ini dapat diukur oleh kriteria akal sehat. Syariat sendiri serta
kepentingan yang dicapainya, kesulitan semacam ini diperbolehkan menggunakan
dispensasi (rukhsah).
2. Tingkatan kesulitan dalam ibadah
Dr. Wahbah az-Zuhaili membagi tingkatan kesulitan dalam ibadah menjadi
3 macam, yaitu:
a) Kesulitan Adhimah
9

Yaitu kesulitan yang dikhawatirkan akan rusaknya jiwa ataupun jasad


manusia.
b) Kesulitan Khofifah
Yaitu kesulitan karena sebab yang ringan, seperti kebolehan menggunakan
muza jika sangat dingin menyentuh air.
c) Kesulitan Mutawasithah
Yaitu kesulitan yang tengah-tengah antara yang berat dan yang ringan.
Berat ringannya kesulitan tergantung pada persangkaan manusia, sehingga tidak
diwajibkan memilih rukhshah juga tidak dilarang memilihnya
3. Bentuk-bentuk keringanan dalam kesulitan
Syekh Izzudin bin Abdis salam menyatakan bahwa bentuk-bentuk
keringanan dalam kesulitan itu ada 6 macam, yaitu:
1. Tahfitul isqoth (meringankan dengan menggugurkan)
Misalnya menggugurkan kewajiban shalat jumat, ibadah haji dan umrah
serta jihad jika ada uzur.
2.

Tahfitul tanqish (meringankan dengan mengurangi)

Misalnya bolehnya menggashar shalat dari 4 rakaat menjadi 2 rakaat.


3. Tahfitul ibdal (meringankan dengan mengganti)
Misalnya dengan mengganti wudhu dengan tayamum, mengganti berdiri
dengan duduk atau berbaring ketika shalat.
4.

Tahfitul taqdim (meringankan dengan mendahulukan waktunya)


Misalnya kebolehan jamak taqdim, yakni shalat ashar dilakukan shalat

zuhur, mendahulukan zakat sebelum setahun, mendahulukan zakat fitrah sebelum


akhir ramadhan.
5.

Tahfitul takhir (meringankan dengan mengakhirkan waktu)


Misalnya jamak takhir, yakni shalat zuhur dapat dilakukan pada waktu

shalat ashar, mengakhiri puasa ramadhan bagi yang bepergian dan yang sakit.
6.

Tahfitul tarkhsih (meringankan dengan kemurahan)


Misalnya kebolehan menggunakan benda najis atau khomr untuk

keperluan berobat.

10

d) Kaidah keempat


Kemudratan itu harus dilenyapkan
Kaidah ini mengisyaratkan bahwa kemudharatan selalu ada dan terjadi
dalam kehidupan manusia, baik pada saat sekarang maupun akan datang. Islam
menginginkan agar kemudharatan itu dihilangkan dari kehidupan manusia.
Kaidah ini dibangun atas dasar dan dalil yang cukup kuat, diantaranya
firman Allah berikut:


Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan
memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu
orang-orang yang beriman". (QS.Al- Araaf: 85)
Ayat ini melarang muslim berbuat kerusakan di muka bumi setelah Allah
memperbaikinya. Kemampuan mentaati ketentuan ini sebagai bukti kebenaran
iman seorang mukmin. Disamping itu, Allah menegaskan bahwa Ia tidak
mencintai orang-orang yang berbuat kerusakan, seperti pada firman-Nya berikut:

11

Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah


tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.(QS.Al-Qashash:77).
Kaidah fiqh di atas juga didasarkan pada hadis Nabi berikut:





Dari Ubadah bin Shamit bahwa Rasulullah Saw. menetapkan tidak boleh
membuat kemudharatan pada diri sendiri dan membuat kemudharatan pada
orang lain (H.R. Ibn Majah)
Kaidah fiqh ini mencakup banyak masalah fiqh dan dapat dijadikan
sebagai dalil dalam menetapkan hukum, baik bidang muamalat, munakahat,
maupun jinayat. Dalam bidang muamalat, kaidah fiqh ini dapat dijadikan dalil
untuk mengembalikan barang yang dibeli karena ada cacat dan memberlakukan
khiyar dengan berbagai macamnya dalam suatu transaksi jual beli karena terdapat
beberapa sifat yang tidak sesuai dengan yang telah disepakati. Begitu pula dapat
dijadikan sebagai dalil untuk melarang mahjur alaih membelanjakan harta
kekayaannya, membatasi melakukan tindakan hukum bagi muflis (orang yang
jatuh pailit), safih (orang dungu) untuk melakukan transaksi dan hak syufah.
Pertimbangan utama diberlakukan ketentuan-ketentuan ini untuk menghindarkan
semaksimal mungkin kemudharatan yang merugikan pihak-pihak yang terkait
dengan transaksi tersebut.
Selain itu, kaidah fiqh ini menjadi dalil pula dalam menetapkan hukum
masalah jinayah. Misalnya, Islam menetapkan adanya hukum qishash, hudud,
kaffarat, mengganti rugi kerusakan, mengangkat para penguasa untuk membasmi
pemberontak dan memberikan sanksi hukum terhadap pelaku kriminal.
Disamping itu, kaidah fiqh tersebut meliputi persoalan munakahah. Diantaranya,
Islam membolehkan perceraian dalam situasi dan kondisi kehidupan rumah tangga
yang tidak berjalan mulus dan serasi, agar suami-istri tidak selalu berada dalam

12

tekanan batin, penderitaan dan tidak mungkin dapat mewujudkan rumah tangga
bahagia.
e) Kaidah kelima


Adat kebiasaan itu ditetapkan sebagai hukum
Dalam penilaian al-Rghib kata urf yang seakar dengan kata marf
merupakan nama bagi suatu perbuatan yang dinilai baik oleh akal dan agama.
Makna ini dapat ditemukan dalam diantaranya dalam firman Allah: (Qs. 3: 104).


Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar
merekalah orang-orang yang beruntung.
Kata urf dan marf dalam Quran dipandang sebagai bagian dari sikap
ihsan. Isyarat ini dapat ditemukan dalam firman Allah: (Qs. 7:199).

13

Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta
berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.
Menurut Ibn al-Najar kata al-urf yang terdapat dalam ayat ini meliputi
segala sesuatu yang disenangi oleh jiwa manusia dan sejalan dengan nilai-nilai
syarah.
Secara istilah, menurut Al-Jurjn urf adalah semua yang telah tetap
dalam jiwa, didukung akal, dan dapat diterima tabiat. Sementara adat merupakan
segala yang dipraktekkan manusia secara terus menerus yang sejalan dengan akal
sehat dan telah menjadi kebiasaan mereka. Al-Jurjn membedakan antara urf dan
adat. Sesuatu yang disebut urf bukan semata karena dapat diterima tabiat, tetapi
juga harus sejalan dengan akal manusia. Sementara sesuatu yang disebut adat
bukan semata-mata sejalan dengan akal sehat, tetapi juga telah dipraktekkan
manusia secara terus menerus sehingga menjadi tradisi di kalangan mereka.
Ab Zahrah membatasi urf menyangkut kebiasaan manusia dalam
kegiatan muamalah mereka. Muamalah yang dimaksud ulama ini sebagai
bandingan dari bagian hukum Islam yang lain, yaitu aspek ibadah. Pembatasan ini
tentu didasarkan pada pertimbangan bahwa umumnya urf terkait dengan kegiatan
muamalah. Sebab, masalah muamalah cukup banyak diatur dalan bentuk prinsipprinsip dasar dalam Quran dan Hadis sehingga berpeluang dimasuki unsur urf di
mana umat Islam berada. Sebaliknya, masalah ibadah yang sudah dijelaskan
secara rinci kecil kemungkinan dimasuki unsur urf setelah sumber hukum Islam,
Quran dan Hadis lengkap diturunkan.
Mushthaf Ahmad Zarq menyimpulkan bahwa urf bersumber dari adat
kebanyakan kaum dalam bentuk perkataan atau perbuatan. Ia tampaknya tidak
mensyaratkan sesuatu yang disebut urf dilakukan oleh semua orang, tetapi cukup
dilakukan oleh mayoritas kaum atau masyarakat. Dalam hal ini, urf tidak hanya
cukup dalam bentuk perbuatan, dapat pula berupa perkataan.

14

Makna adat dalam kaidah fiqh di atas meliputi urf dalam bentuk
perkataan dan perbuatan atau bersifat umum maupun khusus. Kaidah ini
mengisyaratkan adat dapat dijadikan sebagai dasar dalam menetapkan hukum
Islam ketika nash tidak ada. Adat atau urf berbentuk umum dapat berlaku dari
masa sahabat hingga masa kini yang diterima oleh para mujtahid dan mereka
beramal dengannya. Sementara urf khusus hanya berlaku pada lingkungan
masyarakat tertentu yang terkait dengan urf itu.
Menurut al-Suyth, banyak sekali masalah hukum Islam yang didasarkan
pada kaidah ini, diantaranya penentuan usia haid, lama masa suci dan haid, usia
baligh, lama masa nifas, batasan sedikit najis yang dapat dimaafkan, batasan
berturut-turut (muwalat) dalam wudhu, jarak waktu ijb dan qabl, jual beli
salam, jual beli muthah, merawat bumi yang tidak bertuan (ihy al-mawt),
masalah titipan, memanfaatkan harta sewaan, masalah hidangan yang boleh
dimakan ketika bertamu, keterpeliharaan harta di tempat penyimpanan dalam
masalah pencurian, dan menerima hadiah bagi hakim.
Kaidah fiqh tentang urf atau adat di atas dapat dijadikan sebagai dalil
yang mengkhususkan keumuman nash. Dalam nash dijelaskan tentang larangan
melakukan jual beli yang diiringi dengan syarat seperti yang ditegaskan Hadis
berikut:



.

Dari Abdullah bin Umar, ia berkata: Rasulullah SAW. bersabda: tidak halal jual
beli salam, dua syarat dalam satu akad jual beli, mengambil keuntungan yang
tidak disertai jaminan, dan jual beli sesuatu yang tidak ada padamu. (H.R.
Ahmad)
Larangan melakukan jual beli yang diiringi dengan syarat dalam Hadis ini
bersifat umum yang kemudian ditakhsis oleh urf. Atas dasar ini, bay al-waf,

15

dimana merupakan jual beli yang diiringi dengan syarat dibolehkan hukum Islam.
Bagi mayoritas ulama mazhab Hanafi pembolehan bay al-waf karena membawa
manfaat yang banyak bagi kehidupan masyarakat dalam kegiatan muamalah
mereka. Jual beli ini sebagai jalan keluar menghindarkan diri dari riba.
Praktek bay al-waf berasal dari tradisi masyarakat Bukhra dan Balkh
pada pertengahan abad ke 5 H. Hal ini muncul karena para pemilik modal tidak
mau memberi hutang kepada mereka yang membutuhkan dana, apabila mereka
tidak mendapat imbalan. Situasi ini menyulitkan masyarakat yang membutuhkan
dana. Untuk itu, mereka menciptakan transaksi sehingga kebutuhan masyarakat
terpenuhi dan keinginan orang kaya pun tercapai. Ini alasan mereka membolehkan
bay al-waf.
Sejalan dengan penjelasan terdahulu, hakim dan mufti tidak boleh
menetapkan putusan dan fatwanya dengan semata-mata berpegang pada al-qawaid
al-fiqhiyyah. Hakim dan mufti tersebut boleh menggunakan al-qawaid alfiqhiyyah dalam menjalankan tugasnya apabila menemukan dalil (nash) fiqh yang
dapat dijadikan sebagai sandaran dalam menyelesaikan kasus yang dihadapinya.
Apabila suatu kasus tidak ditemukan nash fiqh sebagai dasarnya karena
tidak diketahui bahasan fuqaha tentang hal itu, tetapi ada kaidah fiqh yang dapat
mencakup peristiwa atau kasus itu, dalam situasi demikian dibenarkan
melandaskan fatwa dan putusan hakim di pengadilan menggunakan kaidah fiqh.
Contoh- contoh:
1. Seorang menjahit pakaian kepada tukang jahit atau seorang mahasiwa
hendak memperbanyak naskah skripsinya, maka siapakah yang harus
membelikan benang atau mengusahakan karbonnya adalah tergantung
kebiasaan setempat, bila tidak diperjanjikan terlebih dahulu. Jika menurut
kebiasan tukang jahit yang harus mengusahakan benangnya, maka tukang
jahitlah yang harus membelikan dan jika menurut adat kebiasaan

16

mahasiswa yang harus mengusahakan karbonnya maka ia harus


mengusahakan.3
2. Menurut kebiasaan yang berlaku makanan yang disuguhkan tamu, boleh
dimakan tanpa membayar, tetapi jika ada ketentuan yang lain, hendaknya
ada keterangan lebih dahulu baik dengan menyodorkan daftar harga,
maupun dengan pengumuman.
3. Pemberian uang muka kepada pegawai sebelum besluit pensiunnya turun
atau sebagian honorium mengajar kepada pengajar yang belum selesai
dalam menjalankan tugasnya adalah diperkenankan, karena memang
demikian adat yang sudah berlaku.
Biarpun suatu perbuatan sudah menjadi adat kebiasaan yang sangat tenar
dimasyarakat, tetapi karena perbuatan itu bertentangan dengan ketentuan syariat,
misalnya dalam pesta selalu disajikan minuman keras atau disediakan alat-alat
penjudian, maka adat yang demikian itu tidak dapat dioper menjadi ketetapan
syariat yang dibolehkan.

3 prof. D., Mukhtar Yahya dan Prof. Dr. Fatchrur Rahman, Dasar-dasar
Pembinaan Hukum Fiqh Islami, (Bandung: PT Almaarif. 1986).Hal 519520.

17

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Qawaidul fiqiyyah yaitu kaidah-kaidah yang bersifat umum (kulli) yang
mengelompokkan masalah-masalah fiqih terperinci menjadi beberapa
kelompok.
1. Macam-macam qaidah fiqhiyah kulliyah itu ada lima:





Perannya dalam pengembangan dan penerapan hukum islam ialah:
1) dengan mempelajari qaidah fiqhiyyah, seseorang telah memiliki
pedoman untuk menetapkan hukum untuk setiap peristiwa fiqhiyyah,
seperti bayi tabung, transplantasi organ tubuh dan sebagainya.
2) berfungsi sebagai tempat bagi para mujtahid untuk mengembalikan
seluruh seluk beluk masalah fiqhiyyah dan sebagai qoidah (dalil) untuk
menetapkan hukum masalah-masalah baru yang telah ditunjuk oleh nash
yang sharih yang sangat memerlukan untuk ditentukan hukumnya.
B. SARAN
Kami menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak ditemukan
kekurangan-kekurangan, untuk itu kepada dosen pembimbing kami sangat
berharap kritik dan sarannya demi kesempurnaan makalah kami kedepannya.

18

DAFTAR PUSTAKA
Syafei, Rachmat Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Djazuli Acep, Kaidah-kaidah Fiqih, Jakarta: Kencana, 2007.
Yahya Mukhtar danFatchrur Rahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh
Islami, Bandung: PT Almaarif. 1986.

19

Anda mungkin juga menyukai