Anda di halaman 1dari 14

Makalah Kaidah Fiqhiyah

“Kaidah Ghairu Assasiyah yang diperselisihkan”

Diusun Oleh :

1. Cintia Nola 200440127


2. Amelia Safira 200440006
3. Riski Hermawan 200440084

PROGRAM STUDI KAIDAH FIQHIYAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr. Wb

Puji syukur ke hadirat ALLAH SWT yang maha kuasa atas segala limpahan
rahmat.taufik dan hidayah-nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini dalam bentuk
maupun isi yang sangat sederhana.semoga makalah ini dapat di perunakan sebagai salah satu
acuan.petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam administrasi pendidikan dalam ekonomi
syariah.

Dalam penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik
pada teknik penulisan maupun materi.mengingat kemampuan yang di miliki penulis.untuk itu
kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi meyempurnakan makalah ini.

Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak
terhingga kepada pihak yang membantu menyelesaikan makalah ini.

Akhirnya penulis berharap semoga allah memberikan imbalan yang setimpal pada mereka yang
memberikan bantuan dan dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai ibadah.amin yaa
robbal’alamin.

Penyusun

Kelompok 5
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………….

DAFTAR ISI……………………………………………………………………………….

BAB 1 PENDAHULUAN…………………………………………………………………

A. Latar Belakang……………………………………………………………………..
B. Rumusan Masalah………………………………………………………………….

BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………………….

A. Pengertian Kaidah Ghairu Asassiyah yang Mukhtalaf Fiha……………………….


B. Macam-Macam Kaidah Ghairu Asassiyah yang
Mukhtalaf Fiha Beserta Contohnya………………………………………………..
C. Manfaat kaidah Ghairu Asassiyah………………………………………………….

BAB III PENUTUP………………………………………………………………………

KESIMPULAN…………………………………………………………………………..

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………….
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kaidah-kaidah fiqh adalah kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari


materi fiqh dan kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus
baru yang timbul, yang tidak jelas hukumnya dinash.

Adapun manfaatnya adalah memberi kemudahan didalam menemukan hukum-


hukum untuk kasus-kasus hukum yang baru dan tidak jelas nashnya dan kemungkinan
menghubungkannya dengan materi-materi fiqh yang lain yang terbesar diberbagai kitab
fiqh serta memudahkan di dalam memberikan kepastian hukum.

Para ulama fiqh mengklasifikasikan kaidah-kaidah tersebut kepada kaidah fiqh


asassiyah dan kaidah fiqh ghairu asassiyah yang terdiri dari muttafaq ‘alaih dan
mukhtalaf fiha.

Dalam makalah ini akan dikupas tentang dua puluh kaidah, para fuqaha pun telah
sepakat tentang kehujahan ini dan tentu saja kaidah tersebut tidak lepas dari sumber-
sumber hukum isla, karena itulah kaidah ini disebut sebagai “kaidah kulliyah.”

B. Rumusan Masalah
1. Penjelasan tentang kaidah Ghairu Asassiyah yang Mukhtalaf Fiha?
2. Contoh dari kaidah Ghairu Asassiyah yang Mukhtalaf Fiha?
3. Manfaat dari kaidah Ghairu Asassiyah yang Mukhtalaf Fiha?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kaidah Ghairu Asassiyah yang Mukhtalaf Fiha

Kaidah ghairu asasi termasuk dalam kategori kaidah fikih, bukan kaidah ushul. Kaidah
fikih adalah kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fikih dan kemudian
digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru timbul, yang tidak jelas
hukumnya dalam nash. Sebelum mengetahui apa makna atau arti dari kaidah ghairu asasi,
perlu diketahui apa makna kaidah asasi itu sendiri. Kaidah Asasi atau yang terkenal juga
dengan sebutan al-Qawaid al-Khamsah adalah lima kaidah yang mencakup hampir seluruh
kaidah fikih.

Menurut penulis, Kaidah Ghairu Asasi adalah kaidah-kaidah yang bukan asasi. Dapat
juga diartikan dengan kaidah-kaidah yang ruang lingkupnya di bawah kaidah asasi. Karena di
bawah kaidah asasi, maka cakupan Kaidah ghairu asasi berkurang dan tentu jumlahnya lebih
banyak daripada kaidah asasi.

B. Macam-Macam Kaidah Ghairu Asassiyah yang Mukhtalaf Fiha Beserta Contohnya

Menurut Abdurrahman as-suyuthi dalam ”Al- asybah wa nadhoir” menyebutkan 20


kaidah yang diperselisihkan, yaitu :

1. Kaidah Pertama

ُ ‫ست َ ِقلَّة‬
ْ ‫ص ْو َرةٌ أ َ ْم ص َََل ةُ ُم‬ ُ ُ‫ا َ ْل ُج ْمعَة‬
ُ ‫ضه ٌْر َم ْق‬
“shalat jum’at itu merupakan sholat Dzuhur yang diringkas, ataukah shalat tersendiri?”.

Menanggapi kaidah tersebut ada dua macam pendapat :


a. Salat jumat sebagai salat dzuhur yang diringkas, karena itu orang yang berpergian
boleh menjamak jumat dengan ashar, baik jama’ taqdim maupun jama’ ta’khir
b. Salat jumat sebagai keadaan salat jumat sendiri bukan merupakan salat yang lain,
karena itu niatnya harus niat salat jumat bukan salat dzuhur

Apabila salat jumat diniati dengan salat dzuhur yang diringkas, maka menurut hakikatya
sudah sah, tetapi menurut fungsinya tidak sah, karena niat itulah sebenarnya yang
membedakan setiap amalan.
2. Kaidah Kedua

‫عة أ َ ْو اِ ْف َر اد‬
َ ‫ص ََلةُ َج َما‬ َّ ‫ث اْل َمجْ ُه ْو ِل اْل َحا ِل ِإذَا قُ ْلنَا بِال‬
َ ‫ص َّح ِة َه ْل ِه َي‬ َ ‫الَص َََّلةُ َخ ْل‬
ِ ‫ف اْل ُمحْ ِد‬
“salat (makmum) di belakang imam yang berhadas dan tidak diketahui kondisi itu,
jika salatnya diketahui sah, apakah sahnya itu karena salat jamaah atau karena salat
sendirian.”

Jika seorang imam menjadi imam dalam salat dan jumlah jamaah sudah cukup walaupun
dikurangi imam, sedang imam dalam keadaan berhadas, maka salat jamahnya dianggap
sah, karena itu mereka semua mendapat pahala jamaah. Jika imam lupa bahwa ia berhadas
atau makmumnya lupa bahwa imamnya berhadas, kemudian dalam salat itu ia ingat dan
memisahkan diri dari jamaah sebelum salam, jika makmum menginginkansalat jamaah
maka ia harus sujud sahwi karena lupanya imam, bukan karena kelupaan dirinya.

3. Kaidah ketiga

ُ ‫َل أ َْوَﺗْﺒ‬
ُ‫ﻄل‬ ً ‫َل ُﺗُه َﻧْﻔ‬
َ َ‫ضُه َوَه ْل ِه َﻰ َﺗْﺒَقﻰ ص‬ َ ‫النْﻔِل ِفﻰ أ ََّوِل َفْرﺽ أ َْوأ َْﺛنَا ئِ ِه َب‬
ُ ‫ﻄَل َفْر‬ َّ ‫ﻥ‬َ ‫ﺽ ُدْو‬ َ ْ‫ﻦ أ ََﺗﻰ بَِما ﻳَُنا فِﻰ ا‬
َ ‫لﻔْر‬ ْ ‫َم‬
“Barangsiapa yang melakukan perbuatan dengan membatalkan perbuatan fardu,
bukan perbuatan sunnat, diawal atau ditengah-tengah perbuatan fardu, maka perbuatan
fardunya menjadi batal, tetapi apakah perbuatan itu menjadi perbuatan sunnat ataukah
batal secara keseluruhan.”

Kaidah tersebut menimbulkan dua pendapat, yaitu:

1. Bila seorang melakukan salat fardu sendirian, kemudian ada salat jamaah dan karena
ingin mengikuti salat jamaah, maka ia salam setelah dua rakaat, maka salatnya tetap sah,
dan salatnya berstatus salat sunnah.

2. Bila seorang telah melakukan takbiratul ihram untuk salat fardu sebelum masuknya
waktu atau karena ia membatalkan salat fardunya untuk ditukarkan kepada fardu yang lain,
tau untuk berpindah kepada salat sunnah tanpa sebab, maka salatnya d ianggap tidak sah.

4. Kaidah Keempat
‫ب أ َ ِوا ْلجَا ئِ ِز‬
ِ ‫اج‬ َ ْ‫سلَكَ ا‬
ِ ‫لو‬ ْ ُ‫اَلنَّذْ ُر َه ْل ﻳ‬
ْ ‫سلَكُ بِ ِه َم‬

“Realisasi nazar, apakah apakah dilakukan seperti mengerjakan pekerjaan wajib,


ataukah pekerjaan jaiz.”

Kaidah tersebut menimbulkan dua pendapat, yaitu:

1. Dilaksanakan seperti pelaksanaan ibadah wajib, misalnya; nazar salat, puasa maupun
kurban, maka salat , puasa, ataupun kurban itu harus dilakukan sebagaimana pekerjaan
wajib. Kalau salat harus berdiri, tidak boleh duduk bila kuasa, puasanya harus berniat
dimalam hari, tidak boleh siang hari seperti puasa sunnat, sedang kurbanya harus hewan
yang cukup umur serta tidak cacat.

2. Dilaksanakan seperti pelaksanaan ibadah jaiz, seperti memerdekakan budak, sehingga


boleh memerdekakan budak kafir atau budak cacat.

5. Kaidah Kelima

‫َه ِل اْل ِعﺒ َْرةُ بِ ِصيَ ِغ ا ْلعُقُ ْو ِد أ َ ْوبِ َمعَا ﻧِ ْي َها‬

“Apakah ungkapan itu yang dianggap bentuk akadnya tau maknanya.”

Misalnya ada orang yang mengadakan transaksi dengan berkata “saya beli bajumu dengan
syarat-syarat demikian dengan harga sekian” kemudian penjual menjawab “iya jadi”, jika
melihat akadnya bentuknya jual beli, namun jiak melihat maknanya merupaakan akad
salam (pesanan). Demikian juga jika orang berkata “saya jual bajuku padamu” tanpa
menyebutkan harganya. Bila dilihat dari maknanya berarti hibah, tetapi sudut lafalnya
berarti jual beli. Bila hibah maka diperbolehkan tetapi jika dipandang jual beli, maka
merupakan jual beli yang fasid (rusak).

6. Kaidah Keenam

‫ب اْل َع ِار َﻳة‬


ٌ ‫اﻥ ا َ ْوجَا ِﻧ‬ َّ ‫ب ال‬
ِ ‫ض َم‬ ُ َّ‫لر ْه ِﻦ َه ِل اْل ُمغَل‬
ُ ‫ب ِف ْيهَا جَا ِﻧ‬ َّ ‫ارةُ ِل‬ ْ ‫ا َ ْل َع ْيﻦُ اْل ُم‬
َ ‫ست َ َع‬

“Barang yang dipinjam untuk gadai, apakah layak sebagai jaminan ataukah sebagai
pinjaman.”

Barang pinjaman untuk jaminan gadai dipegang oleh pemberi gadai, apakah yang
mempunyai barang tersebut boleh meminta kembali? Kalau barang tersebut dianggap
sebagai pinjaman, maka dapat kembaliatau diambil, sedaang jika sebagai jaminan maka
tidak dapat diminta kembali kecuali sudah dilunasi utangnya. Demikian juga, jika barang
itu rusak, maka pihak gadai harus mengganti, jika sebagai pinjaman, tetapi tidak wajib
mengganti, jika sebagai jaminan.

7. Kaidah Ketujuh

ْ ‫ا ْلح ََوا لَةٌ َه ْل ِه َي بَ ْي ٌع ا َ ِو ا‬


‫ستِﻔَا ٌء‬

“Apakah hiwalah (pemindahan utang) itu merupakan jual beli ataukah kewajiban
yang dipenuhi.”

Jika hiwalah merupakan kewajiban yang harus dipenuhi, maka tidak ada khiyar baginya
(pilihan untuk ditangguhkan), namun bila dianggap jual beli maka ia berlaku persyaratan-
persyaratan sebagaimana jual beli , yakni bila ada cacatnya dapat dikembalikan, atau bila
tidak senang dapat dikembalikan kembali (khiyar majlis), namun apabila sebagai istifa’
maka tidak ada persyaratan tersebut.

8. Kaidah Kedelapan

ٌ‫سقَاطٌ أ َ ْوﺗ َ ْم ِل ْيك‬


ْ ِ‫ا َ ْ ِْل َرا ُء ِه َﻰ إ‬

“Pembebasan utang, apakah sebagai pengguguran utang, ataukah merupakan


pemberian untuk dimiliki.”

Pembebasan utang yang tidak diketahui jumlah utangnya oleh orang yang membebaskan,
maka yang lebih sah adalah pemberian untuk dimiliki dan tidak sah pengguguranya,
sedanfkan kalau pemberi membebaskan dengan mengetahui jumlah uangnya, maka yang
lebih sah dengan isqoth (pengguguran). Demikian juga pembebasan utang dari salah satu
orang, maka yang lebih sah adalah pemberian untuk dimiliki (tamlik) dan jika ibro’nya
dikaitakan dengan sesuatu (tempat,keadaan) maka yang sah adalah tamlik, kalu disyaratkan
adanya qobul maka yang sah dengan isqoth (pengguguran), sedang tamlik tidak
disyaratkan adanya qobul.

9. Kaidah Kesembilan

ْ َ‫ا َ ْ ِْلقَالَةُ َه ْل ِه َي ف‬
‫س ٌخ أ َ ْوبَ ْي ٌع‬
“iqolah (pencabutan jual-beli terhadap orang yang menyesal) adakah itu
merupakan pembatalan jual-beli ataukah merupakan jual-beli (keduakalinya)”.

Misalnya seseorang membeli budak kafir dari penjual kafir, kemudian budak tersebut
menjadi muslim dan penjual menghendaki iqalah. Kalau iqalah itu dipandang sebagai jual-
beli maka dianggap sah seperti mengembalikan barang pembelian karena adanya cacat.
Sedangkan kalau iqalah dianggap sebagai fasah (pembatalan) maka tidak perlu adanya ijab
qabul, sedangkan jika dianggap jual beli maka memerlukan ijab qabul baru.

10. Kaidah Kesepuluh

َ ‫ع ْقد أ َ ْو‬
‫ض َماﻥَ َﻳد‬ َ َ‫ض َماﻥ‬
َ ٌ‫ض ُم ْوﻥ‬ ِ ‫ج قَ ْﺒ َل ا ْلقَﺒ‬
ْ ‫ْض َم‬ َّ ‫ق ا ْل ُم َع َّيﻦُ ِفﻰ َﻳ ِد‬
ِ ‫الز ْو‬ ُ ‫صدَا‬
َّ ‫ال‬

“Maskawin yang sudah ditentukan dan masih dalam genggaman suami yang belum
diterima oleh istri, hal itu merupakan barang yang di jamin oleh suami berdasrkan akad
ataukah dijamin sebagai barang yang diambil dari tangan istri.”

Artinya, maskawin kalau dianggap sebagai barang yang dijamin akad maka tidak sah untuk
dijual sebelum diterima, sedangkan kalau dianggap hak milik istri maka boleh dijual
walaupun barangnya masih disuaminya. Demikian juga jika maskawin yang ditangan
suami itu rusak atau hilang, maka harus diganti sesuai dengan maskawin misil istri, karena
jaminan berdasarkan akad. Tetapi kalau dianggap sebagai barang yang diambil dari tangan
istri maka harus diganti persis seperti wujud semula atau seharga mahar itu.

11. Kaidah Kesebelas

‫اﺡ َاَّو َﻻ‬


ْ ‫ﻄُع َاْلِنَﻜ‬
َ ‫ي َهْل َﻳُق‬
ْ ‫جِع‬
ْ ‫ق ِالُر‬
ُ ‫َل‬
َ ‫ﻄ‬
َ ‫َاْل‬

“Thalaq raj’i apakah itu merupakan pemutusan nikah atau tidak.”

Seandainya suami menggauli istri dalam masa iddahnya, kemudian baru merujuknya, maka
wajib membayar mahar menurut pendapat yang menyatakan rujuk termasuk memutus
pernikahan, dan kalau suami meninggal, istri tidak boleh memandikanya menurut pendapat
yang absah, tetapi menurut pendapat yang kedua boleh memandikanya sebagaimana masih
suami istri. Bila hal itu dianggap putus maka berakibat haram melihat aurat, dan bergaul
dengan istri, namun jika dianggap tidk putus, maka berkaibat wajib memberi nafkah,
mempunyai hak waris. Menilai kaidah tersebut, maka muncul pndapat ketiga, yaitu talak
Raj’i masih mauquf sampai habis masa iddahnya.
12. Kaidah Keduabelas

ُ ‫ابَهُة َاْلَيِم‬
‫يﻦ‬ َ ‫ﺸ‬َ ‫ق َا ْو ُم‬
ُ ‫َل‬
َ ‫الﻄ‬
َّ ‫ﺸا َبَهُة‬
َ ‫ب ِفْيِه ُم‬
ْ ‫ار َهْل َاْلَمْغُل‬
ُ ‫ﻈَه‬
ِّ ‫َاْل‬

“Dhihar itu apakah selayaknya serupa dengan talak, ataukah serupa dengan
sumpah.”

Misalnya ada seorang yang mendhihar (menyamakan punggung istri dengan punggung
ibunya) empat istrinya dengan satu kalimat. Misalnya “engkau semua seperti punggung
ibuku.” Jika ia ingin kembali pada istrinya ia harus membayar empat kafarat karena
diserupakan dnegan talak, tetapi jika lebih diserupakan dengan sumpah maka cukup
membayar satu kafarat, yakni kafarat sumpah. Jika diserupakan dengan talak maka boleh
dengan lisan atau tulisan, tetapi jika dengan sumpah maka harus dengan lisan.

13. Kaidah Ketigabelas

ً‫ﻉ َاَّو ﻻ‬
ِ ‫الﺸُرْو‬
ُّ ‫ﻦ ِب‬
ُ ‫ﺽ ْالِﻜَﻔا َﻳُة َهْل ُﻳَتِعْي‬
ُ ‫َفْر‬

“Fardu kifayah, apakah menjadi fardu ‘ain setelah dilaksanakan atau masih tetap
sebagai fardu kifayah“.

Pendapat yang lebih syah adalah bahwa shalat jenazah apabila sesorang telah memulai
menegrjakan maka haram baginya untuk meninggalkan, karena hal itu bagai fardu ‘ain,
demikian pula kasus jihad. Diharamkan meninggalkan bila sudah memulai berjihad
(berperang), bahkan sangat dibenci jika hal itu dilakukan, karena hal itu merupakan
kemunafikan. Bagi al-Ghazali menyatakan bahwa pendapat itu khusus fardu kifayah shalat
jenazah dan jihad, selainya tidak mengubah status fardu kifayah.

14. Kaidah Keempatbelas

ْ ‫ﻱ َلْﻢ َﻳَزْل أ َْو َﻛَّالِذ‬


‫ﻱ َلْﻢ َﻳُعْد‬ ْ ‫َاْلزّ ِائُل ْالَعِائُد َهْل ُهَو َﻛَّالِذ‬

“Suatu yang hilang kemudian kembali, apakah hukumnya seperti tidak hilang
sebagaimana sedia kala ataukah sebagai barang baru”.

Kaidah tersebut menimbulkan dua pendapat , yaitu:


1. Dianggap sebagaiamana sedia kala, misalnya wanita yang telah ditalak sebelum
digauli, maka hilang kemilikanya atas mahar, kalau suamianya kemabali maka kembali
pula hak pemilikanya terhadap mahar seperti mahar semula. Harta yang pada ahir tahun
perlu dizakati kemudian hilang ditengah tahun yang kemudian kembali maka tetap
pada ahir tahun dizakati seperti tidak hilang, dan juga orang memukul orang lain
hingga rusak penglihatan, kemudian penglihatan kembali maka gugur hukum qashas
atas orang itu.
2. Dianggap sebagaimana barang baru, mislanya hakim gila atau hilang keahlianya,
kemudian sembuh atau kembali keahlianya maka tidak kembali kekuasaan hakimnya.

15. Kaidah Kelimabelas

ِ ‫ال َا ْو ِبْالَم‬
‫ال‬ ِ ‫ح‬َ ‫العْﺒَرُة ِبْال‬
ِ ‫َهْل‬

“Apakah ungkapan itu menurut keadaan atau menurut bendanya.”

Misalnya ada seorang menjadi imam dengan berpakaian yang menutup aurat, tetapi ketika
ruku’ pakianya robek. Pendapat yang kuat adalah bahwa apa yang akan terjadi itu tidak
dijadikan seperti apa yang terjadi, jadi makmum tetap sah dengan niat infirod (memisahkan
diri dari shalat jamaah) ketika robek pakaian imam.

16. Kaidah Keenambelas

‫ﺹ َهْل َﻳْﺒَقﻰ العُُمْوُم‬


ِ ‫صْو‬
ُ ‫ﺨ‬
ُ ‫ﻄُل ْال‬
َ َ‫ِاَذا ب‬

“Apabila kekhususanya batal maka masih tetap keumumanya.”

Misalnya seseorang telah melakukan takbiratul ihram pad shalat yang belum masuk
waktunya, mka batallah kekhususanya (niat shalat wajib itu) tetapi menurut pendapat yang
absah masih dianggap berlaku keumuman takbir itu untuk shalat sunnah. Demikian juga
orang yang bertayamum untuk shalat wajib sebelum waktunya, maka batal tayamumnya
untuk digunakan shalat wajib (sebab kebolehan tayamum adalah menunggu waktu shalat
wajib tiba) serta tidak boleh digunakan sholat sunnat, lain lagi jika niyatnya untuk
tayamum sholat sunnat maka diperbolehkan.
17. Kaidah Ketujubelas

ِ‫جُهوْل‬
ْ ‫الم‬
َ ‫المْعُلْوُم َاْو‬
َ ‫ﺣْﻜُﻢ‬
ُ ‫ي‬
ْ ‫ﻄ‬
ِ ‫حَمُل هَ ْل ُﻳْع‬
ِ ‫َاْل‬

“Anak yang masih dalam kandungan, apakah dihukumi seperti sesuatu yang telah
diketahui ataukah sebagai sesuatu yang belum diketahui.”

Misalnya mengenai penjualan biantang yang bunting “hamil” menurut pendapat yang
absah hal itu tidak diperkenankan, karena yang dalam kandungan itu masih majhul tidak
tidak diketahui kriterianya, demikian juga tidak sah menjual binatang dalam perut
induknya karena hal itu tidak diketahui, sedang dalam masalah waisat pada anak dalam
kandungan itu diperbolehkan, karen ahak itu sudah jelas. Tetapi dalam hal waris-mewarisi,
maka anak dalam kandungan dianggap laki-laki saja, sebab dengan begitu maka ketika ia
lahir laki-laki maka bagianya sebgaimana mestinya, tetapi jika wanita maka uang warisan
yang lebih dapat dibagikan lagi pada yang lain.

18. Kaidah Kedelapanbelas

ِ‫سه‬
ِ ‫س ِه َاوْ ِبَنْﻔ‬
ِ ‫جْن‬
ِ ‫حﻖُّ ِب‬
َ ‫ادُر َهْل َﻳْل‬
َ ‫َاْلِّن‬

“Sesuatu yang jarang terjadi, apakah dikaitkan dengan jenisnya ataukah menurut
keadaanya sendiri.”

Misalnya hukum menyentuh penis laki-laki yang telah putus, menurut pendapat yang lebih
kuat adalah membatalkan wudlu, karena secara hakiki adalah menyentuh alat kelamin.
Sedangkan jika menyentuh anggota tubuh wanita yang telah terputus dari induknya maka
tidak membatalkan, karena hal itu tidak menyentuh wanita lagi. Demikian juga orang yang
mempunyai anggota badan lebih, misalnya jarinya 6 (enam), maka wajib juga dibasuh saat
berwudhu.

19. Kaidah Kesembilanbelas

ِ‫ﻦ‬
ّ ‫لﻈ‬
َ ‫خُذ ِبا‬
َ ‫اﻷ‬
َ ‫اد َو‬
ُ ‫جِتُه‬
ْ ‫اﻻ‬
ِ ‫ﻦ َهْل َلُه‬
ِ ‫عَلﻰ اليَِقْي‬
َ ‫ادُر‬
ِ ‫َاْلَق‬

“Orang yang kuasa menuju yang yakin bolehkah baginya berijtihad berdasarkan
perkiraan.”

Secara umum seorang mujtahid tidak boleh berijtihad jika mendapatkan nash, karena nash
merupakan suatu keyakinan dan dia tidak boleh mengabaikan nash tersebut, sedangkan
ijtihad merupakan keputusan dhon dibanding nash. Misalnya seseorang mempunyai dua
baju, yang stau suci, sedang yang lain najis, maka dia boleh meneliti (berijtihad) mana
yang suci untk dipergunakan walaupun ia dapat berganti dengan pakaianya lain yang jelas
suci. Namun seseorang tidak sah shalat menghadap hijr ismail, karena yang yakin jelas
diketahui, yakni menghadap ka’bah.

20. Kaidah keduapuluh

ِ ‫ار‬
‫ﻥ‬َ ‫المَق‬
ُ ‫ﺉ َهْل ُهَو َﻛ‬
ُ ‫ار‬
ِ ‫الﻄ‬
َ ‫اﻧُع‬
ِ ‫َاْلَم‬

“Halangan yang datang kemudian, apakah ia seperti bercampur.”

Kaidah tersebut ada dua pendapat , sebagian menganggap seperti bercampur seperti
menambah air sehingga menjadi banyak yang semua jenis. Selesainya orang yang
istihadloh ditengah-tengah menjalankan sholat. Murtadnya seseorang yang sedang ihram,
serta perubahan niat yang buruk yang semula baik dalam bepergian, maka kasus tersebut
hukum airnya menjadi suci, sholatnya menjadi batal, dan ihramnya juga batal dan tidak ada
rukhsoh baginya.

C. Manfaat kaidah Ghairu Asassiyah yang Mukhtalaf Fiha


1. Kaidah Asassiyah Al-mukhtalaf fiha adalah diantara ilmu syar’i yang jika dipelajari
termasuk daam beribadah kepada Allah.
2. Kaidah Ghairu Asassiyah Al-mukhtalaf Fiha akan menolong para penuntut ilmu
dalam menyelesaikan masalah perselisihan yang ada.
3. Kaidah Ghairu Asassiyah Al-mukhtalaf Fiha dapat menyelesaikan berbagai masalah-
masalah baru.
4. Kaidah Ghairu Asassiyah Al-mukhtalaf Fiha akan menolong para qadhi dan hakim
untuk menyelesaikan berbagai masalah perselisishan dalam segala hal.
5. Kiadah Ghairu Asassiyah Al-mukhtalaf Fiha mengajarkan bagaimana baiknya
menyelesaikan masalah perselisihan sesuai syariat.
BAB III

PENUTUP

A. Daftar Pustaka
http://iethafairuz.blogspot.com/2014/11.kaidah-ghoiru-asasiyah.html?m=1
https://wakidyusuf.wordpress.com/2017/02/04/20-kaidah-fiqh-yang-diperselisihkan-
mukhtalaf-fiha-beserta-contihnya/

Anda mungkin juga menyukai