Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH KELOMPOK 12

Kaidah Khusus Dalam Skala Prioritas

Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Qawaid Fiqiyah

Dosen Pengampu: Dra. Azizah M.A.

Disusun Oleh

Ilham Majid (11180440000113)

Kholilullah Rambe (11180440000080)

JURUSAN HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala nikmat-Nya sehingga
kami dapat menyusun makalah yang berjudul “Kaidah Khusus Dalam Skala
Prioritas” tepat pada waktunya. Tidak lupa selawat serta salam selalu kami haturkan
kepada junjungan terbaik baginda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihu
Wasasallam selaku tauladan terbaik hingga akhir zaman. Semoga Allah
melimpahkan rahmat kepada beliau, serta kepada keluarga, sahabat, tabi’in dan
orang-orang yang selalu mengikuti sunnahnya.

Makalah ini disusun dengan bantuan dan dukungan berbagai pihak


diantaranya Ibu Dra. Azizah M.A. selaku dosen pengampu mata kuliah Qawaid
Fiqhiyyah. Oleh karena itu, kami sampaikan terima kasih atas waktu, tenaga dan
fikirannya yang telah diberikan.

Kami menyadari bahwa makalah ini memiliki banyak kekurangan dan jauh
dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari para pembaca sangat
dibutuhkan untuk perbaikan di masa yang akan datang. Kami berharap makalah ini
dapat memberikan manfaat kepada para pembaca.

Jakarta, 16 April 2020

Pemakalah

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................ ii


DAFTAR ISI ............................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................... 1
1.3. Tujuan ................................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Kaidah-Kaidah Khusus di Bidang Ibadah Mahdhah ............................... 2
B. Kaidah-Kaidah Khusus di Bidang Muamalah ......................................... 4
C. Kaidah-Kaidah Fiqh dalam Menentukan Skala Prioritas ........................ 7

BAB III PENUTUP


3.4 Simpulan ................................................................................................ 12

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 13

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Banyak kaidah fikih yang ruang lingkup dan cakupannya lebih sempit dan isi
kandungannya lebih sedikit. Kaidah yang semacam ini hanya berlaku dalam cabang-cabang
fikih tertentu dan disebut al-qawaid al fiqhiyyah al-khashshah atau juga disebut al-dhabith
oleh sebagian ulama. Sebagai landasan aktivitas umat islam sehari-hari dalam usaha
memahami maksud-maksud ajaran islam (maqasid al-Syari’ah) secara lebih menyeluruh,
keberadaan qawaid Fiqhiyyah menjadi sesuatu yang amat penting. Baik di mata para ahli
ushul maupun fuqaha, pemahaman terhadap qawa’id Fiqhiyyah adalah mutlak diperlukan
untuk melakukan suatu ijtihad atau pembaruan pemikiran dalam masalah ibadah, muamalah,
dan skala prioritas. Manfaat keberadaan qawa’id fiqhiyyah adalah untuk menyediakan
panduan yang lebih praktis yang diturunkan dari teks dan jiwa nash asalnya yaitu al-Qur’an
dan al-Hadis yang digeneralisasi dengan sangat teliti oleh para ulama terdahulu dengan
memperhatikan berbagai kasus fiqh yang pernah terjadi, sehingga hasilnya kini mudah
diterapkan kepada masyarakat luas.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana Kaidah-Kaidah Fiqh dalam Bidang Ibadah Mahdhah, Muamalah atau Transaksi
dan dalam menentukan Skala Prioritas ?

C. Tujuan

Untuk Mengetahu Kaidah-Kaidah Fiqh dalam Bidang Ibadah Mahdhah, Muamalah atau
Transaksi dan dalam menentukan Skala Prioritas.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kaidah-Kaidah Khusus di Bidang Ibadah Mahdhah

Yang dimaksud ibadah mahdhah adalah hubungan manusia dengan Tuhannya, yaitu
hubungan yang akrab dan suci antara seorang muslim dengan Allah SWT yang bersifat ritual
(peribadatan), seperti : shalat, zakat, puasa, dan haji. Kaidah ini mimiliki ciri khas tersendiri
yang pada prinsipnya bahwa Allah tidak bisa disembah kecuali dengan cara yang telah
ditentukan. Banyak kaidah yang berhubungan dengan bidang fikih mahdhah, diantaranya :

1. ‫اإلتْ َباع‬ ْ َ ‫األ‬


ِ ‫ص ُل فِي ال ِع َبا َدةِ الت َْوقِيْف َو‬
“Hukum asal dalam ibadah adalah menunggu dan mengikuti tuntutan syariah”1

Maksud kaidah ini adalah dalam melaksanakan ibadah mahdhah, harus ada dalil dan
mengikuti tuntunan. Selain itu, ada juga yang menggunakan kaidah :

‫علَى األ َ ْم ِر‬ ْ ‫ص ُل ِفي ال ِع َبا َدةِ الب‬


َ ‫ُطآل ُن َحتَّى يَقُو َم ال َّد ِل ْي ُل‬ ْ َ ‫اَأل‬
“Hukum asal dalam ibadah mahdah adalah batal sampai ada dalil yang memerintahkannya.”

Kedua kaidah ini mengandung substansi yang sama, yaitu apabila kita melaksanakan ibadah
mahdah harus jelas dalilnya, baik dari Al-Qur’an maupun Hadis Nabi. Sebab, ibadah
mahdhah itu tidak sah apabila tanpa dalil yang memerintahkannya atau menganjurkannya. 2

2. ِ ‫ارفِى ْالقُ ْر‬


َ ‫ب َم ْك ُر ْوهٌ َوفِى‬
ٌ‫غي ِْر هَا َمحْ بُوب‬ ُ َ ‫ا َ ْ ِإل ْيث‬
“Mengutamakan orang lain pada urusan ibadah adalah makruh dan pada urusan selain ibadah
adalah disenangi.”

Maksud dari kaidah ini bahwa dalam urusan ubudiyah atau pendekatan diri kepada Allah,
apabila seseorang mengutamakan orang lain dari dirinya, maka dipandang makruh. Seperti
mengutamakan orang lain untuk berdiri pada shaf awal diwaktu shalat jama’ah,
mengutamakan atau mendahulukan orang lain dalam bershadaqoh kepada fakir miskin,
mengutamakan orang lain dalam menutup ‘aurat pada hal dirinya masih belum menutup

1
Prof. H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih : Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-
Masalah Yang Praktis, (Jakarta : Kencana, 2006), hlm. 114.
2
Ibid., hlm. 115.

2
‘aurat dan sebagainya. Sebalinya, dalam urusan selain ibadah yaitu urusan mu’amalat atau
dalam urusan keduniaan pada umumnya mengutamakan orang lain dari padanya adalah
dipandang sunnah, seperti mengutamakan orang lain dalam menerima/mengambil bagian
dari harta zakat, mengutamakan orang lain dalam dunia perniagaan dengan harapan agar
orang itu mendapat keuntungan dan sebagainya.3

3. ‫صح‬ َ ‫ت َ ْق ِد ْي ُم ال ِعبَا َدةِ قَ ْب َل ُو ُجو ِد‬


ِ َ‫سبَبِ َها الَي‬
“Tidak sah mendahulukan ibadah sebelum ada sebabnya.”

Contoh : tidak sah shalat, haji, puasa ramadan sebelum datang waktunya. Kekecualian
apabila cara-cara lain yang ditentukan karena ada kesulitan atau keadaan darurat, seperti jama
taqdim, misalnya melakukan shalat ashar pada waktu dhuhur.4

4. ‫غي ِْر َم ْعقُ ِل الم ْعنَى‬ َ َ‫الَ قِي‬


َ ِ‫اس فِي ال ِعبَا َدة‬
“Tidak bisa digunakan analogi (qiyas) dalam ibadah yang tidak bisa dipahami maksudnya.”

Kaidah diatas membatasi penggunaan analogi dalam ibadah, hanya untuk kasus yang bisa
dipahami maknanya atau ‘illat hukumnya. Untuk kasus yang tidak bisa dipahami ‘illat
hukumnya tidak bisa dianalogikan.5 Contoh : tentang zakat tanaman yang bersifat ta’aqquli,
artinya bisa dipahami maksudnya. Meskipun kemudian dalam memahaminya, ulama berbeda
pendapat. Menurut mazhab Syafi’i zakat tanaman yang wajib dikeluarkan adalah yang
menjadi makanan pokok dalam negeri. Sedangkan menurut mazhab Hanafi, yang wajib
dikeluarkan adalah tanaman yang bisa dikembangkan dan menghasilkan.6

5. َ َ‫ئ فَقَاتَ لَ ِز َمهُ ق‬


ُ‫ضاؤُ ه‬ َ ‫علَ ْي ِه‬
ٌ ‫ش ْي‬ َ ‫ُكل َما ُو ِج‬
َ ‫ب‬
“Setiap sesuatu yang diwajibkan kepada seseorang, kemudian dia lewatkan (tidak
dilakukan), maka dia wajib mengqadhanya.”

Ulama Syafi’iyah menggunakan kaidah ini secara ketat dalam setiap kewajiban, kecuali
wanita yang meninggalkan shalat karena haid. Ulama lain memnerikan banyak kekecualian

3
Drs. H. Asjmuni A. Rahman, Qa’idah-Qa’idah Fiqih (Qawa’idul Fiqhiyyah), (Jakarta : Bulan Bintang,
1976), hlm. 53-54.
4
Prof. H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih.............................hlm. 117.
5
Ibid., hlm. 116.
6
Ibid., hlm. 117.

3
seperti tidak ada qadha untuk shalat wajib, sebab shalat harus dilakuka sesuai dengan
kemampuan yang ada. Tetapi untuk kewajiban puasa ramadhan ulama sepakat ada qadha.7

6. ‫الو ِار َدةِ فِي َها‬ ُ َ‫علَى َج ِميْعِ ِت ْلك‬


َ ‫الو ُجو ِه‬ َ ‫وز فِ ْعلَ َها‬ َ ‫علَى ُو ُجو ٍه ُمتَن َِو‬
ُ ‫ع ٍة يَ ُج‬ َ ُ ‫الو ِار َدة‬
َ ُ ‫ال ِعبَا َدة‬
“Ibadah yang kedatangannya (ketentuannya) dalam bentuk yang berbeda-beda, boleh
melakukannya dengan cara keseluruhan bentuk-bentuk tersebut.”

Maksudnya adalah dalam beribadah sering ditemukan tidak hanya satu cara. Dalam hal ini,
boleh memilih salah satu cara yang didawamkannya (konsistem melakukannya). Boleh pula
dalam satu waktu dengan cara tertentu dan pada waktu lain dengan cara yang lain. Boleh pula
menggabungkan cara tersebut karena keseluruhannya mencontoh dari hadis nabi. Contoh :
seperti bacaan doa takbirat al-ihram, ada bermacam-macam doa yang diwiridkan, sehingga
boleh memilihnya. Shalat ba’diyah jumat boleh dua rakaat atau empat rakaat.8

B. Kaidah-Kaidah Khusus di Bidang Muamalah

Dalam kehidupan ekonomi/muamalah, pemakaian qawa’id fiqhiyyah menjadi


sesuatu yang sangat penting. Seiring perkembangan zaman, keperluan adanya qaidah yang
lebih banyak tampaknya tidak dapat dihindarkan.9 Banyak sekali usaha manusia yang
berhubungan dengan barang dan jasa. Sudah tentu dengan perkembangan ilmu dan teknologi,
serta tuntutan masyarakat yang semakin meningkat, melahirkan model transaksi baru yang
membutuhkan penyelesaiannya dari sisi hukum Islam. Penyelesaian yang disatu sisi tetap
Islami dan mampu menyelesaikan masalah kehidupan yang nyata. Sudah tentu caranya
adalah dengan menggunakan kaidah-kaidah ini.10

1. َ ‫اإل َبا َحةُ إالَّ أ َ ْن َي ُد َّل َد ِل ْي ٌل‬


‫علَى تَحْ ِر ي ِْم َها‬ ْ َ ‫األ‬
ِ ‫ص ُل ِفى ال ُم َعا َملَ ِة‬
“Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya”

7
Ibid., hlm. 120.
8
Ibid., hlm. 119
9
Dr. H. Toha Andiko, M.Ag., Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah : Panduan Praktis dalam Merespon Problematika
Hukum Islam, (Yogyakarta : Teras, 2011), hlm. 160-161.
10
Prof. H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih ....................hlm. 129.

4
Maksud kaidah ini adalah bahwa dalam setiap muamalah dan transaksi, pada dasarnya boleh
seperti jual beli, sewa menyewa, gadai, kerja sama (mudharabah atau musyarakah),
perwakilan, dan lain-lain, kecuali yang tegas diharamkan seperti mengakibatkan
kemudaratan seperti tipuan, judi dan riba.11

2. ‫ضى ْال ُمتَعَا قِ َدي ِْن َونَتِ ْي َجتُهُ َماإِ ْلتِزَ َماهُ بِالتَّعَاقُ ِد‬
َ ‫ص ُل فِى ْالعَ ْقد ِِر‬
ْ َ‫ا َ ْال‬
“Hukum pokok pada akad adalah kerelaan kedua belah pihak yang mengadakan akad dan
hasilnya apa yang salingditentukan dalam akad tersebut.”

Maksud kaidah diatas adalah bahwa setiap transaksi harus didasarkan atas kebebasan dan
kerelaan, tidak ada unsur paksaan atau kekecewaan salah satu pihak, bila itu terjadi maka
transaksinya tidak sah.12 Contohnya pembeli yang merasa tertipu karena dirugikan oleh
penjual karena barangnya terdapat cacat.

3. ِ ‫اط ُل الَيَ ْقبَ ُل‬


َ ‫اإل َجازَ ة‬ ِ َ‫الب‬
“Akad yang batal tidak menjadi sah karena dibolehkan”

Akad yang batal dalam hukum Islam dianggap tidak ada atau tidak pernah terjadi. Oleh
karena itu, akad yang batal tetap tidak sah walaupun diterima oleh salah satu pihak.13
Contohnya, Bank syariah tidak boleh melakukan akad dengan lembaga keuangan lain yang
menggunakan sistem bunga, meskipun sistem bunga dibolehkan oleh pihak lain, karena
sistem bunga sudah dinyatakan haram oleh DSN, akad baru sah apabila lembaga keuangan
lain mau menggunakan akad yang diberlakukan pada perbankan syariah, yaitu akad atau
transaksi tanpa menggunakan sistem bunga.

4. َّ ‫اإل َجازَ ة ُ الالَ ِحقَةُ َكال ِو َكالَ ِة ال‬


‫سابِ َق ِة‬ ِ
“Izin yang datang kemudian sama kedudukannya dengan perwakilan yang telah dilakukan
lebih dahulu”

Pada dasarnya seseorang tidak boleh bertindak hukum terhadap harta milik orang lain tanpa
seizin pemiliknya. Tetapi, berdasarkan kaidah ini, apabila seseorang bertindak hukum pada

11
Ibid., hlm. 130.
12
Drs. H. Muhlish Usman, MA., Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah, (Jakarta : Rajawali Pers, 1993),
hlm.184.
13
Prof. H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih.....................hlm. 131.

5
harta milik orang lain, dan kemudian pemilik harta mengizinkannya, maka tindakan hukum
menjadi sah, dan orang tadi dianggap sebagai perwakilan dari si pemilik harta.

5. ‫ان الَ َيجْ ت َِم َعا ِن‬ َّ ‫األَجْ ُر َوال‬


ُ ‫ض َم‬
“Pemberian upah dan tanggung jawab untuk mengganti kerugian tidak berjalan bersamaan”

Yang disebut dengan dhaman atau ganti rugi dalam kaidah ini adalah mengganti dengan
barang yang sama. Apabila barang tersebut ada dipasaran atau membayar seharga barang
tersebut apabila barangnya tidak ada dipasaran. Contoh : seorang menyewa kendaraan
penumpanguntuk membawa keluarganya, tetapi si penyewa menggunakannya untuk
membawa barang yang berat yang mengakibatkan kendaraan tersebut rusak.14 Maka, si
penyewa harus mengganti kerusakan tersebut dan tidak perlu membayar sewaannya.

6. ُ ‫ض َم‬
‫ان‬ َّ ‫الخ ََرا ُج بِال‬
“Manfaat suatu benda merupakan faktor pengganti kerugian”

Arti asal al-kharaj adalah sesuatu yang dikeluarkan baik manfaat benda maupun pekerjaan,
seperti pohon mengeluarkan buah atau binatang mengeluarkan susu. Sedangkan al-dhaman
adalah ganti rugi. Contohnya : seekor binatang dikembalikan oleh pembelinya dengan alasan
cacat. Si penjual tidak boleh meminta bayaran atas penggunaan binatang tadi. Sebab,
penggunaan binatang tadi sudah hak pembeli.

7. ‫ض ْمنِ ِه‬ َ َ‫ئ ب‬


َ ‫ط َل َمافِي‬ ُ ‫ش ْي‬ َ َ‫إِ َذا ب‬
َّ ‫ط َل ال‬
“Apabila susuatu akad batal, maka batal pula yang ada dalam tanggungannya.”

Contohnya, penjual dan pembeli telah melaksanakan akad jual beli. Si pembeli telah
menerima barang dan si penjual telah menerima uang. Kemudian kedua belah pihak
membatalkan jual beli tadi. Maka, hak pembeli terhadap barang menjadi batal dan hak
penjual terhadap harga barang menjadi batal. Artinya, si pembeli harus mengembalikan
barangnya dan si penjual harus mengembalikan harga barangnya.

8. ‫علَى َمنَا ِف ِع َها‬ ِ ‫علَى األ َ ْع َي‬


َ ‫ان َكال َع ْق ِد‬ َ ‫ال َع ْق ُد‬
“Akad yang objeknya suatu benda tertentu adalah seperti akad terhadap manfaat benda
tersebut”

14
Ibid., hlm. 132.

6
Objek suatu akad bisa berupa barang tertentu, misalnya jual beli, dan bisa pula berupa
manfaat suatu barang seperti sewa menyewa. Bahkan sekarang objeknya, objeknya bisa
berupa jasa seperti jasa broker. Maka, pengaruh hukum dan akad yang objeknya barang atau
manfaat dari barang adalah sama, dalam arti rukun dan syaratnya sama.

9. ِ ‫إالَّ ِبالقَب‬
ُ‫ْض الَيَتِم الت َّ َبرع‬
“Tidak sempurna akad tabarru’ kecuali dengan penyerahan barang”

Akad tabarru’ adalah akad yang dilakukan demi untuk kebajikan semata seperti hibah atau
hadiah. Hibah tersebut belum mengikat sampai penyerahan barangnya dilaksanakan.15

10. َ‫ض َمان‬ َّ ‫از ال‬


َّ ‫ش ْر ِعى ينَافِى ال‬ ُ ‫ال َج َو‬
“Sesuatu hal yang dibolehkan oleh syara tidak dapat dijadikan objek tuntutan ganti rugi.

Maksud kaidah ini adalah sesuatu yang dibolehkan oleh syariah baik melakukan atau
meninggalkannya, tidak dapat dijadikan tuntutan ganti rugi. Contohnya A menggali sumur
di tempat miliknya sendiri, kemudian binatang tetangganya jatuh ke dalam sumur tersebut
dan mati. Maka tetangga tadi tidak bisa menuntut ganti rugi kepada si A, sebab menggali
sumur di tempatnya sendiri dibolehkan oleh syariah.16

11. ‫ضاهُ فَ ُه َو َجائِ ٌز‬ ِ َ ‫صلَ َح ِة العَ ْق ِد أ‬


َ َ ‫ومن ُم ْقت‬ ْ ‫ُكل ش َْرطٍ َكانَ ِم ْن َم‬
“Setiap syarat untuk kemaslahatan akad atau diperlukan oleh akad tersebut, maka syarat
tersebutbdibolehkan.”

Contohnya seperti dalam hal gadai emas kemudian ada syarat bahwa apabila barang gadai
tidak ditebus dalam waktu sekian bulan, maka penerimaan gadai berhak untuk menjualna.
Atau syarat kebolehan memilih, syarat tercatat di notaris.17

C. Kaidah-Kaidah Fiqh dalam Menentukan Skala Prioritas

Dalam kehidupan ini, sering kita dihadapkan kepada pilihan-pilihan yang tidak
mudah. Pilihan itu dihadapkan kepada kita, baik dalam masalah yang bersifat individual,

15
Ibid., hlm. 135.
16
Ibid., hlm. 136.
17
Ibid., hlm. 137.

7
kehidupan keluarga, maupun masyarakat. Pilihan mana yang diambil mengacu kepada nilai-
nilai yang dianut oleh yang bersangkutan tentang keyakinan akan kebenaran, kebaikan,
kemaslahatan, dan hati nuraninya, yang tersimpul dalam kearifannya menentukan pilihannya.
Dalam hal ini, pilihan tersebut mengedepankan skala prioritas.18 Dibawah ini beberapa skala
prioritas dalam memilih alternatif yang digali dari ilmu fikih yang disimpulkan oleh para
ulama dalam kaidah fikih :

1. ِ‫صا ِلح‬ ِ ‫علَى َج ْل‬


َ ‫ب الم‬ َ ‫َد ْر ُء المفَا ِس ِد ُمقَ َّد ٌم‬
“Menolak kemafsadatan didahulukan daripada meraih kemaslahatan.”

Kaidah ini menegaskan bahwa apabila pada waktu yang sama kita dihadapkan kepada pilihan
menolak kemafsadatan atau meraih kemaslahatan, maka yang harus didahulukan adalah
menolak kemafsadatan. Karena dengan menolak kemafsadatan berarti kita juga meraih
kemlasahatan.19

2. َ ‫صلَ َح ِة الخَا‬
‫ص ِة‬ َ ٌ‫صلَ َحةُ العَا َّمةُ ُمقَ َّد َمة‬
َ ‫علَى الم‬ ْ ‫ال َم‬
“Kemlasahatan yang umum lebih didahulukan daripada kemlasahatan yang khusus”

Kaidah diatas menegaskan bahwa apabila berebeturan antara kemaslahatan umum dengan
kemaslahatan yang khusus, maka kemaslahatan yang umum yang di dahulukan, karena
dalam kemaslahatan yang umum itu terkandung pula kemaslahatan yang khusus, tetapi tidak
sebaliknya. Contoh : pencabutan hak milik pribadi demi kemaslahatan umum, seperti dalam
teori ta’ashuf dari mazhab maliki yang membolehkan pemerintah/pengadilan merampas hak
milik pribadi yang digunakan untuk kejahatan. Misal, pisau atau senjata lain yang digunakan
untuk membunuh/melukai orang lain.

3. ‫ب أَخ َِف ِه َما‬


ِ ‫ارتِ َكا‬
ْ ِ‫ض َر ًرا ب‬ َ ‫ي أ َ ْع‬
َ ‫ظ ُم ُه َما‬ َ ‫َان ُر ْو ِع‬ َ ‫ض َم ْف‬
ِ ‫س َدت‬ َ َ‫إِ َذا تَع‬
َ ‫ار‬
“Apabila bertentangan dua mafsadat, maka perhatikan mana yang lebih besar madlaratnya
dengan dikerjakan yang lebih ringan kepada mudlaratnya”

Dengan kaidah ini dimaksudkan, manakala pada suatu ketika datang secara bersamaan dua
mafsadat atau lebih, maka harus dipilih atau diseleksi, manakala diantara mafsadat itu yang
lebih kecil atau lebih ringan.20 Misalnya : merusak fisik itu adalah memudaratkan, tetapi

18
Ibid., hlm. 163.
19
Ibid., hlm. 164.
20
Drs. H. Asjmuni A. Rahman, Qa’idah-Qa’idah Fiqih (Qawa’idul Fiqhiyyah)..... hlm. 30.

8
membiarkan penyakit dalam perut yang bisa membawa kematian adalah lebih besar
mudaratnya. Maka, dibolehkan mengoperasi manusia demi untuk mengeluarkan penyakit
dalam tubuhnya.

4. ‫سا ِئ ِل أَبَدًا‬
َ ‫الو‬
َ ‫عا َي ِة‬ َ ٌ‫اص ِد ُمقَ َّد َمة‬
َ ‫علَى ِر‬ ِ َ‫عةُ المق‬
َ ‫ُم َرا‬
“Menjaga (memelihara) tujuan selamanya di dahulukan daripada memelihara cara (media)
dalam mencapai tujuan.”

Dalam hukum islam ada 2 hal yang harus dibedakan, yaitu : al-maqashid (tujuan) dan -al-
wasa’il (cara mencapai tujuan). Tujuannya adalah meraih kemlasahatan dan menolak
kemafsadatan. Untuk meraih kemaslahatan, ada media atau cara untuk mencapai
kemlasahatan (fath al-dzari’ah). Untuk menolak kemafsadatan ada cara untuk
menghindarinya (sadd al-dzari’ah).21 Contoh : Shalat jum’at adalah wasilah berupa sadd al-
dzari’ah agar orang tidak melakukan kesibukan lain pada waktu dikumandangkan azan shalat
jumat selain bersegera untuk melaksanakan shalat jumat.22

5. ِ َ‫المختَل‬
‫ف فِي ِه‬ ْ ‫علَى‬
َ ‫علَ ْي ِه ُمقَ َّد ٌم‬
َ ‫المتَّفَ ُق‬
“apa yang disepakati didahulukan dari pada perbedaan”

Kaidah ini adalah dibicarakan skala prioritas, yaitu apa yang disepakati didahulukan daripada
perbedaan pendapat. Contoh: pembentukan OKI (Organisasi Konferensi Islam) karena
adanya kesepakatan untuk sama-sama mewujudkan dunia islam dalam bidang sosial, politik,
dan ekonomi untuk hidup dalam keadaan damai yang diikat oleh persamaan agama yang
dilandasi oleh ukhuwah Islamiyah.23

6. ِ ْ‫ظ المو ُجو ِد أ َ ْولَى ِمن تَح‬


‫ص ْي ِل الم ْفقُو ِد‬ ُ ‫ِح ْف‬

“memilihara yang telah ada adalah lebih utama daripada mengharapkan (hasil) yang belum
ada.”

Kaidah ini menegaskan untuk menjaga dan memanfaatkan apa yang telah di tangan daripada
mengangan-angankan sesuatu yang belum tentu dan tidak cukup meyakinkan akan
keberhasilannya. Izzuddin bin Abd al-Salam mencontohkan penerapan dalam masalah
penggantian kepemimpinan yang harus lebih baik dari pemimpin yang ada. Apabila ditinjau

21
Prof. H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih.......................hlm. 169-170.
22
Ibid., hlm. 171.
23
Ibid., hlm. 172-173.

9
dari berbagai aspek, persyaratan kepemimpinan yang akan datang itu belum tentu lebih
maslahat, maka diteruskanlah kepemimpinan yang sekarang ada untuk masa berikutnya.

7. ِ ‫ار َد المانِ ُع َوالم ْقت‬


‫َض قَد َِم المانِ ُع‬ َ ‫ِإ َذا ت َ َع‬
“Apabila saling bertentangan antara ketentuan hukum yang mencegah dengan yang
mengharuskan pada waktu yang sama, maka didahulukanlah yang mencegah”

Kaidah diatas menegaskan bahwa apabila ada dalil atau bukti kenyataan yang bertentangan
antara yang mencegah dengan yang mengharuskan pada waktu yang sama, maka
didahulukan yang mencegah. Contoh : A menyewakan rumah kepada B untuk waktu 1 tahun.
Kemudian sebelum habis waktu 1 tahun si A menjual rumah kepada si C. Maka si A tidak
bisa menyewakan rumah kepada C sebelum habis kontraknya kepada si B. Dalam hal ini,
yang mecegah penyarahannya adalah rumah si A yang sedang dikontrakan oleh si B,
sedangkan yang mengharuskan penyerahan adalah rumah kontrakan tersebut telah dibeli oleh
si C dari si A.

8. ‫اء‬ ِ ‫اإل ْست َ َدا َمةُ أ َ ْق َوى ِم ْن‬


ِ ‫اإل ْبتِ َد‬ ِ
“Melanjutkan hukum yang telah ada lebih kuat daripada memulai”

Maksud kaidah tersebut adalah melanjutkan hukum yang telah ada lebih kuat dari pada
memulai. Kaidah ini berhubungan dengan al-istishhab dalam ilmu ushul fiqh. Contohnya :
seorang yang memiliki suatu benda atau hak tertentu, maka benda atau hak tersebut tetap
menjadi miliknya selama tidak ada bukti-bukti lain yang membatalkan haknya tersebut.
Misalnya, ada bukti dia telah menjualnya secara sah. Bahkan barang yang hilang atau dicuri
orang, maka barang tersebut menjadi hak pemiliknya. Sebab, dia telah memilikinya sebelum
benda itu hilang.24

9. ‫ب ال ِع َبا َد ِة أ َ ْولَى‬
ِ ‫اط ِفي َبا‬ ِ ‫األ َ ْخذُ ِبال ِثيقَة َوال َع َم ُل ِب‬
ِ ‫اإلحْ تِ َي‬
“Mengambil yang terpercaya dan berbuat dengan hati-hati dalam bab ibadah (hubungan
manusia dengan Allah), itulah yang lebih utama.”

Kaidah ini menghendaki bahwa dalam masalah hubungan manusia dengan Allah harus
mengambil dasar yang kuat dalilnya dan harus dilakukan dengan hati-hati. Oleh karena itu,
tidaklah mengherankan apabila seorang muslim telah melakukan ibadah haji misalnya tetapi
dia slalu ingin melakukannya untuk yang kedua atau ketiga kalinya. Karena dia merasa pada

24
Ibid., hlm. 176-177.

10
haji yang pertama ada kekurangan sehingga batinnya tidak merasa puas. Padahal haji kedua
dan seterusnya hukumnya sunnah.25

25
Ibid., hlm. 178.

11
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Banyak kaidah-kaidah fikih yang berhubungan dengan masalah ibadah mahdah, muamalah
atau transaksi maupun dalam menetapkan skala priorotas. Semua kaidah tersebut
dimaksudkan untuk mempermudah manusia dalam mengambil suatu keputusan terhadap hal
yang baru. Mengingat saat ini sudah semakin berkembangnya ilmu pengetahuan teknologi
maupun pola pikir manusia yang mengarahkan pada permasalahan baru yang harus
ditemukan solusinya yang sesuai dengan kaidah fikih dan tidak bertentangan dengan ajaran
agama Islam.

Kaidah-kaidah fiqh dibidang Ibadah Mahdhah, Muamalah maupun Sakala Priorotas sangat
banyak dan menyeluruh. Salah satu manfaat dari adanya kaidah tersebut adalah akan
mengetahui prinsip-prinsip umum kaidah fikih dibidang Ibadah Mahdhah, Muamalah
maupun Sakala Priorotas serta mengetahui pokok masalah yang mewarnai kaidah fiqh
dibidang tersebut yang kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalah yang timbul.
Adapun kedudukan kaidah-kaidah tersebut adalah sebagai pelengkap, bahwa kaidah fikih
yang digunakan adalah al-Qur’an dan as-Sunnah.

12
DAFTAR PUSTAKA

Djazuli, A. Prof. H. 2006. Kaidah-Kaidah Fikih : Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam


Menyelesaikan Masalah-Masalah Yang Praktis, Jakarta : Kencan.

Rahman, Asjmuni A. Drs. H. 1976. Qa’idah-Qa’idah Fiqih (Qawa’idul Fiqhiyyah), Jakarta :


Bulan Bintang.

Andiko, Toha. Dr. H. M.Ag. 2011. Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah : Panduan Praktis dalam
Merespon Problematika Hukum Islam, Yogyakarta : Teras.

Usman, Muhlish. Drs. H. MA. 1993. Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah, Jakarta :
Rajawali Pers.

13

Anda mungkin juga menyukai