Anda di halaman 1dari 14

Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan Qawaid Fiqhiyyah

Qawaid Fiqhiyyah

Dosen Pengampu:

Dra. Azizah, M.A.

Disusun Oleh:

Kelompok 2

Muhamad Dayu Nugraha (11180440000007)

Muhammad Sodik (11180440000029)

PROGRAM STUDI S1 HUKUM KELUARGA C

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2019/202
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
kami panjatkan puji syukur atas limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada
pemakalah sehingga tugas makalah “Qawaid Fiqhiyyah” dapat terselesaikan.
Shalawat serta salam atas junjungan Nabi besar Muhammad SAW, sebagai
uswatun hasanah, sosok teladan yang baik bagi manusia untuk meraih
kesuksesan dunia dan akhirat.

Makalah ini telah kami susun dengan proses analisis dan diskusi yang
maksimal dan juga mendapatkan bantuan dari berbagai pihak serta beberapa
sumber terpercaya sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.
Untuk itu kami mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang
telah berkontribusi dalam pembuatan makalah.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak
kekurangan, baik dalam segi kalimat, tata bahasa serta isi dari makalah. Oleh
karena itu, dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari
para pembaca agar dapat memperbaiki makalah ini sehingga mendekati kata
sempurna.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar...............................................................................................ii

Daftar isi.........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang......................................................................................iv

B. Rumusan Masalah................................................................................iv

C. Tujuan...................................................................................................iv

BAB II PEMBAHASAN

A. Sejarah Qawaid fiqhiyyah......................................................................1

B. Perkembangan Qawaid fiqhiyyah..........................................................7

C. Pertumbuhan Qawaid fiqhiyyah...........................................................10

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan..........................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................13

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam membina keluarga yang harmonis manusia sering kali


menjadikan hidup sebagai wadah untuk saling mengasihi. Namun terkadang
dalam keluarga yang dianggap harmonis tidak didasari dengan hukum Islam.
didalam rumah tangga mestinya terdapat hal yang dengan nya mampu
menjadikan hidup tersebut penuh dengan keridhaan Allah. Yang pertama
ditekankan dalam keluarga Islam itu adalah bagaimana pernikahan tersebut,
apakah didasari syariat Islam atau tidak. karena pernikahanlah yang menjadii
dasar untuk menjadikan keluarga Islam. namun ada kalanya dalam negara
terjadi perselisihan dalam pandangan hukum, ada yang memandang hukum
keluarga itu begini dan ada pula yang memandang hukum orang itu begitu.
Dalam makalah ini kami akan membahas sedikit mengenai hukum tentang
orang. Yang insya Allah dengan adanya pemahaman dalam masalah ini,
manusia akan lebih menghargai diri sendiri maupun orang lain.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah dari Qawaid Fiqhiyyah
2. Bagaimana perkembangan Qawaid Fiqhiyyah
3. Bagaimana pertumbuhan Qawaid Fiqhiyyah

C. Tujuan
1. Mengetahui Sejarah Qawaid Fiqhiyyah
2. Mengetahui perkembangan Qawaid Fiqhiyyah
3. Mengetahui pertumbuhan Qawaid Fiqhiyyah

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan Qawaid Fiqhiyyah

Ali Ahmad al-Nadwi, seorang ulama ushul kontemporer, menyebut tiga periode
penyusunan qawaid Fiqhiyyah yaitu; periode kelahiran, pembukuan, dan
penyempurnaan.1

1. Peride Kelahiran

Masa kelahiran dimulai dari pertumbuhan sampai dengan pembentukan


berlangsung selama tiga abad lebih dimulai dari zaman kerasulan sampai abad
ketiga hijrah. Periode ini dari segi fase sejarah hukum Islam, dapat dibagi
menjadi tiga periode: zaman Nabi Muhammad SAW., yang berlangsung selama
22 tahun lebih, zaman tabi’in, dan zaman tabi’it al-tabi’in yang berlangsung
selama lebih kurang 250 tahun. Pada masa kerasulan adalah masa tasyri’
(pembentukan hukum Islam) merupakan embrio kelahiran qawaid fiqhiyyah.
Nabi Muhammad SAW. menyampaikan Hadis yang jawami’ ‘ammah (singkat
dan padat). Hadis tersebut dapat menampung masalah-masalah fiqh yang
banyak jumlahnya. Berdasarkan hal tersebut, maka Hadis Rasulullah
Muhammad SAW. disamping sebagai sumber hukum, juga sebagai qawaid
fiqhiyyah. Demikian juga ucapan-ucapan sahabat (atsar) juga dikategorikan
sebagai jawami’al-kalim dan qawaid fiqhiyyah oleh banyak ulama. al-Nadwi,
menyebut beberapa sabda Rasulullah SAW. yang telah berbentuk qaidah-
qaidah, terutama qaidah hukum. Rasulullah Muhammad SAW. yang memiliki
kemampuan dalam menghasilkan jawami’ al-kalim yaitu ungkapan-ungkapan
yang ringkas ,namun padat makna dan berdaya cakup luas. Misalnya
Rasulullah SAW. bersabda: ‫) بالضمان الخراج‬keuntungan adalah imbalan resiko); ‫رال‬
1
Ali Ahmad An-Nadwi, al-Qawaid al-Fiqhiyyah, Damaskus, Dar al-Qalam, 1998, hlm. 89.

5
‫( ضرروالضرا‬Tidak ada mudharat (bahaya) dan tidak ada pula memudharatkan);
dan ‫دعى واليمين على من انكر‬UUU‫ة على الم‬UUU‫( البين‬bukti adalah kewajiban bagi penuduh,
sedangkan sumpah adalah kewajiban orang yang telah membantahnya.) 2

Hadis-Hadis tersebut di atas memiliki daya berlaku untuk banyak ketentuan


hukum karena bentuknya sebagai jawami’ al-kalim tadi, sehingga dalam satu
segi menyerupai qaidah fiqhiyyah. Meskipun terdengar sederhana, namun daya
cakupnya melingkupi banyak bab fiqh.

Sahabat Rasulullah SAW. juga menciptakan qaidah antara lain Umar bin
Khattab dalam kitab shahih : ‫اطع‬UUU‫وق مق‬UUU‫د الحق‬UUU‫روط عن‬UUU‫ الش‬mengatakan Bukhari
(Penerimaan hak berdasarkan kepada syarat-syarat) Ulama tabiin antara lain
al-Syafi’i misalnya menulis qaidah fiqhiyyah dalam kitabnya al-Umm ‫االعظم إذا سقط‬
‫ عن الناس سقط ما هو أصغر منه‬:diantaranya (apabila yang besar gugur, yang kecilpun
gugur). alQadhi Surayh bin al-Harits (w. 76 H) membuat qaidah: barangsiapa ((
‫و عليه‬UU‫روه فه‬UU‫ير مك‬UU‫ا غ‬UU‫رط على نفس طائع‬UU‫ من ش‬membuat janji secara suka rela tanpa
paksaan, maka janji itu menjadi tanggungannya). Hal ini menyangkut
syaratsyarat yang disanggupi seorang dalam bertransaksi. Meskipun beberapa
orang pada awal Islam disebut telah menciptakaan qaidah, Pada umumnya,
para pengkaji sulit untuk menentukan siapakah yang menjadi perintis
penyusunan disiplin ilmu ini. Banyak kitab yang menyebutkan nama Abu Yusuf
Ya’qub bin Ibrahim (182 H) murid Imam Abu Hanifah, sebagai orang pertama
yang membuat rumusan qaidah fiqhiyyah berdasarkan satu qaidah fiqhiyyah
yang telah dijumpai dalam kitab karangannya yaitu al-Kharaj 3. Kitab tersebut
telah dikarang oleh Abu Yusuf sebagai rujukan asas perundangan ketika
pemerintahan khalifah Harun al-Rasyid berhubung sistem al-kharaj dan
muamalah ahl al-dhimmah yang kemudian telah digunakan dan disebarluaskan
ketika zaman pemerintahan daulah Abbasiyah tersebut. Qaidah yang
dimaksudkan adalah seperti berikut:

‫ ثابت بحق إال أحد يد من شيئأ يخرج أن لألمام ليس‬U‫معروف‬

2
Ibid, h. 90-94.
3
Al-Burnu, Muhammad Sidqi b. Ahmad, Abu al-Harith alGhazzi (2003), op.cit., h. 51; Ahmad b.
Muhammad al-Zarqa’

6
Tidak ada hak bagi seorang pemimpin untuk mengambil sesuatu dari
seseorang rakyat kecuali dengan hak-hak yang telah tersedia diketahui
oleh mereka.

Sahabat Abu Yusuf yaitu Muhammad bin alHasan al-Syaibani (w. 189 H) juga
melakukan rintisan yang sama. Hanya saja yang ia lakukan adalah lebih
banyak merupakan upaya ta’lil (mencari alasan hukum). Hasil dari ta’lil adalah
sangat berguna bagi upaya pengqaidah-an hukum, sebab banyak sekali illat
hukum yang ditemukan bisa berfungsi sebagai qaidah hukum. Ibnu Nujaym (w.
970H.) dari ulama golongan Hanafiyyah berpendapat bahwa: Sesungguhnya
sahabatsahabat kami (para ulama Hanafiyyah), mempunyai keistimewaan
merintis usaha dalam penyusunan qaidah ini. Dan orang mengikuti mereka dan
mereka pula bergantung kepada Imam Abu Hanifah dalam masalah fiqh.

2. Periode Perkembangan dan Penulisan

Periode ini dimulai ketika kajian qawaid telah berupa cabang ilmu tersendiri,
yang dimulai dari awal abad ke-4 H dan berlanjut selama beberapa abad.
Periode ini dicatat pula sebagai masa mengendornya laju pertumbuhan
pengkajian fikih, setelah melalui masa keemasan, yang meninggalkan
khazanah fikih yang luar biasa. Para ulama pada periode ini cenderung untuk
menulisnya, memberikan dalil, mentarjihnya saja, atau memanfaatkan hukum-
hukum ijtihadiyah yang telah dijelaskan illat hukumnya untuk menetapkan
hukum kasus-kasus baru yang muncul.4

Dalam aktivitas mentakhrij furu' kepada ushul para mujtahidin ternyata


menjadikan pengkajian fikih menjadi berkembang dan meluas, memunculkan
metode dan ilmu baru. Metode-metode itu kadang-kadang berupa qawaid dan
dhawabith, kadang-kdang berupa furu’, algaz, mutharahat dan lain-lain. 5

Sejarah mencatat bahwa ulama Hanafiah lebih terdahulu dari yang lain.
Mungkin ini karena kayanya mereka dengan masalah furu’, sehingga beberapa
4
Abdul Mun’im Saleh, Op.cit. h. 186.
5

7
ushul pun dirumuskan dari furu’ ulama mazhab mereka. Misalnya, Imam
Muhammad dalam kita al-Ashl ketika membahas satu masalah memberikan
furu’ dengan jumlah yang sangat banyak, sehingga sulit untuk menguasainya. 6

Imam Abu Thaher al-Dabbas, seorang ulama abad ke-4 H, adalah ulama yang
paling terdahulu --menurut riwayat yang sampai kepada kita-- yang
mengumpulkan qawaid fiqhiyah dan menyusunnya sesuai susunan kitab fiqh.
Beliau mengumpulkan qawaid mazhab Abu Hanifah dalam 17 kaidah, dan
konon beliau selalu mengulang-ulang qawaid ini setiap malam di mesjidnya.

Cukup sulit untuk memastikan ke-17 qawaid Imam al-Dabbas itu. Hanya
diriwayatkan bahwa Abu Saad al-Harawi alSyafi’i belajar kepada beliau dan
menyalin beberapa qawaid. Di antara qawaid itu adalah qawaid asasiah yang
terkenal, sebagai berikut:

‫ادة‬UU‫زال الع‬UU‫رر ي‬UU‫ير الض‬UU‫قة تجلب التيس‬UU‫ك المش‬UU‫زول بالش‬UU‫األمور بمقاصدىا اليقين ال ي‬
‫محكمة‬

Atau dari apa yang ditulis oleh ulama seangkatan beliau Imam al-Karkhi (340
H), yang kemungkinan menyalin qawaid itu dan menambahnya sehingga
menjadi 39 kaidah. Kemudian setelah itu datang Imam Abu Zaid al-Dabbusy
(430 H) yang menambah apa yang diterima dari Imam al-Kurkhi ini, dan
menulisnya dalam satu kitab tersendiri berjudul Ta’sis alNazhar. Inilah kitab
pertama dalam ilmu qawaid fiqh dan merupakan permulaan periode penulisan.
Sayangnya setelah kitab Ta’ssi al-Nazhar ini tidak ditemukan lagi kitab yang
ditulis pada abad ke-5 ini, bahkan juga abad ke-6, kecuali kitab idhah al-qawaid
yang ditulis oleh Imam Alaiddin Muhammad bin Ahmad al-Samarqandi (540 H).

Pada abad ke-7, ilmu ini mulai bekembang walaupun belum mencapai
kematangannya. Di antara ulama yang menonjol dan menulis dalam bidang ini
adalalh Muhammad bin Ibrahim al-Jajarmy al-Suhlaki (613 H) yang menulis
kitab alQawaid fi Furu al-Syafi’iyah, kemudian Imam Izzuddin bin Abd Salam
(660 H) yang menulis kitab Qawaid al-Akam fi Mashalih al-Anam. Di antara

8
ulama mazhab Maliki yang menulis pada abad ini ialah: Muhammad bin
Abdullah bin Rasyid al-Bakary al-Qafshi dengan kitab yang berjudul al-Muzhab
fi Qawaid al-Mazhab.7 Abad ke-8 dianggap abad keemasan penulisan qawaid
fiqhiyah. Ulama dari kalangan Syafi’iyah dalam hal ini mendahului ulama
mazhab lain. Di antara karya dalam qawaid fiqhiyah yang terpenting dan
terkenal adalah sebagai berikut:8

1. al-Asybah wa al-Nazha-ir, oleh Ibnu Wakil al-Syafi’i (716 H)


2. Kitab al-Qawaid, oleh al-Maqarra al-Maliki (758)
3. al-Majmu' al-Muzhab fi Dhabth Qawaid al-Mazhab, oleh al-
4. Ala-I al-Syafi'I (9761 H)
5. al-Asybah wa al-Nazhair, oleh Tajuddin al-Subki (771 H),
6. al-Asybah wa al-Nazhair, oleh jamaluddin al-Isnawi (772 H)
7. al-Mantsur fi al-qawaid, oleh Baruddin al-Zarkasyi (794 H)
8. al-Qawaid fi al-Fiqh, oleh Ibnu rajab al-Hanbali (795 H)
9. al-Qawaid fi al-Furu', oleh Ali bin Utsman al-Gazzi (799 H).

Ulama abad ke-9 meneruskan dan menyempurnakan usaha ulama abad


sebelumnya. Di antara karya dan ulama yang menonjol pada abad ini adalah
sebagai berikut:9

1. Kitab fi al-qawaid, dengan merujuk kepada kitab Ibnu Subki, oleh Ibnu
Mulaqqin (804 H)
2. Asna al-Maqasid fi Tahrir al-Qawaid, oleh Muhammad bin Muhammad
al-Zubairi (808 H)
3. al-Qawaid al-Manzhumah, oleh Ibnu al-Haim al-Maqdisi (815 H)
4. Kitab al-Qawaid, oleh Taqiyuddin al-Hishni (829 H)
5. Nazhmu al-Dakhair fi al-Asybah wa al-Nazhair, oleh
6. Abdurrahman bin Ali al-Maqdisi (876 H)
7. al-Kulliyat al-Fiqhiyah wa al-Qawaid, oleh Ibnu Ghazi al-Maliki (901 H)
8. al-Qawaid wa al-Dawabith, oleh Ibnu Abdul Hadi (909 H).

9
Pada abad ke-10 penulisan dalam ilmu ini terus berlanjut. ‘Allamah al-Suyuthi
(910 H) mengumpulkan qawaid yang bertebaran dalam al-Alai, al-Subki dan al-
Zarkasyi dengan menulis kitab al-Asyabah wa al-Nazhair. Demikian pula
‘Allamah Abu Hasan al-Zaqqaq al-Tujibyi al-Maliki (912 H) mengumpulkan dari
kitab pendahulunya seperti dari al-Furuq oleh al-Garafi dan kitab al-Qawaid
oleh al-Mamaqarra. Ibnu Nujaim al-Hanafi (970 H) juga menulis kitab mirip
dengan al- Suyuthi, diberi judul al-Asybah wa al-Nazhair. 10

Demikianlah ilmu yang terus berkembang sepanjang zaman tetap terputus,


pada abad ke-11 dan abad-abad setelah itu. Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa periode kedua dari perkembangan qawaid fiqh, yaitu
periode perkembangan dan penulisan, yang dimulai dari al-Khurkhi dan al-
Dabbusy hampir mendekati kesempurnaannya melalui usaha yang
berkesinambungan dalam beberapa abad.

Mayoritas ulama yang menulis qawaid fiqhiyah mencukupkan dengan menukil


dari qawaid fiqhiyah yang telah dirumuskan oleh ulama-ulama sebelumnya.
Beberapa ulama yang memang terkenal dengan kedalaman ilmu mereka
seperti Ibnu Wakil, al-Subki dan al-Alai mungkin ada merumuskan qawaid yang
belum dibuat oleh ulama sebelunya.

Para fuqaha seperti al-Kasaniy, Qadhikhan, Jamaluddin alHashiri dari kalangan


Hanafiyah, al-Qarafy dari kalangan Malikiya, al-Juwainiy dan al-Nawaiy dari
kalangan Syafi'iyah, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim membahas qawaid
fiqhiyah ketika memberikan 'illat suatu hukum dan mentarjih pendapat-pendapat
ulama menggandengkannya dengan furu’ dan hukum-hukum.

10. Periode Pertumbuhan

Pada abad ke 11 H. lahirlah kitab al-Majllah alAhkam al-Adhiyyah, dalam versi


yang telah disempurnakan Misalnya qaidah: ‫ير بال اٍذنه‬UU‫اليجوزالحدأن يتصرف فى ملك الغ‬
(sesungguhnya tidak berhak bertindak dengan kehendaknya sendiri atas milik
orang lain tanpa izin pemliknya). Jika dalam verdi Abu Yusuf larangan
mengenai milik orang lain itu hanya menyangkut perbuatan, Versi al-Majallah

10

10
juga melarang bentuk perkataan. Akan tetapi dua-duanya menyampaikan
pesan yang sama, yaitu penghargaan atas hak milik, salah satu bagian dari hak
asasi manusia.11

Al-Majallah merupakan undang-undang hukum perdata yang dalam


mukaddimahnya tercantum 100 butir ketentuan umum. Ketentuan umum pasal
1 adalah tentang definisi fiqh. Sedangkan pasal 2 sampai 100 adalah 99 qaidah
fiqh yang menjadi landasan dari pasal-pasal pada bagian batang tubuhnya.
Dalam mukaddimah itu, setiap qaidah fiqh disertai dengan nomor pasal pada
batang tubuh yang menjadi rinciannya. Pada abad ke 11 H. telah dilakukan
pensyarahan terhadap kitab kitab-kitab qawaid fiqhiyyah. Ahmad bin
Muhammad al-Hamawi yang antara lain tokoh fukaha yang telah mensyarahkan
kitab al-Asybah wa al-Nazhair, karangan Zayn al-Abidin Ibrahim Ibn Nujaym al-
Misri yang memuat 25 qaidah yang ia buat dalam kitabnya yang berjudul
Ghamzu ‘Uyun al-Basa’ir.12 Pada pertengahan abad yang ke-12 Hijrah, seorang
fukaha yang bernama Muhammad Said alKhadimi (w. 1154H) telah menyusun
sebuah kitab usul al-fiqh yang diberi nama Majma‘ al-Haqaiq. Menerusi kitab ini,
sejumlah 154 buah telah disusun di dalamnya mengikuti urutan susunan huruf
kamus (mu’jam) atau susunan abjad dihimpunkan dalam karya tersebut.
Kemudian kitab ini telah disyarahkan pula oleh Mustafa Muhammad dengan
nama Manaf‘i al-Haqaiq.13 Sejarah pertumbuhan dan perkembangan ilmu qawid
fiqhiyyah, dengan jelas menunjukkan bahawa para ulama dalam bidang fiqh
sejak awal abad ketiga Hijrah, telah begitu serius mengembangkan
pembahasan qawaid fiqhiyyah ini. Hal ini adalah berdasarkan kepada gerakan
atau usaha pengumpulan dan pembukuan qawaid tersebut yang ditemui sejak
awal abad ketiga Hijrah.40 Sejumlah permasalahan yang mempunyai
persamaan dari sudut fiqhiyyah telah dihimpunkan serta diletakkan di bawah
satu qaidah fiqhiyyah. Apabila terdapat masalah fiqh yang dapat dicakup di
bawah sesuatu qaidah fiqhiyyah, maka, masalah fiqh itu ditempatkan di bawah
qaidah fiqhiyyah tersebut. Selain itu, melanjutkan himpunan Qawaid fiqhiyyah
yang bersifat umum itu, juga ia memberikan peluang kepada generasi
11
Ibid., h 193
12
Ahmad bin Muhammad al-Zarqa, op. cit., h. 40.
13
Ibid

11
berikutnya untuk terus mengkaji dan menelaah permasalahan yang dibicarakan
dalam bidang fiqh yang secara keseluruhan melibatkan pembahasan hukum.
Dengan bantuan qawaid fiqhiyyah tersebut, permasalahan tersebut akan lebih
mudah diselesaikan dalam jangka waktu yang tidak begitu lama
menggandengkannya dengan furu’ dan hukum-hukum.

12
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Periode ini dari segi fase sejarah hukum Islam, dapat dibagi menjadi tiga
periode: zaman Nabi Muhammad SAW., yang berlangsung selama 22 tahun
lebih, zaman tabi’in, dan zaman tabi’it al-tabi’in yang berlangsung selama lebih
kurang 250 tahun. Pada masa kerasulan adalah masa tasyri’ (pembentukan
hukum Islam) merupakan embrio kelahiran qawaid fiqhiyyah. Nabi Muhammad
SAW. menyampaikan Hadis yang jawami’ ‘ammah (singkat dan padat). Hadis
tersebut dapat menampung masalah-masalah fiqh yang banyak jumlahnya.
Berdasarkan hal tersebut, maka Hadis Rasulullah Muhammad SAW. disamping
sebagai sumber hukum, juga sebagai qawaid fiqhiyyah. Demikian juga ucapan-
ucapan sahabat (atsar) juga dikategorikan sebagai jawami’al-kalim dan qawaid
fiqhiyyah oleh banyak ulama. al-Nadwi, menyebut beberapa sabda Rasulullah
SAW. yang telah berbentuk qaidah-qaidah, terutama qaidah hukum. Rasulullah
Muhammad SAW. yang memiliki kemampuan dalam menghasilkan jawami’ al-
kalim yaitu ungkapan-ungkapan yang ringkas ,namun padat makna dan
berdaya cakup luas. Misalnya Rasulullah SAW. bersabda: ‫)بالضمان الخراج‬
keuntungan adalah imbalan resiko); ‫ )الضرروالضرار‬Tidak ada mudharat (bahaya)
dan tidak ada pula memudharatkan); adalah bukti ( ‫البينة على المدعى واليمين على من انكر‬
dan kewajiban bagi penuduh, sedangkan sumpah adalah kewajiban orang yang
telah membantahnya.14 Hadis-Hadis tersebut di atas memiliki daya berlaku
untuk banyak ketentuan hukum karena bentuknya sebagai jawami’ al-kalim tadi,
sehingga dalam satu segi menyerupai qaidah fiqhiyyah.

DAFTAR PUSTAKA

14

13
Dr. H. Fathurrahman Azhari, M.H.I., Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, Banjarmasin

LKPU (Lembaga Pemberdayaan Kualitas Ummat) 2005

Ali Ahmad An-Nadwi, al-Qawaid al-Fiqhiyyah, Damaskus, Dar al-Qalam, 1998

Al-Burnu, Muhammad Sidqi b. Ahmad, Abu al-Harith alGhazzi (2003), op.cit., h.

51; Ahmad b. Muhammad al-Zarqa’

Abdul Mun’im Saleh, Op.cit.

Ahmad bin Muhammad al-Zarqa, op. cit., h. 40.

Ibid

14

Anda mungkin juga menyukai