Qawaid Fiqhiyyah
Dosen Pengampu:
Disusun Oleh:
Kelompok 2
2019/202
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
kami panjatkan puji syukur atas limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada
pemakalah sehingga tugas makalah “Qawaid Fiqhiyyah” dapat terselesaikan.
Shalawat serta salam atas junjungan Nabi besar Muhammad SAW, sebagai
uswatun hasanah, sosok teladan yang baik bagi manusia untuk meraih
kesuksesan dunia dan akhirat.
Makalah ini telah kami susun dengan proses analisis dan diskusi yang
maksimal dan juga mendapatkan bantuan dari berbagai pihak serta beberapa
sumber terpercaya sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.
Untuk itu kami mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang
telah berkontribusi dalam pembuatan makalah.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak
kekurangan, baik dalam segi kalimat, tata bahasa serta isi dari makalah. Oleh
karena itu, dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari
para pembaca agar dapat memperbaiki makalah ini sehingga mendekati kata
sempurna.
2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar...............................................................................................ii
Daftar isi.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang......................................................................................iv
B. Rumusan Masalah................................................................................iv
C. Tujuan...................................................................................................iv
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan..........................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................13
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah dari Qawaid Fiqhiyyah
2. Bagaimana perkembangan Qawaid Fiqhiyyah
3. Bagaimana pertumbuhan Qawaid Fiqhiyyah
C. Tujuan
1. Mengetahui Sejarah Qawaid Fiqhiyyah
2. Mengetahui perkembangan Qawaid Fiqhiyyah
3. Mengetahui pertumbuhan Qawaid Fiqhiyyah
4
BAB II
PEMBAHASAN
Ali Ahmad al-Nadwi, seorang ulama ushul kontemporer, menyebut tiga periode
penyusunan qawaid Fiqhiyyah yaitu; periode kelahiran, pembukuan, dan
penyempurnaan.1
1. Peride Kelahiran
5
( ضرروالضراTidak ada mudharat (bahaya) dan tidak ada pula memudharatkan);
dan دعى واليمين على من انكرUUUة على المUUU( البينbukti adalah kewajiban bagi penuduh,
sedangkan sumpah adalah kewajiban orang yang telah membantahnya.) 2
Sahabat Rasulullah SAW. juga menciptakan qaidah antara lain Umar bin
Khattab dalam kitab shahih : اطعUUUوق مقUUUد الحقUUUروط عنUUU الشmengatakan Bukhari
(Penerimaan hak berdasarkan kepada syarat-syarat) Ulama tabiin antara lain
al-Syafi’i misalnya menulis qaidah fiqhiyyah dalam kitabnya al-Umm االعظم إذا سقط
عن الناس سقط ما هو أصغر منه:diantaranya (apabila yang besar gugur, yang kecilpun
gugur). alQadhi Surayh bin al-Harits (w. 76 H) membuat qaidah: barangsiapa ((
و عليهUUروه فهUUير مكUUا غUUرط على نفس طائعUU من شmembuat janji secara suka rela tanpa
paksaan, maka janji itu menjadi tanggungannya). Hal ini menyangkut
syaratsyarat yang disanggupi seorang dalam bertransaksi. Meskipun beberapa
orang pada awal Islam disebut telah menciptakaan qaidah, Pada umumnya,
para pengkaji sulit untuk menentukan siapakah yang menjadi perintis
penyusunan disiplin ilmu ini. Banyak kitab yang menyebutkan nama Abu Yusuf
Ya’qub bin Ibrahim (182 H) murid Imam Abu Hanifah, sebagai orang pertama
yang membuat rumusan qaidah fiqhiyyah berdasarkan satu qaidah fiqhiyyah
yang telah dijumpai dalam kitab karangannya yaitu al-Kharaj 3. Kitab tersebut
telah dikarang oleh Abu Yusuf sebagai rujukan asas perundangan ketika
pemerintahan khalifah Harun al-Rasyid berhubung sistem al-kharaj dan
muamalah ahl al-dhimmah yang kemudian telah digunakan dan disebarluaskan
ketika zaman pemerintahan daulah Abbasiyah tersebut. Qaidah yang
dimaksudkan adalah seperti berikut:
2
Ibid, h. 90-94.
3
Al-Burnu, Muhammad Sidqi b. Ahmad, Abu al-Harith alGhazzi (2003), op.cit., h. 51; Ahmad b.
Muhammad al-Zarqa’
6
Tidak ada hak bagi seorang pemimpin untuk mengambil sesuatu dari
seseorang rakyat kecuali dengan hak-hak yang telah tersedia diketahui
oleh mereka.
Sahabat Abu Yusuf yaitu Muhammad bin alHasan al-Syaibani (w. 189 H) juga
melakukan rintisan yang sama. Hanya saja yang ia lakukan adalah lebih
banyak merupakan upaya ta’lil (mencari alasan hukum). Hasil dari ta’lil adalah
sangat berguna bagi upaya pengqaidah-an hukum, sebab banyak sekali illat
hukum yang ditemukan bisa berfungsi sebagai qaidah hukum. Ibnu Nujaym (w.
970H.) dari ulama golongan Hanafiyyah berpendapat bahwa: Sesungguhnya
sahabatsahabat kami (para ulama Hanafiyyah), mempunyai keistimewaan
merintis usaha dalam penyusunan qaidah ini. Dan orang mengikuti mereka dan
mereka pula bergantung kepada Imam Abu Hanifah dalam masalah fiqh.
Periode ini dimulai ketika kajian qawaid telah berupa cabang ilmu tersendiri,
yang dimulai dari awal abad ke-4 H dan berlanjut selama beberapa abad.
Periode ini dicatat pula sebagai masa mengendornya laju pertumbuhan
pengkajian fikih, setelah melalui masa keemasan, yang meninggalkan
khazanah fikih yang luar biasa. Para ulama pada periode ini cenderung untuk
menulisnya, memberikan dalil, mentarjihnya saja, atau memanfaatkan hukum-
hukum ijtihadiyah yang telah dijelaskan illat hukumnya untuk menetapkan
hukum kasus-kasus baru yang muncul.4
Sejarah mencatat bahwa ulama Hanafiah lebih terdahulu dari yang lain.
Mungkin ini karena kayanya mereka dengan masalah furu’, sehingga beberapa
4
Abdul Mun’im Saleh, Op.cit. h. 186.
5
7
ushul pun dirumuskan dari furu’ ulama mazhab mereka. Misalnya, Imam
Muhammad dalam kita al-Ashl ketika membahas satu masalah memberikan
furu’ dengan jumlah yang sangat banyak, sehingga sulit untuk menguasainya. 6
Imam Abu Thaher al-Dabbas, seorang ulama abad ke-4 H, adalah ulama yang
paling terdahulu --menurut riwayat yang sampai kepada kita-- yang
mengumpulkan qawaid fiqhiyah dan menyusunnya sesuai susunan kitab fiqh.
Beliau mengumpulkan qawaid mazhab Abu Hanifah dalam 17 kaidah, dan
konon beliau selalu mengulang-ulang qawaid ini setiap malam di mesjidnya.
Cukup sulit untuk memastikan ke-17 qawaid Imam al-Dabbas itu. Hanya
diriwayatkan bahwa Abu Saad al-Harawi alSyafi’i belajar kepada beliau dan
menyalin beberapa qawaid. Di antara qawaid itu adalah qawaid asasiah yang
terkenal, sebagai berikut:
ادةUUزال العUUرر يUUير الضUUقة تجلب التيسUUك المشUUزول بالشUUاألمور بمقاصدىا اليقين ال ي
محكمة
Atau dari apa yang ditulis oleh ulama seangkatan beliau Imam al-Karkhi (340
H), yang kemungkinan menyalin qawaid itu dan menambahnya sehingga
menjadi 39 kaidah. Kemudian setelah itu datang Imam Abu Zaid al-Dabbusy
(430 H) yang menambah apa yang diterima dari Imam al-Kurkhi ini, dan
menulisnya dalam satu kitab tersendiri berjudul Ta’sis alNazhar. Inilah kitab
pertama dalam ilmu qawaid fiqh dan merupakan permulaan periode penulisan.
Sayangnya setelah kitab Ta’ssi al-Nazhar ini tidak ditemukan lagi kitab yang
ditulis pada abad ke-5 ini, bahkan juga abad ke-6, kecuali kitab idhah al-qawaid
yang ditulis oleh Imam Alaiddin Muhammad bin Ahmad al-Samarqandi (540 H).
Pada abad ke-7, ilmu ini mulai bekembang walaupun belum mencapai
kematangannya. Di antara ulama yang menonjol dan menulis dalam bidang ini
adalalh Muhammad bin Ibrahim al-Jajarmy al-Suhlaki (613 H) yang menulis
kitab alQawaid fi Furu al-Syafi’iyah, kemudian Imam Izzuddin bin Abd Salam
(660 H) yang menulis kitab Qawaid al-Akam fi Mashalih al-Anam. Di antara
8
ulama mazhab Maliki yang menulis pada abad ini ialah: Muhammad bin
Abdullah bin Rasyid al-Bakary al-Qafshi dengan kitab yang berjudul al-Muzhab
fi Qawaid al-Mazhab.7 Abad ke-8 dianggap abad keemasan penulisan qawaid
fiqhiyah. Ulama dari kalangan Syafi’iyah dalam hal ini mendahului ulama
mazhab lain. Di antara karya dalam qawaid fiqhiyah yang terpenting dan
terkenal adalah sebagai berikut:8
1. Kitab fi al-qawaid, dengan merujuk kepada kitab Ibnu Subki, oleh Ibnu
Mulaqqin (804 H)
2. Asna al-Maqasid fi Tahrir al-Qawaid, oleh Muhammad bin Muhammad
al-Zubairi (808 H)
3. al-Qawaid al-Manzhumah, oleh Ibnu al-Haim al-Maqdisi (815 H)
4. Kitab al-Qawaid, oleh Taqiyuddin al-Hishni (829 H)
5. Nazhmu al-Dakhair fi al-Asybah wa al-Nazhair, oleh
6. Abdurrahman bin Ali al-Maqdisi (876 H)
7. al-Kulliyat al-Fiqhiyah wa al-Qawaid, oleh Ibnu Ghazi al-Maliki (901 H)
8. al-Qawaid wa al-Dawabith, oleh Ibnu Abdul Hadi (909 H).
9
Pada abad ke-10 penulisan dalam ilmu ini terus berlanjut. ‘Allamah al-Suyuthi
(910 H) mengumpulkan qawaid yang bertebaran dalam al-Alai, al-Subki dan al-
Zarkasyi dengan menulis kitab al-Asyabah wa al-Nazhair. Demikian pula
‘Allamah Abu Hasan al-Zaqqaq al-Tujibyi al-Maliki (912 H) mengumpulkan dari
kitab pendahulunya seperti dari al-Furuq oleh al-Garafi dan kitab al-Qawaid
oleh al-Mamaqarra. Ibnu Nujaim al-Hanafi (970 H) juga menulis kitab mirip
dengan al- Suyuthi, diberi judul al-Asybah wa al-Nazhair. 10
10
10
juga melarang bentuk perkataan. Akan tetapi dua-duanya menyampaikan
pesan yang sama, yaitu penghargaan atas hak milik, salah satu bagian dari hak
asasi manusia.11
11
berikutnya untuk terus mengkaji dan menelaah permasalahan yang dibicarakan
dalam bidang fiqh yang secara keseluruhan melibatkan pembahasan hukum.
Dengan bantuan qawaid fiqhiyyah tersebut, permasalahan tersebut akan lebih
mudah diselesaikan dalam jangka waktu yang tidak begitu lama
menggandengkannya dengan furu’ dan hukum-hukum.
12
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Periode ini dari segi fase sejarah hukum Islam, dapat dibagi menjadi tiga
periode: zaman Nabi Muhammad SAW., yang berlangsung selama 22 tahun
lebih, zaman tabi’in, dan zaman tabi’it al-tabi’in yang berlangsung selama lebih
kurang 250 tahun. Pada masa kerasulan adalah masa tasyri’ (pembentukan
hukum Islam) merupakan embrio kelahiran qawaid fiqhiyyah. Nabi Muhammad
SAW. menyampaikan Hadis yang jawami’ ‘ammah (singkat dan padat). Hadis
tersebut dapat menampung masalah-masalah fiqh yang banyak jumlahnya.
Berdasarkan hal tersebut, maka Hadis Rasulullah Muhammad SAW. disamping
sebagai sumber hukum, juga sebagai qawaid fiqhiyyah. Demikian juga ucapan-
ucapan sahabat (atsar) juga dikategorikan sebagai jawami’al-kalim dan qawaid
fiqhiyyah oleh banyak ulama. al-Nadwi, menyebut beberapa sabda Rasulullah
SAW. yang telah berbentuk qaidah-qaidah, terutama qaidah hukum. Rasulullah
Muhammad SAW. yang memiliki kemampuan dalam menghasilkan jawami’ al-
kalim yaitu ungkapan-ungkapan yang ringkas ,namun padat makna dan
berdaya cakup luas. Misalnya Rasulullah SAW. bersabda: )بالضمان الخراج
keuntungan adalah imbalan resiko); )الضرروالضرارTidak ada mudharat (bahaya)
dan tidak ada pula memudharatkan); adalah bukti ( البينة على المدعى واليمين على من انكر
dan kewajiban bagi penuduh, sedangkan sumpah adalah kewajiban orang yang
telah membantahnya.14 Hadis-Hadis tersebut di atas memiliki daya berlaku
untuk banyak ketentuan hukum karena bentuknya sebagai jawami’ al-kalim tadi,
sehingga dalam satu segi menyerupai qaidah fiqhiyyah.
DAFTAR PUSTAKA
14
13
Dr. H. Fathurrahman Azhari, M.H.I., Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, Banjarmasin
Ibid
14