Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH QAWAIDH FIQHIYAH

ِ ‫ب التَّ ْي‬
‫س َر‬ َ ‫ا ْل َم‬
ُ ِ‫شقَّة ت َْجل‬
Dosen Pengampu : Dra. Azizah M.A.

Oleh :Kelompok 7

NURHAYATI SAKINA HASIBUAN | 11180440000010

NUR FADHILAH NOVIANTI | 11180440000034

HUKUM KELUARGA 4 - A

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH


KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT. yang telah
memberikan karunia dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
makalah Qawaidh Fiqhiyah dengan judul “‫ب التَّْي ِس َر‬ ِ
ُ ‫”الْ َم َش َّقةُ جَتْل‬. Makalah ini dibuat dengan
tujuan untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Qawaidh Fiqhiyah, serta untuk
menambah wawasan kami maupun pembaca tentang ‫ب التَّْي ِسَر‬ ِ
ُ ‫الْ َم َش َّقةُ جَتْل‬.

Kami mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah memberikan


usaha dan semangat dalam penyusunan makalah ini. Kami sadar dalam penyusunan
makalah ini dirasakan masih banyak kekurangan,baik secara sistematika penyusunan
maupun penggunaan kata-kata, karena itu kami mengharapkan dengan kerendahan hati
memberikan kritik dan saran yang membangun agar penyusunan makalah selanjutnya
lebih baik. Semoga makalah ini bisa bermanfaat khususnya bagi kami, dan umumnya
bagi para pembaca. Demikianlah makalah ini kami buat, kami ucapkan banyak terima
kasih.

Kelompok 7

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................i

DAFTAR ISI....................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................1

A. Latar Belakang........................................................................................................1

B. Rumusan Masalah..................................................................................................1

C. Tujuan.....................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................2

A. Makna Kaedah........................................................................................................2

B. Dalil Kaedah...........................................................................................................2

C. Macam-macam Masyaqqah....................................................................................6

D. Aplikasi Kaedah.....................................................................................................7

E. Faidah...................................................................................................................11

BAB III PENUTUP.......................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................14

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam Islam semuanya sudah diatur dalam ketentuaan nash-nash syar’i.
dalam menjalani hidup, manusia akan mengalami berbagai perstiwa yang
menyebabkannya merasa senang, susah, sedih, aman, tenang, khawatir, dan lain
sebagainya. Sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin Islam memberikan
perhatian besar pada unsur-unsur kesulitan yang dialami umatnya.
Syari’at Islam menjaga sebuah prinsip menghilangkan kesukaran dari
subjek hukum dalam keseluruhan hukum syar’i yang diatur dalam kaidah-kaidah
baku dan dasar-dasar permanen yang dapat dijadikan sebagai media
penyimpulan hukum (istinbath) ketika tidak ditemukan dalil syar’i atau ketika
asy-syar’i (pembuat hukum syara’) berdiam diri mengenai status perkara
tertentu.
B. Rumusan Masalah
a. Apa itu pengertian ‫ب التَّْي ِسَر‬ ِ
ُ ‫الْ َم َش َّقةُ جَتْل‬
b. Dasar hukum ‫ب التَّْي ِسَر‬ ِ
ُ ‫الْ َم َش َّقةُ جَتْل‬
c. Macam-macam ‫ب التَّْي ِسَر‬ ِ
ُ ‫الْ َم َش َّقةُ جَتْل‬
d. Pengaplikasian Kaidah ‫ب التَّْي ِسَر‬ ِ
ُ ‫الْ َم َش َّقةُ جَتْل‬
e. Faidah dari Kaidah ‫ب التَّْي ِسَر‬ ِ
ُ ‫الْ َم َش َّقةُ جَتْل‬
C. Tujuan
a. Dapat Mengetahui dan paham apa itu ‫ب التَّْي ِسَر‬ ِ
ُ ‫الْ َم َش َّقةُ جَتْل‬
b. Dapat mengetahui landasan hukum kaidah ‫ب التَّْي ِسَر‬ ِ
ُ ‫الْ َم َش َّقةُ جَتْل‬
f. Mengetahui macam-macam ‫ب التَّْي ِسَر‬ ِ
ُ ‫الْ َم َش َّقةُ جَتْل‬
c. Paham pengaplikasian kaidah ‫ب التَّْي ِسَر‬ ِ
ُ ‫الْ َم َش َّقةُ جَتْل‬
d. Paham Faidah kaidah ‫ب التَّْي ِسَر‬ ِ
ُ ‫الْ َم َش َّقةُ جَتْل‬

1
BAB II
PEMBAHASAN

‫ب الت َّْي ِس َر‬ ِ


ُ ‫ال َْم َش َّقةُ تَ ْجل‬

“Kesulitan itu bisa mendatangkan kemudahan”

A. Makna Kaedah

ُ‫ ال َْم َش َّقة‬berarti kepayahan, kesulitan dan kerepotan.

‫ الت َّْي ِس َر‬artinya adalah kemudahan dan keringanan.


Dari sini maka secara bahasa kaedah ini mempunyai pengertian bahwa
sebuah kesulitan kan menjadi sebab datangnya kemudahan dan keringanan.
Adapun secara istilah para ulama’, maka kaedah ini berarti hukum-hukum syar’i
yang dalam prakteknya menimbulkan kesulitan dan kepayahan serta kerumitan
bagi seorang mukallaf (orang yang diberi beban syar’i) maka syariat Islam
meringankan agar bisa dilakukan dengan mudah dan ringan.1
Arti kaedah ini dalam terminologi syar’i adalah, “hukum-hukum yang
menimbulkan kesusahan atas mukallaf, yaitu kesulitan pada diri dan hartanya,
maka syari’ah meringankannya dengan cukup melakukan sesuatu yang berada
dalam kemampuannya. 2
B. Dalil Kaedah
Ada banyak dalil-dalil yang menunjukkan pada kaedah ini:
Al-baqarah : 185

1
Ahmad Sabiq, Qawaid Fiqhiyah : Kaedah-Kaedah Praktis Memahami Fiqih Islami, (Pustaka Al-
Furqon, 2009), hlm. 61
2
Ahmad Sudirman Abbas, Qawaid Fiqhiyyah Dalam Perspektif Fiqh, (Jakarta: Radar Jaya Offset, 2004),
hlm. 84

2
ِ ‫َر َو اَل يُ ِر ي‬ ‫ُد اللَّ هُ بِ ُك ُم الْ يُ ْس‬ ‫يُ ِر ي‬
ُ‫ُد ب ُك م‬
‫الْ عُ ْس َر‬... ...

“... Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran


bagimu... ”

Al-baqarah : 286

‫ت‬
ْ َ‫اك تَ َس ب‬ ْ َ‫ هَلَ ا َم ا َك َس ب‬Fۚ ‫ف اللَّ هُ َن ْف ًس ا إِ اَّل ُو ْس َع َه ا‬
ْ ‫ت َو َع لَ ْي َه ا َم ا‬ ُ ِّ‫ۗ اَل يُ َك ل‬
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia
mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa
(dari kejahatan) yang dikerjakannya.”
An-Nisa’ : 28

‫ض عِ ًيف ا‬ ُ ‫ َو ُخ لِ َق ا إْلِ نْ َس‬Fۚ ‫ف َع ْن ُك ْم‬


َ ‫ان‬ ْ ‫يد اللَّ هُ أ‬
َ ‫َن خُيَ ِّف‬ ُ ‫يُ ِر‬

“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan


bersifat lemah.”

Al-Maidah : 6

‫َل َع لَ ْي ُك ْم ِم ْن‬ ‫ُد اللَّ هُ لِ يَ ْج َع‬ ‫ا يُ ِر ي‬ ‫َم‬

‫ح َر ٍج‬......
َ

“... Allah tidak hendak menyulitkan kamu ...”

Al-Hajj : 78

‫ين ِم ْن َح َر ٍج‬ ِّ ‫ۚ َو َم ا َج َع َل َع لَ ْي ُك ْم يِف‬


ِ ‫الد‬

3
“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan.”

Al-A’raf : 157

‫ت َع لَ ْي ِه ْم‬ ْ ِ‫ض ُع َع ْن ُه ْم إ‬
ْ َ‫ص َر ُه ْم َو ا أْل َ ْغ اَل َل الَّ يِت َك ان‬ َ َ‫ ۚ َو ي‬. .....

“... Dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada


pada mereka.”

Hadits dari Abu Hurairah:

ِ ‫ب الدِّي ِن اِىَل‬
َّ ‫اهلل احْلَنِ ِفيَّ ِة‬
ُ‫ابس ْم َحة‬ ْ ُّ ‫الدِّيْ ُن يُ ْسٌر اَ َح‬

“Agama itu adalah mudah, agama yang disenangi Allah adalah agama yang
benar dan mudah.”

Agama Islam disebut agama al-Hanifiyah, karena didalamnya


mengandung kemudahan-kemudahan dan keringanan.

Hadits dari Anas

َ‫ُر ْوا َوال‬ ‫يَ ِّس‬

‫ُت َع ِّس ُر ْوا‬

“Mudahkanlah dan jangan mempersukar”

Ayat-ayat dan hadits tersebut saling melengkapi dan menguatkan untuk


menunjukkan bukti-bukti konkrit bahwa syari’at Islam senantiasa menginginkan
hilangnya kesulitan dari umatnya. Prinsip-prinsip yang termuat dalam teks ayat

4
di atas meniscayakan bahwa dalam hukum-hukum syar’i tidak akan pernah
didapati suatu tuntutan yang melewati batas kemampuan hamba-Nya. Dalil-dalil
tesebut juga mengindikasikan bahwa Allah memberlakukan hukum-hukumNya
(yang termuat dalam syari’ah Islam), pada hakikatnya bertujuan untuk
memberikan kemudahan dan keringanan kepada hamba-Nya. Seluruh amal
ibadah, baik yang berhubungan dengan hati atau yang berhubungan dengan
anggota tubuh, tidak dibebankan oleh Allah, kecuali semua itu sudah sesuai
(seukuran) dengan kadar kemampuan mukallaf.3

Mengomentari ayat : ‫يد بِ ُك ُم الْ عُ ْس َر‬


ُ ‫يد اللَّ هُ بِ ُك ُم الْ يُ ْس َر َو اَل يُ ِر‬
ُ ‫يُ ِر‬... ...

Rasyid Ridha dalam tafsir al-Manar mengatakan,

“ayat ini (melihat pada konteksnya) secara eksplisit mengesankan bahwa


seseorang yang tidak berada dalam kepayahan dan kesulitan, maka yang lebih
utama (afdal) baginya adalah melakukan puasa. Ketentuan “yang lebih utama
tetap melakukan puasa” ini, sebab orang tersebut tidak dalam kepayahan
dalen kesulitan, sehingga tidak ditemukan illat (alasan) hukum untuk
memberikan rukhsah (keringanan yang berupa “boleh tidak puasa”). Namun,
jika dengan puasanya ini, orang tersebut merasakan kesulitan dan kepayahan,
maka yang lebih baik (afdal) baginya adalah meninggalkan puasa,
dikarenakan pada yang ringan, yaitu rasa payah dan lemah jika melakukan
puasa. Lebih jelasnya, bahwa Allah sama sekali tidak bermaksud
memberatkan hamba-Nya dalam menjalankan hukum-hukum Allah. Allah
hanya menginginkan hamba-Nya senantiasa dalam kemudahan dan kebaikan.
Pengertian yang demikian ini merupakan hal yang prinsip dan mendasar
dalam Islam4.

3
Ahmad Sudirman Abbas, Qawaid Fiqhiyyah Dalam Perspektif Fiqh, hlm. 79
4
Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, (Kairo : Al-Manar, 1954), Juz II, hlm. 164

5
Semua ayat- ayat dan hadits ini memberikan sebuah faedah bahwa agama
Islam tidak datang untuk membawa kesulitan akan tetapi dengan membawa
kemudahan. Syaikh Abdur Rohman As-Sa’di berkata : “ seluruh syari’at Islam
ini lurus dan mudah. Lurus dalam masalah tauhid yang dibangun atas dasar
beribadah hanya kepada Allah swt saja yang tiada sekutu bagi-Nya, serta mudah
dalan hal hukum dan amal perbuatan. 5
C. Macam-macam Masyaqqah6
a. Al-Masyaqqah al-‘Azhimah (kesulitan yang sangat berat), seperti
kekhawatiran akan huilangnya jiwa dan/atau rusaknya anggota badan.
Hilangnya nyawa dan/atau anggota badan menyebabkan kita tidak bisa
melaksanakan ibadah dengan sempurna. Masyaqqah semacam ini membawa
keringanan.7
Misal :
- Berpuasa sepuluh hari berturut-turut siang dan malam, berjalan diatas air,
terbang tanpa alat dan lainnya. Ini semua tidak mungkin disyari’atkan
oleh Allah swt dan Rasul-Nya.
- Memaksakan diri menggunakan air dalam berwudhu, padahal jika ia
menggunakannya, maka tangan, dan kakinya akan rontok karena suatu
penyakit, maka haram baginya menggunakan air dan ia harus
menggantinya dengan tayamum.8
b. Al-Masyaqqah al-Mutawasithah (kesulitan yang pertengahan, tidak sangat
berat juga tidak sangat ringan). Masyaqqah semacam ini harus
dipertimbangkan, apabila lebih dekat kepada masyaqqah yang sangat berat,
maka ada kemudahan disitu. Apabila lebih dekat kepada masyaqqah yang

5
Ahmad Sabiq, Qawaid Fiqhiyah : Kaedah-Kaedah Praktis Memahami Fiqih Islami., hlm. 64
6
Ahmad Sabiq, Qawaid Fiqhiyah : Kaedah-Kaedah Praktis Memahami Fiqih Islami., hlm. 65-66
7
Faturrahman Azhari, Qawaid Fiqhiyah Muamalah, (Banjarmasin: LKPU, 2015), hlm. 88.
8
Ahmad Sudirman Abbas, Qawaid Fiqhiyyah Dalam Perspektif Fiqh, hlm. 88

6
ringan, maka tidak ada kemudahan disitu, jadi masyaqqah itu bersifat
individual.9
Misal:
- Shalat lima puluh kali sehari semalam, seandainya Allah swt
memerintahkannya kepada manusia maka hal ini bisa dilakukan oleh
mereka, namun dengan sebuah masyaqqah yang sangat berat sekali. Oleh
karena itu Allah tidak mensyari’atkan hal ini pada umat Islam.

c. Al-Masyaqqah al-Khafifah (kesulitan yang ringan)10


Misal:
- Puasa sehari dari terbit fajar sampai terbenam matahari, ini pasti ada
masyaqqahnya akan tetapi dalam kadar yang wajar.
- Begitu juga mengeluarkan zakat dari sebagian harta dan lainnya.
- Terasa letih waktu thawaf dan sai.
- Terasa pusing waktu ruku’ dan sujud.

Menurut Imam Asy-Syathibi bahwa kesukaran menurut pengertian yang


umum mengandung 2 bentuk kesukaran, kesukaran yang mampu dipikul dan
kesukaran yang tidak mampu dipikul. Pembebanan hukum (taklif) yang
disertai kesukaran di luar kemampuan subjek hukum (mukallaf) adalah
bentuk taklif yang tidak mampu direalisasikan, dan bentuk ini mustahil dan
tidak mungkin terjadi secara syar’i. Bentuk kesukaran yang dapat dipikul
subjek hukum juga tidak akan dibebankan oleh Asy-Syar’i kepada manusia
apabila kesukaran tersebut diluar kebiasaan dalam aktivitas sehari-hari,
akrena dapat menimbulkan kerisauan dalam hati dalam menjalankan taklif
tersebut dan menggeliisahkandalam pelaksanaannya, baik pada saat
dilakukan maupun setelahnya. Kedua bentuk kesukaran tersebut bukanlah

9
Faturrahman Azhari, Qawaid Fiqhiyah Muamalah, hlm. 88.
10
Faturrahman Azhari, Qawaid Fiqhiyah Muamalah, hlm. 89.

7
bentuk yang dikehendaki Asy-Syar’i dan keduanya pun tidak mungkin
terjadi.11

D. Aplikasi Kaedah12
Seluruh masyaqqah bisa ditoleransi oleh syar’i, selama toleransi atas
kepayahan tersebut tidak bertentangan dengan nash-nash yang lain. Hampir bsia
dipastikan, bahwa kesulitan dan kepayahan yang dimaksudkan oleh syar’i
tersebut ada pada 7 hal berikut ini, yang menjadi penyebab dispensasi atau
keringanan syar’i, yaitu sebagai berikut:
a. Sebab safar (bepergian)
Menurut imam Nawawi, dispensasi yang diberikan pada musafir ada
delapan;
- Boleh mengqashar dan menjama’ shalat, meninggalkan puasa dan mengusap
muzah (khuf/sepatu bot) bagi yang memakai lebih dari sehari semalam.
- Boleh meninggalkan shalat jum’at dan memakan bangkai
b. Sebab sakit (maridh)
- Boleh tayamum ketika sakitnya tidak memungkinkan untuk menggunakan
air.
- Boleh duduk dalam shalat fardhu, boleh shalat dalam keadaan tidur miring
dan posisi yang dimungkinkan.
- Boleh tidak puasa Ramadhan dan meninggalkan puasa bagi orang tua yang
sudah manula dengan cukup membayar fidyah.
- Boleh berobat menggunakan khamer dan perkara yang najis.
- Boleh melihat aurat, bahkan juga boleh melihat vagina dan anus untuk
kepentingan pengobatan.
- Boleh mengakhirkan pelaksanaan had selain rajam bagi orang yang sakit
dengan menunggu sampai sembuhnya.

11
Nashr farid Muhammad washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawaid Fiqhiyah, (Jakarta:
Amzah, 2013), hlm.65
12
Ahmad Sudirman Abbas, Qawaid Fiqhiyyah Dalam Perspektif Fiqh, hlm. 89-100

8
- Boleh bagi isteri yang sedang sakit tidak melayani suaminya dalam
berhubungan intim, jika dengan melayaninya akan menyebabkan bertambah
sakit.
c. Sebab Paksaan (al-Ikrah)
Definisi paksaan (al-Ikrah secara terminologi fiqh menurut Musthafa
Ahmad al-Zarqa adalah “Menekan (memeras) seseorang dengan
menggunakan cara (perantara) yang menakutkan, atau dengan menggunakan
ancaman yang menakutkan, untuk memaksa orang tersebut, agar mau
melakukan sesuatu, atau meninggalkannya.” Dari definisi tersebut,
Musthafa al-Zarqa kemudian menjabarkannya, bahwa al-Ikrah secara
kronologis memiliki 2 bentuk:

Pertama, seseorang dipaksa untuk melakukan suatu bahaya yang


bisa menimpa dirinya, kemudian ia berusaha (menghindar) untuk tidak
memenuhi paksaan tersebut, agar selamat dari bahaya (perbuatan) yang
dipaksakan.

Kedua, seseorang dipaksa untuk melakukan sesuatu dengan ancaman


akan ditimpakan bahaya pada dirinya apabila tidak mau melaksanakan
sesuatu tersebut. Kemudian ia melakukan (mentaati) sesuatu yang
dipaksakan itu, agar terhindar dari bahaya yang diancamkan.

Dari kaidah ini dapat disimpulkan, bahwa dalam keadaan (sangat)


terpaksa, maka orang diizinkan melakukan perbuatan yang dalam keadaan
biasa terlarang, karena apabila tidak demikian, mungkin akan
menimbulkan suatu kemudharatan pada dirinya.

Contoh:13

- Orang yang sedang mengalami kelaparan. Makanan yang ada


hanya bangkai saja. Bangkai ini baginya halal dimakan. Didalam kondisi

13
Abdul Mudjib, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih, (Jakarta: Kalam Mulia, 2001), hlm. 37

9
yang sama karena kehausan orang boleh minum minuman keras, sebab
yang ada hanya minuman keras itu saja.
- Boleh membongkar kubur untuk memandikan mayitnya, sebab
diketahui kemudian bahwa si mayit belum dimandikan. Atau untuk
menghadapkannya ke arah kiblat, lantaran posisi semula tidak menghadap
kiblat.
- Boleh memporak-porandakan kekayaan berupa apapun milik
musuh didalam situasi perang.
d. Lupa (Nisyan) dan tidak tahu (Jahil)
Adapun hukum lupa dan tidak tahu (jahil):
pertama, apabila kelupaan dan ketidaktahuan tersebut menyebabkan
seseorang meninggalkan perkara yang diperintah (wajib)kan maka kedua-
duanya tidak bisa menggugurkan wajibnya perkara yang diperintah.
Dengan kata lain, seseorang yang lupa atau tidak tahu terhadap suatu
perintah (kewajiban) sehingga ia tidak melaksanakannya, maka kewajiban
tersebut tidak bisa gugur. Dengan demikian, ketika ia sudah tahu atau
sudah ingat, maka ia tetap harus melaksanakan kewajiban itu, meskipun
dengan cara qadha.

Contoh :

- Orang yang melupakan shalat, puasa, haji, zakat, kafarat, dan nadzar,
maka menurut konsensus para ulama, ia wajib melaksanakannya
dengan cara qadha.
- Orang yang lupa melakukan wukuf diselain tanah Arafah, maka ia
wajib mengqadha.
- Orang yang lupa melakukan wudhu dengan tidak runtut (tartib)
- Orang yang lupa memiliki air, kemudian melakukan tayamum.
- Orang yang lupa atau tidak tahu melakukan shalat dalam keadaan
bersentuhan dengan najis yang tidak di ma’fu (tidak dimaafkan)
- Orang yang melupakan bacaan al-fathihah dalam shalat.

10
Kedua, apabila lupa dan tidak tahu (jahil) mengakibatkan
seseorang melakukan sesuatu yang dilarang, dan larangannya ini bukan
berupa merusak hak orang lain, maka lupa dan tidak tahu tersebut tidak
membawa konsekuensi hukum apa-apa, dan tidak menyebabkan ia dikenai
sanksi.
- Orang yang meminum khamar karena tidak tahu hukum
keharamannya, maka ia tidak terkena had dan ta’zir.
- Dalam keadaan lupa atau tidak tahu, seseorang melakukan perbuatan
yang merusak ibadah , seperti makan ketika shalat dan puasa atau
ketika shalat melakukan sesuatu yang memalingkan dari kesan shalat,
seperti berbicara atau lainnya.
e. Kesulitan dan ‘umumul balwa
Yang dimaksud ‘umumul balwa adalah suatu kondisi yang sulit
dihindari , seperti darah yang keluar terus menerus dari biusl atau luka-
luka yang lainnya. Maka kondisi yang demikian ini bisa menjadikan
seseorang mendapatkan dispensasi syar’i.
f. Kekurangan, kekurangan adalah salah satu macam dari kesulitan, karena
setiap orang mesti senang pada kesempurnaan.14
Kekurangan menyebabkan keringanan, seperti anak-anak dan wanita diberi
banyak kebebasan dari kewajiban yang ada pada kaum laki-laki dewasa,
misalnya : shalat jum’at, membayar jizyah, berperang dan sebagainya.
E. Faidah15
Keringanan dalam hukum syara’ itu terbagi menjadi tujuh macam:
a. Takhfif isqath, Keringanan menghilangkan/menggugurkan, seperti gugurnya
kewajiban jum’at, haji dengan sebab ‘udzur/halangan.
b. Takhfif Tanqish, Keringanan mengurangi, seperti meng-qashar (meringkas
jumlah raka’at) shalat.

14
Abdul Mudjib, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih, hlm. 31
15
Abdul Hamid Hakim, Mabadi awwaliyah, Terj. Sukanan dan Khairudin, hlm. 40-41.

11
c. Takhfif Ibdal, Keringanan menggantikan, seperti menggantikan air wudhu
dan mandi dengan tayamum, dan menggantikan berdiri dalam shalat dengan
duduk, berbaring miring dan isyarah, dan menggantikan puasa dengan
memberi makan fakir miskin (bagi yang udzur).
d. Takhfif Taqdim, Keringanan mendahulukan, seperti shalat jama’ dan
mendahulukan zakat sebelum waktunya tiba, dan mendahulukan zakat fitrah
dibulan Ramadhan, dan mendahulukan nmembayar kafarat bagi yang
melanggar sumpah.
e. Takhfif Ta’khir, Keringan mengakhirkan, seperti shalat jama’ ta’khir dan
mengakhirkan puasa ramadhan bagi orang yang sakit dan musafir, dan
mengakhirkan shalat bagi orang yang menyelamatkan orang yang
tenggelam.
f. Takhfif Rukhshah, Keringanan rukhshah, seperti shalatnya orang yang
beristinja’ dengan batu karena masih ada bekas sisa kotorannya, dan minum
arak bagi yang haus serta makan najis untuk kebutuhan obat.
g. Takhfif Taghyir, Keringanan merubah, seperti merubahnya peraturan/praktik
shalat pada shalat khauf.

12
BAB III
KESIMPULAN

Al-Masyaqqah menurut bahasa adalah kelelahan, kepayahan, kesulitan,


dan kesukaran. Sedangkan kata at-taysir secara bahasa adalah kemudahan.

‫ب التَّْي ِسَر‬ ِ
ُ ‫الْ َم َش َّقةُ جَتْل‬ secara syar’i adalah “hukum-hukum yang menimbulkan

kesusahan atas mukallaf, yaitu kesulitan pada diri dan hartanya, maka syari’ah
meringankannya dengan cukup melakukan sesuatu yang berada dalam
kemampuannya.

Hukum yang dipraktikkan menyulitkan mukallaf, maka syariat


memudahkannya sehingga beban tersebut berada dibawah kemampuan mukallaf
tanpa kesukaran.

Hukum tentang keringanan yang dilakukan oleh seorang mukallaf tanpa


kesukaran dapat disebut dengan rukhshah.

13
DAFTAR PUSTAKA

Sabiq, Ahmad, Qawaid Fiqhiyah : Kaedah-Kaedah Praktis Memahami Fiqih


Islami, Pustaka Al-Furqon, 2009.
Abbas, Ahmad Sudirman, Qawaid Fiqhiyyah Dalam Perspektif Fiqh, Jakarta:
Radar Jaya Offset, 2004.
Ridha, Rasyid Tafsir al-Manar, Kairo : Al-Manar, 1954.

Azhari, Faturrahman, Qawaid Fiqhiyah Muamalah, Banjarmasin: LKPU, 2015.

Mudjib, Abdul, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih, Jakarta: Kalam Mulia, 2001.

Hamid Hakim, Abdul, Mabadi awwaliyah, Terj. Sukanan dan Khairudin.

Nashr farid Muhammad washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawaid
Fiqhiyah, Jakarta: Amzah, 2013.

14

Anda mungkin juga menyukai