Disusun Oleh :
2020/2021
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, shalawat dan salam juga
disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Serta sahabat dan keluarganya,
seayun langkah dan seiring bahu dalam menegakkan agama Allah. Dengan kebaikan beliau telah
membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang berilmu pengetahuan.
Dalam rangka melengkapi tugas dari mata kuliah Qawaid Fiqhiyyah pada Program Studi
Hukum Ekonomi Syari’ah (Mu’amalah) UIN SUMATERA UTARA dengan ini penulis
mengangkat judul “Kaidah Kedua: al-Yakin La Yuzalu bi al-Syakk”.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun isinya.
Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran-saran yang dapat
membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis,
KELOMPOK 5
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah......................................................................................................1
C. Tujuan........................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. Dasar Kaidah..............................................................................................................2
D. Kaidah-Kaidah Cabang..............................................................................................9
A. Kesimpulan................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................14
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dan fuqaha juga mengatakan : “Asal segala sesuatu adalah suci” dan “Pada asalnya,
seseorang itu terbebas dari beban kewajiban dan dari menanggung hak-hak makhluk sampai ada
dalil yang menunjukkan berubahnya hal tersebut”
Mendengar suara atau mencium bau dari gas yang keluar dari dubur akan membuat
pelakunya yakin telah berhadats. Maka Rasulullah memerintahkan untuk meneruskan shalatnya
hingga dia yakin telah berhadats. Ini adalah kaidah besar yang permasalahan fiqih banyak
merujuk kaidah ini. Hanya sedikit bab fiqih yang tidak merujuk kaidah ini. Fuqaha bersepakat
atas keabsahan kaidah ini. Imam Al Qarafy rahimahullahu berkata, “Ini adalah kaidah yang
disepakati” (Al Furuq, 1/111)
B. Rumusan Masalah
1. Apa dasar kaidah kedua?
2. Apa defenisi yakin dan syakk?
3. Apa kaidah cabang atau turunannya?
4. Bagaimana aplikasinya dalam kehidupan?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa dasar kaidah kedua
2. Untuk memahami apa defenisi yakin dan syakk
3. Untuk mengetahui kaidah cabang atau turunannya
4. Untuk memahami aplikasi kaidah dalam kehidupan
D.
KAIDAH KEDUA:
ك
ّ لش ُ الْيَ ِق ْي ُن الَ ُي َز
َّ ال بِا
A. Dasar Kaidah
Sebenarnya qa`idah-qa`idah fiqh hanyalah kesimpulan general dari para ulama fiqh,
diambil dari materi-materi fiqh yang pada akhirnya dapat digunakan untuk menentukan
hukum dari kasus kasus baru yang muncul belakangan dan belum jelas status hukumnya
dalam nash. Tentunya qa`idah-qa`idah fiqh ini tidak bertentangan dengan nash karena
sudah melalui uji kesesuaian dengan substansi ayat-ayat al-Qur’an dan hadits nabi,
sebelum menjadi suatu qa`idah fiqh yang mapan, kendatipun untuk kasuskasus tertentu
ada pengecualian. Qa`idah “al-Yaqinu layuzalu bi alsyakk” (Keyakinan tidak bisa
dihilangkan dengan adanya keraguan) juga begitu halnya, tidak ada yang bertentangan
dengan nash, dan bila dirujuk pada beberapa hadits nabi akan terlihat kesesuaiannya.
Mengenai rujukan qa`idah ini, para ulama telah memaparkan dalil-dalil yang dinilai
sebagai dasarnya, baik itu firman Allah SWT ataupun Sunah Rasulullah saw.
Di antaranya adalah ayat al-Qur’an surat Yunus ayat 36:
Selain itu, ada juga beberapa hadits Nabi saw yang telah mengajarkan bagaimana
cara supaya keyakinan itu muncul, khususnya bagi orang yang sedang melaksanakan
shalat, sebagaimana terdapat dalam sebuah riwayat yang berbunyi:
الر ُج ُل الَّ ِذي ِ ول
َّ اهلل صلى اهلل عليه وسلم ِ اد بْ ِن تَ ِم ْي ٍم َع ْن َع ِّم ِه اَنَّهُ َش َكا اِلَى ر ُس
ِ ََّعن َعب
ْ
َ
ص ْوتَا اَ ْو ْ ص ِر
َ ف َحتَّى يَ ْس َم َع
ِ َ الصالَ ِة َف َق
َ ال الَ ي ْن َفت ْل اَ ْو الََي ْن َّ يُ َخيَّ ُل اِلَْي ِه اَنَّهُ يَ ِج ُد
َّ الش ْي َء فِى
Artinya: ” Dari Abbad bin Tamim dari pamannya, bahwa ia menyampaikan kepada
Rasulullah saw permasalahan seorang lakilaki yang muncul keraguannya dengan
anggapan adanya sesuatu yang membatalkan wudhu’nya padahal dia dalam keadaan
shalat, lalu Nabi berkata: “ia tidak boleh pergi meninggalkan shalatnya, sampai ia
mendengar adanya suara yang keluar(dari duburnya) atau ia mencium bau yang tidak
sedap.” (HR. Bukhari)
َّ عن ابي سعيد الخدري قال قال رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم اِ َذا َش
ك اَ َح ُد ُك ْم فِي
Artinya: ”Dari Abi Sa`id al-Khudri berkata, Rasulullah saw bersabda: jika seseorang
darimu mengalami keraguan dalam shalatnya, dan ia tidak tahu sudah berapa rakaat ia
shalat, tiga atau empat rakaat maka hendaknya ia membuang keraguannya (empat
rakaat) dan tetaplah dengan keyakinannya (tiga rakaat).” (HR. Muslim)
Hadis-hadis ini merupakan dalil yang dijadikan sandaran oleh para ahli fiqh
dalam mencetuskan Qa’idah tentang keyakinan dan keraguan. Tampak dengan jelas
dalam hadis diatas, bahwa perasaan ragu-ragu sama sekali tidak bisa mempengaruhi
sahnya shalat. Shalat akan terus dihukumi sah, selama belum ada keyakinan hilangnya
suci (hadats).
Secara rasional, sebuah keyakinan tentu saja lebih kuat dan lebih kokoh bila
dibanding dengan gejala hati yang lain, karena didalam sebuah keyakinan itu terdapat
suatu kepastian yang tidak bisa dikalahkan oleh keraguan. Sebuah keyakinan yang akan
mengantarkan seseorang kepada sikap komitmen yang tidak mudah goyah. Sementara
keraguan adalah suatu kondisi yang kerap hadir dalam hati dan tidak bosan untuk terus
menggoda dan menggoyahkan keyakinan atau komitmen seseorang.
Maka ketika seseorang ragu, tapi ada suatu pendukung lain yang bisa
menyakinkan atau membatalkan keraguan yang ada pada dirinya, maka hal semacam itu
tidak termasuk dalam kategori alsyakk, karena hal itu bisa ditarjih (dikuatkan) salah
satunya dengan yang lebih menyakinkan. Namun, ketika tidak ada penguat dari salah
satunya, dan betul-betul ragu tidak bisa menentukan salah satunya, maka inilah yang
dinamakan al-syakk. 1
Agar bisa memahami Qa’idah ini secara detail dan mengetahui secara jauh
jangkauannya dalam menghadapi persoalan-persoalan fiqh islam, maka sebelum
dijelaskan pengertian qa’idah ini baik dari sisi etimologis dan terminologis, terlebih
dahulu kita harus mengetahui bahwa tingkat daya hati dalam menangkap sesuatu (idrak)
selalu berbeda-beda. Perbedaan tersebut dapat dilihat dalam empat terminologi berikut
ini: Al-yakin, Ghalabutu al Dzan, Al-Dzan, dan al-Syak.
1. Al-Yakin
1
Fathurrahman Azhari, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah (Banjarmasin: Lembaga Pemberdayaan Kualitas
Ummat (LPKU). 2015. hal. 69-71
Al-yakin secara bahasa menurut Ibn Mandzur, “ Al-yakin adalah mengetahui,
menyingkirkan keraguan, dan membuktikan kebenaran masalah (verivikasi masalah). Al-
Yakin merupakan kebalikan dari al-syak”.
“ Air itu menetap ditelaga (ketika menetap) dan telah lama disana”.
“ Tercapainya kemantapan atau dugaan kuat atas terjadinya sesuatu, atau atas tidak
terjadinya”.
2. Al-Syak
Dalam realitasnya ulama fiqh tidak begitu ketat memperdulikan istilah-istilah ini.
Mereka bahkan terkesan longgar, dan tidak jarang menempatkan al-dzan pada tempat al-
syak, atau sebaliknya. Sebagaimana hal ini diungkapkan didalam kitab Kasyaf al-
Asror,” Asumsi (al-dzan) yang bertolak dari sinyalemen dalil-dalil syar’i adalah sama
dengan melakukan ijtihad dalam menggali hukum, maka asumsi yang demikian ini bisa
dijadikan dasar dalam memutuskan hukum”.
2
Asymuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqh, (Jakarta, Bulan Bintang, 1976), Cet. I, h. 141
Jadi, arti sempurna untuk qa’idah diatas adalah,” Sesuatu yang eksistensinya
sudah diyakini dari sebelumnya tidak akan hilang hanya karna disebabkan oleh baru
datangnya keraguan”. Masalah keyakinan secara logika tidak mungkin bisa dihilangkan
begitu saja oleh sesuatu yang lebih lemah daripadanya.3
Demikian ini tidak berarti bahwa secara implisit dalam hukum syar’i terdapat
keraguan dan kesamaran.
Kalaupun kemudian muncul keraguan pada mukallaf itu disebabkan oleh baru
datangnya faktor-faktor eksternal yang menurut mukallaf saling berlawanan, sehingga
masalah tersebut meragukan baginya. Padahal tidak jarang pada kesempatan lain ia
berubah pikiran tentang sesuatu yang sebelumnya ia ragukan itu, kemudian ia anggap
sebagai dugaan (al-dzan). Begitu pula dengan orang lain, kadang-kadang ia menganggap
berbeda dari apa yang dianggap oleh mukallaf. Bahkan sebagian yang lain
menganggapnya sebagai kepastian (qoth’i). Maka satu masalah yersebut bisa
berstatus al-dzan menurut satu orang yang lain, dan bisa berstatus al-yakin menurut
lainnya. Oleh karenanya keraguan (al-syak) dan dugaan (al-dzan) pada suatu masalah
bukan merupaka sifat yang menetap, sebab bisa berubah-rubah pada masing-masing
orang.
Pemahaman yang paling akurat dan sesuai adalah bahwa hal-hal itu merupakan
perkara yang baru datang, yaitu ketika masalah tersebut dipersepsikan oleh seseorang.
Sikap ragu bisa muncul begitu saja dalam benak seseorang dikarenakan adanya sifat lupa
atau ketidaktahuan.
Yang demikian ini banyak sekali terjadi pada masalah-masalah fiqhiyah. Oleh
karenanya, para pakar fiqh merasa perlu sekali umtuk merumuskannya dalam suatu
Qa’idah. Para pakar fiqh dan ushul sepakat untuk menerapkan konsep dasar yang
3
Muhammad al-Zarqa, Syarah al-Qawaid al-Fiqhiyyah (Damaskus: Dar al-Qalam. 1999) hal. 79
C. Pengecualian Penerapan Kaidah
Dalam penerapannya, qa`idah ini memiliki pengecualian, misalnya wanita yang
sedang masa menstruasi ragu apakah sudah berhenti atau belum, maka ia wajib mandi
besar untuk melakukan shalat. Contoh lain, apabila seseorang ragu, apakah yang keluar
itu mani atau madzi (cairan seperti sperma akibat keletihan), maka ia wajib mandi besar.
Padahal, ia ragu yang keluar itu mani yang mewajibkan mandi atau madzi yang tidak
mewajibkan mandi. Contoh lain, baju seseorang terkena najis, tetapi ia tidak tahu bagian
mana yang terkena najis. Maka dalam hal ini, ia wajib mencuci baju seluruhnya.
Pada dasarnya, contoh-contoh di atas menunjukkan kepada ihtiyath (kehati-
hatian) dalam melakukan ibadah, tidak langsung sebagai pengecualian. Madzhab Hanafi
mengecualikan dari qa`idah tersebut dengan menyebutkan 7 macam contoh. Sedangkan
madzhab Syafi`i menyebut 11 macam contoh. Adapun materimateri fiqh yang terkandung
dalam qa`idah al-Yaqin la yuzalu bi alSyakk ini tidak kurang dari 314 masalah fiqh.
Madzhab yang tidak mau menggunakan hal-hal yang meragukan adalah madzhab
Maliki dan sebagian ulama Syafi`iyah, karena menerapkan konsep ihtiyathnya. Memang
dalam ibadah memerlukan kepastian dan kepuasan batin, sedangkan kepastian dan
kepuasan batin hanya bisa dicapai dengan ihtiyath (kehati-hatian ).
Ulama Malikiyah beralasan bahwa seseorang tidak bisa lepas dari tuntutan ibadah
kecuali dengan melaksanakannya dengan benar dan meyakinkan, seperti shalat yang sah
hanya bisa dilaksanakan dengan didahului wudhu’ yang sah, bukan dengan wudhu’ yang
meragukan tentang apakah sudah batal atau belumnya wudhu’ tadi. Ulama Hanafiyah
menjawab hal ini dengan jawaban, bahwa shalat itu merupakan tujuan (maqashid),
sedangkan wudhu’ merupakan wasilah (perantara/salah satu syarat sah shalat), bersikap
ihtiyath di dalam memelihara maqashid lebih utama daripada ihtiyath di dalam wasa’il,
karena wasa’il tingkatannya lebih rendah daripada maqashid (media lebih rendah
daripada tujuan).Sedangkan Ibnu Hazm dari madzhab al-Zahiri menanggapi soal ihtiyath
dari madzhab Maliki ini dengan pernyataan: “semua ihtiyath yang menyebabkan kepada
tambahan atau pengurangan atau panggantian dalam agama yang tidak di izinkan Allah,
bukanlah termasuk ihtiyath dan bukan pula kebaikan.”
Berkaitan tentang al-syakk ini, sebagai perbandingan perlu juga diungkapkan
pendapat Ibnu Qayyim al-Jauziyah yang menyatakan: “Perlu diketahui bahwa di dalam
syari`ah tidak ada sama sekali yang meragukan. Sesungguhnya al-syakk (keraguan) itu
datang kepada mukallaf (pelaku hukum) karena terjadinya pertentangan dua indikator
atau lebih, maka masalahnya menjadi meragukan baginya (mukallaf). Mungkin bagi
orang lain masalah tersebut tidaklah meragukan. Oleh sebab itu, al-syakk bukanlah sifat
yang tetap pada masalah tersebut, tetapi merupakan masalah yang datang kemudian,
ketika masalah tersebut di hubungkan kepada hukum mukallaf.”
Hal menarik dari pernyataan Ibnu Qayyim ini adalah bahwa alsyakk itu
sebenarnya bukan di dalam syari`ah, tetapi berasal dari dalam diri mukallaf itu sendiri,
yaitu dalam perbuatannya. Karena itu, menurutnya qa`idah yang berhubungan dengan
istishab di dalam ushul fiqh, sesungguhnya lebih tepat di masukkan ke dalam qa`idah-
qa`idah fiqh, bukan dalam ushul fiqh. Selain itu, istishab pada substansinya (zat)
bukanlah dalil fiqh dan bukan pula sumber istinbath, tetapi hanya menetapkan hukum
yang telah ada untuk terus berlaku sampai ada yang mengubahnya. Dengan demikian,
tidak ada posisi ganda antara qa`idah ushul dan qa`idah fiqh.4
a. ( االص ل بق اءُ َما َك ا َن على ماك ا َنPokok asli yang memberlakukan keadaan semula atas
4
Toha Andiko, Ilmu Qawaid Fiqhiyyah Panduan Praktis Dalam Merespon Problematika Hukum Islam
Kontemporer. (Yogyakarta: Sukses Offset. 2011) hal. 74-77
pembeli dikalahkan, karena menurut asalnya televisi yang dijual ditetapkan dalam
keadaan baik. Dalam kasus munakahat misalnya, seorang suami lama meninggalkan
isterinya dan tidak diketahui ke mana perginya, maka isteri tidak dapat kawin dengan
laki-laki lain, karena dipandang, bahwa hukum yang berlaku adalah wanita yang
masih terikat tali perkawinan, sebab ketika suaminya pergi tidak ada menjatuhkan
thalaq (atau ta'liq thalaq) kepada isterinya.
e. (االص ل في ك ل ح ادث تق ديره ب اقرب زمنهPokok yang asli pada setiap kejadian
f. (االصل فى الكالم الحقيقةPokok yang asli dalam pembicaraan adalah yang hakiki).
Misalnya, Seseorang mewaqafkan harta miliknya kepada anakanaknya. Maka jika
terjadi gugatan dari cucucucunya untuk menuntut bagian, maka gugatan itu tidak
digubris. Karena menurut arti hakikat perkataan anak itu adalah hanya terbatas
kepada anak kandung yang dilahirkan secara langsung oleh orang yang berwaqaf.5
5
Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, (Bandung: Al-Ma’arif,
1986) hlm 497-503
syarat itu, maka perkataan yang dipercaya adalah perkataan sipenjual disertai
sumpahnya, karena syarat tersebut suatu hal kejadiannya belakangan. Karena
pada dasarnya dalam akad adalah bebas dari syarat-syarat tambahan, maka tidak
adanya syarat tambahan, itulah yang yakin.
c. Apabila seseorang berhutang mengatakan kepada orang yang punya piutang,
bahwa ia telah membayar hutangnya, sedangkan orang yang punya piutang
mengingkarinya, maka perkataan yang diperpegangi adalah perkataan piutang
yang mengingkari pembayaran itu. Karena yang diyakini adalah belum bayarnya
orang yang berhutang, terkecuali orang yang berhutang itu dapat membuktikan
bahwa ia sudah bayar hutangnya, seperti ada alat bukti pembayaran. Karena hak
orang yang punya piutang itu diyakini.
d. Seseorang memakan makanan orang lain, ia mengatakan pemiliknya telah
mengizinkannya, pada hal pemilik makanan tersebut tidak mengizinkannya.
Dalam kasus ini yang dibenarkan adalah pemilik makanan, sebab menurut hukum
pokok makanan orang lain itu tidak boleh di makan.
e. Seorang yang menjalankan modal melaporkan tentang perkembangannya kepada
pemilik modal, sudah mendapatkan keuntungan tetapi sedikit, maka laporannya
itu dibenarkan. Karena dari awal adanya ikatan mudharabah memang belum
diperoleh laba dan keadaan ini yang sudah nyata, sedangkan keuntungan yang
diharap-harapkan itu hal yang belum terjadi (belum ada).6
6
Fathurrahman Azhari, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah (Banjarmasin: Lembaga Pemberdayaan Kualitas
Ummat (LPKU). 2015. hal. 79-80
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Qa’idah ini merupakan pondasi syar’i yang kokoh. Didalamnya termuat banyak
persoalan hukum fiqh, yang bermuara pada penghilangan kesulitan dan keberatan. Dimana
qa’idah ini dengan tegas memposisikan keyakinan sebagai hukum asal, terlebih dalam
masalh bersuci, dan shalat. Agar bisa memahami qa’idah ini secara detail dan mengetahui
seberapa jauh jangkauannya dalam menghadapi persoalan persoalan fiqh islam, terlebih
dahulu harus mengetahui bahwa tingkat daya hati dalam menangkap sesuatu selalu berbeda-
beda.
Andiko, Toha. 2011. Ilmu Qawaid Fiqhiyyah Panduan Praktis Dalam Merespon Problematika
Hukum Islam Kontemporer. (Yogyakarta: Sukses Offset).
Yahya, Mukhtar dan Fatchurrahman. 1986. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam,
(Bandung: Al-Ma’arif)