Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH QAWAID FIQHIYYAH

Kaidah Kedua: al-Yaqin La Yuzalu bi as-Syakk

Dosen Pengampu : Aminuddin Lubis, MA

Disusun Oleh :

Yustika Widya Sazlina : 0204181019

Ainun Mardiyah Saragih : 0204181018

Muhammad Hafis Rusdi : 0204181017

HUKUM EKONOMI SYARIAH (MUAMALAH)

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA MEDAN

2020/2021
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, shalawat dan salam juga
disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Serta sahabat dan keluarganya,
seayun langkah dan seiring bahu dalam menegakkan agama Allah. Dengan kebaikan beliau telah
membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang berilmu pengetahuan.
Dalam rangka melengkapi tugas dari mata kuliah Qawaid Fiqhiyyah pada Program Studi
Hukum Ekonomi Syari’ah (Mu’amalah) UIN SUMATERA UTARA dengan ini penulis
mengangkat judul “Kaidah Kedua: al-Yakin La Yuzalu bi al-Syakk”.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun isinya.
Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran-saran yang dapat
membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Penulis,

KELOMPOK 5
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................i

DAFTAR ISI.........................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang...........................................................................................................1

B. Rumusan Masalah......................................................................................................1

C. Tujuan........................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

A. Dasar Kaidah..............................................................................................................2

B. Defenisi Yakin dan Syakk.........................................................................................4

C. Pengecualian Penerapan Kaidah................................................................................8

D. Kaidah-Kaidah Cabang..............................................................................................9

E. Penerapan Kaidah Dalam Bidang Muamalah............................................................11

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan................................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................14
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Diantara kaidah fiqih penting adalah : “Al-Yaqin La Yuzalu Bi Al-Syak”(Keyakinan


tidaklah bisa dihilangkan dengan keraguan). Para fuqaha memasukkan berbagai amalan ibadah,
mu’amalah, dan hak-hak sesama ke dalam kaidah ini. Maka barangsiapa yang ragu akan sesuatu,
maka dikembalikan lagi ke asalnya, yakni yang yakin. 

Dan fuqaha juga mengatakan : “Asal segala sesuatu adalah suci” dan “Pada asalnya,
seseorang itu terbebas dari beban kewajiban dan dari menanggung hak-hak makhluk sampai ada
dalil yang menunjukkan berubahnya hal tersebut”

Mendengar suara atau mencium bau dari gas yang keluar dari dubur akan membuat
pelakunya yakin telah berhadats. Maka Rasulullah memerintahkan untuk meneruskan shalatnya
hingga dia yakin telah berhadats. Ini adalah kaidah besar yang permasalahan fiqih banyak
merujuk kaidah ini. Hanya sedikit bab fiqih yang tidak merujuk kaidah ini. Fuqaha bersepakat
atas keabsahan kaidah ini. Imam Al Qarafy rahimahullahu berkata, “Ini adalah kaidah yang
disepakati” (Al Furuq, 1/111)

B. Rumusan Masalah
1. Apa dasar kaidah kedua?
2. Apa defenisi yakin dan syakk?
3. Apa kaidah cabang atau turunannya?
4. Bagaimana aplikasinya dalam kehidupan?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa dasar kaidah kedua
2. Untuk memahami apa defenisi yakin dan syakk
3. Untuk mengetahui kaidah cabang atau turunannya
4. Untuk memahami aplikasi kaidah dalam kehidupan
D.
KAIDAH KEDUA:

‫ك‬
ّ ‫لش‬ ُ ‫الْيَ ِق ْي ُن الَ ُي َز‬
َّ ‫ال بِا‬

AL-YAQIN LA YUZALU BI AS-SYAKK

A. Dasar Kaidah
Sebenarnya qa`idah-qa`idah fiqh hanyalah kesimpulan general dari para ulama fiqh,
diambil dari materi-materi fiqh yang pada akhirnya dapat digunakan untuk menentukan
hukum dari kasus kasus baru yang muncul belakangan dan belum jelas status hukumnya
dalam nash. Tentunya qa`idah-qa`idah fiqh ini tidak bertentangan dengan nash karena
sudah melalui uji kesesuaian dengan substansi ayat-ayat al-Qur’an dan hadits nabi,
sebelum menjadi suatu qa`idah fiqh yang mapan, kendatipun untuk kasuskasus tertentu
ada pengecualian. Qa`idah “al-Yaqinu layuzalu bi alsyakk” (Keyakinan tidak bisa
dihilangkan dengan adanya keraguan) juga begitu halnya, tidak ada yang bertentangan
dengan nash, dan bila dirujuk pada beberapa hadits nabi akan terlihat kesesuaiannya.
Mengenai rujukan qa`idah ini, para ulama telah memaparkan dalil-dalil yang dinilai
sebagai dasarnya, baik itu firman Allah SWT ataupun Sunah Rasulullah saw.
Di antaranya adalah ayat al-Qur’an surat Yunus ayat 36:

‫يم بِ َما َي ْف َعلُو َن‬ ِ ِ ِ


َ ‫َو َما َيتَّبِ ُع أَ ْك َث ُر ُه ْم إِاَّل ظَنًّا ۚ إِ َّن الظَّ َّن اَل ُي ْغني م َن ال‬
ٌ ‫ْح ِّق َش ْيئًا ۚ إِ َّن اللَّهَ َعل‬

Artinya: “Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja.


Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.”

Selain itu, ada juga beberapa hadits Nabi saw yang telah mengajarkan bagaimana
cara supaya keyakinan itu muncul, khususnya bagi orang yang sedang melaksanakan
shalat, sebagaimana terdapat dalam sebuah riwayat yang berbunyi:
‫الر ُج ُل الَّ ِذي‬ ِ ‫ول‬
َّ ‫اهلل صلى اهلل عليه وسلم‬ ِ ‫اد بْ ِن تَ ِم ْي ٍم َع ْن َع ِّم ِه اَنَّهُ َش َكا اِلَى ر ُس‬
ِ َّ‫َعن َعب‬
ْ
َ
‫ص ْوتَا اَ ْو‬ ْ ‫ص ِر‬
َ ‫ف َحتَّى يَ ْس َم َع‬
ِ َ ‫الصالَ ِة َف َق‬
َ ‫ال الَ ي ْن َفت ْل اَ ْو الََي ْن‬ َّ ‫يُ َخيَّ ُل اِلَْي ِه اَنَّهُ يَ ِج ُد‬
َّ ‫الش ْي َء فِى‬

‫يَ ِج َد ِريْ َحا‬

Artinya: ” Dari Abbad bin Tamim dari pamannya, bahwa ia menyampaikan kepada
Rasulullah saw permasalahan seorang lakilaki yang muncul keraguannya dengan
anggapan adanya sesuatu yang membatalkan wudhu’nya padahal dia dalam keadaan
shalat, lalu Nabi berkata: “ia tidak boleh pergi meninggalkan shalatnya, sampai ia
mendengar adanya suara yang keluar(dari duburnya) atau ia mencium bau yang tidak
sedap.” (HR. Bukhari)

Pada hadits lain disebutkan:

َّ ‫عن ابي سعيد الخدري قال قال رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم اِ َذا َش‬
‫ك اَ َح ُد ُك ْم فِي‬

َّ ‫صلَّى ثَالَثًا اَ ْم اَ ْر َب ًعا َفلْيَط َْر ْح‬ ِِ


َ ‫ك َوالْيَْب ِن َعلَى َما‬
‫الست ْي َقن‬ َّ ‫الش‬ َ ‫صالَته َفلَ ْم يَ ْد ِر َك ْم‬
َ

Artinya: ”Dari Abi Sa`id al-Khudri berkata, Rasulullah saw bersabda: jika seseorang
darimu mengalami keraguan dalam shalatnya, dan ia tidak tahu sudah berapa rakaat ia
shalat, tiga atau empat rakaat maka hendaknya ia membuang keraguannya (empat
rakaat) dan tetaplah dengan keyakinannya (tiga rakaat).” (HR. Muslim)

Hadis-hadis ini merupakan dalil yang dijadikan sandaran oleh para ahli fiqh
dalam mencetuskan Qa’idah tentang keyakinan dan keraguan. Tampak dengan jelas
dalam hadis diatas, bahwa perasaan ragu-ragu sama sekali tidak bisa mempengaruhi
sahnya shalat. Shalat akan terus dihukumi sah, selama belum ada keyakinan hilangnya
suci (hadats).
Secara rasional, sebuah keyakinan tentu saja lebih kuat dan lebih kokoh bila
dibanding dengan gejala hati yang lain, karena didalam sebuah keyakinan itu terdapat
suatu kepastian yang tidak bisa dikalahkan oleh keraguan. Sebuah keyakinan yang akan
mengantarkan seseorang kepada sikap komitmen yang tidak mudah goyah. Sementara
keraguan adalah suatu kondisi yang kerap hadir dalam hati dan tidak bosan untuk terus
menggoda dan menggoyahkan keyakinan atau komitmen seseorang.

Qa’idah “Al-Yaqin La Yuzalu Bi Al-Syak”  yang menjadi konklusi dari hadis-


hadis diatas, dalam prakteknya bisa menyusup kepada seluruh pembahasan fiqh meliputi
masalah ibadat, muamalat,’uqubat, aqdhiyah. Memandang kenyataan demikian itu, Imam
al-Syuyuthi mengatakan bahwa Qai’dah ini bisa masuk pada seluruh bab-bab fiqh.
Masalah-masalah yang bisa diselesaikan oleh qa’idah ini mencapai lebih dari tiga
seperempat masalah fiqh atau bahkan lebih. Menyangkut masalah ibadah, muamalah,
sanksi, dan lain-lain.

Maka ketika seseorang ragu, tapi ada suatu pendukung lain yang bisa
menyakinkan atau membatalkan keraguan yang ada pada dirinya, maka hal semacam itu
tidak termasuk dalam kategori alsyakk, karena hal itu bisa ditarjih (dikuatkan) salah
satunya dengan yang lebih menyakinkan. Namun, ketika tidak ada penguat dari salah
satunya, dan betul-betul ragu tidak bisa menentukan salah satunya, maka inilah yang
dinamakan al-syakk. 1

B. Defenisi Yaqin Dan Syakk

Agar bisa memahami Qa’idah ini secara detail dan mengetahui secara jauh
jangkauannya dalam menghadapi persoalan-persoalan fiqh islam, maka sebelum
dijelaskan pengertian qa’idah ini baik dari sisi etimologis dan terminologis, terlebih
dahulu kita harus mengetahui bahwa tingkat daya hati dalam menangkap sesuatu (idrak)
selalu berbeda-beda. Perbedaan tersebut dapat dilihat dalam empat terminologi berikut
ini: Al-yakin, Ghalabutu al Dzan, Al-Dzan, dan al-Syak.

1. Al-Yakin

1
Fathurrahman Azhari, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah (Banjarmasin: Lembaga Pemberdayaan Kualitas
Ummat (LPKU). 2015. hal. 69-71
Al-yakin secara bahasa menurut Ibn Mandzur, “ Al-yakin adalah mengetahui,
menyingkirkan keraguan, dan membuktikan kebenaran masalah (verivikasi masalah). Al-
Yakin merupakan kebalikan dari al-syak”.

Ditinjau dari segi bahasa,  al-yakin memiliki arti menetap seperti ucapan,

‫يقن الماء في الحوض إذا استقر ودام‬

“ Air itu menetap ditelaga (ketika menetap) dan telah lama disana”.

Secara terminologi, al-yakin menurut Abu al-Baqa’ adalah,” I’tiqad yang kuat,


menetap dan sesuai dengan kenyataan”. Menurut yang lain al-
yakin adalah,” Pengetahuan yang menetap dalam hati karena sebab-sebab tertentu dan
tidak bisa dirusak”. Sementara menurut Al-Asfahani,” Tenangnyakefahaman bersama
tetapnya hukum”.

Pengertian al-yakin secara lebih jelas diungkapkan oleh Ali Haidar,

‫حصول الجزم أو الظن الغالب بوقوع الشيء أو عدم وقوعه‬

“ Tercapainya kemantapan atau dugaan kuat atas terjadinya sesuatu, atau atas tidak
terjadinya”.

Sampai disini bisa disimpulkan, bahwa al-yakin adalah bentuk penetapan dan


penenangan atas hakikatnya sesuatu sekiranya tidak tersisa lagi keraguan. Maksudnya
adalah bahwa keyakinan yang ada (lebih dulu) tidak bisa dihilangkan oleh keraguan yang
baru datang, dan keyakinan semacam ini tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan yang
sesamanya.

Contohnya adalah seorang laki-laki bepergian ke wilayah yang sangat jauh,


sehingga tidak terdengar lagi khabar beritanya dalam waktu yang lama. Tidak adanya
khabar laki-laki ini menyebabkan orang yang ditinggal menjadi ragu akan masih
hidupnya. Hanya saja keraguan itu tidak bisa menghilangkan keyakinan awal, yaitu
masih hidup yang telah diyakini sebelumnya. Oleh karena itu, lelaki tersebut tidak boleh
dihukumi mati dan ahli warisnya tidak boleh membagi harta yang ditinggalkan sebelum
ada keyakinan pasti akan kematiannya seperti waktu berangkat dulu sudah berumur
delapan puluh tahun, dan sudah pergi selama tiga puluh tahun tanpa ada khabar beritanya
padahal umumnya orang berumur sekian ini sudah meninggal, maka lelaki tersebut bisa
dihukumi mati.2

2.  Al-Syak

Al-syak dipandang dari segi etimologis artinya menyambung atau melekat. Pada


perkembangannya al-syak kemudian menjadi terminologi fiqh dan terkenal dikalangan
ulama fiqh dengan memiliki arti ragu atau bingung. Mengutip apa yang dinyatakan Siraju
al-Din ibn al-Mulaqqin dalam kitab al-Asybahnya ia mengatakan bahwa yang
dimaksud al-syak adalah, “Ragu atau bingung dalam menentukan diantara ada dan tidak
adanya sesuatu dengan sama-sama kuat”.

Sementara al-Razi menjelaskan perbedaan antara al-syak, al-dzan, dan al-


wahm dengan mengatakan,” Ragu diantara dua perkara apabila keduanya seimbang,
maka disebut al-syak. Jika tidak seimbang maka yang lebih unggul disebut dzan yang
lemah disebut salah duga (al-wahm)”.

Imam al-Nawawi melihat bahwa al-syak menurut para ulama fiqh adalah ragu


secara mutlak, karena tidak ada perbedaan antara keraguan yang seimbang atau yang
lebih unggul. Hal itu mengantarkan kepada sinyalemen bahwa al-syak dan al-
dzan menurut para ulama fiqh adalah sama. Berbeda dengan para ulama ushul yang
membedakan antara al-syak dan al-dzan. Mereka mengatakan,” Meragukan antara dua
kemungkinan, jika bobot keduanya seimbang maka yang lebih unggul disebut al-dzan,
sedangkan yang lemah disebut al-wahm (salah duga)”.

Dalam realitasnya ulama fiqh tidak begitu ketat memperdulikan istilah-istilah ini.
Mereka bahkan terkesan longgar, dan tidak jarang menempatkan al-dzan pada tempat al-
syak, atau sebaliknya. Sebagaimana hal ini diungkapkan didalam kitab  Kasyaf al-
Asror,” Asumsi (al-dzan) yang bertolak dari sinyalemen dalil-dalil syar’i adalah sama
dengan melakukan ijtihad dalam menggali hukum, maka asumsi yang demikian ini bisa
dijadikan dasar dalam memutuskan hukum”.

2
Asymuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqh, (Jakarta, Bulan Bintang, 1976), Cet. I, h. 141
Jadi, arti sempurna untuk qa’idah diatas adalah,” Sesuatu yang eksistensinya
sudah diyakini dari sebelumnya tidak akan hilang hanya karna disebabkan oleh baru
datangnya keraguan”. Masalah keyakinan secara logika tidak mungkin bisa dihilangkan
begitu saja oleh sesuatu yang lebih lemah daripadanya.3

Demikian ini tidak berarti bahwa secara implisit dalam hukum syar’i terdapat
keraguan dan kesamaran.

Kalaupun kemudian muncul keraguan pada mukallaf itu disebabkan oleh baru
datangnya faktor-faktor eksternal yang menurut mukallaf saling berlawanan, sehingga
masalah tersebut meragukan baginya. Padahal tidak jarang pada kesempatan lain ia
berubah pikiran tentang sesuatu yang sebelumnya ia ragukan itu, kemudian ia anggap
sebagai dugaan (al-dzan). Begitu pula dengan orang lain, kadang-kadang ia menganggap
berbeda dari apa yang dianggap oleh mukallaf. Bahkan sebagian yang lain
menganggapnya sebagai kepastian (qoth’i). Maka satu masalah yersebut bisa
berstatus al-dzan menurut satu orang yang lain, dan bisa berstatus al-yakin menurut
lainnya. Oleh karenanya keraguan (al-syak) dan dugaan (al-dzan) pada suatu masalah
bukan merupaka sifat yang menetap, sebab bisa berubah-rubah pada masing-masing
orang.

Pemahaman yang paling akurat dan sesuai adalah bahwa hal-hal itu merupakan
perkara yang baru datang, yaitu ketika masalah tersebut dipersepsikan oleh seseorang.
Sikap ragu bisa muncul begitu saja dalam benak seseorang dikarenakan adanya sifat lupa
atau ketidaktahuan.

Yang demikian ini banyak sekali terjadi pada masalah-masalah fiqhiyah. Oleh
karenanya, para pakar fiqh merasa perlu sekali umtuk merumuskannya dalam suatu
Qa’idah. Para pakar fiqh dan ushul sepakat untuk menerapkan konsep dasar yang

merupakan aplikasi dari Qa’idah ‫بالشك‬ ‫ي زال‬ ‫اليقين ال‬. dalam kitab Ushul al-

Sarakhsi dikatakan,” Berpegang pada keyakinan dan meninggalkan keraguan


merupakan hukum dasar dalam syar’i”.

3
Muhammad al-Zarqa, Syarah al-Qawaid al-Fiqhiyyah (Damaskus: Dar al-Qalam. 1999) hal. 79
C. Pengecualian Penerapan Kaidah
Dalam penerapannya, qa`idah ini memiliki pengecualian, misalnya wanita yang
sedang masa menstruasi ragu apakah sudah berhenti atau belum, maka ia wajib mandi
besar untuk melakukan shalat. Contoh lain, apabila seseorang ragu, apakah yang keluar
itu mani atau madzi (cairan seperti sperma akibat keletihan), maka ia wajib mandi besar.
Padahal, ia ragu yang keluar itu mani yang mewajibkan mandi atau madzi yang tidak
mewajibkan mandi. Contoh lain, baju seseorang terkena najis, tetapi ia tidak tahu bagian
mana yang terkena najis. Maka dalam hal ini, ia wajib mencuci baju seluruhnya.
Pada dasarnya, contoh-contoh di atas menunjukkan kepada ihtiyath (kehati-
hatian) dalam melakukan ibadah, tidak langsung sebagai pengecualian. Madzhab Hanafi
mengecualikan dari qa`idah tersebut dengan menyebutkan 7 macam contoh. Sedangkan
madzhab Syafi`i menyebut 11 macam contoh. Adapun materimateri fiqh yang terkandung
dalam qa`idah al-Yaqin la yuzalu bi alSyakk ini tidak kurang dari 314 masalah fiqh.
Madzhab yang tidak mau menggunakan hal-hal yang meragukan adalah madzhab
Maliki dan sebagian ulama Syafi`iyah, karena menerapkan konsep ihtiyathnya. Memang
dalam ibadah memerlukan kepastian dan kepuasan batin, sedangkan kepastian dan
kepuasan batin hanya bisa dicapai dengan ihtiyath (kehati-hatian ).
Ulama Malikiyah beralasan bahwa seseorang tidak bisa lepas dari tuntutan ibadah
kecuali dengan melaksanakannya dengan benar dan meyakinkan, seperti shalat yang sah
hanya bisa dilaksanakan dengan didahului wudhu’ yang sah, bukan dengan wudhu’ yang
meragukan tentang apakah sudah batal atau belumnya wudhu’ tadi. Ulama Hanafiyah
menjawab hal ini dengan jawaban, bahwa shalat itu merupakan tujuan (maqashid),
sedangkan wudhu’ merupakan wasilah (perantara/salah satu syarat sah shalat), bersikap
ihtiyath di dalam memelihara maqashid lebih utama daripada ihtiyath di dalam wasa’il,
karena wasa’il tingkatannya lebih rendah daripada maqashid (media lebih rendah
daripada tujuan).Sedangkan Ibnu Hazm dari madzhab al-Zahiri menanggapi soal ihtiyath
dari madzhab Maliki ini dengan pernyataan: “semua ihtiyath yang menyebabkan kepada
tambahan atau pengurangan atau panggantian dalam agama yang tidak di izinkan Allah,
bukanlah termasuk ihtiyath dan bukan pula kebaikan.”
Berkaitan tentang al-syakk ini, sebagai perbandingan perlu juga diungkapkan
pendapat Ibnu Qayyim al-Jauziyah yang menyatakan: “Perlu diketahui bahwa di dalam
syari`ah tidak ada sama sekali yang meragukan. Sesungguhnya al-syakk (keraguan) itu
datang kepada mukallaf (pelaku hukum) karena terjadinya pertentangan dua indikator
atau lebih, maka masalahnya menjadi meragukan baginya (mukallaf). Mungkin bagi
orang lain masalah tersebut tidaklah meragukan. Oleh sebab itu, al-syakk bukanlah sifat
yang tetap pada masalah tersebut, tetapi merupakan masalah yang datang kemudian,
ketika masalah tersebut di hubungkan kepada hukum mukallaf.”
Hal menarik dari pernyataan Ibnu Qayyim ini adalah bahwa alsyakk itu
sebenarnya bukan di dalam syari`ah, tetapi berasal dari dalam diri mukallaf itu sendiri,
yaitu dalam perbuatannya. Karena itu, menurutnya qa`idah yang berhubungan dengan
istishab di dalam ushul fiqh, sesungguhnya lebih tepat di masukkan ke dalam qa`idah-
qa`idah fiqh, bukan dalam ushul fiqh. Selain itu, istishab pada substansinya (zat)
bukanlah dalil fiqh dan bukan pula sumber istinbath, tetapi hanya menetapkan hukum
yang telah ada untuk terus berlaku sampai ada yang mengubahnya. Dengan demikian,
tidak ada posisi ganda antara qa`idah ushul dan qa`idah fiqh.4

D. Qaidah- Qaidah Cabang

a. ‫( االص ل بق اءُ َما َك ا َن على ماك ا َن‬Pokok asli yang memberlakukan keadaan semula atas

keadaan yang ada sekarang).


Oleh karena itu, seseorang merasa yakin bahwa ia telah berwudhu, tiba-tiba ia
merasa ragu apakah ia sudah batal atau masih bersuci. Dalam hal ini ia ditetapkan
bersuci seperti keadaan semula, karena itu yang telah diyakini. Bukan keadaan
berhadats yang ia ragukan. Begitu pula, Seseorang makan sahur di akhir malam
dengan dicekam rasa ragu-ragu, jangan-jangan waktu fajar telah terbit, maka puasa
orang tersebut pada pagi harinya dihukumkan sah, karena waktu yang ditetapkan
berlaku sebelumnya adalah waktu malam, bukan waktu fajar. Dalam kasus muamalah
misalnya, seseorang pembeli sebuah televisi menggugat kepada penjualnya, karena
televisi yang dibelinya setiba di rumah tidak dapat dimanfaatkan, maka gugatan

4
Toha Andiko, Ilmu Qawaid Fiqhiyyah Panduan Praktis Dalam Merespon Problematika Hukum Islam
Kontemporer. (Yogyakarta: Sukses Offset. 2011) hal. 74-77
pembeli dikalahkan, karena menurut asalnya televisi yang dijual ditetapkan dalam
keadaan baik. Dalam kasus munakahat misalnya, seorang suami lama meninggalkan
isterinya dan tidak diketahui ke mana perginya, maka isteri tidak dapat kawin dengan
laki-laki lain, karena dipandang, bahwa hukum yang berlaku adalah wanita yang
masih terikat tali perkawinan, sebab ketika suaminya pergi tidak ada menjatuhkan
thalaq (atau ta'liq thalaq) kepada isterinya.

b. ‫(االصل براءة الدمة‬Pokok yang asli tidak ada tanggung jawab).


Misalnya, terdakwa yang menolak diangkat sumpah tidak dapat diterapkan
hukuman. Karena menurut asalnya ia bebas dari tangggungan dan yang harus
diangkat sumpah adalah pendakwa. Jika seseorang menghadiahkan sesuatu barang
kepada orang lain dengan syarat memberikan gantinya dan kemudian mereka berdua
berselisih tentang wujud penggantiannya, maka yang dimenangkan adalah perkataan
orang yang menerima hadiah, karena menurut asalnya ia bebas dari tanggungan
memberikan gantinya

c. ‫(االصل العدم‬Pokok yang asli ketiadaan sesuatu).


Misalnya, Seseorang mengaku telah berutang kepada orang lain berdasarkan atas
pengakuannya atau adanya data otentik, tiba-tiba orang yang berutang mengaku telah
membayar utangnya, sehingga ia telah merasa bebas dari tanggungannya. Sedangkan
orang yang memberi utang mengingkarinya atas pengakuan orang yang berutang.
Dalam hal ini sesuai dengan qaidah, maka yang dimenangkan adalah pernyataan
orang yang memberi utang, karena menurut asalnya belum adanya pembayaran utang,
sedangkan pengakuan orang yang berutang atas bayarnya adalah perkataan yang
meragukan. Jika seseorang yang menjalankan modal orang lain (mudharabah)
mengatakan kepada pemilik modal bahwa ia tidak memperoleh keuntungan, maka
perkataannya itu dibenarkan. Karena memang sejak semula diadakan perikatan
mudharabah belum ada keuntungan. Belum memperoleh keuntungan adalah hal yang
telah nyata karena belum bertindak, sedangkan memperleh keuntungan yang
diharapkan merupakan hal yang tidak pasti.

d. ‫(االصل في االشياء االباحة‬Pokok yang asli pada sesuatu adalah boleh)


Misalnya, Segala macam binatang yang sukar untuk ditentukan keharamannya
disebabkan tidak didapat sifat-sifat atau ciri-ciri yang dapat digolongkan kepada
binatang haram, maka binatang itu halal dimakan.

e. ‫(االص ل في ك ل ح ادث تق ديره ب اقرب زمنه‬Pokok yang asli pada setiap kejadian

penetapannya menurut masa yang terdekat dengan kejadiannya).


Misalnya: Seseorang berwudhu dengan air yang diambil dari sumur. Beberapa
hari kemudian diketahuinya bahwa di dalam sumur tersebut ada bangkai, sehingga
menimbulkan keragu-raguannya perihal wudhu dan sembahyang yang dikerjakan
beberapa hari lalu. Dalam hal ini ia tidak wajib mngqadha shalat yang sudah
dikerjakannya. Karena masa yang terdekat sejak dari kejadian diketahuinya bangkai
itulah yang dijadikan titik tolak untuk penetapan kenajisan air sumur yang
mengakibatkan tidak sahnya shalat

f. ‫(االصل فى الكالم الحقيقة‬Pokok yang asli dalam pembicaraan adalah yang hakiki).
Misalnya, Seseorang mewaqafkan harta miliknya kepada anakanaknya. Maka jika
terjadi gugatan dari cucucucunya untuk menuntut bagian, maka gugatan itu tidak
digubris. Karena menurut arti hakikat perkataan anak itu adalah hanya terbatas
kepada anak kandung yang dilahirkan secara langsung oleh orang yang berwaqaf.5

E. Penerapan Qaidah Dalam Bidang Muamalah


a. Jika seseorang membeli mobil, kemudian ia mengatakan, bahwa mobil yang
dibelinya itu cacat dan ia ingin mengembalikannya, lalu penjual menolak ucapan
pembeli yang mengata kan adanya cacat itu, maka si pembeli tidak boleh
mengembalikannya, karena pada asalnya mobil itu yakin dalam keadaan baik.
Cacat tidak boleh ditetapkan dengan adanya keraguan, sebab yang yakin tidak
boleh dihapuskan oleh keraguan.
b. Apabila dua orang melakukan transaksi jual beli, kemudian salah seorang
mensyaratkan sendiri khiyar dalam akad, ia berkeinginan membatalkan transaksi
jual beli itu dan mengembalikan barang, sementara penjual menyanggah adanya

5
Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, (Bandung: Al-Ma’arif,
1986) hlm 497-503
syarat itu, maka perkataan yang dipercaya adalah perkataan sipenjual disertai
sumpahnya, karena syarat tersebut suatu hal kejadiannya belakangan. Karena
pada dasarnya dalam akad adalah bebas dari syarat-syarat tambahan, maka tidak
adanya syarat tambahan, itulah yang yakin.
c. Apabila seseorang berhutang mengatakan kepada orang yang punya piutang,
bahwa ia telah membayar hutangnya, sedangkan orang yang punya piutang
mengingkarinya, maka perkataan yang diperpegangi adalah perkataan piutang
yang mengingkari pembayaran itu. Karena yang diyakini adalah belum bayarnya
orang yang berhutang, terkecuali orang yang berhutang itu dapat membuktikan
bahwa ia sudah bayar hutangnya, seperti ada alat bukti pembayaran. Karena hak
orang yang punya piutang itu diyakini.
d. Seseorang memakan makanan orang lain, ia mengatakan pemiliknya telah
mengizinkannya, pada hal pemilik makanan tersebut tidak mengizinkannya.
Dalam kasus ini yang dibenarkan adalah pemilik makanan, sebab menurut hukum
pokok makanan orang lain itu tidak boleh di makan.
e. Seorang yang menjalankan modal melaporkan tentang perkembangannya kepada
pemilik modal, sudah mendapatkan keuntungan tetapi sedikit, maka laporannya
itu dibenarkan. Karena dari awal adanya ikatan mudharabah memang belum
diperoleh laba dan keadaan ini yang sudah nyata, sedangkan keuntungan yang
diharap-harapkan itu hal yang belum terjadi (belum ada).6

6
Fathurrahman Azhari, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah (Banjarmasin: Lembaga Pemberdayaan Kualitas
Ummat (LPKU). 2015. hal. 79-80
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Qa’idah ini merupakan pondasi syar’i yang kokoh. Didalamnya termuat banyak
persoalan hukum fiqh, yang bermuara pada penghilangan kesulitan dan keberatan. Dimana
qa’idah ini dengan tegas memposisikan keyakinan sebagai hukum asal, terlebih dalam
masalh bersuci, dan shalat. Agar bisa memahami qa’idah ini secara detail dan mengetahui
seberapa jauh jangkauannya dalam menghadapi persoalan persoalan fiqh islam, terlebih
dahulu harus mengetahui bahwa tingkat daya hati dalam menangkap sesuatu selalu berbeda-
beda.

Al-Yakin secara bahsa adalah mengetahui, menyingkirkan keraguan, dan


membuktikan kebenaran masalah. Al-Yakin merupakan kebalikan dari al-Syak. Sedangkan
Ghalabah al-Dzan adalah dugaan tetap yaitu mendominasinya salah satu diantara dua perkara
atas lainnya dengan dominasi mutlak, dan lainnya dikesampingkan karena terlalu lemah. Al-
Dzan yaitu perkara yang dihasilkan dari tanda-tanda. Apabila tanda-tandanya kuat, maka
akan menghasilkan pengetahuan. Dan apabila lemah sekali maka disebut salah duga. Al –
Syak adalah sepadan antara dua sisi perkara, yaitu berhenti (tidak bisa menentukan) diantara
dua perkara, dan hati tidak condong pada salah satunya
DAFTAR PUSTAKA

Al-Zarqa, Muhammad. 1999, Syarah al-Qawaid al-Fiqhiyyah (Damaskus: Dar al-Qalam).

Andiko, Toha. 2011. Ilmu Qawaid Fiqhiyyah Panduan Praktis Dalam Merespon Problematika
Hukum Islam Kontemporer. (Yogyakarta: Sukses Offset).

Azhari, Fathurrahman. 2015. Qawaid Fiqhiyyah Muamalah (Banjarmasin: Lembaga


Pemberdayaan Kualitas Ummat (LPKU).

Rahman, Asymuni A. 1976. Qaidah-Qaidah Fiqh Cet I, (Jakarta, Bulan Bintang)

Yahya, Mukhtar dan Fatchurrahman. 1986. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam,
(Bandung: Al-Ma’arif)

Anda mungkin juga menyukai